Share

Bab 4

"Satu-satunya harapan yang aku inginkan adalah Ibu bisa hidup dengan selamat dan sehat."

Mendengar perkataan itu, ayahku langsung memelototiku. "Rayain ulang tahun apaan? Risih sekali, cepat kembali ke kamarmu!"

Semangkuk mi itu pun dibuang ke tong sampah oleh ayahku, padahal aku belum sempat memakannya.

Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, pantas saja aku meninggal begitu cepat.

Sofia sengaja berlari ke kamarku, kemudian perkataan yang dia katakan seperti bilah pisau yang beracun.

"Bisa-bisanya ingin makan mi panjang umur yang dimasak ibuku, sungguh nggak tahu malu!"

"Dasar pembawa sial, kenapa kamu tidak mati saja."

Mendengar kata-katanya, aku sangat marah hingga mendorongnya. Di saat itu pula, kepalanya menghantam ke arah pintu.

Malam itu, aku pertama kalinya dikurung di ruang bawah tanah oleh ayahku. Aku hanya bisa berusaha untuk mengetuk pintu.

Gelap sekali! Aku ketakutan hingga tidak bisa bernapas, tetapi aku juga tidak berani memanggil ibuku. Jadi, aku hanya bisa mengetuk pintu tanpa henti.

Beberapa mimpi buruk itu terus menghantuiku, seakan-akan suara kain yang sobek terdengar di telingaku.

Di saat terkulai dalam penderitaan, aku berteriak pada Nenek agar dia bisa menyelamatkanku secepat mungkin.

Semua ketakutan pun menyelimutiku.

Setelah aku sadar kembali, ibuku sudah memelukku di rumah sakit.

Namun, begitu melihat ibuku, aku langsung ketakutan dan bersembunyi di sudut.

Aku terus berteriak, "Aku tidak mau Ibu, aku tidak mau Ibu."

Dalam kepanikan, aku malah lupa bahwa itu adalah pertama kalinya dia memelukku.

Tangan ibuku terhenti di udara dan wajahnya menjadi muram. "Sungguh anak yang tidak tahu berterima kasih!"

Meskipun aku telah didiagnosis menderita fobia gelap, ibuku tidak menunjukkan reaksi apa pun. Dia langsung berbalik dan berjalan keluar dari rumah sakit.

Pada malam itu, aku hampir tenggelam dalam penyesalan.

Kuku yang menancap di kulit pun tak mampu meredakan rasa putus asa dan gelisah.

Sejak saat itu, ibuku menjadi semakin membenciku.

Ketika aku masuk kuliah, Sofia ingin memiliki ruang belajarnya sendiri.

Tanpa basa-basi, ibuku langsung menyuruh orang membuang semua barangku dan menjadikan kamar tidurku sebagai ruang belajar.

Mereka tampak sangat tidak sabar untuk mengusirku.

Tidak apa-apa! Kini, aku sudah mati dan tidak akan kembali lagi.

Keesokan harinya, Witson yang ingin menyenangkan Sofia pun memberikannya kunci rumah baru.

Sofia dengan senang mengajak seluruh anggota keluarganya untuk melihat rumah baru.

Sementara itu, aku ikut di belakang Ayah, Ibu dan Vando.

Setibanya di rumah baru, Ayah dan Ibu yang kelelahan langsung duduk di sofa.

Lagi-lagi mereka membahas kesalahanku.

"Ellen benar-benar sangat keterlaluan. Sampai sekarang, dia bahkan tidak menelepon kita."

"Gagal sekali aku, sampai bisa punya anak seperti itu."

Ibuku melihat layar ponselnya, tetapi hanya ada panggilan keluar yang tak terjawab.

"Ellen yang kejam dan tidak tahu berterima kasih. Jangan pulang lagi kalau berani," ujar ayahku sambil memegang tangan ibuku.

Aku melihat ekspresi mereka dari jarak dekat.

Selain rasa benci yang mendalam, mereka sama sekali tidak mengkhawatirkanku.

Tidak peduli seberapa aku berusaha, mereka tetap saja tidak peduli.

Ayahku pun mengerutkan alisnya. Begitu membicarakanku, dia selalu merasa kesal.

Segera setelah itu, ibuku memejamkan matanya dan menghela napas.

Sejak aku menghilang hingga sekarang, tidak ada seorang pun dari mereka yang khawatir akan keselamatanku.

Memikirkan hal itu, aku menyeka air mata di sudut mataku. "Bu, seburuk apa aku sampai kamu begitu membenciku?"

Ketika ibuku menjemputku pulang, aku pernah bertanya padanya di dalam mobil.

"Bu, kenapa kamu baru datang menjemputku sekarang? Apa karena tidak sayang padaku?"

Ibuku tidak menjawab dan menyandarkan kepala di jendela tanpa melihatku.

Di antara kami hanya ada jarak satu orang.

Kami sama sekali tidak berbicara.

Ternyata Nenek hanya menipuku. Ibu sama sekali tidak baik.

Setelah meninggal, barulah aku sadar kalau Ibu tidak sayang padaku.

Aku sangat sedih sehingga hendak keluar dari rumah ini. Akan tetapi, begitu sampai di depan pintu, aku malah ditarik kembali oleh semacam kekuatan.

"Bu, aku akan menelepon Ellen lagi. Kamu jangan khawatir," ucap Vando sambil menekan telepon di tangannya.

Setelah berdering tiga kali, akhirnya panggilan pun terhubung.

"Ellen, kamu sungguh keterlaluan. Dasar nggak tahu diri, kenapa kamu baru angkat telepon sekarang?"

"Kamu ingin membuat kami ngamuk ya?"

Setelah terdiam sejenak, terdengar suara serak dari ujung telepon. "Dia sudah mati, tapi dia jelas memintaku untuk menyelamatkannya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status