“Selamat sore. Maaf ... ini dengan siapa?” Suara itu ...? Alia dan Ayora saling memandang satu sama lain setelah mendengar suara wanita. Sabar. Alia tidak ingin bergerak gegabah. Harus tetap tenang, walaupun semakin yakin kalau Genta nama palsu di kontak Fahmi, aslinya seorang wanita bernama Sella. “Hallo ...” Suara wanita itu terdengar lagi. Alia memberi isyarat untuk segera mematikan panggilan itu. Ayora menyadari perubahan ekspresi dari Alia setelah mendengar suara wanita. Pasti dadanya merasa ditekan hebat. “La, are you okay?” Tangan Ayora menggenggam tangan Alia. Alia mengangguk kecil. “Ya. Aku baik-baik saja,” jawabnya diakhiri senyuman. Alia tidak mau kelewat cemburu. Dia menarik napas pelan-pelan, hanya cara itulah untuk menenangkan pikiran. “Suara itu ... tidak asing di telingaku. Sepertinya aku pernah mendengar. Tapi di mana? Dan siapa wanita itu?” *** Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Misella yang baru saja selesai mandi mematutkan diri di depan cermin—mej
Fahmi menutup pintu kamar, melangkah ke balkon kamar—melihat kegelapan malam. Bahkan bintang tidak tidak ada satupun yang menyala, hanya ada bulan. Dia mulai membalas pesan setelah melihat foto Misella yang baru di kirim. 'You look so sexy, Sella.' Benar-benar cantik dan sexy di mata Fahmi. Lalu Fahmi menelfon wanita itu. Panggilan langsung terjawab tanpa menunggu lama. Ah, pasti Misella menunggu balasan Fahmi sedari tadi. “Hei. Maaf membuat kamu menunggu. Tadi di bawah ada Alia. So, aku harus cari alasan biar bisa ngobrol sama kamu,” jelas Fahmi. “Aku mengerti. Kita sulit untuk berhubungan karena ada Alia.” Diseberang sana Misella memaklumi. “Thanks. Kamu selalu ngertiin aku.” Fahmi tidak menyesali bertemu kembali dengan Misella, walaupun Misella pernah meninggalkan dirinya dan membuatnya dunia terasa hancur. Bagaimana tidak hancur? Pernikahan gagal total hanya karena mempelai wanita kabur dari rumah. Sekarang Fahmi tidak bisa melepaskan Misella. Lelaki itu belum mampu un
“Tadi menelpon dengan siapa, Mas?” “D-dengan---” “Dengan wanita?” tebak Alia “Bukan, Alia.” Menggeleng kepala bertanda tebakan Alia salah. “Dengan Erza. Ya, dengan Erza. Sahabatku.” Fahmi membohongi Alia. *** “Kamu mau tidur?” tanya Fahmi pada Alia yang baru selesai cuci muka. “Ada hal yang ingin aku bahas, La.” Alia duduk di meja rias. mengelap wajah yang basah dengan tisu. Sama sekali tidak menoleh sedikit pun ke lawan bicara. “Tentang apa, Mas?” Alia memakai skincare dan krim malam sebelum tidur. “Duduklah di sampingku,” perintah Fahmi. Sejujurnya Alia malas berbicara dengan Fahmi. Dia ingin secepatnya tidur, namun lelaki itu mengajaknya berbicara—entah apa yang akan dibahas. Istri mana yang mampu bertahan dengan semua kebohongan suami? Alia sudah kecewa dan muak tapi sekarang berpura-pura seakan tidak ada apa-apa. Sampai kapan dia berpura-pura? Berpura-pura bodoh, berpura-pura polos, dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Nyatanya, Alia sedang berjuang mencari tahu ke
“Good morning, sayang,” sapa Fahmi dengan suara serak. Alia menghentikan aktivitas membuat sarapan pagi saat tangan Fahmi melingkarkan di pinggangnya—memeluk Alia dari belakang dengan manja. “Pagi juga, Mas,” balas Alia. Fahmi baru bangun tidur dengan rambut berantakan, tidak menurunkan kadar kadar ketampanannya—justru lebih tampan dari biasanya. “Hari ini aku shift malam. Jadi, aku bisa bersantai di rumah,” ujarnya memberi tahu pada Alia. “Aku tahu, Mas.” Kening Fahmi berkerut. “Tahu dari mana? Aku belum mengatakan padamu.” “Aku baca schedule di lembar kertas yang sudah di print di meja belajar. Mas yang menaruh schedule di sana.” “Oh, iya. Aku lupa.” Lagi pula. Alia tidak ingin membuat Fahmi marah-marah saat bangun kesiangan karena masuk shift pagi. Jadi, Alia selalu membaca jadwal kerja Fahmi. “Aku juga jaga malam, Mas.” Alia memberi tahu pada Fahmi. “Mandi dulu sana, lalu sarapan,” usir Alia. Kegiatan membuat sarapan menjadi tergantung kala kedatangan Fahmi, apalagi tan
Fahmi tidak bisa berkata-kata, memberikan Alia melakukannya sendiri. Alia menunduk malu-malu setelah menyadari bajunya menerawang hingga dalaman terlihat jelas.“Maaf, Mas. Aku baru sadar,” ucap Alia lirih, pipinya merah merona.Fahmi terkekeh sakastis melihat wajah polos dan ekspresi malu-malu dari Alia. Lelaki itu mencondongkan badannya, menatap Alia sebentar lalu berbisik lembut di telinga Alia, “Kau sangat menggoda, Sayang.”Sudah kelewat lama Fahmi tidak menggoda dirinya. Alia menjad gelagapan mendengar apa yang Fahmi katakan. Menggoda? Alia rasa berpakaian biasa saja, sama sekali tidak terbuka dan tidak sexy—hanya nerawang.“Kamu tahu apa yang membuat aku tergoda?”Alia tidak menjawab.Mata Fahmi terfokus wajah Alia. “Ini ....”Mata Alia terbelalak lebar.
“Please, stop!” Suara Alia tertahan.“No!” Jawaban singkat.Sial! Alia tidak bisa melawan. Tubuhnya menginginkan lebih dari sebuah sentuhan jemari Fahmi. Akhirnya Alia pasrah.Bibir Fahmi membungkam Alia. Alia membalas ciuman Fahmi. Tangan yang semula di atas paha berpindah tempat. Menelusup dalam kaos, meremas dada Alia yang masih terbungkus lalu Fahmi melepaskan pakaian yang Alia kenakan hingga Alia telanjang dada.Alia mendesah kenikmatan ketika Fahmi menggoda bagian puncak dua benda kenyal.Kemudian Fahmi menarik celana pendek Alia. Jemari lentiknya gencar menekan-nekan milik Alia sambil bermain lidah di puting.Alia ingin memberontak, sementara tangan Fahmi merobek kasar celana dalam Alia dengan kasar. Berkali-kali Alia menggigit bibir bawahnya dan menggeleng kepala agar Fahmi mengakhiri permainan di pagi hari. D
Mobil berhenti tepat di depan rumah mewah, besar, dan bertingkat. Pemilik rumah itu adalah seorang kaya raya. Lelaki di dalam mobil membuka kaca jendela untuk menyapa seseorang yang telah menunggu. Dengan wajah berseri menyapa, "Hai. Apa aku membuatmu menunggu lama?" "Nggak. Aku baru saja menunggumu di sini." Kepala Fahmi agak sedikit menunduk, melihat keadaan rumah mewah itu. "Kok sepi?" "Iya, Mas. Keluarga aku lagi keluar semua. Makanya aku minta kamu buat jemput aku. Biar aku nggak kesepian." Fahmi tersenyum. "Masuklah." Wanita itu masuk ke mobil Fahmi. Wanita itu tak lain adalah Misella. Wanita berparas cantik bak bidadari, kulit putih bersih dan body mulus. Berprofesi sebagai psikiater. Bisa dibilang, keluarga Misella semuanya orang berpendidikan. Banyak lelaki mendekatinya, tapi kenapa harus mencintai seseorang yang sudah mempunyai istri? Itu hal gila. Atas dasar cinta tanpa disadari menyakiti orang lain. Yaitu Alia. Jam setengah delapan malam. Malam ini Fahmi menjem
"Kenapa? Ada sesuatu di mukaku?" tanya Misella bingung. Fahmi menggeleng. "Tidak ada. Wanita selalu begitu. Kalau ditanya soal makanan pasti jawabannya terserah." Misella terkekeh. Hampir semua wanita memang seperti itu. Tampaknya Fahmi bingung memilih menu, jadi Misella berinisiatif bertanya pada waiter. "Kak, menu best seller. dan paling laku di restoran ini apa, ya?" Waiter pun menjelaskan panjang lebar menu yang paling banyak dipesan pengunjung. Waiter sejak tadi melihat interaksi Fahmi dan Misella yang menggemaskan. “Pasti kalian pasangan suami istri yang baru menikah. Romantis sekali,” ceplos waiter dengan kagum dan perasaan iri. Fahmi hanya tersenyum menanggapi ucapan itu. Sadar dengan perkataan barusan, waiter segera meminta maaf telah berkata tidak sopan. “Tidak apa.” Fahmi memaklumi. Akhirnya keduanya memesan banyak makanan. Mungkin tidak akan habis di makan oleh dua orang. Harga makanan tidak usah ditanya. Tentu harga mahal. "Aku nggak mau diet terus, La. Sekali-k
Para tamu bertanya-tanya termasuk Misella ikut terheran. Sontak Abian dan Alia menutup mulut tak percaya. Dikejutkan dengan kehadiran kedua orang tua Abian yang tiba-tiba datang bergabung di acara tersebut. Tak disangka-sangka mendapat surprise dari keluarga Abian. Ayah Mario, Ibu Caroline, Kak Amber dan juga Xylia si gadis kecil bule dengan rambut pirangnya."Sepertinya mereka dari keluarga terpandang," batin Misella menebak.Amber melambaikan tangan pada Abian dengan semangat sekali dan senyum lebarnya. Keluarga Abian pun semakin mendekat. Hati Alia terenyuh dengan kedatangan mereka. Alia pikir, keluarga Abian sangat mustahil untuk menginjak kaki di Jakarta. Sebab mereka lebih menyukai berada di Bali ketimbang di Jakarta, seperti pertama kali Abian memperkenalkan Alia pada keluarganya di Bali. "Siapa mereka?" ucap Papa Alia kebingungan."Mereka Keluarga saya, Pa. Ibu, ayah, dan kakakku dari Amerika," jawab Abian cepat. "Saya kira tidak akan datang."Tiffany melongo, begitu juga den
Sembilan bulan kemudian .... Setelah kejadian mengerikan di Belleza, rencana Robert berhasil total dan kematian Fahmi tidak membuat orang menaruh kecurigaan. Itulah gelapnya tinggal di hunian modern itu. Siapapun yang mempunyai uang, dia akan berkuasa. Pada dasarnya uang segalanya, termasuk uang membuat orang lain tutup mulut.Di hunian elit, Belleza unit 002 milik keluarga Robert.Keluarga Robert hidup jauh lebih bahagia daripada tahun kemarin. Kini Kayla sudah bisa berbicara walaupun belum amat jelas. Tingkah lucu dan nada bicara cadel Kayla sangat menghibur mereka. Apalagi Kayla cukup tanggap, pasti tumbuh besar menjadi anak pintar. "Kayla sayang ...!" Tiffany berteriak, melambaikan tangannya dengan senyum lebarnya. Saking kangennya dengan cucunya. "Nenek datang!"Kayla baru turun dari tangga dituntun oleh Misella. Misella langsung berkata, "Hayo, siapa yang datang itu, Kay?" nunjuknya ke arah pintu.Awalnya Kayla sempat bingung, tapi langsung sadar. Tubuh mungil itu berlari untuk
Deg."APA KATAMU?!" Robert sangat terkejut. Berdiri dengan sorot mata tidak percaya. "Putriku tidak mungkin melakukan itu!"Bella terkaget-kaget. Tiffany yang baru sadar dari pingsan, syok kembali. Membekap mulutnya tidak menyangka. "T-tidak! Putriku bukan anak pembunuh!" Geleng-geleng kepala. "Pasti ada kesalahpahaman. Iya, kan?!""Maaf ... Saya melihat dengan kepala saya sendiri! Bahwa Putri Anda yang mendorong Fahmi!" tegas pengawal itu meyakinkan. "Harus ke atas sekarang kalau tidak percaya."Mereka langsung berlari-lari naik tangga menuju kamar Kayla. Mulut mereka terbuka lebar saat melihat jendela kaca telah hancur. Mata masing-masing menangkap punggung Misella, berdiri di antara serpihan kaca berserakan di lantai. Tidak ada yang memperdulikan betapa cantiknya warna kembang api di menyala-nyala.Robert membalikkan badan Misella. "Apa yang sebenarnya terjadi?!" tanya Robert butuh penjelasan. "Kenapa begitu berantakan di sini?!" tambah Robert.Kesadaran Misella kembali saat kedat
"T-tapi Tuan ...." "Tidak ada tapi tapi!" Robert masih punya secuil rasa kasihan setelah melihat Fahmi begitu mengenaskan. "Beri waktu dua menit dan awasi dia jangan sampai menyentuh sedikitpun cucu saya! Kalau cucu saya sedang tidur, jangan sampai lelaki itu membangunkan!""Baik Tuan." Body guard menurut, mereka pun menghampiri Fahmi. "Hei! Ayo jalan!" perintahnya karena Fahmi hanya diam tak bergerak. "Cepat jalan! Sebelum Tuan Robert berubah pikiran!"Fahmi pun berjalan pincang naik ke arah tangga dikawal ketat. Meninggalkan Robert di bawah bersama putri pertama. Bella dengan penuh amarah menghampiri Robert yang melamun dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celana."Papa!" teriak Bella. "Papa yang benar saja membiarkan lelaki bajingan itu menemui Kayla?! Di atas juga ada Sella!" Marah Bella, geleng-geleng kepala kenapa Papanya berbuat demikian.Robert menatap putri pertamanya. "Sudah. Kamu jangan marah begitu," tanggap Robert
Robert kembali ke apartemen karena baru selesai menyelesaikan beberapa pekerjaan mendadak di hari tersebut. Awalnya Robert ingin menikmati waktu malam tahun baru bersama sang istrinya, alhasil gagal. Saat pulang lelaki tua geram setelah mendapatkan pesan dari putrinya. "Dia datang sendirian?" tanya Robert pada dua body guard itu.Salah satu body guard menjawab, "Sepertinya sendiri, Tuan. Saya mendapat notif panggilan banyak sekali dari putri dan istri Anda.""Kenapa dia ada di sini?" Napas Robert terdengar berat. Sangat heran sekali. "Apa tidak punya harga diri?" sinisnya mengingat wajah Fahmi yang begitu memuakkan."Mungkin dia lapar," tebak body guard setengah bercanda."Dia lapar pada hari ini?" Satu alis Robert naik."Kan Tuan yang membuatnya miskin tak punya apa-apa. Jadi, dia berusaha mendatangi keluarga Tuan agar mendapat belas kasih," jelas body guard itu."Ah, iya. Kalau begitu kita harus cepat!"Dua b
Jantung Misella terasa dihantam batu. Selama ini tidak pernah mengizinkan Fahmi melihat wajah putrinya. Batinnya pedih mendengar permintaan Fahmi, Misella merasa menjadi Ibu yang jahat. Sorot mata Fahmi hampir membuat pertahanan Misella goyah, rasa kasihan segera ditepis jauh-jauh.“Dia hanya mantan suami yang tidak tahu diri!” batinnya memperingatkan."Jangan mimpi. Jangankan Sella sebagai ibu! Aku saja tak akan membiarkanmu bertemu Kayla," sinis Bella. "Pergilah dari sini!" Bella menarik paksa tangan Misella, cepat-cepat memencet sandi pintu.Misella menoleh ke belakang, terperangah Fahmi semakin mendekat. Hah?! secepat itu? "Kak! Ayo cepat!" Menarik-narik dress Bella dengan panik."Sabar dong, Sel. Tangan Kakak jadi tremor ini," balasnya bersamaan bunyi pintu apartemen terbuka.Keduanya bergerak cepat masuk ke dalam saat pintu akan tertutup sempurna, tangan Fahmi menerobos pintu tak peduli akan terjepit. Misella dan Bella langsung mendorong sekuat tenaga agar pintu tertutup."Hanya
Lima jam yang lalu.Misella dan Bella saling berdebat kecil mengenai undangan party dari Yuna. Bella merobek-robek kertas undangan pink pastel cantik itu dengan kesal. "Untuk apa kau datang?! Bukannya lebih baik kamu mengabaikan wanita penyebalkan itu!" omel Bella, pipinya merah menyala. Tak habis pikir jalan pikiran adiknya itu. Diperlakukan buruk, dipermalukan masih saja mau bergabung dengan orang bermuka tebal. Misella berdiri memasang muka tanpa dosa di depan Bella. "Aku hanya ingin datang. Apa salahnya, sih, Kak?""Salah! Memang salah." Bella menarik napas dalam-dalam. Sadar, hanya masalah kecil sampai berdebat dan emosi begini. "Sudah, abaikan saja," lanjutnya menahan diri—merebahkan tubuhnya di sofa."Aku mau datang! Titik." Misella keukuh. "Aku belum pernah datang ke party tahun baru."Bella memutar bola matanya. Astaga. Adiknya sudah dewasa tapi masih keras kepala. Tidak pernah menurut perkataanya. "Ya sudah. Aku temenin! Jangan sendirian. Bisa jadi kamu akan dipermalukan de
Sudah setengah jam Alia pingsan, kini mulai sadar. Matanya mulai terbuka, pandangan pertama yang dilihat adalah lampu cantik di atas langit-langit dinding yang menggantung. "Akhirmya kamu juga sadar, sayang." Abian menghela napas lega. Setia menunggu Alia bangun, tak melepas genggaman tangan.Alia melihat Abian duduk di sampingnya. "A-apa yang terjadi padaku? Di mana kita?" tanyanya bingung, sadar sedang bukan di kamar miliknya, kamar itu asing.Pelayan datang membawa segelas air putih, diberikan pada Abian. "Minum dulu," perintah Abian.Alia bangun dari posisi baringnya. Meminum beberapa teguk air putih dibantu Abian memegang gelasnya."Kamu pingsan, sayang. Kita masih di apartemen Yuna," ucap Abian memberi tahu. Alia sadar seketika. Matanya membesar, ingat kejadian menakutkan. Memegang kepalanya yang terasa pusing. Dia langsung turun dari ranjang tanpa berpikir panjang, tubuhnya oleng—untunglah pelayan siap siaga me
Bunyi kaca pecah mengangetkan dan tiba-tiba ada teriakan dari atas membuat empat orang di balkon itu menengadah kepala ke atas. Betapa terkejutnya melihat ada seseorang di atas sana—di dorong hingga tubuhnya hilang kendali, jatuh bersamaan serpihan kaca tebal telah melukai setiap kulitnya. Tangan itu berusaha menggapai di udara, namun malangnya tak bisa berpegang benda apapun.Pasrah dalam hitungan detik tubuh itu jatuh melewati samping kiri balkon hingga menghantam sky light lobby apartemen yang terbuat dari kaca. Sky light berbentuk persegi panjang terpecah, hancur seketika. Saat menghantam lantai seketika sel sel dalam tubuh meledak. Pembuluh darah pecah sehingga tak ada sirkulasi oksigen ke seluruh tubuh membuat organ vital dan otak berhenti berfungsi. Tengkorak hancur beberapa bagian dan darah terciprat ke mana-mana.Orang-orang sedang berada lobby terkejut mendengar bunyi amat keras lalu diperlihatkan tubuh tergeletak tak bernyawa. Tak hanya itu penghuni Bel