Jacob datang ke rumah Darren setelah melakukan penyelidikan di hotel, dia membawa rekaman CCTV kejadian semalam. Meskipun harus menyuap dalam jumlah besar, tetapi beruntung manajer hotel memperbolehkannya mengakses CCTV. "Bapak bisa lihat rekamannya, manajer hotel juga mengatakan Bu Rahayu menyuap mereka untuk mengosongkan hotel selama beberapa jam, juga menutupi kasus ini dari siapapun. Tapi untungnya setelah saya memberikan uang dengan jumlah tiga kali lipat lebih besar dari uang yang Bu Rahayu berikan, mereka akhirnya mengizinkan saya mengakses CCTV," jelas Jacob. Darren melihat rekaman yang ada di ponsel Jacob, rahangnya mengeras mengetahui bahwa jebakan ini sudah direncanakan. "Aku juga mau minta tolong," kata Darren. "Iya, Pak? Apa yang bisa saya lakukan?" Darren menarik napas panjang, seolah masih belum yakin. "Aku menemukan kamera tersembunyi di kamar hotel, aku yakin itu digunakan untuk merekam kejadian saat penjebakan. Aku takut kalau hasilnya memang ... aku melak
Rahayu beranjak mengacak-acak laci meja rias dengan kasar, wajahnya merah padam, matanya melotot tajam. Di sampingnya, Alana, berdiri terpaku, wajahnya pucat pasi. "Mana kameranya?! Mana kameranya?!" teriak Rahayu, suaranya bergetar.Alana mencoba menenangkan ibunya, "Ma, tenanglah. Kita akan menemukannya.""Tenang?! Bagaimana bisa tenang?!" bentak Rahayu, "Kamera itu hilang, Alana! Hilang!""Ma, mungkin kamu lupa menaruhnya di mana," Alana mencoba menenangkan ibunya."Aku sudah memeriksa semua tempat! Tapi nggak ada!" Rahayu menunjuk ke arah meja besar itu dengan jari-jari gemetar."Ma, apa mungkin Darren sudah mengambilnya?" Alana berbisik, suaranya gemetar.Rahayu terdiam sejenak, matanya menyipit tajam. "Mungkin saja," gumamnya, "Tapi, bagaimana dia bisa mengambilnya?""Aku juga nggak tahu, Aku curiga karena bangun-bangun kamarnya berantakan. Tadi Darren marah besar sampai menyiksaku, mungkin dia sempat memeriksa kamar sebelum keluar." Alana berbisik, suaranya semakin pelan.Kedua
Beberapa minggu berlalu, dan Darren serta Nadia seolah melupakan kejadian di hotel. Darren masih menyimpan dendam pada Alana, sepupunya yang licik. Dia bertekad untuk membalas dendam, tapi belum menemukan cara yang tepat.Beruntung baik Alana maupun kedua orang tuanya juga tidak menampakkan diri di hadapan Darren, sehingga emosinya tidak terpanjang lagi."Sayang, aku mau ajak kamu ke Surabaya," kata Darren, tangannya menggenggam erat tangan Nadia yang sedang bersandar pada kruk. Nadia tersenyum, "Ke Surabaya? Kenapa, Kak?""Ada pernikahan Raka dan Embun. Kita sudah diundang langsung oleh Pak Anton dan Bu Anita, kita harus datang ke sana. Lagi pula Raka dan embun juga sangat mengharapkan kehadiran kita," jawab Darren.Nadia terdiam sejenak. Raka, mantan kekasihnya yang pernah mengkhianati dan menyakiti hatinya. Nadia sudah memaafkan Raka, bahkan merasa bahagia melihat Raka telah menemukan wanita yang baik seperti Embun."Aku mau, Kak," jawab Nadia. "Tapi, aku takut ngerepotin k
"Sayang," panggil Darren, suaranya sedikit gemetar. Nadia menoleh perlahan dengan perasaan gugup, matanya menatap Darren dengan penuh tanya. "Aku ... aku mau ngomong sesuatu," kata Darren, tangannya mencengkram erat bahu Nadia. Nadia mengangguk. "Ngomong apa, Kak?" Darren menarik napas dalam-dalam. Ia ingin mengulang lagi permintaan Kakeknya tadi, berharap kali ini Nadia tidak memalingkan wajah darinya. Ya, ia takut Nadia akan menolaknya. "Kakek ... Kakek minta kita ... kita ...." Darren terbata-bata. Nadia memilih diam karena sudah tahu ke mana arah perbincangan itu, ia tadi sudah mendengar jelas dari seberang telepon ucapan Kakeknya. Dan kini suaminya hendak mengulangi lagi. "Kakek minta kita ... kita ... cepat punya anak," ujar Darren, suaranya semakin gemetar. Nadia terdiam sejenak. Ia sebenarnya sudah siap untuk melayani suaminya, ye tetapi ia masih gugup. Ia takut tidak bisa memuaskan Darren dengan keadaannya yang cacat. "Kak, aku ... aku masih gugup," kata
Berbeda dengan Raka dan Embun yang berbahagia dengan pernikahan mereka, juga Darren dan Nadia yang baru saja mengecap manisnya malam pertama, di balik jeruji besi yang dingin dan sunyi, Tania merasakan perutnya berdenyut-denyut. Kontraksi yang semakin sering dan kuat membuat tubuhnya bergetar. Usia kandungannya sudah sembilan bulan lebih, dan si kecil di dalam perutnya bersiap untuk lahir."Ibu ... perutku—" Tania meringis menahan rasa sakit.Mella yang duduk di sampingnya langsung panik. Wajahnya pucat pasi, tangannya gemetar memegang tangan Tania. "Tania, Sayang ... kamu kenapa? Sakitnya makin parah?""A-aku kayaknya mau melahirkan." Tania terengah-engah, keringat dingin membasahi dahinya.Mella langsung berteriak memanggil petugas polisi yang berjaga di luar sel. "Tolong ... tolong! Anak saya mau melahirkan!"Suara Mella yang panik menggema di lorong penjara. Petugas polisi bergegas menghampiri sel Tania. Mereka melihat Tania terbaring pada tikar yang tergelar di lantai, wajahnya
Raka mengusap keringat dingin yang menetes di pelipisnya. Kaki terasa lemas, jantung berdebar kencang seperti drum band yang berlatih untuk konser. Ia baru saja sampai di kantor polisi, tempat Tania dan Mella dihukum. Embun, istrinya, setia mendampinginya, tangannya menggenggam erat tangan Raka."Tania gimana, Bibi?" tanya Raka, suaranya sedikit gemetar. Mella yang sejak semalam meringkuk di pojok sel, langsung berdiri saat mendapati Raka datang bersama Embun.Netranya menatap Raka dengan tatapan tajam. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras. "Kamu baru datang sekarang?""Maaf, Bi. Ka-kami kemarin masih sibuk mengurusi pernikahan, baru hari ini kamu bisa datang. Kami membawa niat baik untuk menjenguk Tania, ke mana dia?" Raka kembali bertanya, meskipun terus ditatap tajam oleh Mella.Ujung bibir wanita paruh baya itu menyeringai. "Masih bisa bibirmu mengucapkan nama anakku, hah? Setelah kamu mencampakkannya, dan tidak mau bertanggung jawab pada anak di dalam kandungannya, kamu masih b
"Kami ingin menjengukmu, Tan. Jangan marah-marah seperti ini, kami datang membawa niat baik," kata Raka, berharap agar Tania segera tenang. Namun, wanita yang baru saja melahirkan itu rupanya sudah diselimuti emosi yang membumbung tinggi di hatinya. Dia tidak peduli, matanya masih melayangkan tatapan tajam ke arah Embun."Aku baru bisa tenang kalau wanita ini keluar, Raka! Dia itu pelakor, dia perusak hubungan kita. Seharusnya yang kamu nikahi adalah aku, bukan Embun. Aku sudah berkorban banyak, tapi kamu malah menikmati semuanya dengan wanita lain. Wanita mana yang terima diperlakukan seperti ini, Raka ...?!" Embun mengangguk singkat saat Raka menatapnya, dia langsung keluar dari ruang rawat tanpa menunggu persetujuan suaminya. Raka memanggil nama Embun, tetapi istrinya itu berjalan sangat cepat dan langsung menutup pintu ruang rawat."Kamu bisa nggak, sih, bersikap lebih baik?" tanyanya, matanya mendelik menatap tidak suka kepada Tania."Aku sudah baik tidak menghajarnya, Raka. S
"Kamu mau apa, Alana?" tanya Nadia saat baru saja keluar ruangan dan mendapati Alana duduk di salah satu sofa. "Aku ingin memesan gaun yang paling mahal dan istimewa di sini, ada photoshoot yang harus aku lakukan satu minggu lagi. Pokoknya aku mau gaun yang paling bagus, dan tentunya ... gaun itu harus rancangan desainer pemilik butik ini." Alana menyunggingkan senyum sinis, dia menganggap bahwa Nadia hanya wanita biasa yang tidak bisa membuat gaun mewah. "Baiklah, biar staf yang mengukur. Setelah selesai diukur, nanti kita diskusi buat penentuan bahan sama modelnya seperti apa." Alana bangkit dari duduk, mendekati Nadia yang masih memasang raut datar. "Aku maunya diukur sama kamu, bukan sama staf. Kenapa? Apa kamu nggak bisa mengukur? Apa karena kamu cacat, makanya nggak bisa melakukan hal sekecil itu?" Nadia mengulas senyum manis, berusaha tetap menampilkan raut hangat meskipun dadanya bergejolak. Sebisa mungkin dia tetap profesional, walaupun ingin sekali menampar wajah so
Hari-hari berlalu begitu cepat, berganti minggu dan bulan. Kehidupan Darren dan Nadia dipenuhi dengan kebahagiaan. Mereka menikmati setiap momen bersama, membangun bisnis bersama, dan merencanakan masa depan mereka. Suatu pagi, Nadia terbangun dengan perasaan yang berbeda. Perutnya terasa sedikit mual, dan dia merasa lebih sensitif terhadap bau. Dia langsung menuju kamar mandi dan mengambil test pack yang sudah dia beli beberapa hari sebelumnya. Dengan tangan gemetar, Nadia melakukan tes. Dia menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Beberapa saat kemudian, hasil tes muncul. Dua garis merah terang muncul di layar test pack. Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Dia tak percaya, dia hamil. Dia akan menjadi seorang ibu. Wanita cantik itu langsung berlari keluar dari kamar mandi dan menuju kamar tidur. Darren masih tertidur pulas di ranjang. Nadia duduk di tepi ranjang, matanya menatap Darren dengan penuh kasih sayang. "Kak," bisik Nadi
Minggu-minggu berlalu begitu cepat. Nadia sudah beberapa kali kontrol ke dokter untuk memeriksa kondisi tulang pahanya setelah operasi pelepasan pen. Dokter mengatakan bahwa tulang pahanya sudah pulih dengan baik dan dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa."Kak, aku sudah bisa jalan normal lagi, lho!" seru Nadia, matanya berbinar gembira.Darren tersenyum, matanya memancarkan kebahagiaan. "Aku senang mendengarnya, Sayang," jawabnya. "Kamu sudah bisa kembali ke butik."Nadia mengangguk, matanya berbinar-binar. "Aku sudah tidak sabar untuk kembali bekerja," katanya. "Aku ingin membantu kamu mengembangkan butik."Darren mencium kening Nadia dengan lembut. "Aku tahu kamu bisa, Nad," kata Darren. "Kamu akan jadi desainer yang berbakat."Nadia kembali bekerja di butik milik Darren. Dia sangat antusias dalam berbagai hal, mulai dari mendesain baju, memilih bahan, hingga melayani pelanggan. Kehadiran Nadia di butik membuat suasana di sana semakin hidup dan ceria."Kak, aku punya
Malam itu, udara dingin menusuk tulang. Darren dan Nadia berjalan beriringan menuju kediaman Rudi, om Darren yang terkenal kejam. Nadia melangkah dengan hati-hati, tulang pahanya masih terasa nyeri setelah operasi pelepasan pen."Kamu yakin mau ke sini?" tanya Darren, sedikit ragu."Iya, sekadar berbela sungkawa sebentar."Sesampainya di depan rumah Rudi, mereka mendengar suara teriakan yang nyaring. Suara itu berasal dari dalam rumah, terdengar seperti jeritan orang kesakitan. Nadia mengernyit, jantungnya berdebar kencang."Itu suara Om Rudi," bisik Darren.Mereka mengintip dari balik jendela. Di dalam, Rudi tampak seperti orang gila, berteriak-teriak histeris. "Mama ... Ma! Kembalilah padaku, Ma. Aku mohon jangan tinggalkan Papa ...!" teriaknya histeris, memeluk foto mendiang istrinya.Nadia merasa iba melihat Rudi yang terpuruk. "Kasian, dia kayak orang kehilangan akal," gumamnya.Darren hanya diam, matanya menatap Rudi dengan dingin. "Karma," gumamnya pelan, "Karma atas semua keja
Beberapa jam berlalu. Nadia terbangun dari tidurnya, tubuhnya masih terasa lemas akibat pengaruh obat bius. Matanya perlahan terbuka, dan pandangannya langsung tertuju pada Darren yang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak lesu. Nadia berusaha bangkit, tetapi rasa sakit yang menusuk di perutnya membuatnya kembali terbaring."Kak ...," lirih Nadia, suaranya serak dan bergetar.Darren langsung mendekat, memegang tangan Nadia dengan lembut. "Sayang, kamu udah bangun? Kamu masih sakit?"Nadia menggeleng lemah. "Sudah nggak terlalu."Darren tidak menjawab, hanya mengelus lembut rambut istrinya. Membuat Nadia berpikir macam-macam, tak biasanya suaminya murung."Kak, apa semua baik-baik saja? Ada masalah, sampai kamu murung begitu?" tanya Nadia, sambil tangannya perlahan menekan perut meredam rasa nyeri.Darren menarik napas dalam-dalam. "Iya, Sayang. Maaf membuatmu khawatir.""Ada apa?"Darren sebenarnya belum ingin cerita, tetapi Nadia sudah terlanjur curiga. "Kakek meninggal be
Darren melangkah gontai memasuki ruangan rumah sakit tempat Nadia dirawat. Ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di sini, setelah melakukan tindakan brutal terhadap Rahayu. Sayangnya, saat ia melihat wajah Nadia yang pucat dan terbaring lemah, rasa bersalah kembali menyergapnya."Sayang," lirih Darren, tangannya meraih tangan Nadia yang dingin. "Maafkan aku. Aku nggak bisa mencegah Tante Rahayu mengirimkan pesan itu, sehingga membuat pikiranmu terganggu."Namun, sebelum Darren bisa melanjutkan kata-katanya, bodyguard-nya, datang menghampiri. Wajahnya tampak muram, matanya berkaca-kaca."Tuan, ada kabar buruk," ucap Ryan, suaranya bergetar menahan tangis. "I-ini menyangkut Tuan Besar.""Apa?" tanya Darren, jantungnya berdebar kencang."Tuan Besar telah meninggal dunia, Dokter mengabarkan dua puluh menit yang lalu, dan saat ini jenazahnya masih ada di ICU karena menunggu Tuan," ucap Ryan, suaranya tercekat.Darren terpaku di tempat, matanya membelalak tak percaya. Ia tak
Darren melangkah tegap menuju kantornya, meninggalkan kekacauan di Atmajaya. Ia tak peduli dengan perusahaan yang kini terancam bangkrut, tak peduli dengan kekhawatiran staf-staf Atmajaya tadi, dan tak peduli dengan nasib Rudi. Ia memasuki ruangannya, sebuah ruangan mewah dengan pemandangan kota dari jendela besar. Namun, kemewahan itu tak lagi berarti apa-apa baginya. Ia duduk di kursi empuk, membuka laptop, dan mulai mengetik.Darren mengirim email kepada para investor Atmajaya, memerintahkan mereka untuk segera menarik investasi dari perusahaan milik omnya. Ia tahu, dengan kekuasaannya, para investor pasti lebih berpihak padanya.[Saya harap Anda semua sudah membaca berita terkini tentang Atmajaya. Saya sarankan Anda untuk segera menarik investasi Anda dari perusahaan ini. Atmajaya sudah tidak layak untuk Anda investasikan.] tulis Darren dalam emailnya.Ia menekan tombol "kirim" dengan penuh amarah. Ia tahu, dengan email itu, ia telah menghancurkan Atmajaya. Namun, ia tak
Nadia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, matanya terpejam. Napasnya teratur, tubuhnya lemas setelah perawat menyuntikkan obat penenang. Air mata yang sebelumnya membasahi pipinya kini telah kering, meninggalkan jejak samar di kulit pucatnya. Marah, sedih, dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Janin yang baru berusia dua bulan terpaksa diluruhkan, mimpi untuk menjadi seorang ibu harus ditunda.Darren duduk di kursi samping ranjang, matanya tertuju pada wajah Nadia yang tenang dalam tidurnya. Hatinya pedih melihat istrinya terbaring lemah, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menggenggam erat tangan Nadia, berharap sentuhannya bisa sedikit meringankan beban yang sedang ditanggung istrinya. "Maaf, Sayang. Aku gak bisa ngelakuin apa-apa," bisik Darren lirih, suaranya bergetar menahan kesedihan. "Aku janji, kita bakal punya anak lagi."Darren terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia teringat untuk menemani Brata, sang kakek, yang dirawat di ICU karena infek
Dokter itu meletakkan selembar kertas dan pulpen di hadapan Darren. Tangannya gemetar saat meraih pulpen, matanya menerawang ke arah pintu ruang operasi tempat Nadia terbaring."Ini, Pak Darren. Formulir persetujuan untuk tindakan medis. Saya sudah jelaskan risikonya, dan saya harap Anda bisa memahami keputusan ini." Dokter itu berkata dengan nada lembut, tetapi suaranya terasa berat di telinga Darren.Darren menatap formulir itu dengan tatapan kosong. Kata-kata dokter berputar-putar di kepalanya.Risiko tinggi.Kondisi kritis.Keputusan sulit. Ia mencoba mencari kekuatan di dalam diri, mencoba mencari jalan keluar dari dilemma yang menjeratnya."Dokter, apakah ... apakah tidak ada cara lain?" tanya Darren, suaranya terasa serak dan patah.Dokter menggeleng pelan. "Maaf, Pak Darren. Ini adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil saat ini. Jika kita tidak bertindak segera, kondisi Ibu Nadia akan semakin memburuk. Dan ris
Darren masih terpaku di depan pintu ruang operasi, matanya menerawang ke dalam ruangan. Kekhawatirannya belum juga mereda. Nadia, istrinya, masih belum sadar dari pengaruh obat bius. Operasi pelepasan pen berjalan lancar, tapi kondisi Nadia justru memburuk setelahnya. Tekanan darahnya terus meningkat, dan keadaan kandungannya juga melemah.Tiba-tiba, seorang perawat berlari menghampirinya. Wajahnya tampak panik. "Maaf, Pak Darren. Ada kabar buruk. Kakek Brata kritis."Darren tersentak. "Apa maksudnya? Kakek Brata kenapa?""Infeksi paru-parunya semakin parah, Pak. Batuknya semakin keras dan sulit bernapas. Saat ini, Kakek Brata kejang-kejang." Perawat itu mengusap keringat di dahinya. Darren langsung berdiri tegak. "Dimana Kakek sekarang?""Di ruang ICU, Pak." Perawat itu menunjuk arah. "Saya harus kembali ke sana. Maaf, Pak."Darren terdiam sejenak. Rasa cemas dan takut bercampur aduk dalam dirinya. Nadia masih belum sadar, dan sekarang Kakeknya kritis. Ia merasaka