Alia menatap Fahmi dengan sorot mata redupnya. “Enggak, Mas. Aku nggak buka ponsel kamu,” jawab Alia meyakinkan. Fahmi menggeleng, tidak percaya. Jelas-jelas Alia membuka ponselnya saat dia tidur. “Kenapa, sih? Kamu ingin lihat apa? Mau tahu apa? Katakanlah padaku secara langsung. Jangan secara sembunyi-sembunyi seperti ini. Kamu rela berbohong.” Alia diam. Hanya mendengar perkataan panjang dari Fahmi, suara begitu lembut, enak didengar, dan tidak terdengar marah. Oke. Alia mengaku. Dirinya salah. Telah berani membuka ponsel tanpa seizin dari pemilik. Tapi, Alia lakukan demi dirinya di masa depan. Membongkar perselingkuhan. “Jawab saja. It's okay,” ucap Fahmi lagi. Alia memalingkan wajahnya. Sorot matanya berubah dratis. “Kalau kamu diam-diam mengecek ponselku. Itu akan menambah beban pikiran kamu, dan menambah masalah. Jadi, apapun yang ingin kamu tahu. Katakan padaku.” Sumpah. Demi apapun. Alia tidak bisa membalas perkataan Fahmi yang sejak tadi berbicara. “Kenapa diam? P
Selesai sarapan, Alia mengganti bajunya dan bersiap-siap pergi ke rumah sakit. “Mau aku antar, Nona?” tawar Fahmi saat Alia turun dari tangga. “Tidak perlu. Kita berangkat sendiri-sendiri saja,” tolak Alia. Dia mencium punggung tangan Fahmi. “Aku berangkat dulu, ya, Mas. Jangan lupa nanti pintu di kunci.” *** Fahmi segera menaiki lift menuju ruang tempat dia akan bekerja. Di rumah sakit Havanna, Fahmi cukup terkenal sebagai seorang dokter kandungan dengan keberaniannya melakukan operasi caesar dan menempuh resiko demi menyelamatkan bayi dan ibunya. Seperti biasa aktivitas rumah sakit sangat sibuk khususnya ruang tunggu pasien. Para dokter dan suster pun sangat sibuk. Fahmi pergi ke tempat perawatan bayi-bayi yang baru lahir. Di sana ada para suster sedang sibuk menenangkan para bayi dan memberi mereka air susu. Fahmi tersenyum melihat para bayi tersenyum dan menangis dengan khas bayi. Sambil melihat bayi menggemaskan, Fahmi berpikir semenjak menikah dengan Alia—belum pernah mem
Alia dan Ayora selesai dinas, pulang lebih awal dari biasanya. Karena sudah lama tidak nongkrong bareng, akhirnya mereka berdua pergi ke cafe terdekat rumah sakit. Alia juga ingin berbicara sesuatu yang penting pada Ayora. Dia memesan Taro Milk Tea, sedangkan Ayora Ice Caramel Macchiato. “La, kamu masih menghindari Dokter Abian?” tanya Ayora. “Sudahlah. Jangan dipikirkan, lagipula kamu sudah mempunyai suami. Tidak mungkin dia berbuat macam-macam sama kamu.” Ayora masih berpikir positif tentang Abian. “Aku merasa bersalah padanya, Ra.” “Why?” “Sejak aku menolak pernyataan cintanya,” jawab Alia. “Aku lebih memilih Fahmi, dibandingkan Abian. Pasti dia kecewa dan patah hati.” “Ini bukan salah kamu, kok. Cinta itu tidak perlu dipaksakan.” Ayora membesarkan hati Alia. “Kamu berhak untuk memilih, siapa yang akan menjadi pendamping hidupmu dan siapa yang akan menjadi suamimu.” Pesanan mereka datang. “Permisi. Ini pesanan kakak.” Waiters meletakkan pesanan dua minuman di meja. “Ada tam
“Selamat sore. Maaf ... ini dengan siapa?” Suara itu ...? Alia dan Ayora saling memandang satu sama lain setelah mendengar suara wanita. Sabar. Alia tidak ingin bergerak gegabah. Harus tetap tenang, walaupun semakin yakin kalau Genta nama palsu di kontak Fahmi, aslinya seorang wanita bernama Sella. “Hallo ...” Suara wanita itu terdengar lagi. Alia memberi isyarat untuk segera mematikan panggilan itu. Ayora menyadari perubahan ekspresi dari Alia setelah mendengar suara wanita. Pasti dadanya merasa ditekan hebat. “La, are you okay?” Tangan Ayora menggenggam tangan Alia. Alia mengangguk kecil. “Ya. Aku baik-baik saja,” jawabnya diakhiri senyuman. Alia tidak mau kelewat cemburu. Dia menarik napas pelan-pelan, hanya cara itulah untuk menenangkan pikiran. “Suara itu ... tidak asing di telingaku. Sepertinya aku pernah mendengar. Tapi di mana? Dan siapa wanita itu?” *** Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Misella yang baru saja selesai mandi mematutkan diri di depan cermin—mej
Fahmi menutup pintu kamar, melangkah ke balkon kamar—melihat kegelapan malam. Bahkan bintang tidak tidak ada satupun yang menyala, hanya ada bulan. Dia mulai membalas pesan setelah melihat foto Misella yang baru di kirim. 'You look so sexy, Sella.' Benar-benar cantik dan sexy di mata Fahmi. Lalu Fahmi menelfon wanita itu. Panggilan langsung terjawab tanpa menunggu lama. Ah, pasti Misella menunggu balasan Fahmi sedari tadi. “Hei. Maaf membuat kamu menunggu. Tadi di bawah ada Alia. So, aku harus cari alasan biar bisa ngobrol sama kamu,” jelas Fahmi. “Aku mengerti. Kita sulit untuk berhubungan karena ada Alia.” Diseberang sana Misella memaklumi. “Thanks. Kamu selalu ngertiin aku.” Fahmi tidak menyesali bertemu kembali dengan Misella, walaupun Misella pernah meninggalkan dirinya dan membuatnya dunia terasa hancur. Bagaimana tidak hancur? Pernikahan gagal total hanya karena mempelai wanita kabur dari rumah. Sekarang Fahmi tidak bisa melepaskan Misella. Lelaki itu belum mampu un
“Tadi menelpon dengan siapa, Mas?” “D-dengan---” “Dengan wanita?” tebak Alia “Bukan, Alia.” Menggeleng kepala bertanda tebakan Alia salah. “Dengan Erza. Ya, dengan Erza. Sahabatku.” Fahmi membohongi Alia. *** “Kamu mau tidur?” tanya Fahmi pada Alia yang baru selesai cuci muka. “Ada hal yang ingin aku bahas, La.” Alia duduk di meja rias. mengelap wajah yang basah dengan tisu. Sama sekali tidak menoleh sedikit pun ke lawan bicara. “Tentang apa, Mas?” Alia memakai skincare dan krim malam sebelum tidur. “Duduklah di sampingku,” perintah Fahmi. Sejujurnya Alia malas berbicara dengan Fahmi. Dia ingin secepatnya tidur, namun lelaki itu mengajaknya berbicara—entah apa yang akan dibahas. Istri mana yang mampu bertahan dengan semua kebohongan suami? Alia sudah kecewa dan muak tapi sekarang berpura-pura seakan tidak ada apa-apa. Sampai kapan dia berpura-pura? Berpura-pura bodoh, berpura-pura polos, dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Nyatanya, Alia sedang berjuang mencari tahu ke
“Good morning, sayang,” sapa Fahmi dengan suara serak. Alia menghentikan aktivitas membuat sarapan pagi saat tangan Fahmi melingkarkan di pinggangnya—memeluk Alia dari belakang dengan manja. “Pagi juga, Mas,” balas Alia. Fahmi baru bangun tidur dengan rambut berantakan, tidak menurunkan kadar kadar ketampanannya—justru lebih tampan dari biasanya. “Hari ini aku shift malam. Jadi, aku bisa bersantai di rumah,” ujarnya memberi tahu pada Alia. “Aku tahu, Mas.” Kening Fahmi berkerut. “Tahu dari mana? Aku belum mengatakan padamu.” “Aku baca schedule di lembar kertas yang sudah di print di meja belajar. Mas yang menaruh schedule di sana.” “Oh, iya. Aku lupa.” Lagi pula. Alia tidak ingin membuat Fahmi marah-marah saat bangun kesiangan karena masuk shift pagi. Jadi, Alia selalu membaca jadwal kerja Fahmi. “Aku juga jaga malam, Mas.” Alia memberi tahu pada Fahmi. “Mandi dulu sana, lalu sarapan,” usir Alia. Kegiatan membuat sarapan menjadi tergantung kala kedatangan Fahmi, apalagi tan
Fahmi tidak bisa berkata-kata, memberikan Alia melakukannya sendiri. Alia menunduk malu-malu setelah menyadari bajunya menerawang hingga dalaman terlihat jelas.“Maaf, Mas. Aku baru sadar,” ucap Alia lirih, pipinya merah merona.Fahmi terkekeh sakastis melihat wajah polos dan ekspresi malu-malu dari Alia. Lelaki itu mencondongkan badannya, menatap Alia sebentar lalu berbisik lembut di telinga Alia, “Kau sangat menggoda, Sayang.”Sudah kelewat lama Fahmi tidak menggoda dirinya. Alia menjad gelagapan mendengar apa yang Fahmi katakan. Menggoda? Alia rasa berpakaian biasa saja, sama sekali tidak terbuka dan tidak sexy—hanya nerawang.“Kamu tahu apa yang membuat aku tergoda?”Alia tidak menjawab.Mata Fahmi terfokus wajah Alia. “Ini ....”Mata Alia terbelalak lebar.