'Mas sudah makan belum?'
Fahmi mendapatkan pesan dari Alia. Jari jemarinya langsung mengetik untuk membalas.
'Sudah, La. Tadi aku makan di kantin.'
Pesan Fahmi terkirim langsung ke nomor Alia dan Alia secepat kilat membalas pesan itu.
'Bagus, deh. Kalau sudah makan. Mas sibuk nggak?'
'Lumayan, nih, La. Udah dulu, ya. Ada pasiennya.'
'Okay, deh. Semangat kerjanya, Mas.'
Fahmi menyimpan ponselnya kembali setelah mengirimkan pesan— memberi tahu Alia, bahwa dia akan pulang agak terlambat, Fahmi fokus kembali ke pekerjaannya. “Panggil pasien selanjutnya,“ perintahnya kepada perawat.
Perawat itu mengangguk. “Bu Dokter bisa masuk,” seru perawat membuka pintu dan mempersilahkan pasien. “Duduk dulu, ya,“ lanjutnya sambil menutup pintu.
Fahmi baru selesai mencuci tangan. Tatapan kaget sekaligus heran dengan kening berkerut melihat Misella berada di ruangannya bersama wanita entah sia
"Maaf. Kamu sudah menikah?""Belum, Dok.""Pernah berhubungan badan?" tanya Fahmi lagi.Marsha menggeleng. "Saya belum menikah. Jadi, belum pernah berhubungan intim," jelas Marsha.Fahmi mengangguk mengerti."Ini nanti akan sedikit sakit. Tahan, ya.""Sedikit sakit kan, Dok. Nggak sakit banget?" Marsha bertanya memastikan.Fahmi mengangguk. "Karena vagina kamu akan dibuka sedikit untuk membuka bibirnya tanpa merusak selaput dara. Kita harus mengumpulkan sampel keputihan Anda lalu dibawa ke laboratorium untuk diperiksa.""Iya, Dok.""Tahan sebentar." Fahmi memulai tugasnya hingga sampel didapatkan. "Done! Sekarang kamu pakai kembali celananya." Fahmi segera memberikan sampel ke perawat.Fahmi berdiri, melepaskan sarung tangan pemeriksaan
Alia baru pulang dari rumah sakit. Dia sempat mampir ke sesuatu tempat untuk mengambil foto yang sudah dibingkai. Sekarang masuk ke rumah membawa bingkai besar sekali tertutup karton coklat cukup kuat dan aku membuka benda besar tersebut. Itu adalah foto pernikahan Alia dengan Fahmi. Ya saat itu Alia sedang memegang bunga, memakai gaun putih cantik, dan terseyum lebar ke arah kamera—membuatnya seperti menjadi ratu. Sangat cantik. Sedangkan Fahmi tampil maskulin dan gagah di hari bahagia, jas hitam dengan dasi kupu-kupu. Pernikahan adalah momen berharga, meski hanya dihelat dalam satu hingga dua hari. Menikah termasuk momen penting terjadi sekali sumur hidup. Agar lebih terkenang, Alia memajang foto pernikahan mereka di dinding ruang tamu dan memandang foto itu cukup lama. "Aku berharap ke depannya akan baik-baik saja," batin Alia. Matanya tak lepas dari foto pernikahan. Ada rasa ketakutan cukup mendalam bila rumah tangganya hancur hanya karena orang ketiga. Alia menarik napas pa
Misella turun dari mobil Fahmi. Sebelum benar-benar turun, dia mencium bibir Fahmi. Keduanya sengaja tidak berjalan saling beriringan karena Fahmi menyuruh wanita itu agar lebih dulu menuju rumah sakit. Langkah kaki panjangnya menaiki lift ke ruangan kejiwaan, di mana dia bekerja. “Sudah berapa lama kamu mengalami kesulitan tidur?” tanya Misella saat ada pasien sedang berkonsultasi. “Dua bulan yang lalu,“ jawab pasien. “Aku ingin tidur, tapi tidak bisa. Setiap hari insomnia. Itu sangat menyiksaku. Terkadang aku hanya tidur beberapa jam, terkadang juga sama sekali tidak tidur, keluhnya. “Apakah kamu sedang diet?” Pasien itu menggeleng cepat. “Tidak! Aku sama sekali tidak tertarik untuk diet. Aku hanya butuh tidur. Itu saja,” jelasnya. “Inilah alasanku kenapa harus mengunjungi psikiater.” “Okay. Aku mengerti.” “Lalu apa dokter bisa memberikan obat penenang dan obat tidur?” Misella menatap wajah pasien seperti sangat menginginkan obat penenang. “Ya. Aku bisa. Tapi tidak semudah i
“Kamu bohong, 'kan?” Alia menggeleng kepala. “Untuk apa aku berbohong?” Ayora menenangkan diri sendiri. Alia tahu respon dari sahabatnya akan seperti ini. Tidak hanya cuaca yang sedang panas, tapi hati Ayora ikut panas hingga berkeringat. Masih tidak habis pikir dengan dokter Fahmi. Tega sekali telah mencoba berkhianat. “Fahmi mencoba menyembunyikan sesuatu dariku," ujar Alia. “Dia bilang akan selalu pulang lebih awal, tapi sering pulang terlambat. Saat aku tanya pada Erza, Fahmi sudah pulang. Kenapa dia berbohong? Apa yang dilakukan selama beberapa jam sebelum pulang ke rumah?” Ayora tidak bisa berkata apa-apa dan hanya bisa bertanya, “Apa kamu mencurigai salah satu wanita?” “Salah satu dokter di rumah sakit Havanna,” jawab Alia dengan yakin. “Lalu apa yang akan kamu lakukan?” Alia mengangkat kedua bahunya. “Sekarang aku tak terlalu memikirkan. Aku hanya fokus pada pekerjaanku dan menjadi istri yang baik bagi Fahmi karena masih menjadi tanggung jawab seorang istri. Mungkin,
Alia menatap Fahmi dengan sorot mata redupnya. “Enggak, Mas. Aku nggak buka ponsel kamu,” jawab Alia meyakinkan. Fahmi menggeleng, tidak percaya. Jelas-jelas Alia membuka ponselnya saat dia tidur. “Kenapa, sih? Kamu ingin lihat apa? Mau tahu apa? Katakanlah padaku secara langsung. Jangan secara sembunyi-sembunyi seperti ini. Kamu rela berbohong.” Alia diam. Hanya mendengar perkataan panjang dari Fahmi, suara begitu lembut, enak didengar, dan tidak terdengar marah. Oke. Alia mengaku. Dirinya salah. Telah berani membuka ponsel tanpa seizin dari pemilik. Tapi, Alia lakukan demi dirinya di masa depan. Membongkar perselingkuhan. “Jawab saja. It's okay,” ucap Fahmi lagi. Alia memalingkan wajahnya. Sorot matanya berubah dratis. “Kalau kamu diam-diam mengecek ponselku. Itu akan menambah beban pikiran kamu, dan menambah masalah. Jadi, apapun yang ingin kamu tahu. Katakan padaku.” Sumpah. Demi apapun. Alia tidak bisa membalas perkataan Fahmi yang sejak tadi berbicara. “Kenapa diam? P
Selesai sarapan, Alia mengganti bajunya dan bersiap-siap pergi ke rumah sakit. “Mau aku antar, Nona?” tawar Fahmi saat Alia turun dari tangga. “Tidak perlu. Kita berangkat sendiri-sendiri saja,” tolak Alia. Dia mencium punggung tangan Fahmi. “Aku berangkat dulu, ya, Mas. Jangan lupa nanti pintu di kunci.” *** Fahmi segera menaiki lift menuju ruang tempat dia akan bekerja. Di rumah sakit Havanna, Fahmi cukup terkenal sebagai seorang dokter kandungan dengan keberaniannya melakukan operasi caesar dan menempuh resiko demi menyelamatkan bayi dan ibunya. Seperti biasa aktivitas rumah sakit sangat sibuk khususnya ruang tunggu pasien. Para dokter dan suster pun sangat sibuk. Fahmi pergi ke tempat perawatan bayi-bayi yang baru lahir. Di sana ada para suster sedang sibuk menenangkan para bayi dan memberi mereka air susu. Fahmi tersenyum melihat para bayi tersenyum dan menangis dengan khas bayi. Sambil melihat bayi menggemaskan, Fahmi berpikir semenjak menikah dengan Alia—belum pernah mem
Alia dan Ayora selesai dinas, pulang lebih awal dari biasanya. Karena sudah lama tidak nongkrong bareng, akhirnya mereka berdua pergi ke cafe terdekat rumah sakit. Alia juga ingin berbicara sesuatu yang penting pada Ayora. Dia memesan Taro Milk Tea, sedangkan Ayora Ice Caramel Macchiato. “La, kamu masih menghindari Dokter Abian?” tanya Ayora. “Sudahlah. Jangan dipikirkan, lagipula kamu sudah mempunyai suami. Tidak mungkin dia berbuat macam-macam sama kamu.” Ayora masih berpikir positif tentang Abian. “Aku merasa bersalah padanya, Ra.” “Why?” “Sejak aku menolak pernyataan cintanya,” jawab Alia. “Aku lebih memilih Fahmi, dibandingkan Abian. Pasti dia kecewa dan patah hati.” “Ini bukan salah kamu, kok. Cinta itu tidak perlu dipaksakan.” Ayora membesarkan hati Alia. “Kamu berhak untuk memilih, siapa yang akan menjadi pendamping hidupmu dan siapa yang akan menjadi suamimu.” Pesanan mereka datang. “Permisi. Ini pesanan kakak.” Waiters meletakkan pesanan dua minuman di meja. “Ada tam
“Selamat sore. Maaf ... ini dengan siapa?” Suara itu ...? Alia dan Ayora saling memandang satu sama lain setelah mendengar suara wanita. Sabar. Alia tidak ingin bergerak gegabah. Harus tetap tenang, walaupun semakin yakin kalau Genta nama palsu di kontak Fahmi, aslinya seorang wanita bernama Sella. “Hallo ...” Suara wanita itu terdengar lagi. Alia memberi isyarat untuk segera mematikan panggilan itu. Ayora menyadari perubahan ekspresi dari Alia setelah mendengar suara wanita. Pasti dadanya merasa ditekan hebat. “La, are you okay?” Tangan Ayora menggenggam tangan Alia. Alia mengangguk kecil. “Ya. Aku baik-baik saja,” jawabnya diakhiri senyuman. Alia tidak mau kelewat cemburu. Dia menarik napas pelan-pelan, hanya cara itulah untuk menenangkan pikiran. “Suara itu ... tidak asing di telingaku. Sepertinya aku pernah mendengar. Tapi di mana? Dan siapa wanita itu?” *** Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Misella yang baru saja selesai mandi mematutkan diri di depan cermin—mej