Bulan menyusul Ibu Langit ke dapur. Walaupun dia tak pandai memasak rasanya aneh jika dia berada di sana dan tidak melakukan apapun.“Bulan, kenapa di sini, Nak? Tak menemani Langit? Ada teman Langit datang, kan?”“Iya, Bu, Bulan tak mau mengganggu mereka.”Ibu Langit menepuk tempat kosong di sebelahnya. Walaupun raut wajahnya masih pucat, tapi tak mampu menutupi raut kegembiraannya. Bulan menurut, dia mendudukkan tubuhnya di samping Ibu mertuanya.“Kamu tahu perempuan yang mencari Langit?” tanya Ibu Langit penasaran.Pasalnya dia merasa tak suka dengan Baby yang menurutnya kurang etika.Bulan mengangguk, sedikit banyak dia memang tahu gadis itu. Namun Bulan cukup tahu diri dengan apa yang harus dia lakukan terhadap mereka.“Mereka rekan kerja, Bu.”Ibu langit mengerutkan dahinya, dia seolah tak percaya dengan ucapan Bulan barusan. Walaupun putranya seorang lawyer bukankah cukup aneh jika kliennya sampai mencarinya ke rumah orang tuanya di hari libur pula.“Entahlah, tapi Ibu
Bulan menoleh ke arah mertuanya yang masih agak kesal dengan putranya. Dia melambaikan tangan pada Bulan, menyuruhnya mendekat. Bulan mengangguk dan mendekati Ibu Langit. “Cepat sana antarkan jus pada tamumu, nanti dia kehausan.”“Ibu mengusirku?” “Enggak, Ibu cuma mau sama Bulan, kami nggak mau mengganggu kamu.”Langit cemberut, dia merasa sedang dianaktirikan oleh ibunya sendiri. Padahal status Bulan di mata Ibunya tak lebih dari kekasihnya. Langit meninggalkan dua perempuan yang sangat dicintainya. Selama menuju ke ruang tengah dia berpikir bagaimana cara mengusir Baby agar segera meninggalkan rumah ibunya.Sepertinya dia salah melangkah, dia bukannya memadamkan api kali ini, tapi malah membuat api makin menyala.Langit meletakkan jus jambu di atas meja dan menyuruh Baby meminumnya.“Minumlah, ini fresh. Rasanya pasti lebih enak.”Baby tersenyum, dia meraih gelas di depannya dan meneguknya perlahan.“Manis, enak, aku suka. Kamu memang pandai membuatnya.”Dengan percaya
Langit menatap istrinya tajam. Dia sedang mengusahakan perdamaian, tapi malah istrinya yang memulai perang kembali. “Bulan.”“Sorry, aku keceplosan,” ucapnya seraya menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Bulan melirik ke arah Ibu Langit yang tampak menahan tawa.Bulan merasa nyaman saat bersama Ibu Langit, seolah dia merasa punya ibu kedua selain mamanya. Mamanya yang jarang ada waktu bersamanya, tapi bisa memenuhi segala keinginannya, sedangkan Ibu Langit, dia memiliki banyak waktu untuk memanjakannya, memberinya kasih sayang yang berlimpah walau baru bertemu. Hidup memang tak ada yang sempurna. Sama seperti hidup Langit, dia memiliki orang tua yang membutuhkannya dan menyayanginya, memiliki banyak waktu mendengar keluh kesahnya, tapi di sisi lain Langit harus berjuang mati-matian demi menghidupi dirinya dan juga ibunya.Langit berdeham, “Tunggu di sini, aku antar Baby sampai depan.”Bulan diam saja, dia tak menjawab ucapan suaminya. Bulan memilih menyibukkan diri mem
Suasana hangat begitu tercipta di meja makan. Mereka bertiga sudah seperti keluarga yang sempurna.Sesekali Langit mencuri pandang ke arah istrinya yang tampak begitu ceria. Begitu juga Ibunya. Andai apa yang terjadi hari ini bisa selamanya seperti ini betapa takdir begitu menyayanginya.“Langit!”“Hem, iya, Bu.”“Kapan kalian menikah?”Petir seolah menyambar di atas langit rumah. Dia tak menyangka ibunya langsung menanyakan hal itu pada pertemuan pertamanya dengan Bulan. Bulan seolah memiliki magnet tersendiri bagi Ibunya. Ibu langit yang tadinya sedang sakit sekarang terlihat segar bugar. Begitu juga sebaliknya, Bulan yang masih belum terlalu sehat kini juga terlihat semringah.“Bu.”Langit merasa tak enak dengan Bulan walaupun pada kenyataannya dia dan Bulan memang sudah menikah.“Kenapa Langit, kenapa raut wajahmu begitu cemas? Ada maslah dengan hubungan kalian?”Bulan yang cepat tanggap memegang tangan Langit yang berada d atas meja makan. Bulan menatap Ibu Langit dan t
Bulan merasai sesuatu mengenai kakinya.“Langit. Langit tolong aku. Ada ular di kakiku.” Dengan gerakan secepat kilat, Langit segera melihatnya. Dia tersenyum tatkala matanya menemukan seekor belut yang kebetulan diinjak Bulan.“Langiitt... apa itu?” tanya Bulan bergidik ngeri.Ini pertama kali dia melihat belut yang menurutnya seperti ular. Langit mengambil belut dan menentengnya, dia menggoda Bulan yang sedang ketakutan.“Langit, jauhkan dariku.”“Ini enak di makan, Bulan. Jangan norak.”“Nggak, aku nggak mau. Langit tolong buang.”Langit menuruti keinginan istrinya, dia melemparkan belut. Sayangnya bukan ke arah lain melainkan ke arah Bulan. Bulan berhasil menghindar dan menjerit ketakutan. Dia berlari memeluk suaminya dan mengaitkan kedua kakinya di pinggang Langit.“Langit, jangan, Langit. Aku takut.”“Salah siapa main di sawah. Bukankah tadi aku sudah melarangmu kemari?”Langit tersenyum, dia sedang mendapat rezeki nomplok. Kapan lagi dia merasakan pelukan erat dari
Malam kian larut. Bulan merasa dunia begitu berputar begitu cepat. Menit demi menit seolah saling berkejaran dengan terburu-buru . Rasanya baru pagi tadi dia datang ke sana, tapi kenapa secepat itu pula dia harus kembali keesokan harinya.Setelah selesai makan malam, Bulan masuk ke kamarnya. Kamar tamu yang memang diperuntukkan bagi tamu yang menginap. Letaknya yang berada di depan tak jauh dari kamar Langit.Tadinya Ibu Langit sudah menawarkan pada Bulan untuk tidur dengannya. Namun, Bulan tak mau merepotkannya, ditambah lagi ini pertemuan mereka yang pertama. Bulan merasa sungkan dan canggung jika harus tidur dengan Ibu Langit.Saat sedang menatap langit-langit kamarnya, Bulan dikejutkan dering ponselnya.“Ada apa!”“Jutek bener, PMS?”“Enggak. Ada apa? Cepat katakan.”“Aku hanya sedikit khawatir denganmu. Aku yakin kamu tak bisa tidur tanpa ku.”“Cih, nggak usah ge-er.”Tut..tut...Bulan mengakhirinya panggilan secara sepihak. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Tuju
Dengan Langkah gontai dia berjalan kembali ke kamarnya. Wajahnya masih memerah menahan malu. Gara-gara` semalaman dia lupa dan tertidur di kamar Bulan, semuanya jadi runyam.Untung saja Mbok Jasmi mengerti dengan permintaannya untuk menutup mulutnya rapat-rapat.“Langit nggak ngapa-ngapain, Mbok, hanya tidur saja. Itu pun karena Langit ketiduran. Tolong jangan katakan pada Ibu.”Mbok Jasmi yang cukup mengenalnya hanya mengangguk seraya tersenyum-senyum penuh arti. Di depan kamar mandi Langit berpapasan dengan Bulan yang sedang menguap. Dia masih belum sadar dengan apa yang terjadi pagi ini.“Good morning, Langit,” ucapnya tersenyum.“Fiuh.”Mata Bulan menyipit. Namun, sebelum mulutnya membuka, Ibu Langit lebih dulu menyapanya.“Sudah mandi, Nak.”“Sudah, Bu. Maafkan Bulan kalau selama Bulan di sini sudah merepotkan Ibu dan membuat kesalahan yang tak disengaja.”“Ini bukan hari raya, nggak perlu minta maaf.”Bulan tertawa. Ibu Langit memang paling bisa membuat tawanya meleb
Wajah Langit mengeras, Bulan hanya meliriknya sekilas. Melihat suaminya setegang itu pasti bukan klien yang meneleponnya. Di curiga kalau Babylah yang menelepon suaminya. Sepagi ini perempuan itu dengan tak tahu malunya mulai mengganggu suami orang. Jadi hanya itu kelebihan yang bisa dia tonjolkan di depan Bulan yang sesama perempuan dengannya. Langit menggeser kursinya dan berjalan menjauh. Dia menjawab panggilan yang masuk. “Halo, ada apa?” “Kamu masih di rumah? Jadi kapan kamu kembali kemari. Apa kamu tidak pergi ke kantor?" “Aku ke kantor atau tidak ke kantor bukan urusanmu, bukan?" “Langit, jangan bermain api denganku kalau tak mau terbakar. Kamu tahu kalau kartu as ada ditanganku. Aku terpaksa mengancammu kali ini karena sekarang kamu berbeda. Menyewamu saja begitu sulit sekarang. Semua itu gara-gara perempuan yang sedang duduk di sebelahmu.” Langit menoleh, dia menatap Bulan yang juga sedang menatap ke arahnya. Dia mengerutkan keningnya. Namun, dengan cepat
Langit mendengarkan suara di seberang sana. Namun, tak butuh waktu lama, dia mengakhiri panggilan dari Baby.“Tumben?”Langit cengengesan, dia tak mau kehilangan momen bersama istrinya. Biar saja Baby marah dengannya. Kali ini dia tak mau menyesal lagi. Di saat dia sudah tahu pasti perasaan istrinya. Di tambah lagi Bulan datang jauh-jauh ke Korea hanya untuk memintanya tetap menjadi suaminya. Suaminya sebenarnya, bukan suami yang hanya tertulis di atas kertas.“Aku ingin waktu berhenti sejenak. Menikmati apa yang terjadi hari ini. Even itu hanya sebuah ekspektasi yang tidak mungkin terjadi.”“Ini bukan ekspektasi, Langit. Aku ada di depanmu. Kamu bahkan bisa menyentuhku, melakukan apa saja yng kamu inginkan dariku.”Langit tertawa dia memeluk istrinya lagi, menidurkannya kembali di sisnya sembari menaikkan selimut hingga menutupi kedua tubuh mereka berdua. Langit tak bisa tidur meski langit masih menggelap. Matahari seakan enggan menampakkan wajahnya, matahari tak ingin menggangg
Kini Bulan sudah duduk di dalam pesawat yang sebentar lagi take off. Dia meremas kedua telapak tangannya yang sedikit berkeringat. Meskipun ini bukan pertama kalinya dia pergi ke Korea, tapi entah kenapa perasaannya menjadi gugup. Dia memiliki banyak ketakutan tersendiri. Takut misinya akan gagal kali ini dan pulang dalam keadaan terluka. Walaupun sudah membulatkan tekadnya tetap saja dia hanyalah manusia biasa.Perjalanan tujuh jam dua puluh delapan menit akhirnya berhasil dia lewati tanpa kendala apapun. Pesawat mendarat dengan sempurna. Bulan keluar dari imigrasi dan langsung menuju hotel yang sudah dia booking sebelumnya.“Seoul, im in love,” gumannya sembari menuju taksi yang akan mengantarkannya ke tempat dia akan beristirahat.Sampai di hotel dan check ini, Bulan mengirimkan pesan pada suaminya. Waktu seolah berputar terlalu lambat. Hamir sepuluh menit berlau dan suaminya masih belum membaca pesan yang dikirimkannya. Entah apa yang sedang dia lakukan sekarang. Mungkinkah sua
Bulan ingin sekali pergi menjenguk mertuanya, dia sendiri masih bingung kenapa Ibu Langit bisa sampai masuk ICU.Bulan ingin bertanya pada Langit tapi dia berusaha menahan jarinya untuk tak mengirimkan pesan pada suaminya.“Nanti malam sepulang kerja bagaimana?”Bulan bertanya pada Mine, sebab dia yang tahu di mana ibu mertuanya di rawat. Lagi pula selama Langit pergi dia selalu kesepian di rumah. Rumahnya kosong. Mamanya belum pulang dari Jepang, sedangkan Mine sekarang sudah memiliki kekasih yang tiap malam selalu datang ke apartemennya.“Boleh, tapi aku tak bisa menemanimu lama-lama. Aku ada janji kencan malam ini.”Bulan melemparkan map ke arah sahabatnya. Mine tertawa, dia berhasil menghindar dan menangkap map milik Bulan lalu meletakkannya kembali ke atas meja.“Aku kembali dulu ke ruanganku, nanti aku kemari, aku ada janji dengan klien. Oiya, kalau aku jadi kamu aku akan menyusul suamimu dan membawanya pulang bersamamu. Cinta itu tak memandang gender, mau siapa pun yang m
“Good morning. Semangat, Bulan, dunia masih berputar meski tak ada Langit di sisimu. Ada langit lain yang selalu mengayomi kamu.”“Sial.”Bulan mengumpat kesal.Mine terkekeh, dia bukannya menghibur Bulan yang sedang patah hati, tapi malah menggodanya terus-menerus.“Kenapa tak membalas pesan darinya?”Bulan menghela nafas, dia teringat terakhir kali melihat Langit saat senja di tepi pantai. Dia sadar betul bahwa Langit memiliki perasaan yang sama dengannya, tapi kenapa lelaki itu mau menerima begitu saja permintaan Baby padanya. Berapa banyak uang yang Baby bakar untuknya?“Malas, untuk apa dia berbasa-basi nggak jelas, padahal dia sedang sibuk menyuapi dan meninabobokan bayinya.”Mine tak mampu menahan tawanya, dia tertawa terbahak-bahak. Di saat kesal begitu, amarah Bulan malah membuatnya tertawa terpingkal. Bulan mendesah melihat sahabatnya cukup terlihat puas dan bahagia dengan kalimatnya barusan.“Bagus, lanjutkan saja kebahagiaanmu menertawai penderitaanku. Kamu mema
Selesai makan, mereka berdua berbincang santai setelah sejak tadi berada pada kecanggungan yang hakiki. Setelah beberapa menit berlalu, Langit membuka suara kembali. “Ayo, aku akan mengajakmu ke suatu tempat.” “Ke mana?” “Nanti kamu juga akan tahu.” Mereka berdua bangkit dari duduknya dan melangkah keluar. Menggunakan mobil Langit keduanya kini sudah berada di kemacetan yang cukup panjang. Bulan menghela nafas, dia memandang keluar jendela, menatap masa depannya yang masih tampak buram. Sesekali Langit melirik istrinya yang beberapa kali terlihat menghela nafas. Seolah sedang berusaha melepaskan beban hidup yang cukup berat yang sedang dipikulnya. “Ada yang kamu pikirkan?” tanya Langit memecah keheningan di antara mereka. Bulan menggeleng pelan. Tepat di lampu merah mereka berhenti, Langit menatap lamat-lamat wajah cantik istrinya. Selama beberapa tahun terakhir, dia mengagumi perempuan itu. Dan pada akhirnya dia bisa dipersatukan oleh keadaan. Perempuan keras k
Setelah malam itu entah kenapa keduanya menjaga jarak, bahkan sudah beberapa malam langit memilih tidur di sofa meski tersiksa. sementara bulan tidur sendirian di ranjang dengan kebisuannya.Walau keduanya sama-sama tak nyaman, tak ada satu pun dari mereka yang mengubah keadaan. Langit apatis dan Bulan yang egois membuat keadaan semakin sulit.Tepat di hari yang sudah ditunggu Langit. Hari ini adalah hari kepergiannya ke Korea bersama Baby. Mungkin semuanya memang harus berjalan seperti yang takdir inginkan. Sekuat apapun Langit menunjukkan perasaannya, si keras kepala itu masih saja tak peka.“Aku pergi hari ini,” pamit Langit pada istrinya yang masih mengenakan bathrobe miliknya seraya memencet tombol remote bergantian.Ada sesak merundung dadanya tapi dia berusaha keras mengalihkannya.“Aku tak perlu mengantarkan kamu ke bandara, kan?”Langit menggeleng pelan, dia duduk menyandarkan punggungnya pada sofa yang didudukinya. Memandang ke arah istrinya yang baru saja selesai
Setelah puas melampiaskan kekesalannya, Bulan meminta maaf pada dirinya sendiri. Dia sudah menyakiti tubuhnya yang senantiasa menemaninya setiap hari.Hampir tengah malam saat dia mematikan komputer miliknya. Baru saja pintu lift terbuka, suaminya sudah berdiri di dalam sana.“Aku pikir kamu nggak pulang. Makanya aku menyusulmu ke sini.”“Aku mau pulang sekarang.”Bulan masuk ke dalam lift yang sama dengan suaminya. Mereka berdua mengatupkan bibirnya rapat. Hening, hanya ada suara helaan nafas mereka berdua. Langit memberi waktu pada Bulan menikmati kediamannya.“Naik mobilku, kamu pasti lelah, biar aku yang menyetir.”“Aku nggak capek, tenang saja, naik mobil masing-masing saja.”Bulan membantah, dengan langkah lebarnya dia berhasil mendahului Langit dan langsung masuk ke dalam mobil miliknya. Dia menghidupkan audio, memutar lagu kesukaannya, sesekali dia ikut bernyanyi melampiaskan emosinya yang sudah sejak pagi tak tersalurkan. Saat berhenti di lampu merah dia memandangi s
Bulan masih menyibukkan dirinya, seperti ucapannya sebelumnya, dia sama sekali tak ingin ikut bergabung dengan Mine dan Langit yang sekarang sedang makan malam. Walaupun Mine membujuknya dengan seribu cara, tetap saja Bulan tak berminat ikut dengan mereka. Rasanya dia terlalu kecewa dengan Langit hingga ingin sekali menjauh. Ponsel di sampingnya bergetar menampilkan gelembung chat dari suaminya dan Mine. Mereka kompak sekali bertanya pada Bulan. Bulan hanya membacanya sekilas tanpa mau membalasnya. Dia memegangi perutnya yang mulai keroncongan. Cacing-cacing di perutnya sudah meminta haknya. “Mau sampai kapan kamu begini, Bulan?” Langit sudah berdiri di depan pintu. Bulan menatapnya sekilas lalu berusaha menyibukkan dirinya kembali. Membiarkan Langit masuk ke dalam ruangannya. “Kenapa tak membalas pesanku? Ayo, makan dulu.” Langit menyiapkan makan malam untuk istrinya. Membuka paperbag yang dibawanya. “Kamu boleh marah denganku, tapi jangan menyiksa dirimu sendi
Langit melewati Bulan begitu saja, pikirnya itu lebih baik. Mungkin saat ini adalah saat yang tepat untuknya memberi jarak antara keduanya. Langit berpikir dengan begitu dia akan lebih tenang meninggalkan Bulan selama dia pergi ke Korea. Mungkin dengan memberi jarak, perempuan itu menjadi lebih tahu sisi hatinya, bagaimana keinginannya. “Kamu lihat, kan?” “Tentu saja aku melihatnya. Kamu pikir aku buta.” Bulan menghela nafas mendengar ucapan Mine. Mine menatap sahabatnya dengan tatapan penuh selidik. Melihat kelakuan sahabatnya, Bulan pun merasa jengah. “Katakan cepat!” Mine terkekeh geli, Bulan dengan cepat mengerti dengan bahasa isyarat yang diberikan padanya lewat tatapannya. “Aku tak tahu alasan pastinya, kenapa tiba-tiba dia menerima ajakan gadis bermuka dua pergi ke Korea. Dan aku juga tak ingin bertanya tentang alasannya. Titik, jangan lagi kamu sematkan koma di akhir kalimatku.” Mine mendesah pelan, mau sampai kapan keduanya salah paham terus mener