Home / Pernikahan / Kamu Menidurinya? / 7. Menunggu Pulang

Share

7. Menunggu Pulang

Satu jam Alia habiskan untuk berbelanja, dia dengan bersemangat mendorong troli belanja di Supermarket, belanja kebutuhan sehari-hari dan tidak lupa membeli keperluan untuk dimasak malam ini juga. Setelah puas belanja, Alia menyibukkan diri di dapur. Semua bahan yang tadi dibeli sudah tersedia di atas meja.

Sebelum menikah dan setelah menjadi pengantin baru, Alia memang tak pandai memasak, namun dia berusaha mengikuti kelas memasak. Alia malu pada Fahmi, masa sang suami lebih pandai memasak ketimbang sang istri? Jadi Alia tak mau kalah dari Fahmi. Alia ingin lebih pandai memasak, walaupun tangan sering terkena cipratan minyak panas.

Semua makanan sudah terhidang dan tertata rapih di atas meja makan. Makanan sudah siap untuk dimakan. Alia melihat ke arah jam dinding, tak terasa sudah pukul setengah tujuh malam. Tiga puluh menit lagi Fahmi pulang, Alia tidak sabar masakannya akan dinikmati oleh Fahmi. Alia bergegas naik tangga untuk melakukan ritual mandi.

Lima belas menit berlalu, Alia mengambil ponsel untuk menghubungi Fahmi. Dia mencoba memanggil panggilan, tapi panggilan tidak terjawab. Akhirnya Alia mencoba mengirimkan pesan.

Pesan dari Alia untuk Fahmi: Mas, aku sudah selesai masak, nih. Sebentar lagi pulang, ‘kan? Takutnya makanan keburu dingin.

Ting! Bunyi pesan masuk di ponsel Alia. Hanya butuh waktu tiga menit menunggu balasan pesan dari Fahmi.

Balasan Fahmi; Iya, La. Sebentar lagi pulang.

Alia memekik girang membaca balasan pesan itu. Jari jemari sudah gatal untuk segera membalas: Aku tunggu, Mas.

“Yey. Akhirnya Mas Fahmi pulang lebih awal dan mencoba mencicipi masakan dariku,“ batin Alia dengan perasaan gembira.

Wanita itu segera bersiap-siap untuk menyambut suaminya pulang. Sembari menunggu Fahmi pulang, Alia duduk di ruang tengah, dan sibuk membaca novel yang beberapa hari lalu dia beli.

Saking asiknya membaca novel hingga tidak sadar waktu tiga puluh menit telah berlalu. Jam setengah delapan dan Fahmi belum pulang. Bukankah Fahmi berkata akan pulang jam tujuh?

Alia mendadak tidak tenang. Tangannya meraih ponsel di meja lalu menghubungi Fahmi, tetapi panggilan tidak terjawab.

***

Alia terbangun dari tidur saat mendengar bunyi pintu terbuka pelan, dia tanpa sadari tertidur di meja belajar. “Mas ....” Suara Alia khas orang bangun tidur, nyawa belum sepenuhnya terkumpul. Matanya menyipit silau, berusaha untuk berdiri. Namun hendak mendekati Fahmi, tubuhnya hampir terhuyung,dan terjatuh. Untung saja Fahmi dengan sigap menahan tubuh Alia agar tidak terjatuh. 

Kepala Alia pusing dan pandangan buram. “Mas, kamu baru pulang?” tanya Alia dengan tangan memegang kepala.

“Iya, aku baru sampai,” jawab Fahmi. “Jika kamu lelah dan mengantuk, jangan menungguku. Tidurlah lebih dahulu.” Fahmi membantu Alia duduk di tepi ranjang. 

“Aku hanya ketiduran di meja belajar sambil membaca novel,” elak Alia. Nyatanya, dia menunggu Fahmi pulang hingga tertidur. 

“Lain kali, jangan menungguku lagi, ya.”

Alia mengangguk saja. Dia yakin, kejadian ini akan terulang lagi. “Mas sudah makan?” tanya Alia memandang Fahmi. “Kalau mau makan, aku panaskan dulu masakannya.”

“Tidak perlu, La. Aku sudah makan di rumah sakit,” tolak Fahmi.

Alia menggigit bibirnya kecewa. “Oh gitu, sudah makan, ya.” Alia berusaha untuk bersikap biasa saja, walaupun harus menelan rasa kekecewaan. 

“Iya, tadi sekalian makan malam sama Erza.”

Alia menarik sudut bibir, tersenyum pahit. Antara percaya atau tidak Fahmi makan malam bersama Erza. Apakah Fahmi telah melupakan janjinya? Apakah Fahmi lupa dirinya telah memasak untuknya? Sudah berapa kali Fahmi tak makan masakan buatannya? Rasanya ingin tertawa saja, menertawakan diri Alia sendiri. Alia sudah berusaha keras, ikut kelas memasak dan belajar masak. Setiap hari membuat makanan untuk suaminya, namun seperti tidak dihargai sama sekali.

Sakit tapi tidak berdarah.

“Mas mau mandi?”

Fahmi tak menjawab, hanya berdiri menaruh tas kerjanya. Alia membantu Fahmi melepaskan Jas yang masih melekat di badannya, Alia membantu melepaskan sepatu, dan kaos kaki, serta meletakkan sepatu di tempat semestinya.

“Aku buatkan air panas dulu, ya, untuk kamu mandi,” kata Alia lagi, walaupun pertanyaan tadi tidak dijawab oleh Fahmi.

”Hmm.”

Alia segera memasak air hangat untuk suaminya, dia sempat mengelus dadanya. Sikap cuek Fahmi terhadapnya membuat Alia harus menguatkan dirinya sendiri.

“Berbuat baiklah ketika suami memperlakukan dengan cuek dan dingin. Tidak boleh cengeng, Al,” batin Alia.

Alia tidak akan membiarkan air mata menetes hanya karena Fahmi bersikap dingin padanya. 

Lima menit kemudian air sudah mendidih, Alia menyuruh Fahmi untuk secepatnya mandi dan dia akan menyiapkan pakaian ganti. Alia berjalan ke arah lemari besar, mengambil pakaian untuk Fahmi.

Tiba-tiba Alia tidak bisa menahan tubuhnya, kakinya melemas seketika, tubuhnya merosot duduk di depan lemari.

“Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku berpisah dengan Mas Fahmi saja?”

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
knp gak ingatkan suami klw dia akan segera plg dan sdh dimasakkan. itulah perlunya komunikasi 2 arah, utk saling mengingatkan bila ada yg salah shg gak kebablasan. truus, minta suami menenin alia makan, biar ada timbul rasa bersalah.
goodnovel comment avatar
Fahmi
Hidupku harus realistis
goodnovel comment avatar
Ris Nadeak Laoly
hidup itu hrs realistis klo yg di sayang ngelunjak tak perlu di tangisi toh hidup terus berlanjut jd perjalanan msh jauh tak usah di pertahankan lepaskan sj utk itu tak perlu bertahan dgn suami yg tak lg mjd panutan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status