Flashback.
Satu bulan yang lalu.
Seorang wanita berlari tergesa-gesa setelah turun dari pesawat yang baru saja dia tumpangi. Dia menggenggam erat ponsel dan tangan kirinya menarik koper, sesekali mencoba menghubungi nomor seseorang sambil berjalan lurus. Wajahnya tampak tak sabar ingin segera sampai ke tempat tujuan setelah melewati perjalanan panjang dari Bali ke Jakarta.
“Kenapa tidak bisa dihubungi, ya?” gumam wanita itu saat panggilan itu dijawab oleh suara mbak-mbak operator.
Wanita itu tak mau menyerah, berkali-kali menghubungi nomor yang dituju, walaupun sama sekali tak ada jawaban. Terlalu sibuk dengan ponsel hingga tidak sengaja menabrak tubuh lelaki berbadan besar dan ponselnya terjatuh begitu saja.
“Maaf ... maaf, aku tidak sengaja,” ucapnya kikuk, segera memungut ponsel.
“Kalau jalan hati-hati, Kak. Keadaan lagi ramai begini jangan main ponsel sambil jalan. Bahaya,” peringat lelaki itu dengan nada dingin.
Wanita itu mendongak menatap wajah lelaki. Begitu juga dengan lelaki itu. Keduanya bahkan sama sekali tidak mengedipkan mata. Ada apa? Sepertinya mereka berdua saling mengenali satu sama lain.
“Kamu?” Lelaki itu mencoba mengingat-ingat siapa wanita di depannya. Tak asing baginya.
“Maaf, kamu siapa?” tanya wanita itu. “Sepertinya kamu tak asing di mataku. Pernah melihat sebelumnya, tapi di mana, ya ....?”
Keduanya dibuat bertanya-tanya. Terlalu lama tak bertemu sehingga ada bagian memori kecil yang terlupakan, walaupun terlupakan, hati kecil mereka tak bisa membohongi. Wanita itu tak asing di mata lelaki itu, begitu sebaliknya.
“Mbak Misella?”
Wanita yang dipanggil Misella tersentak saat dipanggil seorang supir taksi. “Ya, saya sendiri.”
“Mari, Mbak. Mobil taksi ada di sebelah sana. Biarkan saya yang membawa koper, Mbak,” ujar supir taksi dengan ramah.
Misella mempersilahkan dan mengikuti langkah super taksi dari belakang tanpa mengalihkan pandangan kepada lelaki tadi. Sementara lelaki tadi bergumam sendiri menyebut nama Misella berkali-kali. Barang kali ingat, tapi sama sekali tak ingat.
Sekitar setengah jam melewati jalanan metropolitan, akhirnya Misella sampai juga. Dia turun dari taksi disambut oleh kakaknya yang sudah menunggu di sana. Astaga. Terlalu lama tidak bertemu, kedua kakak beradik itu saling berpelukan melepas rindu. Rindu yang cukup lama tertahan.
“Misella. Ya ampun.”
Sang kakak geleng-geleng kepala, senyuman mengembang bahagia.
“Sudah lama Kakak nggak liat kamu. Akhirnya kamu kembali.”
Mereka berdua berpelukan hangat dan beberapa detik saling melepaskan pelukan, memandang satu sama lain.
Misella nyengir menunjukan deretan gigi yang putih. “Tambah cantik aja kamu, Kak,” pujinya pada kakak bernama Bella. “Oh, ya. Kangen-kangennya ditunda dulu, ya. Dilanjut di rumah aja. Aku mau ke suatu tempat.” Misella menyerahkan koper pada Bella. “Titip, ya, Kak.”
Bella menerima koper milik Misella dengan ekspresi kebingungan. “Lho? Kamu mau kemana?”
Tanpa menjawab pertanyaan kakaknya, Misella sudah berlari masuk ke dalam taksi lagi dan melambaikan tangan. Bella berdiri menatap taksi yang ditumpangi oleh Misella semakin menjauh.
Sampai di tempat tujuannya. Mata sipitnya berseri ketika melihat gedung yang menjulang tinggi di matanya. Misella berlari dengan semangat dan perasaan bahagia.Rumah sakit Havanna adalah tujuannya.
Akhirnya dia kembali setelah bertahun-tahun menghilang dari kehidupan orang terdekat di kota Jakarta. Ya. Dia memilih pergi ke Bali tanpa ada orang yang mengetahui.
Tanpa berhenti berlari untuk sekedar menghela napas, Misella menyusuri lorong-lorong rumah sakit dan berhenti pada salah satu ruangan. Senyumannya sama sekali tak pudar dari bibirnya dan memutar kenop pintu.
***
Fahmi segera bergegas membereskan dokumen pasien lalu ditata rapi pada tempatnya. Lantas lelaki itu menyambar jaket kesayangannya dan berjalan menuju pintu untuk pulang. Dalam hatinya tak sabar untuk bertemu istinya di rumah. Jadi ingin cepat-cepat pulang.
Saat lima langkah menuju pintu, tiba-tiba kenop pintu terputar oleh seseorang hingga seiring pintu terbuka lebar. Di sana, seorang wanita berparas cantik berdiri dengan semburat senyuman amat lebar.
Fahmi terpaku di tempat, mematung, dan membeku tidak bergerak. Fahmi mengerjapkan sepasang mata sekali. Tidak perlu lama Indra penglihatannya sudah melihat jelas wajah tak asing membuat hatinya bergetar hebat. Rasa keterkejutan tak bisa disembunyikan lagi atas kehadirannya secara tak terduga.
“K-ka-kamu ...?” gagap Fahmi.
Bibir Fahmi ikut bergetar sembari menatap wanita itu dengan intens.
Hening. Mendadak senyap. Hanya terdengar suara jarum jam yang terus bergerak sesuai porosnya . Bahkan Fahmi tak bisa untuk bernapas, kadar oksigen seakan lenyap, dan hanya menyisakan rasa sesak di dada.
“Iya, sayang. Ini aku ....”
Deg! Jantung Fahmi berdetak keras sekali. Suara itu. Suara yang sudah bertahun-tahun tak didengar, layaknya pedang yang menyayat relung hati Fahmi. Wanita cinta pertama Fahmi dan sekaligus mantan calon pengantin.
Ya, dulu wanita itu membatalkan pernikahan dan membuat Fahmi mental breakdown.
“Misella?”
Misella mengangguk dan merentangkan tangannya dengan perasaan haru. Lelaki yang selama ini tak dilihat olehnya, akhirnya bisa bertemu lagi.
“Aku kembali karena kamu,” ucapnya.
Jantung Fahmi lagi-lagi bergetar lagi, bukan karena kebahagiaan, namun kemarahan memercik dari lubuk hatinya. Kenapa dia datang di saat telah menikahi Alia? Ini yang ditakutkan oleh Fahmi. Ketakutan itu semakin menjadi dan nyata sudah di depan matanya.
“Kenapa kamu datang?”
Pertanyaan itu menohok relung batin Misella.
“Kamu nggak mengharapkan aku kembali?” tanya Misella dengan suara lirih.
Dia sudah tak mampu menahan bendungan air mata, menunduk, dan menangis terisak. “Aku tunangan kamu, Fahmi. Wanita yang akan kamu jadikan Ibu untuk anak-anakmu. Kamu lupa?”
“Aku tak pernah melupakanmu.”
Misella mengangkat kepalanya. Ada sedikit perasaan lega mendengar penuturan dari Fahmi, setidaknya masih ada harapan.
“Aku juga tidak lupa kamu membatalkan pernikahan kita,” lanjut Fahmi lalu menghembuskan napas gusar.
Misella menangis dihadapan Fahmi.
“Maaf ... aku telat meninggalkanmu dan membatalkan rencana pernikahan kita. Aku pergi ada alasannya. Aku pamit mengirimkan surel padamu. Apa kamu tidak membaca?”
Fahmi mencoba mengingat, seingat dia tak pernah mendapatkan email dari Misella.
“Tidak, Sel. Aku sama sekali tidak membaca pesan. Hari itu, aku sangat frustasi dan hampir bunuh diri saat mencoba menghubungimu, namun tidak ada kabar olehmu.”
Misella menggeleng tak percaya. Selama ini dirinya selalu mengirimkan pesan email dan tidak pernah mendapatkan balasan apapun.
"Demi Tuhan. Aku selalu mengirimkan pesan padamu.”
Fahmi rasa ucapan Misella hanya omong kosong mengingat dirinya tak pernah mendapatkan surel dari wanita itu.
“Lalu kenapa kamu kembali dengan waktu yang sangat lama?” tanyanya.
“Aku ....” Misella menjeda ucapannya. “Aku mempunyai gangguan mental. Aku terkena skizofrenia,” lanjutnya.
Fahmi terkejut. Sangat terkejut. Hingga menelan saliva. Pasalnya Misella adalah dokter psikiater, namun mempunyai gangguan mental.
Misella tertawa hambar.
“Kamu pasti berpikir, seorang dokter jiwa tapi mempunyai gangguan mental. Sejujurnya aku sangat malu untuk mengakui itu. Aku tidak bisa membayangkan jika aku harus menghadapi sendiri tanpa dokter ahli yang lain. Jadi aku memutuskan untuk pergi. Aku dirawat inap di salah satu rumah sakit di Bali. Aku berjuang untuk diriku sendiri di sana,” jelasnya. “Aku tidak pernah ada niatan untuk meninggalkanmu. Aku kembali karena kamu. Aku sangat mencintaimu, Fahmi.”
Fahmi menepis tangan Misella yang berusaha untuk menyentuhnya. Tidak bisa dipungkiri, ada perasaan iba.
“Maaf, Misella. Kamu terlambat. Aku sudah menikah dengan wanita lain.”
Dheg! Seperti ada tusukan tombak yang menancap di dada Misella, lalu ditarik paksa dan ditancap kembali. Misella bungkam, matanya begitu terasa panas setelah mendengar perkataan Fahmi begitu menyakitkan di telinga. Misella dibuat saja rasa sakit yang mendadak kembali menyerang.
“Are you kidding me?”
Berulang kali Misella menggeleng kepala seakan tidak mampu menerima kenyataan bahwa lelaki yang selama ini cintai ternyata sudah menjadi milik wanita lain.
“Tidak, Sel. Aku serius. Aku telah menikah,” balas Fahmi dengan nada serius.
Kaki Misella melemas seketika, jarinya bergetar hebat. Dia tidak mampu lagi untuk berdiri. Tubuhnya merosot dan terduduk lemas di lantai. Sangat berharap ini semua mimpi buruknya, namun seribu sayang ini adalah kenyataan bukan ilusi semata dari serpihan mimpi-mimpi buruknya.
“Do you love her?”
Fahmi memarkirkan mobilnya di tempat parkir rumah sakit. Setelah mematikan mesin, lelaki itu tak segera turun dari mobil. Dia termenung menunduk, menatap setir mobil dengan tatapan mata kosong. Misella. Kenapa wanita itu kembali di waktu yang tidak tepat. Semua yang terjadi itu adalah kesalahan dirinya. Fahmi menghela napas, mengatur detak jantungnya karena kesal pada diri sendiri. Bodoh! Lelaki bodoh! Kembalinya Misella membuat dirinya goyah dan pertahanannya runtuh dalam beberapa hari. Fakta teramat jelas, masih mencintai Misella. Sampai kapan pun Fahmi belum mampu melupakan wanita itu. “Do you love her?” Sebuah pertanyaan dari Misella satu bulan lalu, ketika pertemuan pertama sekembalinya Misella. Fahmi ingat kejadian itu. Dirinya berusaha untuk setia, namun pendiriannya goyah sejak kedatangan Misella. “Yes. I love her.” “Apa kamu masih mencintaiku?” “Jangan tanyakan itu, aku sudah beristri, Sel. Kamu harus mengerti. Ada hati yang harus aku jaga.” Di dalam mobil, Fahmi me
“ALIA!” Alia tersentak kaget saat suara Bu Linda menelusup telinganya. "Iya, Bu. Ada apa?” tanya Alia segera berdiri, menoleh ke arah Linda yang wajahnya sudah merah padam. Dia baru menyadari sejak tadi duduk melamun di waktu jam dinas. “Melamun dari tadi! Apa yang kamu pikirkan?!” tanya Bu Linda sinis. “Cuci muka dulu sana!” perintah Bu Linda. Alia segera meminta maaf dan keluar menuju toilet. Astaga. Baru pertama kali ini pikiran Alia selalu tertuju pada Fahmi. Ini sangat menggangu pekerjaannya, membuat Alia tak fokus sama sekali. Wanita itu menatap wajahnya di pantulan cermin wastafel. Ditambah lagi semalam menunggu Fahmi pulang hingga larut malam, sehingga jam tidurnya berkurang. Kepala Alia pening, tiba-tiba Alia mencoba menghubungi Fahmi. Panggilan pertama sama sekali tidak diangkat, dan panggilan kedua barulah ada jawaban dari Fahmi. “Hallo, Mas,” sapa Alia. “Aku ganggu enggak?” “Iya, La. Ada apa?” Hening sesaat. “Nanti malam mau aku masakin apa?” Pertanyaan itu tiba-ti
“Aku nggak nyangka ternyata wanita yang aku tabrak di airport itu Misella.” Erza geleng-geleng kepala mengingat kejadian satu bulan lalu, dirinya menasehati wanita yang sibuk bermain ponsel sambil berjalan, pantas saja wajah wanita itu tak asing bagi Erza. “Bukankah dia dulu pernah menjadi calon istrimu, Mi?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Erza. Fahmi mengerti, sebab kejadian gagalnya pernikahan Fahmi dan Misella, Erza sedang berada di luar negeri karena ada urusan yang mendadak. “Panjang ceritanya, Za.” Erza menepuk pundak Fahmi. “Lain kali bisa bercerita, nggak harus sekarang juga. Aku ini sahabatmu. Jadi kalau ada apa-apa datanglah kepadaku, aku akan menjadi pendengar baik.” Fahmi tersenyum lebar. “Thanks, bro!” Keduanya sedang berada di kantin untuk makan siang. Fahmi menatap bekal makan siang dari sang istrinya, sama sekali tidak di makan, hanya ditatap kosong. Rasa bersalah mulai memuncak dalam diri Fahmi sejak hubungan bertambah dekat dengan Misella, Fahmi
Satu jam Alia habiskan untuk berbelanja, dia dengan bersemangat mendorong troli belanja di Supermarket, belanja kebutuhan sehari-hari dan tidak lupa membeli keperluan untuk dimasak malam ini juga. Setelah puas belanja, Alia menyibukkan diri di dapur. Semua bahan yang tadi dibeli sudah tersedia di atas meja. Sebelum menikah dan setelah menjadi pengantin baru, Alia memang tak pandai memasak, namun dia berusaha mengikuti kelas memasak. Alia malu pada Fahmi, masa sang suami lebih pandai memasak ketimbang sang istri? Jadi Alia tak mau kalah dari Fahmi. Alia ingin lebih pandai memasak, walaupun tangan sering terkena cipratan minyak panas. Semua makanan sudah terhidang dan tertata rapih di atas meja makan. Makanan sudah siap untuk dimakan. Alia melihat ke arah jam dinding, tak terasa sudah pukul setengah tujuh malam. Tiga puluh menit lagi Fahmi pulang, Alia tidak sabar masakannya akan dinikmati oleh Fahmi. Alia bergegas naik tangga untuk melakukan ritual mandi. Lima belas menit berlalu, Al
Astaga. Ya Tuhan! Alia meremas dadanya, hatinya terasa begitu sakit dan dadanya sesak sekali. Sekuat tenaga tidak membiarkan air matanya jatuh. Alia bangkit, turun dari tangga, berjalan menuju dapur. Alia menatap sedih makanan. Tiga jam lebih menunggu Fahmi pulang untuk makan malam bersama, namun kekecewaan yang didapatkan bahwa Fahmi sudah makan di rumah sakit. Jadi selama ini Alia memasak sia-sia? Makanan terbuang sia-sia juga. Apakah masakannya tidak enak, sehingga Fahmi tak ingin makan di rumah? Setelah membereskan makanan, Alia segera masuk ke kamar. Pandangan pertama tertuju pada ponsel Fahmi menyala di nakas. Ada rasa sedikit penasaran, Alia meraih ponsel itu, rupanya ada satu pesan masuk. “Genta?” gumam Alia saat melihat nama kontak. Isi pesan dari Genta: Sudah tidur belum, Mas? Kening Alia berkerut. Tak paham. Sebenarnya siapa Genta itu? Kenapa Genta mengirimkan pesan seperti itu? Bukankah Genta itu laki-laki? Kenapa memanggil Fahmi dengan sebutan ‘Mas.’ Sangat tidak m
“KAMU TULI?! AKU BILANG. AKU TIDAK LAPAR, ALIA!!!” bentak Fahmi dengan nada tinggi. Kedua bola mata menatap tajam ke Alia. DEG! Jantung Alia berdetak hebat. Dia tersentak kaget. Matanya sama sekali tidak berkedip. Pagi-pagi Alia sudah mendapatkan bentakan dari sang suami. “Kenapa kamu jadi membentakku?!” Alia tidak terima dibentak olehnya. “Memangnya aku salah menyuruhmu untuk sarapan?! Aku istrimu, Mas! Kalau kamu tidak mau sarapan, it's okay. Tidak perlu membentak segala!” cerocos Alia. Fahmi mengacak rambutnya hingga berantakan, kepalanya pening pagi-pagi sudah ribut dengan istrinya. Sadar telah membentak Alia dengan suara keras. Ada rasa penyesalahan sedikit telah membentak Alia. Fahmi tahu Alia type wanita yang tidak suka dibentak. “Maaf telah membentakmu,” sesal Fahmi. “Sudahlah aku berangkat sekarang,” pamitnya. Lelaki itu langsung meninggalkan Alia tanpa mencium keningnya seperti dulu lagi. Padahal tadi Alia akan mendekati Fahmi untuk menyalaminya, tapi Fahmi menghirauk
Fahmi dan Misella sedang menikmati makan siang di kantin, beruntung keadaan kantin tidak ramai, jadi kedua orang itu menikmati waktu berduaan tanpa ada gangguan suara berisik. Lebih beruntung kali ini Erza tak ikut makan siang bersama mereka. “Tumben nggak bawa bekal makan siang. Biasanya kamu bawa bekal makan siang dari istrimu,” celutuk Misella setelah menyadari Fahmi memesan makanan kantin. “Hari ini Istri kamu nggak masak, Mas?” tebak Misella. Fahmi terdiam sesaat, kalau dipikir-pikir semakin hari hubungan dengan Alia semakin tak begitu dekat layaknya pasangan suami istri, justru Fahmi semakin lengket dengan Misella. Sebelum menjawab, Fahmi meraih energy drink-nya. Meneguk cukup banyak. “Hari ini dia nggak masak, Sel.” Mendengar itu, Misella agak kesal pada Alia. “Istri macam apa itu tidak memasak untuk suaminya. Membiarkan suaminya kelaparan,” dumel Misella. “Sudah jangan dibahas. Cepat habiskan makan siang dahulu,” perintah Fahmi. Misella memotong daging chicken steak it
Zeta menemui Misella untuk memberi nasehat agar tidak marah seperti tadi kepada ibu pasien, seharusnya Misella tahu betapa terpukulnya Ibu pasien ketika Putrinya bunuh diri yang hampir merebut nyawanya. “Kamu tidak bisa mengontrol emosimu? Kamu itu Dokter psikiater! Seharusnya tidak seperti itu kepada Ibu pasien!” ucap Zeta kesal. “Aku berteriak kepadanya, meneriaki bahwa dia hampir membunuh putrinya, Itu bukankah masalah besar,” jawab Misella enteng. Zeta tersenyum miring. “Bukan masalah besar katamu?!” Misella menghela napas. “Chintya, dia pasienku yang tidak mau diterapi dan ibunya membawa kabur dari rumah sakit.” “Sekarang putrinya, apa kamu ingin melihat ibunya yang dirawat psikiatri?” tanya Zeta dengan nada menyindir. Misella diam. Sejak dirinya mempunya mental illnes juga, dia menjadi sensitif pada orang yang yang mencoba bunuh diri, karena Misella beberapa kali pernah melakukan bunuh diri namun gagal. “Jika pasien meninggal, kamu memang akan kehilangan satu dari ribuan