Raka mengusap keringat dingin yang menetes di pelipisnya. Kaki terasa lemas, jantung berdebar kencang seperti drum band yang berlatih untuk konser. Ia baru saja sampai di kantor polisi, tempat Tania dan Mella dihukum. Embun, istrinya, setia mendampinginya, tangannya menggenggam erat tangan Raka."Tania gimana, Bibi?" tanya Raka, suaranya sedikit gemetar. Mella yang sejak semalam meringkuk di pojok sel, langsung berdiri saat mendapati Raka datang bersama Embun.Netranya menatap Raka dengan tatapan tajam. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras. "Kamu baru datang sekarang?""Maaf, Bi. Ka-kami kemarin masih sibuk mengurusi pernikahan, baru hari ini kamu bisa datang. Kami membawa niat baik untuk menjenguk Tania, ke mana dia?" Raka kembali bertanya, meskipun terus ditatap tajam oleh Mella.Ujung bibir wanita paruh baya itu menyeringai. "Masih bisa bibirmu mengucapkan nama anakku, hah? Setelah kamu mencampakkannya, dan tidak mau bertanggung jawab pada anak di dalam kandungannya, kamu masih b
"Kami ingin menjengukmu, Tan. Jangan marah-marah seperti ini, kami datang membawa niat baik," kata Raka, berharap agar Tania segera tenang. Namun, wanita yang baru saja melahirkan itu rupanya sudah diselimuti emosi yang membumbung tinggi di hatinya. Dia tidak peduli, matanya masih melayangkan tatapan tajam ke arah Embun."Aku baru bisa tenang kalau wanita ini keluar, Raka! Dia itu pelakor, dia perusak hubungan kita. Seharusnya yang kamu nikahi adalah aku, bukan Embun. Aku sudah berkorban banyak, tapi kamu malah menikmati semuanya dengan wanita lain. Wanita mana yang terima diperlakukan seperti ini, Raka ...?!" Embun mengangguk singkat saat Raka menatapnya, dia langsung keluar dari ruang rawat tanpa menunggu persetujuan suaminya. Raka memanggil nama Embun, tetapi istrinya itu berjalan sangat cepat dan langsung menutup pintu ruang rawat."Kamu bisa nggak, sih, bersikap lebih baik?" tanyanya, matanya mendelik menatap tidak suka kepada Tania."Aku sudah baik tidak menghajarnya, Raka. S
"Kamu mau apa, Alana?" tanya Nadia saat baru saja keluar ruangan dan mendapati Alana duduk di salah satu sofa. "Aku ingin memesan gaun yang paling mahal dan istimewa di sini, ada photoshoot yang harus aku lakukan satu minggu lagi. Pokoknya aku mau gaun yang paling bagus, dan tentunya ... gaun itu harus rancangan desainer pemilik butik ini." Alana menyunggingkan senyum sinis, dia menganggap bahwa Nadia hanya wanita biasa yang tidak bisa membuat gaun mewah. "Baiklah, biar staf yang mengukur. Setelah selesai diukur, nanti kita diskusi buat penentuan bahan sama modelnya seperti apa." Alana bangkit dari duduk, mendekati Nadia yang masih memasang raut datar. "Aku maunya diukur sama kamu, bukan sama staf. Kenapa? Apa kamu nggak bisa mengukur? Apa karena kamu cacat, makanya nggak bisa melakukan hal sekecil itu?" Nadia mengulas senyum manis, berusaha tetap menampilkan raut hangat meskipun dadanya bergejolak. Sebisa mungkin dia tetap profesional, walaupun ingin sekali menampar wajah so
Langkah Alana menjejakkan kaki ke ruangan Nadia terasa berat. Udara di ruangan itu terasa dingin, seakan membeku oleh aura ketegangan yang terpancar dari kedua wanita yang berada di dalamnya.Nadia duduk di kursi kerja, matanya menatap tajam ke arah Alana yang baru saja duduk di hadapannya."Jadi, bagaimana dengan desainnya?" tanya Nadia, suaranya datar dan dingin."Hmm, aku ingin sesuatu yang elegan, tapi juga menonjolkan sisi feminin," jawab Alana, matanya berbinar-binar, penuh dengan kecerdasan licik. "Seperti gaun yang dirancang oleh Renaldy dulu. Dia memang jago dalam mendesain gaun yang membuat wanita terlihat anggun dan memikat."Nadia mengerutkan kening. "Pak Renaldy? Memangnya apa hubungannya dengan desain gaunmu?""Oh, tidak ada hubungannya. Hanya saja, aku terkesan dengan hasil karyanya," jawab Alana, senyum sinis mengembang di bibirnya. "Dia memang lebih berpengalaman, dan punya selera yang lebih baik. Kamu masih muda, Nadia. Masih banyak yang harus kamu pelajari."Nadia m
Waktu sudah menunjukkan sore hari, Darren merasa bersalah saat meninggalkan istrinya dalam waktu lama. Padahal tadi niatnya hanya sebentar saja di apartemen, tetapi rupanya dia harus berkoordinasi dengan petugas apartemen sehingga memakan waktu cukup lama."Sayang, sudah lelah?" tanya Darren lembut, tangannya meraih tangan Nadia untuk membantunya keluar dari mobil.Mereka baru saja sampai rumah, matahari sudah hampir sepenuhnya condong ke barat. Menandakan sebentar lagi waktu malam akan tiba.Nadia tersenyum. "Sedikit, Kak. Tapi aku senang hari ini," jawabnya sambil menghela napas lirih. "Aku nggak mungkin jujur kalau Alana tadi datang ke butik. Khawatir suamiku kepikiran," batinnya.Darren mencium kening Nadia. "Syukurlah, padahal aku sudah khawatir kalau kamu kelelahan."Mereka berdua berjalan beriringan menuju pintu masuk rumah. Darren membuka pintu dan membiarkan Nadia masuk terlebih dahulu."Aku akan minta maid untuk siapkan makan malam, Sayang. Kamu istirahat dulu," kata Darr
Malam harinya.Darren menatap Nadia yang sedang terlelap di sampingnya. Senyum lembut terukir di wajahnya. Darren meraih ponselnya dan membuka folder berisi rekaman video Alana. Dia tersenyum licik. Dia sudah berencana untuk membalas kejahatan Alana dan keluarganya."Ini saatnya untuk membongkar semua kejahatanmu, Alana," bisik Darren.Darren mengedit video tersebut. Dia membuat wajahnya terlihat samar, sementara wajah Alana dibiarkan tampak jelas di rekaman tersebut. Dia ingin semua orang tahu siapa sebenarnya Alana."Aku akan menyebarkan video ini ke media sosial," kata Darren, suaranya penuh dengan tekad. "Persetan dengan reaksi Alana besok, mau dia jantungan pun aku nggak akan peduli!"Darren mengunggah beberapa potongan video ke media sosial. Dia memilih beberapa potongan video yang paling menunjukkan bahwa Alana tengah memimpin permainan.Saat mengunggah video tersebut, Darren merasakan dejavu. Dia teringat dengan aksinya dulu yang membongkar perselingkuhan Tania, manta
Alana mengusap air matanya yang membasahi pipi. Wajahnya memerah menahan amarah. Beberapa saat lalu Papanya pulang, dia tidak jadi meeting dengan klien dan menyerahkan kepada asisten pribadinya. Putrinya lebih penting, Rudi takut mental anak kesayangannya itu hancur."Papa, aku yakin yang menyebarkan video itu adalah Darren," kata Alana, suaranya bergetar. "Hanya dia yang ada di kamar hotel saat itu."Rudi mengerutkan kening. "Tapi, kenapa dia melakukan itu? Kenapa dia menyebarkan video itu?""Aku tidak tahu, Pa. Kayaknya memang sengaja ingin balik menyerang kita," jelas Alana.Rahayu yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka, mengusap pundak Alana dengan lembut."Tenang, Sayang," kata Rahayu, suaranya lembut. "Kita akan mengurus semuanya.""Mama, aku yakin Darren yang mencuri kamera tersembunyi itu. Kalau tidak ... maka akan lebih banyak potongan video yang tersebar. Kita harus mengambil kembali kamera itu, Ma!" pekiknya dengan suara terbata-bata.Rudi dan Rahayu saling be
Alana melangkah masuk ke dalam mobilnya, menghentakkan pintu dengan kasar. Air mata kembali menetes membasahi pipinya. Dia kecewa dengan sikap Brata. Dia merasa tidak adil diperlakukan seperti itu."Dasar kakek tua!" maki Alana, matanya memancarkan amarah. "Kau hanya membela Darren, kau tidak peduli padaku!"Sopir melajukan mobilnya meninggalkan kawasan kediaman Brata . Pikirannya kacau. Hatinya mendidih karena amarah. Dia ingin melampiaskan kekesalannya.Tiba-tiba, mobilnya berhenti di depan sebuah toko kue favoritnya. Ya, sopir keluarga yang sudah bekerja semenjak dirinya masih kecil itu tahu bahwa jika suasana hatinya sedang bersedih, maka toko kue adalah tempat favorit untuk melampiaskan amarah. Alana langsung masuk ke dalam toko setelah mengucapkan terima kasih kepada sopir, matanya tertuju pada berbagai kue lezat yang dipajang di etalase."Aku butuh sesuatu yang manis," gumam Alana, lalu mengambil beberapa kue dan memasukkannya ke dalam keranjang.Matanya kemudian te