Alia stres minta ampun. Setelah pulang dari restoran. Dia kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Tanpa mengganti pakaian, tubuhnya ambruk di depan pintu. Lalu beberapa menit berdiri—menjatuhkan badannya di atas tempat tidur, memejamkan mata sesaat sambil membuka tas selempang untuk mengambil ponsel, dan mengecek ponselnya. Tidak ada satu pun panggilan. Mencoba menghubungi Fahmi kembali. Lagi, lagi dan lagi tidak diangkat. "Oh for God's sake! Pick up the fucking phone already!" Sudah tidak tahan lagi. Alia lemparkan ponsel ke sembarang arah sambil berteriak keras agar teriakan melegakan hatinya. Tidak peduli ponsel itu rusak akibat di lempar. Sekarang Alia membutuhkan pelampiasan. "DAMN IT! LELAKI BERENGSEK!" maki Alia, mengungkapkan kekesalan. Lalu Alia pergi ke kamar mandi. Melampirkan peralatan mandi hingga berjatuhan di lantai—berserakan di mana-mana. Di depan wastafel. Alia menjambak rambutnya sendiri sebelum memandang wajahnya di cermin Tidak bisa menangis dalam ko
"Sudah puas menemui wanita lain?" Pertanyaan dengan nada dingin, sedingin es batu “M-maksud kamu?” “Kamu makan malam dengan wanita lain bukan?” Fahmi gelagapan. Tidak berani beradu mata dengan Alia. Sumpah demi apapun. Alia menyeramkan bila sedang marah. "Ti-t-tidak. A-aku dari rumah teman. Erza memintaku untuk menemani makan malam," jawabnya gugup. "Ya ... karena sudah lama tidak keluar malam untuk mencari makan malam dengannya," imbuhnya sebagai alasan. "Tatap mataku!" perintah Alia dengan tidak ingin ada penolakan. Fahmi memberanikan diri menatapnya. Tatapan mata bagaikan jendela hati karena dapat memancarkan perasaan yang lisan sembunyikan. "Mulut bisa berbohong, tetapi tidak dengan mata," pungkas Alia. Fahmi mengunci bibir rapat-rapat. Tak percaya dengan perkataan Alia yang menusuk hatinya. Rupanya perkataan Alia barusan, menyindir dirinya. Hening beberapa saat hingga Alia membuka suara kembali. "Kamu punya wanita lain bukan? Berselingkuh lagi!" Nada suara Alia memelan
Alia memejamkan mata. Air mata menggenang di pelupuk mata, dia tahan agar tidak menetes. "Tiba-tiba berbicara yang tidak masuk akal? Aku sibuk bekerja, selalu lembur. Demi kamu, demi kita. Untuk masa depan kita dan anak kita! Jadi, untuk apa berselingkuh? Membuang waktu saja." Alia harus tegar mendengar perkataan Fahmi yang membuatnya sesak di dada. Namun, namanya wanita mempunyai hati yang lembut. Setegar apapun, tetap saja menangis. Alia memundurkan langkah, tubuhnya merosot di bawah—terduduk tak berdaya. Sudah tidak tahan lagi dan mulai menangis. Bukan ini yang dia harapkan, Alia ingin Fahmi mengatakan jujur bukan sebuah kebohongan. Fahmi mendekati Alia ketika melihat istrinya menangis. Berjongkok di depannya. "Aku tidak berselingkuh, Alia. Kamu adalah wanita yang aku cintai." Fahmi berkata demikian untuk menenangkan Alia. Alia menghapus air matanya. "Aku punya bukti kamu makan malam dengan wanita lain," ucap Alia dengan nada serak dan terisak pelan. Mata Fahmi terbelalak leb
Fahmi baru selesai mandi, dia segera memakai kemeja biru langit, dan jam tangan. Tiba-tiba mendapatkan pesan dari Misella, untung saja tidak ada Alia di kamar.Fahmi membalas pesan, 'Sudah aku bilang. Jangan mengirim pesan ke nomor ini.' Pesan terkirim dan tidak lama menunggu, Misella membalas cepat.'Lalu aku harus mengirimkan pesan ke nomor mana? Nomor kamu satunya tidak aktif sejak semalam.'Oh, iya. Fahmi baru ingat. Dia beberapa hari yang lalu telah membeli ponsel baru dan ponselnya dia taruh di bakasi mobil. Dia bahkan membeli ponsel baru tanpa sepengetahuan Alia.'Nanti aku akan menelfonmu.'Beberapa detik setelah pesan terkirim, Misella menelfon Fahmi. Fahmi mengangkat panggilan itu sambil memastikan Alia tidak akan ke kamar, karena Alia sedang di dapur-biasa membuat sarapan pagi."Good morning, sayang!" sapa Misella dengan suara khasnya.
"Kenapa dia harus melakukannya di situ ketika aku sedang benar-benar merasa kesal, marah, dan kecewa."Leher termasuk bagian area sensitif. Hal itu membuat ciuman di leher sangat intens."Sial!" maki Alia dalam hati. Ciuman di leher membuatnya bertekuk lutut dan tidak mungkin untuk menolak. Akhirnya, Alia lepas kendali. Rasanya luar biasa indah karena leher menjadi zona sensitif seksual.Alia dan Fahmi menjadi terangsang, gila, dan memabukkan. Keduanya kehilangan kendali atas diri sendiri.Fahmi menghentikan ciuman di leher sesaat. Dia berbisik pelan, "So sexy."Bagi Fahmi, tengkuk adalah lekukan tubuh yang indah dan sangat menarik. Menggoda dengan cara mengigit, menjilat, dan meniup leher. Fahmi pun kembali melakukan aksinya.Hingga bunyi ponsel berdering di kantong celana membuat kedua manusia itu menghentikan kegiatan bermesraan dan saling mena
Pagi-pagi sekali, Misella disidang oleh kedua orang tuanya. Papa Misella berwajah sangar menatap Misella dengan tatapan serius, jiwa ketegasan bisa terbaca di raut wajahnya. Sedangkan, Mamanya? Seseorang ibu gaya sosialita, high class.Sebenarnya Misella akan kabur dari rumah secara diam-diam, tetapi Robert—ayah Misella— telah menghadangnya dengan tatapan tajam dan melempar koper ke sembarang arah lalu menyuruh Misella duduk di ruang tengah.Alhasil rencana kabur gagal total.“Mau kemana kamu?” Pertanyaan nada dingin dari Robert. “Membawa koper segala!”“A-aku mau pindah ke apartemen, Pa,” jawab Misella terbata-bata.Tiffany, Mama Misella terkejut mendengar penuturan putrinya. “Apa yang kamu katakan, sayang. Pindah?”Hening.Misella tidak menjawab.Robe
Alia menggerutu kesal.Mengapa jalannya menjadi ramai dan macet. Dia sudah ketinggalan jauh, mobil Fahmi hampir tidak terlihat lagi di matanya.Alia mengendarai mobil dengan ngebut. Berusaha menyalip kendaraan lain. Tidak peduli akan terjadi kecelakaan dan nyawa menjadi taruhan. Pikiran sudah kacau sedari tadi.Citttt ...!!!Alia menginjak rem secara mendadak.Oh, shit!Lampu merah.“Akkhh!” Alia mengerang, memegangi kepalanya. Terus menggerutu tidak jelas. Bahkan menyalahkan lampu merah. “Kenapa harus ada lampu merah di saat aku sedang menjadi mata-mata!”Hei. Itu bukan kesalahan lampu merah.Ya. Alia tahu itu.Alia hanya butuh pelampiasan, menggerutu di dalam mobil seperti orang gila yang berbicara sendiri.
Fahmi membantu Misella membawa koper. Mereka telah sampai di apartemen barunya. Apartemen mewah, bahkan lebih mewah dari rumah Fahmi. Harganya tentu saja mahal sekali. Apartemen itu memang hanya untuk kalangan atas, untuk artis, dan untuk orang berduit.Mereka berdua berkeliling untuk melihat setia sudut ruangan.Misella terkagum. "Wow ... kayaknya aku bakal betah tinggal di sini deh, Mas." Rasanya bahagia dan senang. "Bagus banget!""Kamu suka,'kan?"Wanita itu mengangguk antusias. "Suka banget! Thanks, ya, Mas." Misella memeluk erat Fahmi. "Jadi, kita nggak perlu capek bolak-balik tidur di hotel. Kamu bisa datang ke sini kapan saja."***"Ada apa denganmu? Kamu sakit?"Pertanyaan dari Bu Linda, sedari tadi memperhatikan Alia yang lesu dan tidak semangat bekerja."Tidak apa. Aku tidak sakit, hanya s