Zeta menemui Misella untuk memberi nasehat agar tidak marah seperti tadi kepada ibu pasien, seharusnya Misella tahu betapa terpukulnya Ibu pasien ketika Putrinya bunuh diri yang hampir merebut nyawanya.
“Kamu tidak bisa mengontrol emosimu? Kamu itu Dokter psikiater! Seharusnya tidak seperti itu kepada Ibu pasien!” ucap Zeta kesal.
“Aku berteriak kepadanya, meneriaki bahwa dia hampir membunuh putrinya, Itu bukankah masalah besar,” jawab Misella enteng.
Zeta tersenyum miring. “Bukan masalah besar katamu?!”
Misella menghela napas. “Chintya, dia pasienku yang tidak mau diterapi dan ibunya membawa kabur dari rumah sakit.”
“Sekarang putrinya, apa kamu ingin melihat ibunya yang dirawat psikiatri?” tanya Zeta dengan nada menyindir.
Misella diam. Sejak dirinya mempunya mental illnes juga, dia menjadi sensitif pada orang yang yang mencoba bunuh diri, karena Misella beberapa kali pernah melakukan bunuh diri namun gagal.
“Jika pasien meninggal, kamu memang akan kehilangan satu dari ribuan pasienmu setiap tahun. Tapi, orang tua pasien akan kehilangan semuanya. Kenapa kamu malah bersikap seperti orang yang lebih tersiksa. Beraninya kamu berteriak kepadanya? Kamu ingin menghancurkan kami sebagai dokter kejiwaan dan mencabut lisensi doktermu? Kamu ingin hal itu terjadi, huh?”
Zeta berkata panjang lebar sambil memandang Misella dengan tatapan emosi.
Mendengar perkataan Zeta, Misella kesal dan melemparkan botol minum ke arah tempat sampah. Lalu Misella berbalik pergi tanpa mengatakan apapun.
“Hey! Pembicaraan kita belum selesai!” Zeta berteriak agar Misella jangan langsung pergi begitu saja sebelum pembicaraan selesai.
Misella berjalan sambil mengikat rambut. Tidak peduli dengan teriakan Zeta.
***
Sudah satu jam mengelilingi rumah sakit, Fahmi tidak menemukan keberadaan Misella. Lelaki itu apek berlari ke sana kemari dan tidak membuahkan hasil.
"Kemana sih wanita itu?" dumel Fahmi dengan perasaan gelisah.
Sejak makan siang hingga jam lima sore Misella tak menghubungi Fahmi, bahkan nomornya tidak bisa dihubungi.
"Maaf, apa kamu melihat Dokter Sella?" tanya Fahmi pada perawat yang dia temui di lorong rumah sakit.
"Dokter Misella sudah pulang setelah menangani pasien bunuh diri," jawabnya.
Fahmi menghela napas lega. Dia mengangguk mengerti dan kemudian kembali ke ruangannya untuk bersiap-siap pulang. Hari ini tidak lembur, Fahmi sengaja pulang lebih awal. Sekarang Fahmi agak sedikit tenang, tapi di sisi lain kenapa wanita itu tidak memberi tahunya pulang lebih awal?
Bikin khawatir saja!
"Kamu mau pulang?" tanya Erza melihat Fahmi membereskan barang-barang di atas meja.
Fahmi hanya mengangguk saja.
"Wih tumben." Erza geleng-geleng kepala. "Dokter Fahmi yang baik hati, budiman, dan dermawan tidak lembur seperti biasa. Waw ada apa, nich? Pasti ada sesuatu," goda Erza dengan tanpa dosa nyengir hingga deretan gigi putih terlihat.
Fahmi melirik sekilas wajah Erza yang menyebalkan. "Berisik amat jadi orang!" gerutu Fahmi, sama sekali tidak ingin mendengar celoteh dari sahabatnya yang garing itu. Segera meninggalkan ruangan.
Erza tertawa ngikik melihat kepergian Fahmi. "Hey! Pulang beneran lho, Mi. Jangan mampir-mampir ke sana kemari buat nyari janda! Haha," teriak Erza tanpa tahu malu.
***
Fahmi berjalan menuju ke tempat parkir, sesekali pandangannya terfokus pada layar ponsel dan berusaha menghubungi Misella. Semoga kali ini Misella mengangkat panggilan darinya, merasa sudah lelah menunggu kabar, dan akhirnya panggilan tersambung.
"Hai sayang. Kenapa baru diangkat, sih," omel Fahmi. "Aku dari tadi panik tahu. Kamu di mana sekarang?" tanya Fahmi cemas.
Misella menjawab sedang di rumah dan menyuruhnya ke rumah untuk menemani karena berada sendirian di rumah besar. Keluarga Misella sedang pergi ke luar kota untuk urusan bisnis. Jadi kondisi rumah sangat sepi, hanya ada Misella seorang.
Fahmi terdiam. Berpikir.
"Cepat ke rumahku. Aku sendiri di sini!"
"Sorry, sayang ... sepertinya a-aku nggak bisa," tolak Fahmi seraya membuka pintu mobil. "Malam ini aku akan pulang lebih awal, karena aku sudah berjanji pada Alia. Kamu tahu kan akhir-akhir ini hubungan aku dengan Alia tidak baik-baik saja," lanjut Fahmi mencoba menjelaskan dan berharap Misella mengerti.
Percuma! Penjelasan apapun Misella tidak menerima penolakan. Wanita itu tetap memaksa Fahmi agar datang ke rumahnya malam ini juga.
Fahmi memijit keningnya. Bingung dengan dua pilihan. Dia pulang ke rumah atau menemui Misella? Namun, pesan Misella berikutnya membuat Fahmi menggertakkan gigi. Misella mengancamnya.
"Ke sini sekarang atau aku kasih tahu istri kamu tentang hubungan kita!"
Paksaan dari Misella membuatnya tidak ada pilihan lain. Tanpa pikir panjang lagi, Fahmi menyalakan mobilnya dan langsung menuju ke rumah Misella dengan kecepatan tinggi. Kira-kira membutuhkan sekitar waktu dua puluh menit agar sampai di rumah Misella. Sesampai di rumah Misella. Misella menyuruh Fahmi masuk setelah membuka pintu dan mengajak ke kamar lantai atas. Fahmi kaget setengah mati melihat barang-barang Misella berserakan di lantai bagaikan kapan pecah. "Are you okay?" tanya Fahmi dengan hati-hati, menghampiri Misella yang tidak seperti biasanya. "Tell me your problems, Baby ...." "I need you," ucap Misella dengan suara lirih dan tatapan mata redup. "Can you hug me?" Fahmi mengangguk. Tidak lupa memberikan senyuman lebar. "Of course, come here." Kedua tangan Fahmi terbuka lebar membiarkan Misella memeluk dirinya. "Kamu aman." "Five minutes." "Okay." Fahmi paham, dia memeluk erat tubuh Misella, sesekali mengecup pucuk kepala Misella, dan mengelus punggung Misella agar ten
Sentuhan menggelora. Begitu memabukkan.Misella bergerak gelisah menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh Fahmi. Kecupan di atas kulitnya. Sentuhan kilat yang mengatakan kepada Misella bahwa dirinya adalah milik Fahmi. Fahmi mencium perut Misella. Seluruh tubuh Misella bergetar. Kakinya mengejang. Misella ingin menjerit kala Fahmi menyatukan tubuhnya dengan Misella, lelaki itu terus mendesaknya dan hanya desahan yang keluar dari Fahmi. Sedangkan Misella menggigit bibir bawahnya, bukan karena rasa sakit namun karena rasa nikmat tiada tara.Fahmi meraung. Misella mengalungkan tangan di leher Fahmi, membiarkan milik Fahmi bekerja di mana seharusnya berada. Keduanya saling menatap dengan tatapan sayu, mulut setengah menganga sambil mendesah. Lalu Fahmi juga memainkan bibir Misella dan menggigit bibir bawahnya hingga kaki Misella lemas. Fahmi juga menunjukkan kemampuan bermain lidah dengan handal. Permainan Fahmi semakin membuatn
Hari berganti hari, Minggu berganti minggu. Tidak terasa sudah satu bulan.Malam ini hujan deras mengguyur kota Jakarta. Fahmi turun dari mobilnya, berlari sambil menutupi kepalanya dengan jas hitamnya. Fahmi masuk ke dalam rumah dengan keadaan sedikit basah, melepaskan sepatu pantofelnya dan memakai saldal rumah yang telah disediakan oleh Alia. Lelaki itu melangkah menuju kamarnya, membuka pelan pintu kamar agar kepulangannya tidak membuat Alia terbangun. Dia segera mengganti pakaian tidurnya untuk segera tidur.Fahmi melihat Alia tengah tertidur miring. Fahmi menelan saliva memperhatikan tubuh Alia yang hanya memakai lingerie, mempertontonkan punggung mulusnya. Sudah lama sekali Fahmi tak melihat istrinya memakai lingerie. Fahmi menaiki ranjang, membelai pipi Alia dengan lembut, menyelipkan helai rambut ke daun telinga, hal itu membuat Alia terbangun.“Kamu baru pulang?” tanya Alia dengan suara serak
Sebuah sensasi sangat luar biasa dirasakannya saat sebuah kehangatan menyentuh puncuk bagian dadanya berganti dari kanan ke kiri dan kembali lagi beberapa kali.“Oh, my God! Sial!" maki Alia dengan suara tertahan.Dia sangat menyukai permainan Fahmi. Alia paham sekali bagian tubuh yang sangat ingin suaminya sentuh adalah dua gundukan daging kenyal. Liat! Fahmi melahap tanpa henti seperti bayi kelaparan dan kehausan, kedua gundukan menggemaskan selalu membuatnya begitu tegang.Bisa dibilang sudah terlalu lama keduanya tidak merasakan kenikmatan hubungan suami istri dan syukur kini mampu merasakan arti dari rasa nikmat yang sesungguhnya.Fahmi melebarkan kaki Alia dengan tidak sabar dan menyuruh menaikkan pinggulnya sedikit. Seperti yang dibayangkan Fahmi, Alia mengeluarkan desahan panjang saat sesuatu berusaha masuk ke dalam miliknya dan berhasil untuk menjelajah celah sesak it
Satu jam Alia berdandan di depan meja rias. Kali ini dia ingin membuat Fahmi terpesona, jadi harus berdandan cantik bak unnie Korea. Sempat bingung memakai pakaian yang cocok untuknya karena jarang sekali keluar rumah kecuali bekerja. Terlalu lama memilih, jadi memutuskan untuk memakai dress vintage. Alia baru sadar beberapa pakaian sudah tak muat di badannya.“Apa aku gendutan, ya?” gumam Alia berdiri di cermin besar. Memang beberapa bulan ini Alia tidak pernah memperhatikan berat badan tubuhnya.“Sudah siap?” Fahmi tiba-tiba datang mengagetkan Alia. Lelaki itu berdiri ternganga melihat Alia. “You so beautiful, Alia,” pujinya.Alia tersipu malu. Kedua pipi merona merah. Tidak apa gendutan, Fahmi tetap memujinya cantik.***
“Apa?! Kamu sedang ada di Mall?!”Dalam sekejap Fahmi panik. Dia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Bagaimana kalau Alia dan Misella bertemu? Pertemuan untuk kedua kalinya bagi mereka. Ketakutan Fahmi mendadak menyerang, tak bisa membayangkan apabila Alia mengetahui dirinya dengan Misella mempunyai hubungan istimewa.“Sudah aku katakan. Jangan menghubungiku beberapa hari,” cetus Fahmi. Dia ingin berjuang agar rumah tangganya berjalan semestinya. Makanya mengajak Alia menonton film dan mengajak shoping.Misella pun menjelaskan di panggilan itu, bahwa tidak sengaja melihat Fahmi dengan Alia di Mall, dan ingin menyapa.Fahmi segera melarang niat Misella. Menyuruh untuk segera pulang. Tapi sudah terlambat saat kedua matanya melihat wanita cantik berdiri tak jauh, wanita itu melambaikan tangan dan tersenyum manis sekali.Fahmi mematikan telepon, berjalan cepat ke arah Misella. “Apa yang kamu lakukan di sin
'Mas sudah makan belum?'Fahmi mendapatkan pesan dari Alia. Jari jemarinya langsung mengetik untuk membalas.'Sudah, La. Tadi aku makan di kantin.'Pesan Fahmi terkirim langsung ke nomor Alia dan Alia secepat kilat membalas pesan itu.'Bagus, deh. Kalau sudah makan. Mas sibuk nggak?''Lumayan, nih, La. Udah dulu, ya. Ada pasiennya.''Okay, deh. Semangat kerjanya, Mas.'Fahmi menyimpan ponselnya kembali setelah mengirimkan pesan— memberi tahu Alia, bahwa dia akan pulang agak terlambat, Fahmi fokus kembali ke pekerjaannya. “Panggil pasien selanjutnya,“ perintahnya kepada perawat.Perawat itu mengangguk. “Bu Dokter bisa masuk,” seru perawat membuka pintu dan mempersilahkan pasien. “Duduk dulu, ya,“ lanjutnya sambil menutup pintu.Fahmi baru selesai mencuci tangan. Tatapan kaget sekaligus heran dengan kening berkerut melihat Misella berada di ruangannya bersama wanita entah sia
"Maaf. Kamu sudah menikah?""Belum, Dok.""Pernah berhubungan badan?" tanya Fahmi lagi.Marsha menggeleng. "Saya belum menikah. Jadi, belum pernah berhubungan intim," jelas Marsha.Fahmi mengangguk mengerti."Ini nanti akan sedikit sakit. Tahan, ya.""Sedikit sakit kan, Dok. Nggak sakit banget?" Marsha bertanya memastikan.Fahmi mengangguk. "Karena vagina kamu akan dibuka sedikit untuk membuka bibirnya tanpa merusak selaput dara. Kita harus mengumpulkan sampel keputihan Anda lalu dibawa ke laboratorium untuk diperiksa.""Iya, Dok.""Tahan sebentar." Fahmi memulai tugasnya hingga sampel didapatkan. "Done! Sekarang kamu pakai kembali celananya." Fahmi segera memberikan sampel ke perawat.Fahmi berdiri, melepaskan sarung tangan pemeriksaan