Bulan mendesah, dia tak sadar sudah mengucapkan kalimat harapan pada Langit.“Iya, ya, aku hanya bercanda,” ucap Langit kemudian.Dia tak suka melihat Bulan merenggut gara-gara ucapannya barusan. Mereka mengambil beberapa strawberry yang masak, Langit menyuapi istrinya yang tampak suka sekali memakannya.“yang ini asam langit, seperti wajahmu.”“Sial, sejak kapan wajahku yang setampan ini berubah menjadi asam.”Bulan tertawa terbahak-bahak, melihat raut wajah Langit yang tampak begitu kesal dengannya. Mereka berjalan beriringan menuju pohon rambutan yang tidak begitu tinggi. Lagi-lagi mata bulan berbinar melihat buah rambutan yang begitu lebat. Warna-warninya begitu memanjakan mata.“Langit aku boleh mengambilnya?”Langit mengangguk, ”Kamu duduk saja biar aku ambilkan.”Bulan menuruti perintah suaminya, dia duduk di sebuah gubuk kecil menunggu langit mengambilkan beberapa rambutan.Langit sendiri keheranan dia tak menyangka Bulan yang tidak pernah tinggal di pinggiran kota te
Bulan menyusul Ibu Langit ke dapur. Walaupun dia tak pandai memasak rasanya aneh jika dia berada di sana dan tidak melakukan apapun.“Bulan, kenapa di sini, Nak? Tak menemani Langit? Ada teman Langit datang, kan?”“Iya, Bu, Bulan tak mau mengganggu mereka.”Ibu Langit menepuk tempat kosong di sebelahnya. Walaupun raut wajahnya masih pucat, tapi tak mampu menutupi raut kegembiraannya. Bulan menurut, dia mendudukkan tubuhnya di samping Ibu mertuanya.“Kamu tahu perempuan yang mencari Langit?” tanya Ibu Langit penasaran.Pasalnya dia merasa tak suka dengan Baby yang menurutnya kurang etika.Bulan mengangguk, sedikit banyak dia memang tahu gadis itu. Namun Bulan cukup tahu diri dengan apa yang harus dia lakukan terhadap mereka.“Mereka rekan kerja, Bu.”Ibu langit mengerutkan dahinya, dia seolah tak percaya dengan ucapan Bulan barusan. Walaupun putranya seorang lawyer bukankah cukup aneh jika kliennya sampai mencarinya ke rumah orang tuanya di hari libur pula.“Entahlah, tapi Ibu
Bulan menoleh ke arah mertuanya yang masih agak kesal dengan putranya. Dia melambaikan tangan pada Bulan, menyuruhnya mendekat. Bulan mengangguk dan mendekati Ibu Langit. “Cepat sana antarkan jus pada tamumu, nanti dia kehausan.”“Ibu mengusirku?” “Enggak, Ibu cuma mau sama Bulan, kami nggak mau mengganggu kamu.”Langit cemberut, dia merasa sedang dianaktirikan oleh ibunya sendiri. Padahal status Bulan di mata Ibunya tak lebih dari kekasihnya. Langit meninggalkan dua perempuan yang sangat dicintainya. Selama menuju ke ruang tengah dia berpikir bagaimana cara mengusir Baby agar segera meninggalkan rumah ibunya.Sepertinya dia salah melangkah, dia bukannya memadamkan api kali ini, tapi malah membuat api makin menyala.Langit meletakkan jus jambu di atas meja dan menyuruh Baby meminumnya.“Minumlah, ini fresh. Rasanya pasti lebih enak.”Baby tersenyum, dia meraih gelas di depannya dan meneguknya perlahan.“Manis, enak, aku suka. Kamu memang pandai membuatnya.”Dengan percaya
Langit menatap istrinya tajam. Dia sedang mengusahakan perdamaian, tapi malah istrinya yang memulai perang kembali. “Bulan.”“Sorry, aku keceplosan,” ucapnya seraya menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Bulan melirik ke arah Ibu Langit yang tampak menahan tawa.Bulan merasa nyaman saat bersama Ibu Langit, seolah dia merasa punya ibu kedua selain mamanya. Mamanya yang jarang ada waktu bersamanya, tapi bisa memenuhi segala keinginannya, sedangkan Ibu Langit, dia memiliki banyak waktu untuk memanjakannya, memberinya kasih sayang yang berlimpah walau baru bertemu. Hidup memang tak ada yang sempurna. Sama seperti hidup Langit, dia memiliki orang tua yang membutuhkannya dan menyayanginya, memiliki banyak waktu mendengar keluh kesahnya, tapi di sisi lain Langit harus berjuang mati-matian demi menghidupi dirinya dan juga ibunya.Langit berdeham, “Tunggu di sini, aku antar Baby sampai depan.”Bulan diam saja, dia tak menjawab ucapan suaminya. Bulan memilih menyibukkan diri mem
Suasana hangat begitu tercipta di meja makan. Mereka bertiga sudah seperti keluarga yang sempurna.Sesekali Langit mencuri pandang ke arah istrinya yang tampak begitu ceria. Begitu juga Ibunya. Andai apa yang terjadi hari ini bisa selamanya seperti ini betapa takdir begitu menyayanginya.“Langit!”“Hem, iya, Bu.”“Kapan kalian menikah?”Petir seolah menyambar di atas langit rumah. Dia tak menyangka ibunya langsung menanyakan hal itu pada pertemuan pertamanya dengan Bulan. Bulan seolah memiliki magnet tersendiri bagi Ibunya. Ibu langit yang tadinya sedang sakit sekarang terlihat segar bugar. Begitu juga sebaliknya, Bulan yang masih belum terlalu sehat kini juga terlihat semringah.“Bu.”Langit merasa tak enak dengan Bulan walaupun pada kenyataannya dia dan Bulan memang sudah menikah.“Kenapa Langit, kenapa raut wajahmu begitu cemas? Ada maslah dengan hubungan kalian?”Bulan yang cepat tanggap memegang tangan Langit yang berada d atas meja makan. Bulan menatap Ibu Langit dan t
Bulan merasai sesuatu mengenai kakinya.“Langit. Langit tolong aku. Ada ular di kakiku.” Dengan gerakan secepat kilat, Langit segera melihatnya. Dia tersenyum tatkala matanya menemukan seekor belut yang kebetulan diinjak Bulan.“Langiitt... apa itu?” tanya Bulan bergidik ngeri.Ini pertama kali dia melihat belut yang menurutnya seperti ular. Langit mengambil belut dan menentengnya, dia menggoda Bulan yang sedang ketakutan.“Langit, jauhkan dariku.”“Ini enak di makan, Bulan. Jangan norak.”“Nggak, aku nggak mau. Langit tolong buang.”Langit menuruti keinginan istrinya, dia melemparkan belut. Sayangnya bukan ke arah lain melainkan ke arah Bulan. Bulan berhasil menghindar dan menjerit ketakutan. Dia berlari memeluk suaminya dan mengaitkan kedua kakinya di pinggang Langit.“Langit, jangan, Langit. Aku takut.”“Salah siapa main di sawah. Bukankah tadi aku sudah melarangmu kemari?”Langit tersenyum, dia sedang mendapat rezeki nomplok. Kapan lagi dia merasakan pelukan erat dari
Malam kian larut. Bulan merasa dunia begitu berputar begitu cepat. Menit demi menit seolah saling berkejaran dengan terburu-buru . Rasanya baru pagi tadi dia datang ke sana, tapi kenapa secepat itu pula dia harus kembali keesokan harinya.Setelah selesai makan malam, Bulan masuk ke kamarnya. Kamar tamu yang memang diperuntukkan bagi tamu yang menginap. Letaknya yang berada di depan tak jauh dari kamar Langit.Tadinya Ibu Langit sudah menawarkan pada Bulan untuk tidur dengannya. Namun, Bulan tak mau merepotkannya, ditambah lagi ini pertemuan mereka yang pertama. Bulan merasa sungkan dan canggung jika harus tidur dengan Ibu Langit.Saat sedang menatap langit-langit kamarnya, Bulan dikejutkan dering ponselnya.“Ada apa!”“Jutek bener, PMS?”“Enggak. Ada apa? Cepat katakan.”“Aku hanya sedikit khawatir denganmu. Aku yakin kamu tak bisa tidur tanpa ku.”“Cih, nggak usah ge-er.”Tut..tut...Bulan mengakhirinya panggilan secara sepihak. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Tuju
Dengan Langkah gontai dia berjalan kembali ke kamarnya. Wajahnya masih memerah menahan malu. Gara-gara` semalaman dia lupa dan tertidur di kamar Bulan, semuanya jadi runyam.Untung saja Mbok Jasmi mengerti dengan permintaannya untuk menutup mulutnya rapat-rapat.“Langit nggak ngapa-ngapain, Mbok, hanya tidur saja. Itu pun karena Langit ketiduran. Tolong jangan katakan pada Ibu.”Mbok Jasmi yang cukup mengenalnya hanya mengangguk seraya tersenyum-senyum penuh arti. Di depan kamar mandi Langit berpapasan dengan Bulan yang sedang menguap. Dia masih belum sadar dengan apa yang terjadi pagi ini.“Good morning, Langit,” ucapnya tersenyum.“Fiuh.”Mata Bulan menyipit. Namun, sebelum mulutnya membuka, Ibu Langit lebih dulu menyapanya.“Sudah mandi, Nak.”“Sudah, Bu. Maafkan Bulan kalau selama Bulan di sini sudah merepotkan Ibu dan membuat kesalahan yang tak disengaja.”“Ini bukan hari raya, nggak perlu minta maaf.”Bulan tertawa. Ibu Langit memang paling bisa membuat tawanya meleb