“Siapa wanita jalang itu? Apa dia jauh lebih cantik?”
“Tidak.”
“KATAKAN DENGAN JUJUR!” perintah Alia.
“Kita bisa membicarakan ini dengan baik-baik. Tak perlu berteriak seperti itu.”
Bagaimana tidak emosi dan marah? Mengetahui suaminya berciuman dengan wanita lain?
“Okay. Fine.” Alia menurut. “Apa dia lebih cantik dariku?”
Membutuhkan waktu beberapa menit untuk menjawab.
“She so pretty.”
“Damn!” Alia mengacak rambutnya frustasi. Ingin menangis keras, namun ditahan. Raut wajahnya terlihat begitu menyedihkan.
Bagaimana pun harus menerima kenyataan ini.
Keduanya hening beberapa saat.
Tiga menit kemudian.
“Ini yang pertama. Kalau memang iya kamu berselingkuh, akan aku berikan kesempatan kedua.”
Suara Alia tidak setinggi tadi, sekarang lebih terdengar serak. Lelaki yang belum lama menikahi dirinya, pernikahan baru berjalan tiga bulan namun telah mengkhianati kepercayaannya.
“I'm so sorry, Alia.”
Permintaan maaf yang tidak ada artinya bagi Alia.
“Aku hanya butuh jawaban jujur dan pasti, Mas!” desak Alia. “Tidak membutuhkan permintaan maaf darimu.”
Beberapa detik kemudian Fahmi membuka mulut. “Aku memang berselingkuh,” jawab Fahmi dengan jujur. Menunduk kepala secara perlahan, memainkan jemarinya yang bergetar “Tapi aku sama sekali tidak bercinta dengannya. Hanya berciuman. Tidak lebih! Percayalah.”
“Hanya berciuman, namun kamu hampir bercinta dengannya?”
“Tidak, Al. Sama sekali tidak!”
Perselingkuhan satu bulan ini terjaga kerahasiaan, akhirnya terbongkar.
Seperti kata, ‘sepandai pandainya menyimpan bangkai pasti akan tercium juga, serapih apapun bangkai ditutupi tetap saja bau busuk akan menyebar kemana-mana, dan begitupun kebenaran akan muncul ke permukaan dengan jalan yang terdengar sama sekali tidak terduga.’
Untuk sepersekian detik di sana, Alia bungkam. Mata terasa begitu panas setelah mendengar jawaban Fahmi. Wanita itu membukam mulutnya dengan sekuat tenaga agar tidak menangis, tetapi tetap saja dia menangis karena sudah tidak bisa menahan kesedihannya ini.
Alia menangis bersamaan air hujan yang mulai turun.
Keduanya bungkam seribu bahasa, telinga mereka sama-sama mendengar rintik yang mengetuk di luar jendela disusul luapan hujan yang turun dengan deras.
“Aku minta maaf, Alia,” ungkap Fahmi dengan rasa bersalah. “Aku benar-benar minta maaf padamu.”
“Berhentilah untuk meminta maaf.” Permintaan maaf tidak akan menyembuhkan luka hati Alia yang sudah terlanjur bernanah. “Kenapa kamu melakukan itu?”
Fahmi tidak menjawab.
“Jawab!”
“Aku tidak tahu. Itu terjadi begitu saja. Aku sayang kamu, Alia. Aku tidak akan mengulangi lagi. Sungguh!”
Membela diri setelah hal bodoh dilakukan. Tampaknya Fahmi ingin memeluk Alia, tapi diurungkan. Mungkin lelaki itu merasa tak pantas setelah apa yang dilakukan kepada istrinya.
Sial! Benar-benar sialan!
Hati Alia mulai meradang. Pengakuan itu membuat hatinya terluka. Selama ini Alia menaruh kepercayaan suaminya, namun telah dikhianati.
Tidak ada penjelasan detail dari Fahmi. Alia memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan. Dia memutar badannya ‘tuk menatap hujan yang turun. Menggigit bibir bawah sembari menahan amarah, kesedihan, dan rasa sesak di dada.
Alia menangis bersama bulir-bulir nestapa langit tampak benar-benar menumpahkan segala keluh kesahnya.
***
Alia menegakkan tubuhnya di kursi dan memalingkan pandangan. Sudah pukul sepuluh malam. Kendati di luar nampak gelap gurita, tidak ada bulan yang bersinar di langit, dan beberapa rumah gelap mungkin lampu sudah telah dimatikan.
Tubuh Alia terduduk tenang terlihat sedikit membungkuk sebab kelelahan. Secangkir kopi di atas meja telah tandas, kopi itu untuk menghilangkan rasa kantuk. Dua jam lebih Alia habiskan untuk menonton film The Medium sembari menunggu kepulangan sang suami.
Sudah menonton film The Medium?
Menceritakan tentang warisan seorang dukun yang merasuki sebuah keluarga di Isan, daerah terpencil di Thailand. Warga di tempat yakin apabila roh jahat dapat hadir dan masuk ke dalam tubuh dukun pada upacara tertentu. Alia hanya bisa mengatakan film ini gila, sangat menakjubkan. Tapi ada efek traumatis setelah menonton, karena banyak adegan ritual pemujaan, balok, penghafal mantra, dan mistik.
Setelah selesai menonton, wanita itu terdiam. Sejenak memutuskan konsentrasi dari layar laptop, dia memutar kursi menghadap jendela lalu bungkam seribu bahasa saat mendengar suara rintik air hujan yang mengetuk di luar jendela.
Di luar sedang hujan turun dengan deras. Pikiran Alia langsung tertuju pada Fahmi. Sebenarnya Alia percaya saja bahwa Fahmi sedang lembur bekerja di rumah sakit, tapi Fahmi masuk shift pagi. Seharusnya suaminya pulang lebih awal.
Sudah biasa menunggu Fahmi pulang, jadi tak mengherankan lagi. Alia kemudian meloloskan hela napas berat, bangkit, melangkah lambat menuju jendela dan melebarkan tirai yang tadinya terbuka hanya sedikit, sekarang dia bisa mengintip keluar. Alia berdiri sambil memperhatikan air hujan yang turun.
Ah, Alia tidak menyukai hujan malam ini.
“Aku benci hujan,” lirih Alia dengan perasaan tak tenang sama sekali.
Sejenak membuat Alia terkesiap saat sepenggal memori melintas cepat di dalam kepala, tatkala Fahmi pernah berkata padanya, “Aku tidak tahu. Itu terjadi begitu saja. Aku sayang kamu, Alia. Aku tidak akan mengulangi lagi. Sungguh!”
Ah, bullshits!
Semakin membuat hati dan pikiran menjadi kacau saat mendapati pesan dari seseorang, orang itu mengirimkan foto yang diambil secara diam-diam, foto postur badan Fahmi sedang berjalan bersama wanita.
Alia tak bisa membayangkan jika suaminya sedang bercengkrama bersama selingkuhannya, saling menatap, berjalan berdampingan, dan berpegangan tangan.
Damn!
Membayangkan saja membuat hatinya sakit sekali, apalagi melihat secara langsung. Ingin rasanya Alia mendatangi mereka berdua saat ketahuan selingkuh dan bila perlu membabi buta di sana.
Muak!
Frustasi sudah.
Bagaimana caranya agar Fahmi kembali kepelukan Alia dan meninggalkan wanita itu?
Saking terpikirkan hubungan mereka berdua hingga membuat Alia tanpa disadari meneteskan air mata. Kepalanya sakit. Semuanya terasa sakit.
Badai di sini masih tetap gaduh. Berisik. Gemuruh. Mirip seperti hatinya. Sakit seperti tertusuk ribuan panah.
Alia benci perasaan seperti ini.
Sekarang, apa yang harus Alia lakukan? Harus bagaimana untuk menghadapi hidup ke depannya? Apakah Alia mampu bertahan setelah memaafkannya?
Pukul lima pagi Alia sudah terjaga dari tidurnya. Wanita itu selalu ingat dengan perkataan ibunya, dia harus terbiasa bangun pagi setelah menikah.Alia menurunkan kedua kaki jenjangnya dari ranjang, melakukan pergerakan tubuh sebentar, dan menarik napas panjang lalu dihembuskan, menikmati udara di pagi.Kepalanya menoleh ke samping, mendapati Fahmi sedang tertidur pulas. Terlihat dari raut wajahnya nampak kelelahan.Alia termenung, sejak terungkap suaminya berselingkuh. Ada yang aneh, Fahmi benar-benar tidak menginginkan dirinya setiap malam, dan malam-malam selanjutnya.Alia tidak pernah lagi meminta sentuhan dari Fahmi, karena akan dibuat merasa harga dirinya terinjak.Apa Alia sama sekali tidak lagi membuat gairah Fahmi terusik?Ah, memikirkan hal itu membuat Alia sakit hati.Semalam Alia menunggu Fahmi pulang, namun yang ditunggu tak kunjung menampakkan diri. Alia pun ketiduran. Sudahlah, sekarang lupakan kejadian tadi malam. Sekarang waktunya mandi, membuat sarapan, dan bersiap un
Flashback.Satu bulan yang lalu.Seorang wanita berlari tergesa-gesa setelah turun dari pesawat yang baru saja dia tumpangi. Dia menggenggam erat ponsel dan tangan kirinya menarik koper, sesekali mencoba menghubungi nomor seseorang sambil berjalan lurus. Wajahnya tampak tak sabar ingin segera sampai ke tempat tujuan setelah melewati perjalanan panjang dari Bali ke Jakarta.“Kenapa tidak bisa dihubungi, ya?” gumam wanita itu saat panggilan itu dijawab oleh suara mbak-mbak operator.Wanita itu tak mau menyerah, berkali-kali menghubungi nomor yang dituju, walaupun sama sekali tak ada jawaban. Terlalu sibuk dengan ponsel hingga tidak sengaja menabrak tubuh lelaki berbadan besar dan ponselnya terjatuh begitu saja.“Maaf ... maaf, aku tidak sengaja,” ucapnya kikuk, segera memungut ponsel.“Kalau jalan hati-hati, Kak. Keadaan lagi ramai begini jangan main ponsel sambil jalan. Bahaya,” peringat lelaki itu dengan nada dingin.Wanita itu mendongak menatap wajah lelaki. Begitu juga dengan lelaki
Fahmi memarkirkan mobilnya di tempat parkir rumah sakit. Setelah mematikan mesin, lelaki itu tak segera turun dari mobil. Dia termenung menunduk, menatap setir mobil dengan tatapan mata kosong. Misella. Kenapa wanita itu kembali di waktu yang tidak tepat. Semua yang terjadi itu adalah kesalahan dirinya. Fahmi menghela napas, mengatur detak jantungnya karena kesal pada diri sendiri. Bodoh! Lelaki bodoh! Kembalinya Misella membuat dirinya goyah dan pertahanannya runtuh dalam beberapa hari. Fakta teramat jelas, masih mencintai Misella. Sampai kapan pun Fahmi belum mampu melupakan wanita itu. “Do you love her?” Sebuah pertanyaan dari Misella satu bulan lalu, ketika pertemuan pertama sekembalinya Misella. Fahmi ingat kejadian itu. Dirinya berusaha untuk setia, namun pendiriannya goyah sejak kedatangan Misella. “Yes. I love her.” “Apa kamu masih mencintaiku?” “Jangan tanyakan itu, aku sudah beristri, Sel. Kamu harus mengerti. Ada hati yang harus aku jaga.” Di dalam mobil, Fahmi me
“ALIA!” Alia tersentak kaget saat suara Bu Linda menelusup telinganya. "Iya, Bu. Ada apa?” tanya Alia segera berdiri, menoleh ke arah Linda yang wajahnya sudah merah padam. Dia baru menyadari sejak tadi duduk melamun di waktu jam dinas. “Melamun dari tadi! Apa yang kamu pikirkan?!” tanya Bu Linda sinis. “Cuci muka dulu sana!” perintah Bu Linda. Alia segera meminta maaf dan keluar menuju toilet. Astaga. Baru pertama kali ini pikiran Alia selalu tertuju pada Fahmi. Ini sangat menggangu pekerjaannya, membuat Alia tak fokus sama sekali. Wanita itu menatap wajahnya di pantulan cermin wastafel. Ditambah lagi semalam menunggu Fahmi pulang hingga larut malam, sehingga jam tidurnya berkurang. Kepala Alia pening, tiba-tiba Alia mencoba menghubungi Fahmi. Panggilan pertama sama sekali tidak diangkat, dan panggilan kedua barulah ada jawaban dari Fahmi. “Hallo, Mas,” sapa Alia. “Aku ganggu enggak?” “Iya, La. Ada apa?” Hening sesaat. “Nanti malam mau aku masakin apa?” Pertanyaan itu tiba-ti
“Aku nggak nyangka ternyata wanita yang aku tabrak di airport itu Misella.” Erza geleng-geleng kepala mengingat kejadian satu bulan lalu, dirinya menasehati wanita yang sibuk bermain ponsel sambil berjalan, pantas saja wajah wanita itu tak asing bagi Erza. “Bukankah dia dulu pernah menjadi calon istrimu, Mi?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Erza. Fahmi mengerti, sebab kejadian gagalnya pernikahan Fahmi dan Misella, Erza sedang berada di luar negeri karena ada urusan yang mendadak. “Panjang ceritanya, Za.” Erza menepuk pundak Fahmi. “Lain kali bisa bercerita, nggak harus sekarang juga. Aku ini sahabatmu. Jadi kalau ada apa-apa datanglah kepadaku, aku akan menjadi pendengar baik.” Fahmi tersenyum lebar. “Thanks, bro!” Keduanya sedang berada di kantin untuk makan siang. Fahmi menatap bekal makan siang dari sang istrinya, sama sekali tidak di makan, hanya ditatap kosong. Rasa bersalah mulai memuncak dalam diri Fahmi sejak hubungan bertambah dekat dengan Misella, Fahmi
Satu jam Alia habiskan untuk berbelanja, dia dengan bersemangat mendorong troli belanja di Supermarket, belanja kebutuhan sehari-hari dan tidak lupa membeli keperluan untuk dimasak malam ini juga. Setelah puas belanja, Alia menyibukkan diri di dapur. Semua bahan yang tadi dibeli sudah tersedia di atas meja. Sebelum menikah dan setelah menjadi pengantin baru, Alia memang tak pandai memasak, namun dia berusaha mengikuti kelas memasak. Alia malu pada Fahmi, masa sang suami lebih pandai memasak ketimbang sang istri? Jadi Alia tak mau kalah dari Fahmi. Alia ingin lebih pandai memasak, walaupun tangan sering terkena cipratan minyak panas. Semua makanan sudah terhidang dan tertata rapih di atas meja makan. Makanan sudah siap untuk dimakan. Alia melihat ke arah jam dinding, tak terasa sudah pukul setengah tujuh malam. Tiga puluh menit lagi Fahmi pulang, Alia tidak sabar masakannya akan dinikmati oleh Fahmi. Alia bergegas naik tangga untuk melakukan ritual mandi. Lima belas menit berlalu, Al
Astaga. Ya Tuhan! Alia meremas dadanya, hatinya terasa begitu sakit dan dadanya sesak sekali. Sekuat tenaga tidak membiarkan air matanya jatuh. Alia bangkit, turun dari tangga, berjalan menuju dapur. Alia menatap sedih makanan. Tiga jam lebih menunggu Fahmi pulang untuk makan malam bersama, namun kekecewaan yang didapatkan bahwa Fahmi sudah makan di rumah sakit. Jadi selama ini Alia memasak sia-sia? Makanan terbuang sia-sia juga. Apakah masakannya tidak enak, sehingga Fahmi tak ingin makan di rumah? Setelah membereskan makanan, Alia segera masuk ke kamar. Pandangan pertama tertuju pada ponsel Fahmi menyala di nakas. Ada rasa sedikit penasaran, Alia meraih ponsel itu, rupanya ada satu pesan masuk. “Genta?” gumam Alia saat melihat nama kontak. Isi pesan dari Genta: Sudah tidur belum, Mas? Kening Alia berkerut. Tak paham. Sebenarnya siapa Genta itu? Kenapa Genta mengirimkan pesan seperti itu? Bukankah Genta itu laki-laki? Kenapa memanggil Fahmi dengan sebutan ‘Mas.’ Sangat tidak m
“KAMU TULI?! AKU BILANG. AKU TIDAK LAPAR, ALIA!!!” bentak Fahmi dengan nada tinggi. Kedua bola mata menatap tajam ke Alia. DEG! Jantung Alia berdetak hebat. Dia tersentak kaget. Matanya sama sekali tidak berkedip. Pagi-pagi Alia sudah mendapatkan bentakan dari sang suami. “Kenapa kamu jadi membentakku?!” Alia tidak terima dibentak olehnya. “Memangnya aku salah menyuruhmu untuk sarapan?! Aku istrimu, Mas! Kalau kamu tidak mau sarapan, it's okay. Tidak perlu membentak segala!” cerocos Alia. Fahmi mengacak rambutnya hingga berantakan, kepalanya pening pagi-pagi sudah ribut dengan istrinya. Sadar telah membentak Alia dengan suara keras. Ada rasa penyesalahan sedikit telah membentak Alia. Fahmi tahu Alia type wanita yang tidak suka dibentak. “Maaf telah membentakmu,” sesal Fahmi. “Sudahlah aku berangkat sekarang,” pamitnya. Lelaki itu langsung meninggalkan Alia tanpa mencium keningnya seperti dulu lagi. Padahal tadi Alia akan mendekati Fahmi untuk menyalaminya, tapi Fahmi menghirauk
Para tamu bertanya-tanya termasuk Misella ikut terheran. Sontak Abian dan Alia menutup mulut tak percaya. Dikejutkan dengan kehadiran kedua orang tua Abian yang tiba-tiba datang bergabung di acara tersebut. Tak disangka-sangka mendapat surprise dari keluarga Abian. Ayah Mario, Ibu Caroline, Kak Amber dan juga Xylia si gadis kecil bule dengan rambut pirangnya."Sepertinya mereka dari keluarga terpandang," batin Misella menebak.Amber melambaikan tangan pada Abian dengan semangat sekali dan senyum lebarnya. Keluarga Abian pun semakin mendekat. Hati Alia terenyuh dengan kedatangan mereka. Alia pikir, keluarga Abian sangat mustahil untuk menginjak kaki di Jakarta. Sebab mereka lebih menyukai berada di Bali ketimbang di Jakarta, seperti pertama kali Abian memperkenalkan Alia pada keluarganya di Bali. "Siapa mereka?" ucap Papa Alia kebingungan."Mereka Keluarga saya, Pa. Ibu, ayah, dan kakakku dari Amerika," jawab Abian cepat. "Saya kira tidak akan datang."Tiffany melongo, begitu juga den
Sembilan bulan kemudian .... Setelah kejadian mengerikan di Belleza, rencana Robert berhasil total dan kematian Fahmi tidak membuat orang menaruh kecurigaan. Itulah gelapnya tinggal di hunian modern itu. Siapapun yang mempunyai uang, dia akan berkuasa. Pada dasarnya uang segalanya, termasuk uang membuat orang lain tutup mulut.Di hunian elit, Belleza unit 002 milik keluarga Robert.Keluarga Robert hidup jauh lebih bahagia daripada tahun kemarin. Kini Kayla sudah bisa berbicara walaupun belum amat jelas. Tingkah lucu dan nada bicara cadel Kayla sangat menghibur mereka. Apalagi Kayla cukup tanggap, pasti tumbuh besar menjadi anak pintar. "Kayla sayang ...!" Tiffany berteriak, melambaikan tangannya dengan senyum lebarnya. Saking kangennya dengan cucunya. "Nenek datang!"Kayla baru turun dari tangga dituntun oleh Misella. Misella langsung berkata, "Hayo, siapa yang datang itu, Kay?" nunjuknya ke arah pintu.Awalnya Kayla sempat bingung, tapi langsung sadar. Tubuh mungil itu berlari untuk
Deg."APA KATAMU?!" Robert sangat terkejut. Berdiri dengan sorot mata tidak percaya. "Putriku tidak mungkin melakukan itu!"Bella terkaget-kaget. Tiffany yang baru sadar dari pingsan, syok kembali. Membekap mulutnya tidak menyangka. "T-tidak! Putriku bukan anak pembunuh!" Geleng-geleng kepala. "Pasti ada kesalahpahaman. Iya, kan?!""Maaf ... Saya melihat dengan kepala saya sendiri! Bahwa Putri Anda yang mendorong Fahmi!" tegas pengawal itu meyakinkan. "Harus ke atas sekarang kalau tidak percaya."Mereka langsung berlari-lari naik tangga menuju kamar Kayla. Mulut mereka terbuka lebar saat melihat jendela kaca telah hancur. Mata masing-masing menangkap punggung Misella, berdiri di antara serpihan kaca berserakan di lantai. Tidak ada yang memperdulikan betapa cantiknya warna kembang api di menyala-nyala.Robert membalikkan badan Misella. "Apa yang sebenarnya terjadi?!" tanya Robert butuh penjelasan. "Kenapa begitu berantakan di sini?!" tambah Robert.Kesadaran Misella kembali saat kedat
"T-tapi Tuan ...." "Tidak ada tapi tapi!" Robert masih punya secuil rasa kasihan setelah melihat Fahmi begitu mengenaskan. "Beri waktu dua menit dan awasi dia jangan sampai menyentuh sedikitpun cucu saya! Kalau cucu saya sedang tidur, jangan sampai lelaki itu membangunkan!""Baik Tuan." Body guard menurut, mereka pun menghampiri Fahmi. "Hei! Ayo jalan!" perintahnya karena Fahmi hanya diam tak bergerak. "Cepat jalan! Sebelum Tuan Robert berubah pikiran!"Fahmi pun berjalan pincang naik ke arah tangga dikawal ketat. Meninggalkan Robert di bawah bersama putri pertama. Bella dengan penuh amarah menghampiri Robert yang melamun dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celana."Papa!" teriak Bella. "Papa yang benar saja membiarkan lelaki bajingan itu menemui Kayla?! Di atas juga ada Sella!" Marah Bella, geleng-geleng kepala kenapa Papanya berbuat demikian.Robert menatap putri pertamanya. "Sudah. Kamu jangan marah begitu," tanggap Robert
Robert kembali ke apartemen karena baru selesai menyelesaikan beberapa pekerjaan mendadak di hari tersebut. Awalnya Robert ingin menikmati waktu malam tahun baru bersama sang istrinya, alhasil gagal. Saat pulang lelaki tua geram setelah mendapatkan pesan dari putrinya. "Dia datang sendirian?" tanya Robert pada dua body guard itu.Salah satu body guard menjawab, "Sepertinya sendiri, Tuan. Saya mendapat notif panggilan banyak sekali dari putri dan istri Anda.""Kenapa dia ada di sini?" Napas Robert terdengar berat. Sangat heran sekali. "Apa tidak punya harga diri?" sinisnya mengingat wajah Fahmi yang begitu memuakkan."Mungkin dia lapar," tebak body guard setengah bercanda."Dia lapar pada hari ini?" Satu alis Robert naik."Kan Tuan yang membuatnya miskin tak punya apa-apa. Jadi, dia berusaha mendatangi keluarga Tuan agar mendapat belas kasih," jelas body guard itu."Ah, iya. Kalau begitu kita harus cepat!"Dua b
Jantung Misella terasa dihantam batu. Selama ini tidak pernah mengizinkan Fahmi melihat wajah putrinya. Batinnya pedih mendengar permintaan Fahmi, Misella merasa menjadi Ibu yang jahat. Sorot mata Fahmi hampir membuat pertahanan Misella goyah, rasa kasihan segera ditepis jauh-jauh.“Dia hanya mantan suami yang tidak tahu diri!” batinnya memperingatkan."Jangan mimpi. Jangankan Sella sebagai ibu! Aku saja tak akan membiarkanmu bertemu Kayla," sinis Bella. "Pergilah dari sini!" Bella menarik paksa tangan Misella, cepat-cepat memencet sandi pintu.Misella menoleh ke belakang, terperangah Fahmi semakin mendekat. Hah?! secepat itu? "Kak! Ayo cepat!" Menarik-narik dress Bella dengan panik."Sabar dong, Sel. Tangan Kakak jadi tremor ini," balasnya bersamaan bunyi pintu apartemen terbuka.Keduanya bergerak cepat masuk ke dalam saat pintu akan tertutup sempurna, tangan Fahmi menerobos pintu tak peduli akan terjepit. Misella dan Bella langsung mendorong sekuat tenaga agar pintu tertutup."Hanya
Lima jam yang lalu.Misella dan Bella saling berdebat kecil mengenai undangan party dari Yuna. Bella merobek-robek kertas undangan pink pastel cantik itu dengan kesal. "Untuk apa kau datang?! Bukannya lebih baik kamu mengabaikan wanita penyebalkan itu!" omel Bella, pipinya merah menyala. Tak habis pikir jalan pikiran adiknya itu. Diperlakukan buruk, dipermalukan masih saja mau bergabung dengan orang bermuka tebal. Misella berdiri memasang muka tanpa dosa di depan Bella. "Aku hanya ingin datang. Apa salahnya, sih, Kak?""Salah! Memang salah." Bella menarik napas dalam-dalam. Sadar, hanya masalah kecil sampai berdebat dan emosi begini. "Sudah, abaikan saja," lanjutnya menahan diri—merebahkan tubuhnya di sofa."Aku mau datang! Titik." Misella keukuh. "Aku belum pernah datang ke party tahun baru."Bella memutar bola matanya. Astaga. Adiknya sudah dewasa tapi masih keras kepala. Tidak pernah menurut perkataanya. "Ya sudah. Aku temenin! Jangan sendirian. Bisa jadi kamu akan dipermalukan de
Sudah setengah jam Alia pingsan, kini mulai sadar. Matanya mulai terbuka, pandangan pertama yang dilihat adalah lampu cantik di atas langit-langit dinding yang menggantung. "Akhirmya kamu juga sadar, sayang." Abian menghela napas lega. Setia menunggu Alia bangun, tak melepas genggaman tangan.Alia melihat Abian duduk di sampingnya. "A-apa yang terjadi padaku? Di mana kita?" tanyanya bingung, sadar sedang bukan di kamar miliknya, kamar itu asing.Pelayan datang membawa segelas air putih, diberikan pada Abian. "Minum dulu," perintah Abian.Alia bangun dari posisi baringnya. Meminum beberapa teguk air putih dibantu Abian memegang gelasnya."Kamu pingsan, sayang. Kita masih di apartemen Yuna," ucap Abian memberi tahu. Alia sadar seketika. Matanya membesar, ingat kejadian menakutkan. Memegang kepalanya yang terasa pusing. Dia langsung turun dari ranjang tanpa berpikir panjang, tubuhnya oleng—untunglah pelayan siap siaga me
Bunyi kaca pecah mengangetkan dan tiba-tiba ada teriakan dari atas membuat empat orang di balkon itu menengadah kepala ke atas. Betapa terkejutnya melihat ada seseorang di atas sana—di dorong hingga tubuhnya hilang kendali, jatuh bersamaan serpihan kaca tebal telah melukai setiap kulitnya. Tangan itu berusaha menggapai di udara, namun malangnya tak bisa berpegang benda apapun.Pasrah dalam hitungan detik tubuh itu jatuh melewati samping kiri balkon hingga menghantam sky light lobby apartemen yang terbuat dari kaca. Sky light berbentuk persegi panjang terpecah, hancur seketika. Saat menghantam lantai seketika sel sel dalam tubuh meledak. Pembuluh darah pecah sehingga tak ada sirkulasi oksigen ke seluruh tubuh membuat organ vital dan otak berhenti berfungsi. Tengkorak hancur beberapa bagian dan darah terciprat ke mana-mana.Orang-orang sedang berada lobby terkejut mendengar bunyi amat keras lalu diperlihatkan tubuh tergeletak tak bernyawa. Tak hanya itu penghuni Bel