"Kenapa? Ada sesuatu di mukaku?" tanya Misella bingung. Fahmi menggeleng. "Tidak ada. Wanita selalu begitu. Kalau ditanya soal makanan pasti jawabannya terserah." Misella terkekeh. Hampir semua wanita memang seperti itu. Tampaknya Fahmi bingung memilih menu, jadi Misella berinisiatif bertanya pada waiter. "Kak, menu best seller. dan paling laku di restoran ini apa, ya?" Waiter pun menjelaskan panjang lebar menu yang paling banyak dipesan pengunjung. Waiter sejak tadi melihat interaksi Fahmi dan Misella yang menggemaskan. “Pasti kalian pasangan suami istri yang baru menikah. Romantis sekali,” ceplos waiter dengan kagum dan perasaan iri. Fahmi hanya tersenyum menanggapi ucapan itu. Sadar dengan perkataan barusan, waiter segera meminta maaf telah berkata tidak sopan. “Tidak apa.” Fahmi memaklumi. Akhirnya keduanya memesan banyak makanan. Mungkin tidak akan habis di makan oleh dua orang. Harga makanan tidak usah ditanya. Tentu harga mahal. "Aku nggak mau diet terus, La. Sekali-k
Alia menatap layar ponselnya, kemudian kepala terangkat melihat restoran mewah tepat di matanya. "Alamat restoran ini benar, 'kan?" batin Alia. Sesekali mengecek kembali layar ponsel, untuk melihat lokasi yang Ayora kirimkan apakah benar, dan benar! Itu adalah restoran di mana Fahmi sedang dinner dengan wanita lain. Tidak salah lagi. Kaki panjang Alia melangkah cepat dengan perasaan jantung berdebar. Kedatangan Alia di sambut ramah oleh pelayan yang memberi salam dan mengantarkan ke meja. Sedari tadi mata Alia mencari suaminya diantara banyaknya tamu. Sial! Alia tidak tahu nomor meja suaminya, seharusnya dia bertanya pada Ayora terlebih dahulu. Waiter mendatangi Alia sambil membawa buku menu. "Selamat malam, Kak. Ini menu makan malam hari ini." Alia mengangguk. Dia menerima buku menu itu, membaca menu. Lalu pandangan mata sama sekali tidak fokus pada pelayanan waiter, atau ke buku menu, berkali-kali pandangannya ke sekeliling restoran—mencari-cari. Dalam kondisi seperti ini,
Alia ternganga. Membatin dengan makian favoritnya kata, Sialan. Berani sekali Fahmi memperkenalkan selingkuhan sebagai istri. Fahmi sudah pergi dari restoran saat dia pergi ke toilet. Sekarang, harapan untuk melihat selingkuhannya telah hilang. Wanita itu pulang ke rumah dengan perasaan kekecewaan *** Pukul sebelas malam. Fahmi mengantar Misella pulang sampai di depan rumah. Sebelum turun dari mobil, mereka berdua saling memandang dengan tatapan dalam. Tatapan Fahmi begitu lembut, tatapan itu bertahan lebih dari lima detik—menatap sampai. tersenyum. Misella salah tingkah menyadari tatapan mata dari Fahmi. "Berhenti menatapku seperti itu," pinta Misella. "Kalau kamu terus menatapku. Aku akan turun sekarang." "Lima menit." Fahmi masih menatap Misella. Sebuah tatapan yang tidak pernah diberikan untuk Alia. "Kamu kok cantik banget, sih," puji Fahmi. Benar. Fahmi jatuh cinta pada Misella karena paras cantik wanita itu yang mampu mengikat hatinya hingga sekarang. Lagi pula, siap yan
Alia stres minta ampun. Setelah pulang dari restoran. Dia kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Tanpa mengganti pakaian, tubuhnya ambruk di depan pintu. Lalu beberapa menit berdiri—menjatuhkan badannya di atas tempat tidur, memejamkan mata sesaat sambil membuka tas selempang untuk mengambil ponsel, dan mengecek ponselnya. Tidak ada satu pun panggilan. Mencoba menghubungi Fahmi kembali. Lagi, lagi dan lagi tidak diangkat. "Oh for God's sake! Pick up the fucking phone already!" Sudah tidak tahan lagi. Alia lemparkan ponsel ke sembarang arah sambil berteriak keras agar teriakan melegakan hatinya. Tidak peduli ponsel itu rusak akibat di lempar. Sekarang Alia membutuhkan pelampiasan. "DAMN IT! LELAKI BERENGSEK!" maki Alia, mengungkapkan kekesalan. Lalu Alia pergi ke kamar mandi. Melampirkan peralatan mandi hingga berjatuhan di lantai—berserakan di mana-mana. Di depan wastafel. Alia menjambak rambutnya sendiri sebelum memandang wajahnya di cermin Tidak bisa menangis dalam ko
"Sudah puas menemui wanita lain?" Pertanyaan dengan nada dingin, sedingin es batu “M-maksud kamu?” “Kamu makan malam dengan wanita lain bukan?” Fahmi gelagapan. Tidak berani beradu mata dengan Alia. Sumpah demi apapun. Alia menyeramkan bila sedang marah. "Ti-t-tidak. A-aku dari rumah teman. Erza memintaku untuk menemani makan malam," jawabnya gugup. "Ya ... karena sudah lama tidak keluar malam untuk mencari makan malam dengannya," imbuhnya sebagai alasan. "Tatap mataku!" perintah Alia dengan tidak ingin ada penolakan. Fahmi memberanikan diri menatapnya. Tatapan mata bagaikan jendela hati karena dapat memancarkan perasaan yang lisan sembunyikan. "Mulut bisa berbohong, tetapi tidak dengan mata," pungkas Alia. Fahmi mengunci bibir rapat-rapat. Tak percaya dengan perkataan Alia yang menusuk hatinya. Rupanya perkataan Alia barusan, menyindir dirinya. Hening beberapa saat hingga Alia membuka suara kembali. "Kamu punya wanita lain bukan? Berselingkuh lagi!" Nada suara Alia memelan
Alia memejamkan mata. Air mata menggenang di pelupuk mata, dia tahan agar tidak menetes. "Tiba-tiba berbicara yang tidak masuk akal? Aku sibuk bekerja, selalu lembur. Demi kamu, demi kita. Untuk masa depan kita dan anak kita! Jadi, untuk apa berselingkuh? Membuang waktu saja." Alia harus tegar mendengar perkataan Fahmi yang membuatnya sesak di dada. Namun, namanya wanita mempunyai hati yang lembut. Setegar apapun, tetap saja menangis. Alia memundurkan langkah, tubuhnya merosot di bawah—terduduk tak berdaya. Sudah tidak tahan lagi dan mulai menangis. Bukan ini yang dia harapkan, Alia ingin Fahmi mengatakan jujur bukan sebuah kebohongan. Fahmi mendekati Alia ketika melihat istrinya menangis. Berjongkok di depannya. "Aku tidak berselingkuh, Alia. Kamu adalah wanita yang aku cintai." Fahmi berkata demikian untuk menenangkan Alia. Alia menghapus air matanya. "Aku punya bukti kamu makan malam dengan wanita lain," ucap Alia dengan nada serak dan terisak pelan. Mata Fahmi terbelalak leb
Fahmi baru selesai mandi, dia segera memakai kemeja biru langit, dan jam tangan. Tiba-tiba mendapatkan pesan dari Misella, untung saja tidak ada Alia di kamar.Fahmi membalas pesan, 'Sudah aku bilang. Jangan mengirim pesan ke nomor ini.' Pesan terkirim dan tidak lama menunggu, Misella membalas cepat.'Lalu aku harus mengirimkan pesan ke nomor mana? Nomor kamu satunya tidak aktif sejak semalam.'Oh, iya. Fahmi baru ingat. Dia beberapa hari yang lalu telah membeli ponsel baru dan ponselnya dia taruh di bakasi mobil. Dia bahkan membeli ponsel baru tanpa sepengetahuan Alia.'Nanti aku akan menelfonmu.'Beberapa detik setelah pesan terkirim, Misella menelfon Fahmi. Fahmi mengangkat panggilan itu sambil memastikan Alia tidak akan ke kamar, karena Alia sedang di dapur-biasa membuat sarapan pagi."Good morning, sayang!" sapa Misella dengan suara khasnya.
"Kenapa dia harus melakukannya di situ ketika aku sedang benar-benar merasa kesal, marah, dan kecewa."Leher termasuk bagian area sensitif. Hal itu membuat ciuman di leher sangat intens."Sial!" maki Alia dalam hati. Ciuman di leher membuatnya bertekuk lutut dan tidak mungkin untuk menolak. Akhirnya, Alia lepas kendali. Rasanya luar biasa indah karena leher menjadi zona sensitif seksual.Alia dan Fahmi menjadi terangsang, gila, dan memabukkan. Keduanya kehilangan kendali atas diri sendiri.Fahmi menghentikan ciuman di leher sesaat. Dia berbisik pelan, "So sexy."Bagi Fahmi, tengkuk adalah lekukan tubuh yang indah dan sangat menarik. Menggoda dengan cara mengigit, menjilat, dan meniup leher. Fahmi pun kembali melakukan aksinya.Hingga bunyi ponsel berdering di kantong celana membuat kedua manusia itu menghentikan kegiatan bermesraan dan saling mena