“ALIA!”
Alia tersentak kaget saat suara Bu Linda menelusup telinganya.
"Iya, Bu. Ada apa?” tanya Alia segera berdiri, menoleh ke arah Linda yang wajahnya sudah merah padam. Dia baru menyadari sejak tadi duduk melamun di waktu jam dinas.
“Melamun dari tadi! Apa yang kamu pikirkan?!” tanya Bu Linda sinis. “Cuci muka dulu sana!” perintah Bu Linda.
Alia segera meminta maaf dan keluar menuju toilet. Astaga. Baru pertama kali ini pikiran Alia selalu tertuju pada Fahmi. Ini sangat menggangu pekerjaannya, membuat Alia tak fokus sama sekali.
Wanita itu menatap wajahnya di pantulan cermin wastafel. Ditambah lagi semalam menunggu Fahmi pulang hingga larut malam, sehingga jam tidurnya berkurang. Kepala Alia pening, tiba-tiba Alia mencoba menghubungi Fahmi.
Panggilan pertama sama sekali tidak diangkat, dan panggilan kedua barulah ada jawaban dari Fahmi.
“Hallo, Mas,” sapa Alia. “Aku ganggu enggak?”
“Iya, La. Ada apa?”
Hening sesaat. “Nanti malam mau aku masakin apa?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja terucap dari bibir Alia. “Mas pulang jam berapa? Biar nanti Aku masakin,” imbuhnya.
“Terserah kamu saja. Mungkin aku pulang jam tujuh.”
Bukan itu jawaban yang Alia harapkan. Huh. Alia sudah cukup bingung memasak makanan apa agar di makan oleh Fahmi, pagi tadi masakannya sama sekali tidak di makan.
“Aku masakin ayam asam manis, tumis kangkung, dan ayam geprek sambal matah, ya.”
“Iya.”
Tut. Sambungan terputus. Alia menghela napas. Dia sudah berusaha semaksimal mungkin menjadi istri yang baik bagi Fahmi, namun perlakuan yang didapatkan tidak mengenakan hati. Alia kembali menghampiri Linda.
“Ada yang bisa aku bantu, Bu?” tanya Alia.
“Kamu ambil buku keperawatan neonatus dan anak di perpustakaan rumah sakit. Minggu depan ada kegiatan pelatihan atau bisa disebut workshop. Kamu bawa bukunya ke ruang Perinatologi, ya.”
Alia mengangguk mengerti. Dia segera berjalan ke perpustakaan rumah sakit. Setelah sampai di sana, Alia mengambil beberapa buku, dan salah satu buku berada di rak paling atas. Alia berkali-kali mencoba mengambil dengan cara berjinjit, tapi tangannya tak sampai.
“Perlu bantuan?” tawar suara laki-laki yang sangat Alia kenal.
Siapa lagi kalau bukan Abian. Dokter umum yang menangani pasien di bangsal. Tangan besar lelaki itu sudah mengambil buku di rak tinggi itu sebelum Alia menjawab.
“Terima kasih.”
Alia tersenyum kaku. Beberapa hari ini memang Alia terus menghindari Abian, sejak mendengar pengakuan yang tak terduga darinya, bahwa dokter itu menyukai Alia sudah cukup lama. Alia tentu saja merasa shock, dan tak percaya.
“Sama-sama,” balas Abian. “Disuruh Bu Linda, ya?”
“Iya. Aku duluan, ya,” pamit Alia.
Buru-buru Alia melangkahkan kaki, dia ingin segera pergi dari sana.
“La, tunggu!”
Abian mengejar langkah Alia.
Langkah Alia berhenti. Matanya memejam beberapa detik, dan membatin pertanyaan, “Ada apa lagi, sih?”
Alia memutarkan badannya. “Ya, Abian? Ada apa?” tanya Alia merasa canggung.
“Aku bantu bawa bukunya, kebetulan jalan kita searah,” jawabnya.
Alia menggeleng. “Eh, e-en-enggak usah,” tolak Alia terbata-bata. Sejujurnya Alia merasa tidak enak hati dengan Abian. Alia tahu, mencintai dalam diam itu sangat menyakitkan. Naasnya pertanyaan cinta Abian datang terlambat, sebab Alia sudah menjadi milik orang lain.
“Jangan menolak!” tegas Abian. “Aku niatnya baik lho, La.” Tanpa persetujuan dari Alia, Abian mengambil alih setumpuk buku dari tangan Alia. “Biar aku saja yang bawa.”
“Jangan semuanya.”
Alia pasrah dibantu oleh Abian.
“Siap, boss!”
Alia melihat ekspresi Abian. Sangat tulus dan apa adanya. Wanita itu berpikir, apakah Abian sama sekali tidak kecewa? Apakah Abian mempunyai niat untuk mendekati Alia, menjadi orang ketiga, dan merebut Alia dari Fahmi?
Astaga Alia jangan berpikir buruk pada Abian.
Mereka berjalan beriringan sambil memegang buku masing-masing. Selama perjalanan tidak ada pembicaraan, Alia sibuk melihat keadaan sekitar yang dilewati, sedangkan Abian hanya menatap lurus. Alia dikuasai rasa canggung ditambah takut memulai pembicaraan.
“Bagaimana suasana keluarga kamu?”
Dheg!
Alia cukup terkejut dengan pertanyaan itu.
“Maksudnya?”
“Hubungan dengan suamimu. Apakah kalian baik-baik saja?”
Pertanyaan apa itu?
Ah, rasanya Alia ingin menjerit meluapkan apa yang selama ini dirasakan. Baik-baik saja? Tidak! Alia sudah cukup muak. Pengakuan dari Fahmi. Fakta teramat jelas bahwa suaminya telah berselingkuh.
"Tentu saja, kami baik-baik saja,” bohong Alia, karena nyatanya hubungan mereka tidak berjalan dengan mulus.
“Kamu bahagia?” tanya Abian lagi.
Lagi-lagi pertanyaan itu membuat Alia terkejut. Hatinya seperti simbol luka yang ditaburi garam. Bahagia? Tidak lagi. Memangnya ada wanita yang bahagia ketika sang suami mengakui pernah berselingkuh?
“Bahagia kok.”
“Bohong!” tuding Abian.
Alia melirik ke arah Abian. “A-aku berkata apa adanya, Abian,” jawab Alia dengan nada bergetar.
Tiba-tiba Abian menghentikan langkahnya, Alia sama-sama berhenti. Abian menatap Alia secara intens.
“Jangan menipuku. Aku tau, akhir-akhir ini kamu banyak melamun dan pasti ada sesuatu yang terjadi,” terka Abian.
Alia sudah tak kuat mendengarkan perkataan dari Abian, tangannya terulur mengambil alih buku yang Adian pegang. Lagi pula ruang Perinatologi beberapa langkah lagi sampai.
“Thanks, ya. Udah bantuin membawa buku,” ujar Alia.
Alia terburu-buru pergi tanpa menunggu balasan dari Abian.
“Aku nggak nyangka ternyata wanita yang aku tabrak di airport itu Misella.” Erza geleng-geleng kepala mengingat kejadian satu bulan lalu, dirinya menasehati wanita yang sibuk bermain ponsel sambil berjalan, pantas saja wajah wanita itu tak asing bagi Erza. “Bukankah dia dulu pernah menjadi calon istrimu, Mi?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Erza. Fahmi mengerti, sebab kejadian gagalnya pernikahan Fahmi dan Misella, Erza sedang berada di luar negeri karena ada urusan yang mendadak. “Panjang ceritanya, Za.” Erza menepuk pundak Fahmi. “Lain kali bisa bercerita, nggak harus sekarang juga. Aku ini sahabatmu. Jadi kalau ada apa-apa datanglah kepadaku, aku akan menjadi pendengar baik.” Fahmi tersenyum lebar. “Thanks, bro!” Keduanya sedang berada di kantin untuk makan siang. Fahmi menatap bekal makan siang dari sang istrinya, sama sekali tidak di makan, hanya ditatap kosong. Rasa bersalah mulai memuncak dalam diri Fahmi sejak hubungan bertambah dekat dengan Misella, Fahmi
Satu jam Alia habiskan untuk berbelanja, dia dengan bersemangat mendorong troli belanja di Supermarket, belanja kebutuhan sehari-hari dan tidak lupa membeli keperluan untuk dimasak malam ini juga. Setelah puas belanja, Alia menyibukkan diri di dapur. Semua bahan yang tadi dibeli sudah tersedia di atas meja. Sebelum menikah dan setelah menjadi pengantin baru, Alia memang tak pandai memasak, namun dia berusaha mengikuti kelas memasak. Alia malu pada Fahmi, masa sang suami lebih pandai memasak ketimbang sang istri? Jadi Alia tak mau kalah dari Fahmi. Alia ingin lebih pandai memasak, walaupun tangan sering terkena cipratan minyak panas. Semua makanan sudah terhidang dan tertata rapih di atas meja makan. Makanan sudah siap untuk dimakan. Alia melihat ke arah jam dinding, tak terasa sudah pukul setengah tujuh malam. Tiga puluh menit lagi Fahmi pulang, Alia tidak sabar masakannya akan dinikmati oleh Fahmi. Alia bergegas naik tangga untuk melakukan ritual mandi. Lima belas menit berlalu, Al
Astaga. Ya Tuhan! Alia meremas dadanya, hatinya terasa begitu sakit dan dadanya sesak sekali. Sekuat tenaga tidak membiarkan air matanya jatuh. Alia bangkit, turun dari tangga, berjalan menuju dapur. Alia menatap sedih makanan. Tiga jam lebih menunggu Fahmi pulang untuk makan malam bersama, namun kekecewaan yang didapatkan bahwa Fahmi sudah makan di rumah sakit. Jadi selama ini Alia memasak sia-sia? Makanan terbuang sia-sia juga. Apakah masakannya tidak enak, sehingga Fahmi tak ingin makan di rumah? Setelah membereskan makanan, Alia segera masuk ke kamar. Pandangan pertama tertuju pada ponsel Fahmi menyala di nakas. Ada rasa sedikit penasaran, Alia meraih ponsel itu, rupanya ada satu pesan masuk. “Genta?” gumam Alia saat melihat nama kontak. Isi pesan dari Genta: Sudah tidur belum, Mas? Kening Alia berkerut. Tak paham. Sebenarnya siapa Genta itu? Kenapa Genta mengirimkan pesan seperti itu? Bukankah Genta itu laki-laki? Kenapa memanggil Fahmi dengan sebutan ‘Mas.’ Sangat tidak m
“KAMU TULI?! AKU BILANG. AKU TIDAK LAPAR, ALIA!!!” bentak Fahmi dengan nada tinggi. Kedua bola mata menatap tajam ke Alia. DEG! Jantung Alia berdetak hebat. Dia tersentak kaget. Matanya sama sekali tidak berkedip. Pagi-pagi Alia sudah mendapatkan bentakan dari sang suami. “Kenapa kamu jadi membentakku?!” Alia tidak terima dibentak olehnya. “Memangnya aku salah menyuruhmu untuk sarapan?! Aku istrimu, Mas! Kalau kamu tidak mau sarapan, it's okay. Tidak perlu membentak segala!” cerocos Alia. Fahmi mengacak rambutnya hingga berantakan, kepalanya pening pagi-pagi sudah ribut dengan istrinya. Sadar telah membentak Alia dengan suara keras. Ada rasa penyesalahan sedikit telah membentak Alia. Fahmi tahu Alia type wanita yang tidak suka dibentak. “Maaf telah membentakmu,” sesal Fahmi. “Sudahlah aku berangkat sekarang,” pamitnya. Lelaki itu langsung meninggalkan Alia tanpa mencium keningnya seperti dulu lagi. Padahal tadi Alia akan mendekati Fahmi untuk menyalaminya, tapi Fahmi menghirauk
Fahmi dan Misella sedang menikmati makan siang di kantin, beruntung keadaan kantin tidak ramai, jadi kedua orang itu menikmati waktu berduaan tanpa ada gangguan suara berisik. Lebih beruntung kali ini Erza tak ikut makan siang bersama mereka. “Tumben nggak bawa bekal makan siang. Biasanya kamu bawa bekal makan siang dari istrimu,” celutuk Misella setelah menyadari Fahmi memesan makanan kantin. “Hari ini Istri kamu nggak masak, Mas?” tebak Misella. Fahmi terdiam sesaat, kalau dipikir-pikir semakin hari hubungan dengan Alia semakin tak begitu dekat layaknya pasangan suami istri, justru Fahmi semakin lengket dengan Misella. Sebelum menjawab, Fahmi meraih energy drink-nya. Meneguk cukup banyak. “Hari ini dia nggak masak, Sel.” Mendengar itu, Misella agak kesal pada Alia. “Istri macam apa itu tidak memasak untuk suaminya. Membiarkan suaminya kelaparan,” dumel Misella. “Sudah jangan dibahas. Cepat habiskan makan siang dahulu,” perintah Fahmi. Misella memotong daging chicken steak it
Zeta menemui Misella untuk memberi nasehat agar tidak marah seperti tadi kepada ibu pasien, seharusnya Misella tahu betapa terpukulnya Ibu pasien ketika Putrinya bunuh diri yang hampir merebut nyawanya. “Kamu tidak bisa mengontrol emosimu? Kamu itu Dokter psikiater! Seharusnya tidak seperti itu kepada Ibu pasien!” ucap Zeta kesal. “Aku berteriak kepadanya, meneriaki bahwa dia hampir membunuh putrinya, Itu bukankah masalah besar,” jawab Misella enteng. Zeta tersenyum miring. “Bukan masalah besar katamu?!” Misella menghela napas. “Chintya, dia pasienku yang tidak mau diterapi dan ibunya membawa kabur dari rumah sakit.” “Sekarang putrinya, apa kamu ingin melihat ibunya yang dirawat psikiatri?” tanya Zeta dengan nada menyindir. Misella diam. Sejak dirinya mempunya mental illnes juga, dia menjadi sensitif pada orang yang yang mencoba bunuh diri, karena Misella beberapa kali pernah melakukan bunuh diri namun gagal. “Jika pasien meninggal, kamu memang akan kehilangan satu dari ribuan
Paksaan dari Misella membuatnya tidak ada pilihan lain. Tanpa pikir panjang lagi, Fahmi menyalakan mobilnya dan langsung menuju ke rumah Misella dengan kecepatan tinggi. Kira-kira membutuhkan sekitar waktu dua puluh menit agar sampai di rumah Misella. Sesampai di rumah Misella. Misella menyuruh Fahmi masuk setelah membuka pintu dan mengajak ke kamar lantai atas. Fahmi kaget setengah mati melihat barang-barang Misella berserakan di lantai bagaikan kapan pecah. "Are you okay?" tanya Fahmi dengan hati-hati, menghampiri Misella yang tidak seperti biasanya. "Tell me your problems, Baby ...." "I need you," ucap Misella dengan suara lirih dan tatapan mata redup. "Can you hug me?" Fahmi mengangguk. Tidak lupa memberikan senyuman lebar. "Of course, come here." Kedua tangan Fahmi terbuka lebar membiarkan Misella memeluk dirinya. "Kamu aman." "Five minutes." "Okay." Fahmi paham, dia memeluk erat tubuh Misella, sesekali mengecup pucuk kepala Misella, dan mengelus punggung Misella agar ten
Sentuhan menggelora. Begitu memabukkan.Misella bergerak gelisah menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh Fahmi. Kecupan di atas kulitnya. Sentuhan kilat yang mengatakan kepada Misella bahwa dirinya adalah milik Fahmi. Fahmi mencium perut Misella. Seluruh tubuh Misella bergetar. Kakinya mengejang. Misella ingin menjerit kala Fahmi menyatukan tubuhnya dengan Misella, lelaki itu terus mendesaknya dan hanya desahan yang keluar dari Fahmi. Sedangkan Misella menggigit bibir bawahnya, bukan karena rasa sakit namun karena rasa nikmat tiada tara.Fahmi meraung. Misella mengalungkan tangan di leher Fahmi, membiarkan milik Fahmi bekerja di mana seharusnya berada. Keduanya saling menatap dengan tatapan sayu, mulut setengah menganga sambil mendesah. Lalu Fahmi juga memainkan bibir Misella dan menggigit bibir bawahnya hingga kaki Misella lemas. Fahmi juga menunjukkan kemampuan bermain lidah dengan handal. Permainan Fahmi semakin membuatn