Pukul lima pagi Alia sudah terjaga dari tidurnya. Wanita itu selalu ingat dengan perkataan ibunya, dia harus terbiasa bangun pagi setelah menikah.
Alia menurunkan kedua kaki jenjangnya dari ranjang, melakukan pergerakan tubuh sebentar, dan menarik napas panjang lalu dihembuskan, menikmati udara di pagi.
Kepalanya menoleh ke samping, mendapati Fahmi sedang tertidur pulas. Terlihat dari raut wajahnya nampak kelelahan.
Alia termenung, sejak terungkap suaminya berselingkuh. Ada yang aneh, Fahmi benar-benar tidak menginginkan dirinya setiap malam, dan malam-malam selanjutnya.
Alia tidak pernah lagi meminta sentuhan dari Fahmi, karena akan dibuat merasa harga dirinya terinjak.
Apa Alia sama sekali tidak lagi membuat gairah Fahmi terusik?
Ah, memikirkan hal itu membuat Alia sakit hati.
Semalam Alia menunggu Fahmi pulang, namun yang ditunggu tak kunjung menampakkan diri. Alia pun ketiduran. Sudahlah, sekarang lupakan kejadian tadi malam. Sekarang waktunya mandi, membuat sarapan, dan bersiap untuk bekerja karena dirinya masuk shift pagi.
Alia bekerja di rumah sakit sebagai perawat di bagian Perinatologi, sedangkan Fahmi dokter obgyn. Namun berbeda rumah sakit, keduanya tidak bekerja di rumah sakit yang sama.
Jika mereka bekerja berada dalam rumah sakit yang sama, mungkin Alia akan mengetahui, siapa wanita yang menjadi orang ketiga di rumah tangganya.
Masih menjadi misteri, karena Alia sudah mencari tahu wanita itu, tak mendapatkan informasi apapun.
“Jam berapa sekarang?”
Alia kaget saat mendengar pertanyaan khas orang baru bangun tidur.
Astaga!
Hampir saja jarinya teriris oleh pisau, dia tadi sedang mengiris bawang merah. Dia sedang berada di dapur untuk membuat sarapan. Alia memutar balik badannya.
Di sana Fahmi berdiri dengan mata mengantuk dan nyawa masih belum terkumpul.
“Masih jam tujuh, Mas,” jawab Alia setelah melihat ke arah jam dinding.
Mata Fahmi yang tadi menyipit menahan kantuk sekarang membelalak lebar. Raut wajah berubah dalam sekejap.
"Kok kamu nggak bangunin aku, sih? Aku telat jadinya,” ngedumel Fahmi menyalahkan Alia yang tidak membangunkan tidur.
Alia mengerutkan kening bingung. “Kenapa jadi nyalahin aku?”
Agak tidak terima disalahkan. Lagipula semalam Alia menunggu Fahmi pulang hingga ketiduran. Di sisi lain, dia salah. Bangun pagi, tapi tak membangunkan sang suami, untuk sekedar bertanya tidak. Bertanya masuk shift pagi atau malam.
“Maaf, Mas. Aku kelupaan dan tak tega membangunkan karena wajahmu terlihat sangat kelelahan.”
Walaupun kecewa, kesal, dan marah. Alia harus mengalah dan selalu minta maaf terlebih dahulu.
Fahmi menatap Alia tanpa berkedip. “Kamu istriku, Alia. Sudah sepantasnya membangunkan tidur suami yang masih tidur untuk bekerja,” jawab Fahmi. “Aku shift pagi, Alia,” imbuhnya dan buru-buru bersiap-siap untuk bekerja.
“Maaf, Mas.”
“Jangan ulangi lagi.”
Huh.
Alia menghela napas panjang.
Setelah Fahmi sudah siap untuk berangkat bekerja, lelaki itu segara turun dari tangga dan menghampiri Alia yang sedang menaruh nasi di atas piring.
“Semalam pulang jam berapa, Mas?” tanya Alia berusaha untuk tenang.
Menyembunyikan rasa kekecewaan semalam. Sebenarnya Alia ingin mengintrogasi perihal semalam, kenapa Fahmi tak mengangkat panggilannya dan tidak membalas pesan.
Tidak ada jawaban dari Fahmi. Hanya ada suara tarikan kursi.
“Aku nungguin sampai ketiduran lho, Mas,” ungkap Alia saat pertanyaan tidak dijawab, dia menaruh lauk pauk dan menyodorkan sarapan di hadapan Fahmi, malahan tangan Fahmi mengambil roti dan selai. “Tidak sarapan?”
Fahmi tersenyum tipis.
“Aku sedang tidak ingin sarapan nasi. Aku makan roti saja,” jawab Fahmi.
Dia mengoles selai nanas di atas roti lalu memakan tiga kali gigitan saja, selesai makan roti, lelaki itu meneguk setengah gelas air putih.
“Lain kali jangan menunggu aku pulang, tidur saja kalau kamu sudah mengantuk.”
Alia tidak bisa berkata apa-apa. Bodoh memang, menunggu suami pulang bekerja, malah dikecewakan dengan serangkaian kata yang menyakitkan.
Fahmi berdiri. “Aku berangkat dulu. Sudah telat,” pamit Fahmi dan pergi begitu saja tanpa memperdulikan bagaimana perasaan Alia saat itu juga.
“Iya, Mas. Hati-hati di jalan.”
Tidak ada morning kiss. Tidak ada kecupan kasih sayang di kening Alia lagi. Semua keadaan berubah begitu saja. Rumah yang dulu dipenuhi kehangatan, canda tawa kini terasa dingin.
Alia menatap punggung kosong Fahmi yang perlahan menghilang dari penglihatannya. Setelah bunyi mesin mobil menyala, Alia menunduk melihat makanan buatannya yang sama sekali tidak dimakan oleh Fahmi.
Perasaan Alia mendadak menjadi kacau, tidak tenang. Pikiran overthinking mulai berseliweran.
“Apa mungkin Fahmi sengaja tidak sarapan agar nanti bisa sarapan bersama wanita selingkuhannya?”
Flashback.Satu bulan yang lalu.Seorang wanita berlari tergesa-gesa setelah turun dari pesawat yang baru saja dia tumpangi. Dia menggenggam erat ponsel dan tangan kirinya menarik koper, sesekali mencoba menghubungi nomor seseorang sambil berjalan lurus. Wajahnya tampak tak sabar ingin segera sampai ke tempat tujuan setelah melewati perjalanan panjang dari Bali ke Jakarta.“Kenapa tidak bisa dihubungi, ya?” gumam wanita itu saat panggilan itu dijawab oleh suara mbak-mbak operator.Wanita itu tak mau menyerah, berkali-kali menghubungi nomor yang dituju, walaupun sama sekali tak ada jawaban. Terlalu sibuk dengan ponsel hingga tidak sengaja menabrak tubuh lelaki berbadan besar dan ponselnya terjatuh begitu saja.“Maaf ... maaf, aku tidak sengaja,” ucapnya kikuk, segera memungut ponsel.“Kalau jalan hati-hati, Kak. Keadaan lagi ramai begini jangan main ponsel sambil jalan. Bahaya,” peringat lelaki itu dengan nada dingin.Wanita itu mendongak menatap wajah lelaki. Begitu juga dengan lelaki
Fahmi memarkirkan mobilnya di tempat parkir rumah sakit. Setelah mematikan mesin, lelaki itu tak segera turun dari mobil. Dia termenung menunduk, menatap setir mobil dengan tatapan mata kosong. Misella. Kenapa wanita itu kembali di waktu yang tidak tepat. Semua yang terjadi itu adalah kesalahan dirinya. Fahmi menghela napas, mengatur detak jantungnya karena kesal pada diri sendiri. Bodoh! Lelaki bodoh! Kembalinya Misella membuat dirinya goyah dan pertahanannya runtuh dalam beberapa hari. Fakta teramat jelas, masih mencintai Misella. Sampai kapan pun Fahmi belum mampu melupakan wanita itu. “Do you love her?” Sebuah pertanyaan dari Misella satu bulan lalu, ketika pertemuan pertama sekembalinya Misella. Fahmi ingat kejadian itu. Dirinya berusaha untuk setia, namun pendiriannya goyah sejak kedatangan Misella. “Yes. I love her.” “Apa kamu masih mencintaiku?” “Jangan tanyakan itu, aku sudah beristri, Sel. Kamu harus mengerti. Ada hati yang harus aku jaga.” Di dalam mobil, Fahmi me
“ALIA!” Alia tersentak kaget saat suara Bu Linda menelusup telinganya. "Iya, Bu. Ada apa?” tanya Alia segera berdiri, menoleh ke arah Linda yang wajahnya sudah merah padam. Dia baru menyadari sejak tadi duduk melamun di waktu jam dinas. “Melamun dari tadi! Apa yang kamu pikirkan?!” tanya Bu Linda sinis. “Cuci muka dulu sana!” perintah Bu Linda. Alia segera meminta maaf dan keluar menuju toilet. Astaga. Baru pertama kali ini pikiran Alia selalu tertuju pada Fahmi. Ini sangat menggangu pekerjaannya, membuat Alia tak fokus sama sekali. Wanita itu menatap wajahnya di pantulan cermin wastafel. Ditambah lagi semalam menunggu Fahmi pulang hingga larut malam, sehingga jam tidurnya berkurang. Kepala Alia pening, tiba-tiba Alia mencoba menghubungi Fahmi. Panggilan pertama sama sekali tidak diangkat, dan panggilan kedua barulah ada jawaban dari Fahmi. “Hallo, Mas,” sapa Alia. “Aku ganggu enggak?” “Iya, La. Ada apa?” Hening sesaat. “Nanti malam mau aku masakin apa?” Pertanyaan itu tiba-ti
“Aku nggak nyangka ternyata wanita yang aku tabrak di airport itu Misella.” Erza geleng-geleng kepala mengingat kejadian satu bulan lalu, dirinya menasehati wanita yang sibuk bermain ponsel sambil berjalan, pantas saja wajah wanita itu tak asing bagi Erza. “Bukankah dia dulu pernah menjadi calon istrimu, Mi?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Erza. Fahmi mengerti, sebab kejadian gagalnya pernikahan Fahmi dan Misella, Erza sedang berada di luar negeri karena ada urusan yang mendadak. “Panjang ceritanya, Za.” Erza menepuk pundak Fahmi. “Lain kali bisa bercerita, nggak harus sekarang juga. Aku ini sahabatmu. Jadi kalau ada apa-apa datanglah kepadaku, aku akan menjadi pendengar baik.” Fahmi tersenyum lebar. “Thanks, bro!” Keduanya sedang berada di kantin untuk makan siang. Fahmi menatap bekal makan siang dari sang istrinya, sama sekali tidak di makan, hanya ditatap kosong. Rasa bersalah mulai memuncak dalam diri Fahmi sejak hubungan bertambah dekat dengan Misella, Fahmi
Satu jam Alia habiskan untuk berbelanja, dia dengan bersemangat mendorong troli belanja di Supermarket, belanja kebutuhan sehari-hari dan tidak lupa membeli keperluan untuk dimasak malam ini juga. Setelah puas belanja, Alia menyibukkan diri di dapur. Semua bahan yang tadi dibeli sudah tersedia di atas meja. Sebelum menikah dan setelah menjadi pengantin baru, Alia memang tak pandai memasak, namun dia berusaha mengikuti kelas memasak. Alia malu pada Fahmi, masa sang suami lebih pandai memasak ketimbang sang istri? Jadi Alia tak mau kalah dari Fahmi. Alia ingin lebih pandai memasak, walaupun tangan sering terkena cipratan minyak panas. Semua makanan sudah terhidang dan tertata rapih di atas meja makan. Makanan sudah siap untuk dimakan. Alia melihat ke arah jam dinding, tak terasa sudah pukul setengah tujuh malam. Tiga puluh menit lagi Fahmi pulang, Alia tidak sabar masakannya akan dinikmati oleh Fahmi. Alia bergegas naik tangga untuk melakukan ritual mandi. Lima belas menit berlalu, Al
Astaga. Ya Tuhan! Alia meremas dadanya, hatinya terasa begitu sakit dan dadanya sesak sekali. Sekuat tenaga tidak membiarkan air matanya jatuh. Alia bangkit, turun dari tangga, berjalan menuju dapur. Alia menatap sedih makanan. Tiga jam lebih menunggu Fahmi pulang untuk makan malam bersama, namun kekecewaan yang didapatkan bahwa Fahmi sudah makan di rumah sakit. Jadi selama ini Alia memasak sia-sia? Makanan terbuang sia-sia juga. Apakah masakannya tidak enak, sehingga Fahmi tak ingin makan di rumah? Setelah membereskan makanan, Alia segera masuk ke kamar. Pandangan pertama tertuju pada ponsel Fahmi menyala di nakas. Ada rasa sedikit penasaran, Alia meraih ponsel itu, rupanya ada satu pesan masuk. “Genta?” gumam Alia saat melihat nama kontak. Isi pesan dari Genta: Sudah tidur belum, Mas? Kening Alia berkerut. Tak paham. Sebenarnya siapa Genta itu? Kenapa Genta mengirimkan pesan seperti itu? Bukankah Genta itu laki-laki? Kenapa memanggil Fahmi dengan sebutan ‘Mas.’ Sangat tidak m
“KAMU TULI?! AKU BILANG. AKU TIDAK LAPAR, ALIA!!!” bentak Fahmi dengan nada tinggi. Kedua bola mata menatap tajam ke Alia. DEG! Jantung Alia berdetak hebat. Dia tersentak kaget. Matanya sama sekali tidak berkedip. Pagi-pagi Alia sudah mendapatkan bentakan dari sang suami. “Kenapa kamu jadi membentakku?!” Alia tidak terima dibentak olehnya. “Memangnya aku salah menyuruhmu untuk sarapan?! Aku istrimu, Mas! Kalau kamu tidak mau sarapan, it's okay. Tidak perlu membentak segala!” cerocos Alia. Fahmi mengacak rambutnya hingga berantakan, kepalanya pening pagi-pagi sudah ribut dengan istrinya. Sadar telah membentak Alia dengan suara keras. Ada rasa penyesalahan sedikit telah membentak Alia. Fahmi tahu Alia type wanita yang tidak suka dibentak. “Maaf telah membentakmu,” sesal Fahmi. “Sudahlah aku berangkat sekarang,” pamitnya. Lelaki itu langsung meninggalkan Alia tanpa mencium keningnya seperti dulu lagi. Padahal tadi Alia akan mendekati Fahmi untuk menyalaminya, tapi Fahmi menghirauk
Fahmi dan Misella sedang menikmati makan siang di kantin, beruntung keadaan kantin tidak ramai, jadi kedua orang itu menikmati waktu berduaan tanpa ada gangguan suara berisik. Lebih beruntung kali ini Erza tak ikut makan siang bersama mereka. “Tumben nggak bawa bekal makan siang. Biasanya kamu bawa bekal makan siang dari istrimu,” celutuk Misella setelah menyadari Fahmi memesan makanan kantin. “Hari ini Istri kamu nggak masak, Mas?” tebak Misella. Fahmi terdiam sesaat, kalau dipikir-pikir semakin hari hubungan dengan Alia semakin tak begitu dekat layaknya pasangan suami istri, justru Fahmi semakin lengket dengan Misella. Sebelum menjawab, Fahmi meraih energy drink-nya. Meneguk cukup banyak. “Hari ini dia nggak masak, Sel.” Mendengar itu, Misella agak kesal pada Alia. “Istri macam apa itu tidak memasak untuk suaminya. Membiarkan suaminya kelaparan,” dumel Misella. “Sudah jangan dibahas. Cepat habiskan makan siang dahulu,” perintah Fahmi. Misella memotong daging chicken steak it