Satu jam Alia habiskan untuk berbelanja, dia dengan bersemangat mendorong troli belanja di Supermarket, belanja kebutuhan sehari-hari dan tidak lupa membeli keperluan untuk dimasak malam ini juga. Setelah puas belanja, Alia menyibukkan diri di dapur. Semua bahan yang tadi dibeli sudah tersedia di atas meja.
Sebelum menikah dan setelah menjadi pengantin baru, Alia memang tak pandai memasak, namun dia berusaha mengikuti kelas memasak. Alia malu pada Fahmi, masa sang suami lebih pandai memasak ketimbang sang istri? Jadi Alia tak mau kalah dari Fahmi. Alia ingin lebih pandai memasak, walaupun tangan sering terkena cipratan minyak panas.
Semua makanan sudah terhidang dan tertata rapih di atas meja makan. Makanan sudah siap untuk dimakan. Alia melihat ke arah jam dinding, tak terasa sudah pukul setengah tujuh malam. Tiga puluh menit lagi Fahmi pulang, Alia tidak sabar masakannya akan dinikmati oleh Fahmi. Alia bergegas naik tangga untuk melakukan ritual mandi.
Lima belas menit berlalu, Alia mengambil ponsel untuk menghubungi Fahmi. Dia mencoba memanggil panggilan, tapi panggilan tidak terjawab. Akhirnya Alia mencoba mengirimkan pesan.
Pesan dari Alia untuk Fahmi: Mas, aku sudah selesai masak, nih. Sebentar lagi pulang, ‘kan? Takutnya makanan keburu dingin.
Ting! Bunyi pesan masuk di ponsel Alia. Hanya butuh waktu tiga menit menunggu balasan pesan dari Fahmi.
Balasan Fahmi; Iya, La. Sebentar lagi pulang.
Alia memekik girang membaca balasan pesan itu. Jari jemari sudah gatal untuk segera membalas: Aku tunggu, Mas.
“Yey. Akhirnya Mas Fahmi pulang lebih awal dan mencoba mencicipi masakan dariku,“ batin Alia dengan perasaan gembira.
Wanita itu segera bersiap-siap untuk menyambut suaminya pulang. Sembari menunggu Fahmi pulang, Alia duduk di ruang tengah, dan sibuk membaca novel yang beberapa hari lalu dia beli.
Saking asiknya membaca novel hingga tidak sadar waktu tiga puluh menit telah berlalu. Jam setengah delapan dan Fahmi belum pulang. Bukankah Fahmi berkata akan pulang jam tujuh?
Alia mendadak tidak tenang. Tangannya meraih ponsel di meja lalu menghubungi Fahmi, tetapi panggilan tidak terjawab.
***
Alia terbangun dari tidur saat mendengar bunyi pintu terbuka pelan, dia tanpa sadari tertidur di meja belajar. “Mas ....” Suara Alia khas orang bangun tidur, nyawa belum sepenuhnya terkumpul. Matanya menyipit silau, berusaha untuk berdiri. Namun hendak mendekati Fahmi, tubuhnya hampir terhuyung,dan terjatuh. Untung saja Fahmi dengan sigap menahan tubuh Alia agar tidak terjatuh.
Kepala Alia pusing dan pandangan buram. “Mas, kamu baru pulang?” tanya Alia dengan tangan memegang kepala.
“Iya, aku baru sampai,” jawab Fahmi. “Jika kamu lelah dan mengantuk, jangan menungguku. Tidurlah lebih dahulu.” Fahmi membantu Alia duduk di tepi ranjang.
“Aku hanya ketiduran di meja belajar sambil membaca novel,” elak Alia. Nyatanya, dia menunggu Fahmi pulang hingga tertidur.
“Lain kali, jangan menungguku lagi, ya.”
Alia mengangguk saja. Dia yakin, kejadian ini akan terulang lagi. “Mas sudah makan?” tanya Alia memandang Fahmi. “Kalau mau makan, aku panaskan dulu masakannya.”
“Tidak perlu, La. Aku sudah makan di rumah sakit,” tolak Fahmi.
Alia menggigit bibirnya kecewa. “Oh gitu, sudah makan, ya.” Alia berusaha untuk bersikap biasa saja, walaupun harus menelan rasa kekecewaan.
“Iya, tadi sekalian makan malam sama Erza.”
Alia menarik sudut bibir, tersenyum pahit. Antara percaya atau tidak Fahmi makan malam bersama Erza. Apakah Fahmi telah melupakan janjinya? Apakah Fahmi lupa dirinya telah memasak untuknya? Sudah berapa kali Fahmi tak makan masakan buatannya? Rasanya ingin tertawa saja, menertawakan diri Alia sendiri. Alia sudah berusaha keras, ikut kelas memasak dan belajar masak. Setiap hari membuat makanan untuk suaminya, namun seperti tidak dihargai sama sekali.
Sakit tapi tidak berdarah.
“Mas mau mandi?”
Fahmi tak menjawab, hanya berdiri menaruh tas kerjanya. Alia membantu Fahmi melepaskan Jas yang masih melekat di badannya, Alia membantu melepaskan sepatu, dan kaos kaki, serta meletakkan sepatu di tempat semestinya.
“Aku buatkan air panas dulu, ya, untuk kamu mandi,” kata Alia lagi, walaupun pertanyaan tadi tidak dijawab oleh Fahmi.
”Hmm.”
Alia segera memasak air hangat untuk suaminya, dia sempat mengelus dadanya. Sikap cuek Fahmi terhadapnya membuat Alia harus menguatkan dirinya sendiri.
“Berbuat baiklah ketika suami memperlakukan dengan cuek dan dingin. Tidak boleh cengeng, Al,” batin Alia.
Alia tidak akan membiarkan air mata menetes hanya karena Fahmi bersikap dingin padanya.
Lima menit kemudian air sudah mendidih, Alia menyuruh Fahmi untuk secepatnya mandi dan dia akan menyiapkan pakaian ganti. Alia berjalan ke arah lemari besar, mengambil pakaian untuk Fahmi.
Tiba-tiba Alia tidak bisa menahan tubuhnya, kakinya melemas seketika, tubuhnya merosot duduk di depan lemari.
“Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku berpisah dengan Mas Fahmi saja?”
Astaga. Ya Tuhan! Alia meremas dadanya, hatinya terasa begitu sakit dan dadanya sesak sekali. Sekuat tenaga tidak membiarkan air matanya jatuh. Alia bangkit, turun dari tangga, berjalan menuju dapur. Alia menatap sedih makanan. Tiga jam lebih menunggu Fahmi pulang untuk makan malam bersama, namun kekecewaan yang didapatkan bahwa Fahmi sudah makan di rumah sakit. Jadi selama ini Alia memasak sia-sia? Makanan terbuang sia-sia juga. Apakah masakannya tidak enak, sehingga Fahmi tak ingin makan di rumah? Setelah membereskan makanan, Alia segera masuk ke kamar. Pandangan pertama tertuju pada ponsel Fahmi menyala di nakas. Ada rasa sedikit penasaran, Alia meraih ponsel itu, rupanya ada satu pesan masuk. “Genta?” gumam Alia saat melihat nama kontak. Isi pesan dari Genta: Sudah tidur belum, Mas? Kening Alia berkerut. Tak paham. Sebenarnya siapa Genta itu? Kenapa Genta mengirimkan pesan seperti itu? Bukankah Genta itu laki-laki? Kenapa memanggil Fahmi dengan sebutan ‘Mas.’ Sangat tidak m
“KAMU TULI?! AKU BILANG. AKU TIDAK LAPAR, ALIA!!!” bentak Fahmi dengan nada tinggi. Kedua bola mata menatap tajam ke Alia. DEG! Jantung Alia berdetak hebat. Dia tersentak kaget. Matanya sama sekali tidak berkedip. Pagi-pagi Alia sudah mendapatkan bentakan dari sang suami. “Kenapa kamu jadi membentakku?!” Alia tidak terima dibentak olehnya. “Memangnya aku salah menyuruhmu untuk sarapan?! Aku istrimu, Mas! Kalau kamu tidak mau sarapan, it's okay. Tidak perlu membentak segala!” cerocos Alia. Fahmi mengacak rambutnya hingga berantakan, kepalanya pening pagi-pagi sudah ribut dengan istrinya. Sadar telah membentak Alia dengan suara keras. Ada rasa penyesalahan sedikit telah membentak Alia. Fahmi tahu Alia type wanita yang tidak suka dibentak. “Maaf telah membentakmu,” sesal Fahmi. “Sudahlah aku berangkat sekarang,” pamitnya. Lelaki itu langsung meninggalkan Alia tanpa mencium keningnya seperti dulu lagi. Padahal tadi Alia akan mendekati Fahmi untuk menyalaminya, tapi Fahmi menghirauk
Fahmi dan Misella sedang menikmati makan siang di kantin, beruntung keadaan kantin tidak ramai, jadi kedua orang itu menikmati waktu berduaan tanpa ada gangguan suara berisik. Lebih beruntung kali ini Erza tak ikut makan siang bersama mereka. “Tumben nggak bawa bekal makan siang. Biasanya kamu bawa bekal makan siang dari istrimu,” celutuk Misella setelah menyadari Fahmi memesan makanan kantin. “Hari ini Istri kamu nggak masak, Mas?” tebak Misella. Fahmi terdiam sesaat, kalau dipikir-pikir semakin hari hubungan dengan Alia semakin tak begitu dekat layaknya pasangan suami istri, justru Fahmi semakin lengket dengan Misella. Sebelum menjawab, Fahmi meraih energy drink-nya. Meneguk cukup banyak. “Hari ini dia nggak masak, Sel.” Mendengar itu, Misella agak kesal pada Alia. “Istri macam apa itu tidak memasak untuk suaminya. Membiarkan suaminya kelaparan,” dumel Misella. “Sudah jangan dibahas. Cepat habiskan makan siang dahulu,” perintah Fahmi. Misella memotong daging chicken steak it
Zeta menemui Misella untuk memberi nasehat agar tidak marah seperti tadi kepada ibu pasien, seharusnya Misella tahu betapa terpukulnya Ibu pasien ketika Putrinya bunuh diri yang hampir merebut nyawanya. “Kamu tidak bisa mengontrol emosimu? Kamu itu Dokter psikiater! Seharusnya tidak seperti itu kepada Ibu pasien!” ucap Zeta kesal. “Aku berteriak kepadanya, meneriaki bahwa dia hampir membunuh putrinya, Itu bukankah masalah besar,” jawab Misella enteng. Zeta tersenyum miring. “Bukan masalah besar katamu?!” Misella menghela napas. “Chintya, dia pasienku yang tidak mau diterapi dan ibunya membawa kabur dari rumah sakit.” “Sekarang putrinya, apa kamu ingin melihat ibunya yang dirawat psikiatri?” tanya Zeta dengan nada menyindir. Misella diam. Sejak dirinya mempunya mental illnes juga, dia menjadi sensitif pada orang yang yang mencoba bunuh diri, karena Misella beberapa kali pernah melakukan bunuh diri namun gagal. “Jika pasien meninggal, kamu memang akan kehilangan satu dari ribuan
Paksaan dari Misella membuatnya tidak ada pilihan lain. Tanpa pikir panjang lagi, Fahmi menyalakan mobilnya dan langsung menuju ke rumah Misella dengan kecepatan tinggi. Kira-kira membutuhkan sekitar waktu dua puluh menit agar sampai di rumah Misella. Sesampai di rumah Misella. Misella menyuruh Fahmi masuk setelah membuka pintu dan mengajak ke kamar lantai atas. Fahmi kaget setengah mati melihat barang-barang Misella berserakan di lantai bagaikan kapan pecah. "Are you okay?" tanya Fahmi dengan hati-hati, menghampiri Misella yang tidak seperti biasanya. "Tell me your problems, Baby ...." "I need you," ucap Misella dengan suara lirih dan tatapan mata redup. "Can you hug me?" Fahmi mengangguk. Tidak lupa memberikan senyuman lebar. "Of course, come here." Kedua tangan Fahmi terbuka lebar membiarkan Misella memeluk dirinya. "Kamu aman." "Five minutes." "Okay." Fahmi paham, dia memeluk erat tubuh Misella, sesekali mengecup pucuk kepala Misella, dan mengelus punggung Misella agar ten
Sentuhan menggelora. Begitu memabukkan.Misella bergerak gelisah menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh Fahmi. Kecupan di atas kulitnya. Sentuhan kilat yang mengatakan kepada Misella bahwa dirinya adalah milik Fahmi. Fahmi mencium perut Misella. Seluruh tubuh Misella bergetar. Kakinya mengejang. Misella ingin menjerit kala Fahmi menyatukan tubuhnya dengan Misella, lelaki itu terus mendesaknya dan hanya desahan yang keluar dari Fahmi. Sedangkan Misella menggigit bibir bawahnya, bukan karena rasa sakit namun karena rasa nikmat tiada tara.Fahmi meraung. Misella mengalungkan tangan di leher Fahmi, membiarkan milik Fahmi bekerja di mana seharusnya berada. Keduanya saling menatap dengan tatapan sayu, mulut setengah menganga sambil mendesah. Lalu Fahmi juga memainkan bibir Misella dan menggigit bibir bawahnya hingga kaki Misella lemas. Fahmi juga menunjukkan kemampuan bermain lidah dengan handal. Permainan Fahmi semakin membuatn
Hari berganti hari, Minggu berganti minggu. Tidak terasa sudah satu bulan.Malam ini hujan deras mengguyur kota Jakarta. Fahmi turun dari mobilnya, berlari sambil menutupi kepalanya dengan jas hitamnya. Fahmi masuk ke dalam rumah dengan keadaan sedikit basah, melepaskan sepatu pantofelnya dan memakai saldal rumah yang telah disediakan oleh Alia. Lelaki itu melangkah menuju kamarnya, membuka pelan pintu kamar agar kepulangannya tidak membuat Alia terbangun. Dia segera mengganti pakaian tidurnya untuk segera tidur.Fahmi melihat Alia tengah tertidur miring. Fahmi menelan saliva memperhatikan tubuh Alia yang hanya memakai lingerie, mempertontonkan punggung mulusnya. Sudah lama sekali Fahmi tak melihat istrinya memakai lingerie. Fahmi menaiki ranjang, membelai pipi Alia dengan lembut, menyelipkan helai rambut ke daun telinga, hal itu membuat Alia terbangun.“Kamu baru pulang?” tanya Alia dengan suara serak
Sebuah sensasi sangat luar biasa dirasakannya saat sebuah kehangatan menyentuh puncuk bagian dadanya berganti dari kanan ke kiri dan kembali lagi beberapa kali.“Oh, my God! Sial!" maki Alia dengan suara tertahan.Dia sangat menyukai permainan Fahmi. Alia paham sekali bagian tubuh yang sangat ingin suaminya sentuh adalah dua gundukan daging kenyal. Liat! Fahmi melahap tanpa henti seperti bayi kelaparan dan kehausan, kedua gundukan menggemaskan selalu membuatnya begitu tegang.Bisa dibilang sudah terlalu lama keduanya tidak merasakan kenikmatan hubungan suami istri dan syukur kini mampu merasakan arti dari rasa nikmat yang sesungguhnya.Fahmi melebarkan kaki Alia dengan tidak sabar dan menyuruh menaikkan pinggulnya sedikit. Seperti yang dibayangkan Fahmi, Alia mengeluarkan desahan panjang saat sesuatu berusaha masuk ke dalam miliknya dan berhasil untuk menjelajah celah sesak it