Share

Bab 2

Mendengar kata-kata itu, Witson langsung mencium keningnya. "Sofia, aku akan memberimu kebahagiaan."

Tiba-tiba, aku merasa sangat sakit hati.

Witson pernah mengucapkan perkataan seperti itu padaku dengan nada yang sama seriusnya.

Di saat masih kuliah, aku pernah terjatuh setelah ditabrak. Witson yang memapahku untuk berdiri.

Pada hari itu, matanya sangat bersinar dan penuh dengan bayanganku.

Witson mengusap rambutku dengan penuh rasa kasih sayang.

Dia berkata, "Ellen, aku akan melindungimu di masa depan. Aku akan memberimu kebahagiaan."

Sejak setelah bertemu dengan Sofia, kebahagiaan yang dia katakan sepenuhnya berubah.

Pada hari itu, mereka berdua berciuman dengan mesra di lantai bawah. Ketika aku melihat tindakan mereka, Witson langsung melindungi Sofia di belakangnya.

Jejak lipstik dan bibir yang bengkak membuatku merasa sangat mual.

Setelah menekan kesedihan di hatiku, aku langsung berjalan menghampiri Witson dan bertanya, kenapa ingin memperlakukanku seperti ini.

"Tidak ada yang perlu aku bicarakan pada wanita seperti kamu. Sekarang, aku hanya merasa jijik," ucap Witson sambil mendorongku. Dia pun malas untuk menjelaskannya padaku.

"Ellen, hubungan kami barulah disebut sebagai cinta sejati. Kamu akan memberkati kami, kan?"

Sebelum mereka berjalan pergi, Sofia tersenyum sambil bertanya seperti itu padaku.

Rasa sakit di hatiku pun menyelimuti seluruh tubuhku.

Setelah itu, Sofia pun mencariku sambil tertawa sangat keras.

"Ellen, aku benar-benar sangat membencimu. Seharusnya kamu tidak pulang ke sini, apa tidak baik tinggal di desa?"

"Semua orang di sini hanya bisa menyayangiku, termasuk Witson."

"Terutama melihat tahi lalat di wajahmu. Apa kamu tidak merasa dirimu sangat kotor?"

Kotor?

Benar sekali! Bagaimana aku bisa lupa kalau diriku pernah mengalami pelecehan seksual.

Sekarang, bahkan mati pun juga begitu kotor ....

Begitu pesta akan dimulai, Sofia langsung menyeka air matanya. Dia juga kembali didandan oleh MUA.

Ayahku berdiri di sebelahnya, kemudian menggenggam tangannya dengan mata penuh rasa bersalah.

"Ayah, meski Ellen tidak datang, aku tidak akan menyalahkannya. Tapi, aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun padanya."

"Ini semua karena aku tidak memenuhi kewajibanku sebagai seorang kakak, sehingga melukai hatinya."

Lagi-lagi Sofia memaksa diri untuk tidak menangis.

Ayah yang selalu acuh tak acuh di depanku malah menepuk bahu Sofia. Dia berkata, "Jangan menyalahkan dirimu! Kamu selalu menjadi kebanggaan kami."

"Begitu melihat anak durhaka itu, aku akan menyuruhnya meminta maaf padamu."

Ibuku juga berdiri di sebelah. Matanya penuh dengan rasa syukur dan mengangguk tanpa henti.

"Dasar anak durhaka, biarkan dia mati saja," gumam Vando.

Namun, ibuku langsung memukulnya. Tidak boleh mengucapkan perkataan yang sial di hari bahagia seperti ini.

Sofia pun tertawa setelah melihat tindakan mereka. Lalu, dia menggandeng lengan Witson dan berjalan menuju panggung.

Aku terpaksa untuk melihat kehidupan mereka. Momen bahagia yang tidak pernah aku alami sekalipun.

Untungnya, aku sudah terbiasa. Kini, hatiku sudah tidak terasa sakit lagi.

Diiringi melodi piano yang merdu, mereka mulai bertukar cincin.

Ibuku sangat terharu hingga menangis di bawah panggung.

Mereka bahkan melupakan bahwa hari ini juga adalah hari ulang tahunku, tetapi ada beberapa orang yang tidak melupakannya.

"Kenapa Ellen tidak datang? Bukankah hari ini juga ulang tahunnya?"

"Baru saja aku melihat namanya di kue yang didorong ke panggung"

"Kudengar Witson juga pernah berpacaran dengannya, tapi sekarang sudah menjadi kakak iparnya."

Saat ini pula, terdengar beberapa gosip.

"Ellen bukanlah orang yang baik. Kepribadiannya sangat buruk dan suka berbohong ...."

"Tidak ada yang akan menyukainya."

Orang tuaku benar-benar sangat perhatian.

Mereka merusak reputasi di depan kerabat dan teman-temanku tanpa ragu.

Setahun setelah aku dijemput dari pedesaan, Bibi pernah membawa anaknya ke rumahku untuk bermain.

Saat itu, anaknya tidak sengaja jatuh dari sofa, tetapi Sofia langsung menunjukku sebagai orang yang mendorongnya.

Bibi langsung memperlihatkan ekspresi marah. "Padahal masih kecil, tapi hati sudah begitu jahat."

Sebenarnya aku terus membela diri, tetapi mereka tidak ingin mendengarnya.

Demi memaksaku mengakui kesalahan, ayahku mengunciku di dalam kamar. Dia bahkan membiarkanku lapar selama dua hari dan dua malam. Sejak itu pula, aku terkena radang usus yang akut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status