“Tadi menelpon dengan siapa, Mas?” “D-dengan---” “Dengan wanita?” tebak Alia “Bukan, Alia.” Menggeleng kepala bertanda tebakan Alia salah. “Dengan Erza. Ya, dengan Erza. Sahabatku.” Fahmi membohongi Alia. *** “Kamu mau tidur?” tanya Fahmi pada Alia yang baru selesai cuci muka. “Ada hal yang ingin aku bahas, La.” Alia duduk di meja rias. mengelap wajah yang basah dengan tisu. Sama sekali tidak menoleh sedikit pun ke lawan bicara. “Tentang apa, Mas?” Alia memakai skincare dan krim malam sebelum tidur. “Duduklah di sampingku,” perintah Fahmi. Sejujurnya Alia malas berbicara dengan Fahmi. Dia ingin secepatnya tidur, namun lelaki itu mengajaknya berbicara—entah apa yang akan dibahas. Istri mana yang mampu bertahan dengan semua kebohongan suami? Alia sudah kecewa dan muak tapi sekarang berpura-pura seakan tidak ada apa-apa. Sampai kapan dia berpura-pura? Berpura-pura bodoh, berpura-pura polos, dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Nyatanya, Alia sedang berjuang mencari tahu ke
“Good morning, sayang,” sapa Fahmi dengan suara serak. Alia menghentikan aktivitas membuat sarapan pagi saat tangan Fahmi melingkarkan di pinggangnya—memeluk Alia dari belakang dengan manja. “Pagi juga, Mas,” balas Alia. Fahmi baru bangun tidur dengan rambut berantakan, tidak menurunkan kadar kadar ketampanannya—justru lebih tampan dari biasanya. “Hari ini aku shift malam. Jadi, aku bisa bersantai di rumah,” ujarnya memberi tahu pada Alia. “Aku tahu, Mas.” Kening Fahmi berkerut. “Tahu dari mana? Aku belum mengatakan padamu.” “Aku baca schedule di lembar kertas yang sudah di print di meja belajar. Mas yang menaruh schedule di sana.” “Oh, iya. Aku lupa.” Lagi pula. Alia tidak ingin membuat Fahmi marah-marah saat bangun kesiangan karena masuk shift pagi. Jadi, Alia selalu membaca jadwal kerja Fahmi. “Aku juga jaga malam, Mas.” Alia memberi tahu pada Fahmi. “Mandi dulu sana, lalu sarapan,” usir Alia. Kegiatan membuat sarapan menjadi tergantung kala kedatangan Fahmi, apalagi tan
Fahmi tidak bisa berkata-kata, memberikan Alia melakukannya sendiri. Alia menunduk malu-malu setelah menyadari bajunya menerawang hingga dalaman terlihat jelas.“Maaf, Mas. Aku baru sadar,” ucap Alia lirih, pipinya merah merona.Fahmi terkekeh sakastis melihat wajah polos dan ekspresi malu-malu dari Alia. Lelaki itu mencondongkan badannya, menatap Alia sebentar lalu berbisik lembut di telinga Alia, “Kau sangat menggoda, Sayang.”Sudah kelewat lama Fahmi tidak menggoda dirinya. Alia menjad gelagapan mendengar apa yang Fahmi katakan. Menggoda? Alia rasa berpakaian biasa saja, sama sekali tidak terbuka dan tidak sexy—hanya nerawang.“Kamu tahu apa yang membuat aku tergoda?”Alia tidak menjawab.Mata Fahmi terfokus wajah Alia. “Ini ....”Mata Alia terbelalak lebar.
“Please, stop!” Suara Alia tertahan.“No!” Jawaban singkat.Sial! Alia tidak bisa melawan. Tubuhnya menginginkan lebih dari sebuah sentuhan jemari Fahmi. Akhirnya Alia pasrah.Bibir Fahmi membungkam Alia. Alia membalas ciuman Fahmi. Tangan yang semula di atas paha berpindah tempat. Menelusup dalam kaos, meremas dada Alia yang masih terbungkus lalu Fahmi melepaskan pakaian yang Alia kenakan hingga Alia telanjang dada.Alia mendesah kenikmatan ketika Fahmi menggoda bagian puncak dua benda kenyal.Kemudian Fahmi menarik celana pendek Alia. Jemari lentiknya gencar menekan-nekan milik Alia sambil bermain lidah di puting.Alia ingin memberontak, sementara tangan Fahmi merobek kasar celana dalam Alia dengan kasar. Berkali-kali Alia menggigit bibir bawahnya dan menggeleng kepala agar Fahmi mengakhiri permainan di pagi hari. D
Mobil berhenti tepat di depan rumah mewah, besar, dan bertingkat. Pemilik rumah itu adalah seorang kaya raya. Lelaki di dalam mobil membuka kaca jendela untuk menyapa seseorang yang telah menunggu. Dengan wajah berseri menyapa, "Hai. Apa aku membuatmu menunggu lama?" "Nggak. Aku baru saja menunggumu di sini." Kepala Fahmi agak sedikit menunduk, melihat keadaan rumah mewah itu. "Kok sepi?" "Iya, Mas. Keluarga aku lagi keluar semua. Makanya aku minta kamu buat jemput aku. Biar aku nggak kesepian." Fahmi tersenyum. "Masuklah." Wanita itu masuk ke mobil Fahmi. Wanita itu tak lain adalah Misella. Wanita berparas cantik bak bidadari, kulit putih bersih dan body mulus. Berprofesi sebagai psikiater. Bisa dibilang, keluarga Misella semuanya orang berpendidikan. Banyak lelaki mendekatinya, tapi kenapa harus mencintai seseorang yang sudah mempunyai istri? Itu hal gila. Atas dasar cinta tanpa disadari menyakiti orang lain. Yaitu Alia. Jam setengah delapan malam. Malam ini Fahmi menjem
"Kenapa? Ada sesuatu di mukaku?" tanya Misella bingung. Fahmi menggeleng. "Tidak ada. Wanita selalu begitu. Kalau ditanya soal makanan pasti jawabannya terserah." Misella terkekeh. Hampir semua wanita memang seperti itu. Tampaknya Fahmi bingung memilih menu, jadi Misella berinisiatif bertanya pada waiter. "Kak, menu best seller. dan paling laku di restoran ini apa, ya?" Waiter pun menjelaskan panjang lebar menu yang paling banyak dipesan pengunjung. Waiter sejak tadi melihat interaksi Fahmi dan Misella yang menggemaskan. “Pasti kalian pasangan suami istri yang baru menikah. Romantis sekali,” ceplos waiter dengan kagum dan perasaan iri. Fahmi hanya tersenyum menanggapi ucapan itu. Sadar dengan perkataan barusan, waiter segera meminta maaf telah berkata tidak sopan. “Tidak apa.” Fahmi memaklumi. Akhirnya keduanya memesan banyak makanan. Mungkin tidak akan habis di makan oleh dua orang. Harga makanan tidak usah ditanya. Tentu harga mahal. "Aku nggak mau diet terus, La. Sekali-k
Alia menatap layar ponselnya, kemudian kepala terangkat melihat restoran mewah tepat di matanya. "Alamat restoran ini benar, 'kan?" batin Alia. Sesekali mengecek kembali layar ponsel, untuk melihat lokasi yang Ayora kirimkan apakah benar, dan benar! Itu adalah restoran di mana Fahmi sedang dinner dengan wanita lain. Tidak salah lagi. Kaki panjang Alia melangkah cepat dengan perasaan jantung berdebar. Kedatangan Alia di sambut ramah oleh pelayan yang memberi salam dan mengantarkan ke meja. Sedari tadi mata Alia mencari suaminya diantara banyaknya tamu. Sial! Alia tidak tahu nomor meja suaminya, seharusnya dia bertanya pada Ayora terlebih dahulu. Waiter mendatangi Alia sambil membawa buku menu. "Selamat malam, Kak. Ini menu makan malam hari ini." Alia mengangguk. Dia menerima buku menu itu, membaca menu. Lalu pandangan mata sama sekali tidak fokus pada pelayanan waiter, atau ke buku menu, berkali-kali pandangannya ke sekeliling restoran—mencari-cari. Dalam kondisi seperti ini,
Alia ternganga. Membatin dengan makian favoritnya kata, Sialan. Berani sekali Fahmi memperkenalkan selingkuhan sebagai istri. Fahmi sudah pergi dari restoran saat dia pergi ke toilet. Sekarang, harapan untuk melihat selingkuhannya telah hilang. Wanita itu pulang ke rumah dengan perasaan kekecewaan *** Pukul sebelas malam. Fahmi mengantar Misella pulang sampai di depan rumah. Sebelum turun dari mobil, mereka berdua saling memandang dengan tatapan dalam. Tatapan Fahmi begitu lembut, tatapan itu bertahan lebih dari lima detik—menatap sampai. tersenyum. Misella salah tingkah menyadari tatapan mata dari Fahmi. "Berhenti menatapku seperti itu," pinta Misella. "Kalau kamu terus menatapku. Aku akan turun sekarang." "Lima menit." Fahmi masih menatap Misella. Sebuah tatapan yang tidak pernah diberikan untuk Alia. "Kamu kok cantik banget, sih," puji Fahmi. Benar. Fahmi jatuh cinta pada Misella karena paras cantik wanita itu yang mampu mengikat hatinya hingga sekarang. Lagi pula, siap yan