Bulan merasai sesuatu mengenai kakinya.“Langit. Langit tolong aku. Ada ular di kakiku.” Dengan gerakan secepat kilat, Langit segera melihatnya. Dia tersenyum tatkala matanya menemukan seekor belut yang kebetulan diinjak Bulan.“Langiitt... apa itu?” tanya Bulan bergidik ngeri.Ini pertama kali dia melihat belut yang menurutnya seperti ular. Langit mengambil belut dan menentengnya, dia menggoda Bulan yang sedang ketakutan.“Langit, jauhkan dariku.”“Ini enak di makan, Bulan. Jangan norak.”“Nggak, aku nggak mau. Langit tolong buang.”Langit menuruti keinginan istrinya, dia melemparkan belut. Sayangnya bukan ke arah lain melainkan ke arah Bulan. Bulan berhasil menghindar dan menjerit ketakutan. Dia berlari memeluk suaminya dan mengaitkan kedua kakinya di pinggang Langit.“Langit, jangan, Langit. Aku takut.”“Salah siapa main di sawah. Bukankah tadi aku sudah melarangmu kemari?”Langit tersenyum, dia sedang mendapat rezeki nomplok. Kapan lagi dia merasakan pelukan erat dari
Malam kian larut. Bulan merasa dunia begitu berputar begitu cepat. Menit demi menit seolah saling berkejaran dengan terburu-buru . Rasanya baru pagi tadi dia datang ke sana, tapi kenapa secepat itu pula dia harus kembali keesokan harinya.Setelah selesai makan malam, Bulan masuk ke kamarnya. Kamar tamu yang memang diperuntukkan bagi tamu yang menginap. Letaknya yang berada di depan tak jauh dari kamar Langit.Tadinya Ibu Langit sudah menawarkan pada Bulan untuk tidur dengannya. Namun, Bulan tak mau merepotkannya, ditambah lagi ini pertemuan mereka yang pertama. Bulan merasa sungkan dan canggung jika harus tidur dengan Ibu Langit.Saat sedang menatap langit-langit kamarnya, Bulan dikejutkan dering ponselnya.“Ada apa!”“Jutek bener, PMS?”“Enggak. Ada apa? Cepat katakan.”“Aku hanya sedikit khawatir denganmu. Aku yakin kamu tak bisa tidur tanpa ku.”“Cih, nggak usah ge-er.”Tut..tut...Bulan mengakhirinya panggilan secara sepihak. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Tuju
Dengan Langkah gontai dia berjalan kembali ke kamarnya. Wajahnya masih memerah menahan malu. Gara-gara` semalaman dia lupa dan tertidur di kamar Bulan, semuanya jadi runyam.Untung saja Mbok Jasmi mengerti dengan permintaannya untuk menutup mulutnya rapat-rapat.“Langit nggak ngapa-ngapain, Mbok, hanya tidur saja. Itu pun karena Langit ketiduran. Tolong jangan katakan pada Ibu.”Mbok Jasmi yang cukup mengenalnya hanya mengangguk seraya tersenyum-senyum penuh arti. Di depan kamar mandi Langit berpapasan dengan Bulan yang sedang menguap. Dia masih belum sadar dengan apa yang terjadi pagi ini.“Good morning, Langit,” ucapnya tersenyum.“Fiuh.”Mata Bulan menyipit. Namun, sebelum mulutnya membuka, Ibu Langit lebih dulu menyapanya.“Sudah mandi, Nak.”“Sudah, Bu. Maafkan Bulan kalau selama Bulan di sini sudah merepotkan Ibu dan membuat kesalahan yang tak disengaja.”“Ini bukan hari raya, nggak perlu minta maaf.”Bulan tertawa. Ibu Langit memang paling bisa membuat tawanya meleb
Wajah Langit mengeras, Bulan hanya meliriknya sekilas. Melihat suaminya setegang itu pasti bukan klien yang meneleponnya. Di curiga kalau Babylah yang menelepon suaminya. Sepagi ini perempuan itu dengan tak tahu malunya mulai mengganggu suami orang. Jadi hanya itu kelebihan yang bisa dia tonjolkan di depan Bulan yang sesama perempuan dengannya. Langit menggeser kursinya dan berjalan menjauh. Dia menjawab panggilan yang masuk. “Halo, ada apa?” “Kamu masih di rumah? Jadi kapan kamu kembali kemari. Apa kamu tidak pergi ke kantor?" “Aku ke kantor atau tidak ke kantor bukan urusanmu, bukan?" “Langit, jangan bermain api denganku kalau tak mau terbakar. Kamu tahu kalau kartu as ada ditanganku. Aku terpaksa mengancammu kali ini karena sekarang kamu berbeda. Menyewamu saja begitu sulit sekarang. Semua itu gara-gara perempuan yang sedang duduk di sebelahmu.” Langit menoleh, dia menatap Bulan yang juga sedang menatap ke arahnya. Dia mengerutkan keningnya. Namun, dengan cepat
Langit sedikit kesal, di saat dia hendak pulang, hujan malah turun membasahi bumi. Coba semalam hujan itu datang, pasti akan menguntungkan baginya. “Hujan, Bul.” “Terus kenapa kalau hujan. Mau izin? Kita ada meeting dengan klien jam sebelas. Lagian kita naik mobil, Mas. Nggak perlu takut kehujanan.” Langit cengengesan, dia mengusap tengkuknya, salah tingkah. “Dasar modus.” Ibu Langit ikut mengomentarinya. Langit memeluk Ibunya lagi dan mencium punggung tangan perempuan yang sudah beruban itu. Begitu juga Bulan, ada haru di tengah perpisahan mereka. Kini mereka berdua sudah berada di dalam mobil meninggalkan kenangan bersama ibu Langit. Bulan diam saja pikirannya melayang ke mana-mana. Memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya. “Melamun, memikirkan apa?” “Yang pasti bukan mikirin kamu.” “Terus mikirin siapa? Kita?” “Nggak, lagi mikirin hidupku yang bentar lagi akan tersemat kata janda.” Dahi bulan terantuk dashboard mobil gara-gara L
Don’t judge by the cover itu hanyalah omong kosong di dunia ini, sebab pada dasarnya kebanyakan manusia hanya menilai dari luarnya saja.Mereka tak sadar bahwa itu bisa menimbulkan trauma bagi orang lain yang mereka nilai habis-habisan dengan opini yang mereka bangun tanpa tahu kebenaran yang sesungguhnya.“Better?”“Yang mana dulu? Sebenarnya aku lebih peduli pada kamu ketimbang pertemuanku dengan Baby. Tapi karena kamu berpikir seperti itu, jadi nikmati saja pikiranmu.”Bulan mengatupkan kedua bibirnya. Jika perasaan sukanya membuatnya gelap mata mungkin seperti ini rasanya, dia jadi tak bisa berpikir menggunakan logikanya. Mau tak mau dia menjadi bodoh karena ulahnya.Hening menyapa keduanya, Langit yang biasanya tak tahan dalam kediaman mereka pun tak ada keinginan memecah keheningan di antara mereka berdua. Belenggu ego pada keduanya benar-benar sudah menyelimuti hati dan pikiran.Sampai di basemen, Bulan turun lebih dulu. Dia masih enggan membuka suaranya walaupun hanya se
Bulan berpikir bahwa ponsel miliknya yang berdering, tapi nyatanya bukan. Ponsel Mine yang berada di atas meja terus saja berkelap-kelip memberi tanda bahwa sebuah panggilan masuk untuknya.“Jawab.”“Kenapa nggak kamu saja yang menjawabnya. Bukankah dia suamimu. Lama-lama aku bisa gila gara-gara ulah kalian yang saling menyakiti diri sendiri.”Bulan berdecap, memasang raut wajah tak terima ketika mendengar ucapan Mine barusan. Dia menatap Mine yang juga sedang menatapnya seraya berbicara dengan Langit. Bulan berusaha menajamkan telinganya dia tak bisa mendengarkan obrolan mereka sama sekali. Dia menyipitkan matanya, berusaha untuk bertanya meski belum ada jawaban.Setelah Mine mengakhiri panggilan, Bulan pun menutup bacaannya. Dia penasaran degan apa yang mereka bicarakan.“Ada apa? Telingaku sama sekali tak bisa menangkap apapun yang kalian bicarakan.”“Nope. Dia hanya bertanya apa kamu sedang bersamaku. Dia juga melarangku membawamu ke tempat yang kamu inginkan tadi.”Bulan
Temaram mulai menghilang, remang-remang berganti malam. Setelah Mine menerima telepon dari mamanya, dia segera mengantarkan Bulan pulang ke rumah.Awalnya sahabatnya itu menolak dengan tegas, dia bilang akan pulang sendiri naik taksi, tapi tak semudah itu Mine mempercayainya, sebab dia tahu, lengah sedikit bisa membahayakan dirinya.Sampai di rumah, Bulan melemparkan tas miliknya sembarangan. Sepi, kosong menyelimuti hatinya. Entah jam berapa suaminya itu akan pulang ke rumah. Dia tak ingin bertanya padanya meski ingin. Perasaannya campur aduk tak karuan. Kelebatan nasehat Mine padanya seperti sebuah kaset yang disetel berulang-ulang.Baru saja dia membatin, layar ponsel miliknya menampilkan sebuah nama yang sejak tadi mengisi lamunan panjangnya.“Halo.”“Sudah di rumah?”“Iya.”“Baiklah.”Dahi Bulan berkerut mendengar jawaban aneh suaminya. Kalimat yang menurutnya terdengar begitu ambigu. Baru saja Bulan melangkahkan kakinya hendak masuk ke kamar, sebuah bayangan muncul di pi