“KAMU TULI?! AKU BILANG. AKU TIDAK LAPAR, ALIA!!!” bentak Fahmi dengan nada tinggi. Kedua bola mata menatap tajam ke Alia.
DEG!
Jantung Alia berdetak hebat. Dia tersentak kaget. Matanya sama sekali tidak berkedip. Pagi-pagi Alia sudah mendapatkan bentakan dari sang suami.
“Kenapa kamu jadi membentakku?!” Alia tidak terima dibentak olehnya. “Memangnya aku salah menyuruhmu untuk sarapan?! Aku istrimu, Mas! Kalau kamu tidak mau sarapan, it's okay. Tidak perlu membentak segala!” cerocos Alia.
Fahmi mengacak rambutnya hingga berantakan, kepalanya pening pagi-pagi sudah ribut dengan istrinya. Sadar telah membentak Alia dengan suara keras. Ada rasa penyesalahan sedikit telah membentak Alia. Fahmi tahu Alia type wanita yang tidak suka dibentak.
“Maaf telah membentakmu,” sesal Fahmi. “Sudahlah aku berangkat sekarang,” pamitnya.
Lelaki itu langsung meninggalkan Alia tanpa mencium keningnya seperti dulu lagi. Padahal tadi Alia akan mendekati Fahmi untuk menyalaminya, tapi Fahmi menghiraukan itu.
Dada Alia terasa ditekan hebat. Mendadak bad mood.
Sampai kapan terus begini? Baru pertama kali Fahmi membentak dirinya. Sudah berapa kali Fahmi tidak makan masakannya?
Apakah Alia sanggup di sampingnya?
“Lupakan masalah pagi ini,” gumam Alia.
Alia harus bergegas berangkat kerja. Dia sudah tidak napsu sarapan. Nasi goreng buatannya tergeletak di atas meja tanpa ada yang menyentuh.
Ya. Masakan Alia akan terbuang sia-sia lagi.
***
“Ke kantin yuk!” ajak Ayora.
Wanita itu sahabat Alia semenjak Alia bekerja di rumah sakit itu. Dia seorang perawat seperti Alia—perinatologi—pelayanan khusus bagi bayi baru lahir.
“Kamu belum sarapan, kan?” tebaknya.
Alia menggeleng pelan. Pikirannya kacau, mood-nya buruk. Cara Fahmi membentak dirinya masih berputar-putar di kepala, Alia masih mengingat hal itu.
“Gofood aja, Ra. Ada diskon gede soalnya,” usul Alia.
Alia tidak bersemangat hari ini, jadi malas gerak untuk pergi ke kantin.
“Ya udah kamu pesan makanan di gofood, tapi kamu harus nemenin aku ke kantin, ya!” Ayora bersemangat.
“Ah, nggak mau,” tolak Alia.
Ayora cemberut. “Kenapa?” tanyanya dengan ekspresi kesal. “Tumben nggak mau ke kantin. Awas aja kalau besok-besok kamu minta ditemenin,” dengusnya bak anak kecil yang tidak diperbolehkan membeli mainan.
Alia tertawa.
Sifat sahabatnya memang kekanak-kanakan, tapi dia selalu ada di saat Alia sedih, banyak masalah, dan selalu memberi semangat apa yang terjadi pada Alia. Ayora selalu memberikan bahunya untuk bersandar. Jaman sekarang mencari teman yang tulus susah sekali, beruntung Ayora selalu ada untuknya.
“Aku lagi malas buat ke kantin, Ra.” Suara Alia terdengar lemas.
“Malas ketemu Abian juga?” Satu alis Ayora terangkat, menggoda Alia.
Ah, lelaki itu! Seketika Alia ingat kejadian bersama Abian.
Refleks Alia meninju bahu sahabtnya. “Apaan sih kamu!”
Ayora nyengir tanpa dosa. “Lagian Abian baik kok. Kenapa kamu menghindarinya?”
Alia tidak mengerti pemikiran sahabatnya itu. Abian baik? Haha. Cukup Alia yang tahu sifat dan sikap buruknya Abian.
“Seberapa keras aku menghindarinya, tetap saja aku bertemu dengan Abian.”
Fakta! Buktinya kejadian kemarin sore, Alia tidak sengaja bertemu Abian.
***
Kling!
Pesan masuk terdengar dari aplikasi chat. Dahinya berkerut, tak mengenali nomor masuk dan Alia sadar nomor itu telah menghubunginya beberapa hari yang lalu. Beberapa detik Alia membanting gusar ponselnya ke meja setelah melihat isi chat tersebut.
Ekspresi berubah dalam hitungan detik, Alia menggertakkan giginya, dan hatinya mulai panas ditambah keringat dingin mulai bercucuran.
Lagi dan lagi Alia dibuat penasaran.
Sebenarnya siapa nomor misterius itu?
Berani sekali mengirimkan foto Fahmi sedang bermesraan bersama wanita berjas putih bersih, walaupun di foto tersebut tak nampak wajah suaminya seperti biasa foto diambil secara diam-diam. Alia tahu persis perawakan lelaki tinggi itu adalah benar-benar suaminya.
Alia menggigit kukunya untuk berusaha tenang. Ingat! Sekarang sedang di jam dinas. Jangan sampai menggerutu tentang masalah pribadi saat di tempat kerja.
Sesekali matanya melirik ponsel tergeletak agak jauh dari posisinya, layar ponsel masih menyala menampakkan foto itu.
SIAL!
Alia tidak tahan lagi dan sudah muak. Alia semakin percaya bahwa Fahmi benar-benar berselingkuh dengan salah satu dokter di rumah sakit Havanna.
Jari-jari Alia mendadak kaku. Rasanya berat. Dia sudah hancur berkeping-keping. Bingung apa yang harus dilakukan.
“Bagaimana aku harus menghadapi masalah ini? Aku lelah. Aku muak!”
Fahmi dan Misella sedang menikmati makan siang di kantin, beruntung keadaan kantin tidak ramai, jadi kedua orang itu menikmati waktu berduaan tanpa ada gangguan suara berisik. Lebih beruntung kali ini Erza tak ikut makan siang bersama mereka. “Tumben nggak bawa bekal makan siang. Biasanya kamu bawa bekal makan siang dari istrimu,” celutuk Misella setelah menyadari Fahmi memesan makanan kantin. “Hari ini Istri kamu nggak masak, Mas?” tebak Misella. Fahmi terdiam sesaat, kalau dipikir-pikir semakin hari hubungan dengan Alia semakin tak begitu dekat layaknya pasangan suami istri, justru Fahmi semakin lengket dengan Misella. Sebelum menjawab, Fahmi meraih energy drink-nya. Meneguk cukup banyak. “Hari ini dia nggak masak, Sel.” Mendengar itu, Misella agak kesal pada Alia. “Istri macam apa itu tidak memasak untuk suaminya. Membiarkan suaminya kelaparan,” dumel Misella. “Sudah jangan dibahas. Cepat habiskan makan siang dahulu,” perintah Fahmi. Misella memotong daging chicken steak it
Zeta menemui Misella untuk memberi nasehat agar tidak marah seperti tadi kepada ibu pasien, seharusnya Misella tahu betapa terpukulnya Ibu pasien ketika Putrinya bunuh diri yang hampir merebut nyawanya. “Kamu tidak bisa mengontrol emosimu? Kamu itu Dokter psikiater! Seharusnya tidak seperti itu kepada Ibu pasien!” ucap Zeta kesal. “Aku berteriak kepadanya, meneriaki bahwa dia hampir membunuh putrinya, Itu bukankah masalah besar,” jawab Misella enteng. Zeta tersenyum miring. “Bukan masalah besar katamu?!” Misella menghela napas. “Chintya, dia pasienku yang tidak mau diterapi dan ibunya membawa kabur dari rumah sakit.” “Sekarang putrinya, apa kamu ingin melihat ibunya yang dirawat psikiatri?” tanya Zeta dengan nada menyindir. Misella diam. Sejak dirinya mempunya mental illnes juga, dia menjadi sensitif pada orang yang yang mencoba bunuh diri, karena Misella beberapa kali pernah melakukan bunuh diri namun gagal. “Jika pasien meninggal, kamu memang akan kehilangan satu dari ribuan
Paksaan dari Misella membuatnya tidak ada pilihan lain. Tanpa pikir panjang lagi, Fahmi menyalakan mobilnya dan langsung menuju ke rumah Misella dengan kecepatan tinggi. Kira-kira membutuhkan sekitar waktu dua puluh menit agar sampai di rumah Misella. Sesampai di rumah Misella. Misella menyuruh Fahmi masuk setelah membuka pintu dan mengajak ke kamar lantai atas. Fahmi kaget setengah mati melihat barang-barang Misella berserakan di lantai bagaikan kapan pecah. "Are you okay?" tanya Fahmi dengan hati-hati, menghampiri Misella yang tidak seperti biasanya. "Tell me your problems, Baby ...." "I need you," ucap Misella dengan suara lirih dan tatapan mata redup. "Can you hug me?" Fahmi mengangguk. Tidak lupa memberikan senyuman lebar. "Of course, come here." Kedua tangan Fahmi terbuka lebar membiarkan Misella memeluk dirinya. "Kamu aman." "Five minutes." "Okay." Fahmi paham, dia memeluk erat tubuh Misella, sesekali mengecup pucuk kepala Misella, dan mengelus punggung Misella agar ten
Sentuhan menggelora. Begitu memabukkan.Misella bergerak gelisah menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh Fahmi. Kecupan di atas kulitnya. Sentuhan kilat yang mengatakan kepada Misella bahwa dirinya adalah milik Fahmi. Fahmi mencium perut Misella. Seluruh tubuh Misella bergetar. Kakinya mengejang. Misella ingin menjerit kala Fahmi menyatukan tubuhnya dengan Misella, lelaki itu terus mendesaknya dan hanya desahan yang keluar dari Fahmi. Sedangkan Misella menggigit bibir bawahnya, bukan karena rasa sakit namun karena rasa nikmat tiada tara.Fahmi meraung. Misella mengalungkan tangan di leher Fahmi, membiarkan milik Fahmi bekerja di mana seharusnya berada. Keduanya saling menatap dengan tatapan sayu, mulut setengah menganga sambil mendesah. Lalu Fahmi juga memainkan bibir Misella dan menggigit bibir bawahnya hingga kaki Misella lemas. Fahmi juga menunjukkan kemampuan bermain lidah dengan handal. Permainan Fahmi semakin membuatn
Hari berganti hari, Minggu berganti minggu. Tidak terasa sudah satu bulan.Malam ini hujan deras mengguyur kota Jakarta. Fahmi turun dari mobilnya, berlari sambil menutupi kepalanya dengan jas hitamnya. Fahmi masuk ke dalam rumah dengan keadaan sedikit basah, melepaskan sepatu pantofelnya dan memakai saldal rumah yang telah disediakan oleh Alia. Lelaki itu melangkah menuju kamarnya, membuka pelan pintu kamar agar kepulangannya tidak membuat Alia terbangun. Dia segera mengganti pakaian tidurnya untuk segera tidur.Fahmi melihat Alia tengah tertidur miring. Fahmi menelan saliva memperhatikan tubuh Alia yang hanya memakai lingerie, mempertontonkan punggung mulusnya. Sudah lama sekali Fahmi tak melihat istrinya memakai lingerie. Fahmi menaiki ranjang, membelai pipi Alia dengan lembut, menyelipkan helai rambut ke daun telinga, hal itu membuat Alia terbangun.“Kamu baru pulang?” tanya Alia dengan suara serak
Sebuah sensasi sangat luar biasa dirasakannya saat sebuah kehangatan menyentuh puncuk bagian dadanya berganti dari kanan ke kiri dan kembali lagi beberapa kali.“Oh, my God! Sial!" maki Alia dengan suara tertahan.Dia sangat menyukai permainan Fahmi. Alia paham sekali bagian tubuh yang sangat ingin suaminya sentuh adalah dua gundukan daging kenyal. Liat! Fahmi melahap tanpa henti seperti bayi kelaparan dan kehausan, kedua gundukan menggemaskan selalu membuatnya begitu tegang.Bisa dibilang sudah terlalu lama keduanya tidak merasakan kenikmatan hubungan suami istri dan syukur kini mampu merasakan arti dari rasa nikmat yang sesungguhnya.Fahmi melebarkan kaki Alia dengan tidak sabar dan menyuruh menaikkan pinggulnya sedikit. Seperti yang dibayangkan Fahmi, Alia mengeluarkan desahan panjang saat sesuatu berusaha masuk ke dalam miliknya dan berhasil untuk menjelajah celah sesak it
Satu jam Alia berdandan di depan meja rias. Kali ini dia ingin membuat Fahmi terpesona, jadi harus berdandan cantik bak unnie Korea. Sempat bingung memakai pakaian yang cocok untuknya karena jarang sekali keluar rumah kecuali bekerja. Terlalu lama memilih, jadi memutuskan untuk memakai dress vintage. Alia baru sadar beberapa pakaian sudah tak muat di badannya.“Apa aku gendutan, ya?” gumam Alia berdiri di cermin besar. Memang beberapa bulan ini Alia tidak pernah memperhatikan berat badan tubuhnya.“Sudah siap?” Fahmi tiba-tiba datang mengagetkan Alia. Lelaki itu berdiri ternganga melihat Alia. “You so beautiful, Alia,” pujinya.Alia tersipu malu. Kedua pipi merona merah. Tidak apa gendutan, Fahmi tetap memujinya cantik.***
“Apa?! Kamu sedang ada di Mall?!”Dalam sekejap Fahmi panik. Dia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Bagaimana kalau Alia dan Misella bertemu? Pertemuan untuk kedua kalinya bagi mereka. Ketakutan Fahmi mendadak menyerang, tak bisa membayangkan apabila Alia mengetahui dirinya dengan Misella mempunyai hubungan istimewa.“Sudah aku katakan. Jangan menghubungiku beberapa hari,” cetus Fahmi. Dia ingin berjuang agar rumah tangganya berjalan semestinya. Makanya mengajak Alia menonton film dan mengajak shoping.Misella pun menjelaskan di panggilan itu, bahwa tidak sengaja melihat Fahmi dengan Alia di Mall, dan ingin menyapa.Fahmi segera melarang niat Misella. Menyuruh untuk segera pulang. Tapi sudah terlambat saat kedua matanya melihat wanita cantik berdiri tak jauh, wanita itu melambaikan tangan dan tersenyum manis sekali.Fahmi mematikan telepon, berjalan cepat ke arah Misella. “Apa yang kamu lakukan di sin