Langit menatap istrinya tajam. Dia sedang mengusahakan perdamaian, tapi malah istrinya yang memulai perang kembali. “Bulan.”“Sorry, aku keceplosan,” ucapnya seraya menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Bulan melirik ke arah Ibu Langit yang tampak menahan tawa.Bulan merasa nyaman saat bersama Ibu Langit, seolah dia merasa punya ibu kedua selain mamanya. Mamanya yang jarang ada waktu bersamanya, tapi bisa memenuhi segala keinginannya, sedangkan Ibu Langit, dia memiliki banyak waktu untuk memanjakannya, memberinya kasih sayang yang berlimpah walau baru bertemu. Hidup memang tak ada yang sempurna. Sama seperti hidup Langit, dia memiliki orang tua yang membutuhkannya dan menyayanginya, memiliki banyak waktu mendengar keluh kesahnya, tapi di sisi lain Langit harus berjuang mati-matian demi menghidupi dirinya dan juga ibunya.Langit berdeham, “Tunggu di sini, aku antar Baby sampai depan.”Bulan diam saja, dia tak menjawab ucapan suaminya. Bulan memilih menyibukkan diri mem
Suasana hangat begitu tercipta di meja makan. Mereka bertiga sudah seperti keluarga yang sempurna.Sesekali Langit mencuri pandang ke arah istrinya yang tampak begitu ceria. Begitu juga Ibunya. Andai apa yang terjadi hari ini bisa selamanya seperti ini betapa takdir begitu menyayanginya.“Langit!”“Hem, iya, Bu.”“Kapan kalian menikah?”Petir seolah menyambar di atas langit rumah. Dia tak menyangka ibunya langsung menanyakan hal itu pada pertemuan pertamanya dengan Bulan. Bulan seolah memiliki magnet tersendiri bagi Ibunya. Ibu langit yang tadinya sedang sakit sekarang terlihat segar bugar. Begitu juga sebaliknya, Bulan yang masih belum terlalu sehat kini juga terlihat semringah.“Bu.”Langit merasa tak enak dengan Bulan walaupun pada kenyataannya dia dan Bulan memang sudah menikah.“Kenapa Langit, kenapa raut wajahmu begitu cemas? Ada maslah dengan hubungan kalian?”Bulan yang cepat tanggap memegang tangan Langit yang berada d atas meja makan. Bulan menatap Ibu Langit dan t
Bulan merasai sesuatu mengenai kakinya.“Langit. Langit tolong aku. Ada ular di kakiku.” Dengan gerakan secepat kilat, Langit segera melihatnya. Dia tersenyum tatkala matanya menemukan seekor belut yang kebetulan diinjak Bulan.“Langiitt... apa itu?” tanya Bulan bergidik ngeri.Ini pertama kali dia melihat belut yang menurutnya seperti ular. Langit mengambil belut dan menentengnya, dia menggoda Bulan yang sedang ketakutan.“Langit, jauhkan dariku.”“Ini enak di makan, Bulan. Jangan norak.”“Nggak, aku nggak mau. Langit tolong buang.”Langit menuruti keinginan istrinya, dia melemparkan belut. Sayangnya bukan ke arah lain melainkan ke arah Bulan. Bulan berhasil menghindar dan menjerit ketakutan. Dia berlari memeluk suaminya dan mengaitkan kedua kakinya di pinggang Langit.“Langit, jangan, Langit. Aku takut.”“Salah siapa main di sawah. Bukankah tadi aku sudah melarangmu kemari?”Langit tersenyum, dia sedang mendapat rezeki nomplok. Kapan lagi dia merasakan pelukan erat dari
Malam kian larut. Bulan merasa dunia begitu berputar begitu cepat. Menit demi menit seolah saling berkejaran dengan terburu-buru . Rasanya baru pagi tadi dia datang ke sana, tapi kenapa secepat itu pula dia harus kembali keesokan harinya.Setelah selesai makan malam, Bulan masuk ke kamarnya. Kamar tamu yang memang diperuntukkan bagi tamu yang menginap. Letaknya yang berada di depan tak jauh dari kamar Langit.Tadinya Ibu Langit sudah menawarkan pada Bulan untuk tidur dengannya. Namun, Bulan tak mau merepotkannya, ditambah lagi ini pertemuan mereka yang pertama. Bulan merasa sungkan dan canggung jika harus tidur dengan Ibu Langit.Saat sedang menatap langit-langit kamarnya, Bulan dikejutkan dering ponselnya.“Ada apa!”“Jutek bener, PMS?”“Enggak. Ada apa? Cepat katakan.”“Aku hanya sedikit khawatir denganmu. Aku yakin kamu tak bisa tidur tanpa ku.”“Cih, nggak usah ge-er.”Tut..tut...Bulan mengakhirinya panggilan secara sepihak. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Tuju
Dengan Langkah gontai dia berjalan kembali ke kamarnya. Wajahnya masih memerah menahan malu. Gara-gara` semalaman dia lupa dan tertidur di kamar Bulan, semuanya jadi runyam.Untung saja Mbok Jasmi mengerti dengan permintaannya untuk menutup mulutnya rapat-rapat.“Langit nggak ngapa-ngapain, Mbok, hanya tidur saja. Itu pun karena Langit ketiduran. Tolong jangan katakan pada Ibu.”Mbok Jasmi yang cukup mengenalnya hanya mengangguk seraya tersenyum-senyum penuh arti. Di depan kamar mandi Langit berpapasan dengan Bulan yang sedang menguap. Dia masih belum sadar dengan apa yang terjadi pagi ini.“Good morning, Langit,” ucapnya tersenyum.“Fiuh.”Mata Bulan menyipit. Namun, sebelum mulutnya membuka, Ibu Langit lebih dulu menyapanya.“Sudah mandi, Nak.”“Sudah, Bu. Maafkan Bulan kalau selama Bulan di sini sudah merepotkan Ibu dan membuat kesalahan yang tak disengaja.”“Ini bukan hari raya, nggak perlu minta maaf.”Bulan tertawa. Ibu Langit memang paling bisa membuat tawanya meleb
Wajah Langit mengeras, Bulan hanya meliriknya sekilas. Melihat suaminya setegang itu pasti bukan klien yang meneleponnya. Di curiga kalau Babylah yang menelepon suaminya. Sepagi ini perempuan itu dengan tak tahu malunya mulai mengganggu suami orang. Jadi hanya itu kelebihan yang bisa dia tonjolkan di depan Bulan yang sesama perempuan dengannya. Langit menggeser kursinya dan berjalan menjauh. Dia menjawab panggilan yang masuk. “Halo, ada apa?” “Kamu masih di rumah? Jadi kapan kamu kembali kemari. Apa kamu tidak pergi ke kantor?" “Aku ke kantor atau tidak ke kantor bukan urusanmu, bukan?" “Langit, jangan bermain api denganku kalau tak mau terbakar. Kamu tahu kalau kartu as ada ditanganku. Aku terpaksa mengancammu kali ini karena sekarang kamu berbeda. Menyewamu saja begitu sulit sekarang. Semua itu gara-gara perempuan yang sedang duduk di sebelahmu.” Langit menoleh, dia menatap Bulan yang juga sedang menatap ke arahnya. Dia mengerutkan keningnya. Namun, dengan cepat
Langit sedikit kesal, di saat dia hendak pulang, hujan malah turun membasahi bumi. Coba semalam hujan itu datang, pasti akan menguntungkan baginya. “Hujan, Bul.” “Terus kenapa kalau hujan. Mau izin? Kita ada meeting dengan klien jam sebelas. Lagian kita naik mobil, Mas. Nggak perlu takut kehujanan.” Langit cengengesan, dia mengusap tengkuknya, salah tingkah. “Dasar modus.” Ibu Langit ikut mengomentarinya. Langit memeluk Ibunya lagi dan mencium punggung tangan perempuan yang sudah beruban itu. Begitu juga Bulan, ada haru di tengah perpisahan mereka. Kini mereka berdua sudah berada di dalam mobil meninggalkan kenangan bersama ibu Langit. Bulan diam saja pikirannya melayang ke mana-mana. Memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya. “Melamun, memikirkan apa?” “Yang pasti bukan mikirin kamu.” “Terus mikirin siapa? Kita?” “Nggak, lagi mikirin hidupku yang bentar lagi akan tersemat kata janda.” Dahi bulan terantuk dashboard mobil gara-gara L
Don’t judge by the cover itu hanyalah omong kosong di dunia ini, sebab pada dasarnya kebanyakan manusia hanya menilai dari luarnya saja.Mereka tak sadar bahwa itu bisa menimbulkan trauma bagi orang lain yang mereka nilai habis-habisan dengan opini yang mereka bangun tanpa tahu kebenaran yang sesungguhnya.“Better?”“Yang mana dulu? Sebenarnya aku lebih peduli pada kamu ketimbang pertemuanku dengan Baby. Tapi karena kamu berpikir seperti itu, jadi nikmati saja pikiranmu.”Bulan mengatupkan kedua bibirnya. Jika perasaan sukanya membuatnya gelap mata mungkin seperti ini rasanya, dia jadi tak bisa berpikir menggunakan logikanya. Mau tak mau dia menjadi bodoh karena ulahnya.Hening menyapa keduanya, Langit yang biasanya tak tahan dalam kediaman mereka pun tak ada keinginan memecah keheningan di antara mereka berdua. Belenggu ego pada keduanya benar-benar sudah menyelimuti hati dan pikiran.Sampai di basemen, Bulan turun lebih dulu. Dia masih enggan membuka suaranya walaupun hanya se