Pada suatu malam di sebuah kediaman besar dan megah, terlihat banyak sekali orang-orang berseragam penjaga dan pelayan berlarian berusaha untuk menyelamatkan diri dari amukan kobaran si jago merah. Bau anyir darah mengucur deras dari luka-luka di tubuh mereka, berhasil merusak hawa malam yang dingin dan murni.
"Tolooong! Tolooooong!" "Tolong kamiiii!" Terdengar suara ramai minta tolong dari arah kejadian pembakaran bangunan. Beberapa orang lelaki penjaga berlarian sambil memegangi luka tikam di bagian perut kanannya. Pria lain juga terlihat berjalan terseok-seok dalam keadaan menyedihkan dengan luka robek pada punggungnya. Mereka semua berlumuran darah, bermandikan keringat dan air mata. Tak ada satu pun yang tinggal di kediaman besar itu mengira, akan adanya tragedi mengerikan terjadi pada malam ini. "Apiiiii! Cepat padamkan apiiiii!" Suara hiruk pikuk lainnya mengacaukan suasana. "Tolooong, to-long a-aku!" Pria yang terkena luka tikam seketika ambruk di atas lantai pelataran. Beberapa lelaki penjaga segera berlarian untuk menolongnya. "Mati!" Penjaga pria yang menolongnya berseru, saat dia memeriksa keadaan temannya. "Dia telah mati?" "Lukanya terlalu parah, sepertinya dia kehabisan darah!" jawab penjaga berkumis tipis. Seorang penjaga lainnya datang dengan langkah tergesa-gesa dan bertanya, "Apa yang terjadi?" "Dia telah membakar kediaman kita ini!" Seorang lelaki tua dengan napas terengah-engah melaporkan kepada sang kepala penjaga kediaman Keluarga Jing. "Dia?" Pria lain bertanya dengan nada tidak sabar, akibat rasa penasaran yang menjejali hatinya. "Siapa pelakunya?" "Si Raja Arak!" jawab lelaki tua pelapor dengan ketakutan yang membayang jelas di wajahnya. "Apaaaa? Raja Arak, Jiu Wang?" Pria berkumis terlihat sangat terkejut, saat mendengar sebuah nama julukan bagi seseorang yang sangat mereka kenal dengan sangat baik. "Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa dia yang melakukannya?" Yang ditanya segera menjawab, "Kami juga tidak tahu! Dia tiba-tiba saja datang dari luar kediaman dan menyerang semua orang yang ditemuinya. Ini sungguh aneh dan sangat tidak masuk akal!" "Tak ada jalan lain lagi, selain melarikan diri dari tempat ini!" sahut pria berkumis dengan wajah panik. "Baiklah! Ajak semua wanita dan anak-anak untuk segera menyingkir dari sini!" Ketua penjaga berusaha untuk melakukan penyelamatan sebisanya. "Tapi, bagaimana dengan Kepala Keluarga?" "Benar! Bagaimana dengan keadaannya dan Nona Yue juga bayinya?" Penjaga lain bertanya dengan perasaan khawatir. "Baiklah, kali ini kita harus membagi tugas. Kau dan sebagian pasukan penjaga, menyelamatkan siapa pun yang masih bisa bertahan. Kalian harus secepatnya meninggalkan tempat ini!" Sang ketua penjaga memberi perintah kepada para anak buahnya. "Lalu, Ketua sendiri?" bertanya pria berkumis dengan nada cemas. Ketua penjaga menjawab, "Aku akan melihat keadaan kepala keluarga dan Nona Yue. Aku sangat khawatir dengan mereka!" "Baiklah, kami mengerti! Berhati-hatilah, Ketua!" seru para penjaga yang juga segera berlarian untuk melakukan penyelamatan terhadap para penghuni kediaman lainnya. Ketua penjaga dan beberapa penjaga pun segera berlari menuju bangunan kediaman utama yang menjadi tempat tinggal majikannya. Mereka dibuat ternganga oleh pemandangan yang mereka saksikan. Tempat itu juga sudah porak poranda dan hancur pada sebagian bangunannya. Sungguh, suasana yang tidak pernah mereka duga sebelumnya. Hiruk pikuk terus berlangsung dari sebuah kediaman besar dan megah yang merupakan tempat termegah di daerah selatan Gunung Naga. Kediaman tersebut adalah milik Keluarga Jing yang kaya raya dan cukup disegani di rimba jianghu. Namun malam ini, kedamaian dalam kediaman itu telah berubah menjadi sebuah pertumpahan darah. Siapakah pelakunya? **** Di tempat lain .... Seorang pria tua terlempar keluar dari sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk tempat bermeditasi dalam keadaan terluka parah. Tubuh lelaki tua berusia enam puluh tujuh tahun, melayang menimpa pintu utama hingga hancur berantakan. Muntahan darah segar menyembur dari mulutnya. Pria tua tersebut terkapar dan masih berusaha untuk bangkit. Namun keadaan tubuhnya yang telah terluka dalam, memaksanya kembali terjatuh bergulingan. "Kamu! Kamu!" Pria tua itu menunjuk dengan tangan gemetar ke arah seorang lelaki bersenjatakan sebilah tombak panjang yang terus berjalan mendatanginya. Pria tua itu terteriak, "Dasar menantu biadab! Pengkhianaaaaat!" "Kamulah yang bodoh, Jing Zhao! Kau sama sekali tak menyadari siapa aku! Akulah si Pembunuh Tak Berperasaan yang dikirim oleh musuhmu untuk menghancurkan keluargamu!" Pria bertombak terus berjalan mendekat ke arah pria yang telah tak berdaya. "Jing Zhao, dengarlah! Aku memang sengaja mengikuti sayembara itu hanya agar aku bisa masuk dan dengan mudah menghancurkan Keluarga Jing ini." "Untuk hal ini, aku memang bersalah atas tragedi yang terjadi malam ini. Dan sebelum membunuhmu, aku akan terlebih dahulu meminta maaf padamu. Ayah, sejujurnya aku sangat mencintai Ah Yue dan anakku. Namun, aku pun tak bisa mengabaikan sumpahku." Jiu Wang berkata dengan suara datar dan dingin. "Aku sangat menyukainya, hingga aku melupakan tugas awal yang diberikan oleh keluargaku dan Keluarga Wen." Jiu Wang mengelus bilah senjatanya yang sudah bermandikan darah. Pria bergelar Raja Arak itu memutar tombaknya hingga beberapa kali seraya berjalan mendekati sang ayah mertua yang sudah tidak berdaya. "Aku telah menetapkan sumpah untuk membunuhmu dan Keluarga Jing ini." Jing Zhao menatap mata tombak yang berkilatan itu dengan tatap kemarahan. Tak ada sedikit pun rasa gentar dalam sorot mata pria tua sang Kepala Keluarga Jing ini. Dia sungguh merasa sangat menyesal, karena telah menjadikan iblis berwajah tampan ini sebagai menantunya. "Jiu Waaaang! Terkutuk kamu!" Jing Zhao mengumpat dengan gelegak kemarahan dan dendam. "Setelah kematianku, kau tidak akan pernah mendapatkan ketenangan barang sedetik saja! Kau akan terus dilanda oleh penyesalan seumur hidupmuuu!" Jiu Wang tidak memedulikan ucapan dari ayah dari Jing Yue istrinya. Dia bahkan segera menendang tubuh pria tua yang merupakan mertuanya sendiri itu dengan sebuah tendangan keras. Tak ayal lagi, Jing Zhao terpental cukup jauh hingga sampai pada pelataran yang sudah dipenuhi oleh mayat-mayat para penghuni kediaman besar milik Keluarga Jing. Sang kepala keluarga itu jatuh bergulingan menimpa tubuh mayat yang sangat dia kenali. "Kaliaaan! Kalian juga telah dibunuh olehnya?" Mata Jing Zhao terbelalak lebar, saat menyaksikan keluarganya banyak yang telah menjadi mayat. Jing Zhao kemudian kembali menatap ke arah sang menantu yang telah mengumandangkan sebuah simfoni kehancuran. "Kamu! Terkutuk kamu, Jiu Waaaang!" Jing Zhao mengumpat menantunya. "Bicaralah sepuas hatimu sebelum kau dan seluruh orang di kediaman ini mati di tangan menantumu ini, Jing Zhao!" Jiu Wang berkata dengan nada datar bagai tanpa perasaan bersalah sedikit pun. "Karena hari ini adalah akhir dari hidupmu dan seluruh Keluarga Jing! Dengan begitu, tugasku akan segera selesai setelah aku berhasil membunuhmu dan semua penghuni kediaman ini!" "Tugas?" Jing Zhao bertanya sembari menahan sakit yang teramat sangat, akibat dari pukulan dan tendangan yang ia dapatkan dari menantunya ini. "Jadi, selama ini kau adalah seseorang dari pihak musuhku?" Jiu Wang menjawab dengan nada dingin. "Benar! Sebenarnya aku adalah utusan dari Keluarga Wen." "Keluarga Wen? Ja--jadi?"Jiu Wang menjawab dengan nada dingin. "Benar! Sebenarnya aku adalah menantu dari Keluarga Wen." "Keluarga Wen? Ja-jadi?" Jing Zhao sungguh tidak pernah mengira, jika pria pemenang sayembara ini adalah orang suruhan dari Keluarga Wen, musuhnya. Pria tua itu berusaha duduk sembari memegangi dadanya. "Jadi selama ini, kamu telah mempermainkan kami? Mempermainkan Ah Yue!" "Ah Yue?" Jiu Wang berteriak dalam hati saat teringat istrinya. "Ah Yue, maafkan aku! Aku akan mempertanggungjawabkan semua perbuatanku ini!" Jing Zhao terbatuk hingga beberapa kali, segumpal darah kembali terlempar dari mulutnya. Wajahnya telah menjadi sangat pucat pasi. Lelaki tua itu berkata dalam hati sembari menatap langit malam yang jernih tanpa awan. "Sepertinya, hari ini memang hari terakhir aku hidup di dunia ini. Aku bahkan tidak sempat melihat wajah anak dan cucuku untuk yang terakhir kalinya." "Ah Yue, maafkan ayah! Maafkan ayah yang telah membuatmu bertemu dengan pria biadab tak bermoral ini!" J
Tak bisa dipungkiri, jika dia pun merasa sangat menyesali perbuatannya. Ia dihadapkan oleh persoalan pelik yang hanya bisa dipilih salah satu dan tidak ada pilihan lain. Kesetiaan pada sumpah yang telah dia ucapkan, harus dibayar mahal dengan mengorbankan perasaan dan cinta. Namun, semua hanya tinggal segunung sesal yang akan menjadi awal penderitaan panjang pria ini. Jerit tangis bayi membuat pria itu menoleh ke arah sumber suara dan matanya langsung mendapati sesosok bayangan tubuh di antara asap dari kobaran api. "Kakak!" Seorang wanita cantik berdiri tertegun sambil menggendong bayi laki-laki berusia empat puluh hari yang sedang menangis. Tangisan sang bayi lelaki berparas tampan nan cantik itu terdengar begitu menyayat hati kedua orang tuanya yang mulai detik ini berdiri berhadapan sebagai musuh. Hati Jing Yue mulai dilumuri dendam kepada pelaku pembantaian keluarganya sendiri, yang mana si pembunuh adalah ayah dari putranya. Wanita itu terpaku, tertegun dan mematung di
Namun rupanya, kebahagiaan pasangan itu tidak bisa berlangsung lama. Keluarga kecil yang semula sangat bahagia tersebut harus berakhir dengan sangat singkat. Jiu Wang menerima sebuah surat rahasia dari Klan Wen yang memaksa Jiu Wang harus membantai seluruh keluarga istrinya dan mencari sebuah benda pusaka yang diinginkan oleh Klan Wen sejak lama. Walaupun barang pusaka kuno itu tak berhasil ia dapatkan, tetapi Jiu Wang harus tetap memenuhi sumpahnya untuk menghancurkan Keluarga Jing. Hal itu dikarenakan, keluarganya juga di bawah ancaman Klan Wen. Sebagai seorang tuan muda pertama penerus keluarga besarnya, Jiu Wang harus bertanggung jawab dan memikul beban seberat Gunung Naga. Selain Jing Yue dan putranya yang baru berusia empat puluh hari, tak ada seorang pun yang dibiarkan hidup oleh Jiu Wang di malam pembantaian ini. Raja Arak menatap nanar pada kobaran api dan mayat-mayat yang bergelimangan akibat ulahnya sendiri. Tombak Naga Emas telah meminum darah dari orang-orang yang menjad
"Ah Yue!" Tuan muda itu menjadi sangat panik karena keadaan wisma tersebut sangat sepi. "Ah Yueeeeee!" "Ah Yue, buka pintunyaaaaa!" "Ah Yue! Ah Yueee, apa kamu dan Ah Ling baik-baik saja?" Pemuda itu berkali-kali mengetuk pintu rumah Jing Yue dengan terburu-buru. Namun, tak ada sahutan ataupun pintu yang dibuka dari dalam. Hal itu membuat pemuda itu semakin cemas dan merasa sangat penasaran. "Ah Yue! Maafkan aku, kalau aku sedikit mengganggumu. Aku hanya ingin memastikan keadaanmu!" Pria yang bersama sang tuan muda ikut memeriksa keadaan sekitar rumah yang sunyi. Lelaki itu berkata, "Tuan Muda, sepertinya tempat ini sepi. Mungkin, Nona Jing Yue sudah pergi dari sini." "Mungkin saja. Aku juga berharap demikian. Tapi, di mana dia?" Pria muda berpakaian hanfu biru itu tidak menemukan orang yang dicarinya. "Bagaimana, Tuan Muda Hua Yan?" tanya si pengawal yang tidak menemukan apa pun. "Sepertinya memang sepi. Kalau begitu, aku akan melihatnya ke dalam!" Hua Yan yang masih merasa pe
"Jangan sentuh kami dengan tangan kotormu itu! Kamu telah membasuhnya dengan darah ayah dan juga saudara-saudaraku! Kamu pikirkan saja sekarang! Masih pantaskah kamu menyentuh kami berdua?" Jing Yue berteriak sembari menghindar. Dirinya sudah merasa teramat jijik dengan pria yang masih bergelar suaminya. "Ah Yue, maafkan aku! Aku juga sangat terpaksa melakukannyaaa! Keluargaku yang lain juga dalam ancaman. Aku!" "Aku ..." "Aaaaarrghhh! Haruskah aku meninggalkan mereka?" Jiu Wang yang sedang merasa sangat frustrasi akhirnya hanya bisa melampiaskan dengan berteriak setinggi gunung pencakar langit. "Mengapa tidak ada pilihan lain?" Jiu Wang lalu meremas-remas rambutnya sendiri dengan penuh penyesalan, kegeraman dan kemarahan yang bercampur menjadi satu. "Mengapaa aku disudutkan pada persoalan seperti ini?" "Mengapaaaaaa?" "Mengapa kamu bertanya padaku?" Melihat tingkah gila Jiu Wang, Jing Yue justru merasa semakin jijik dan ingin muntah. "Jika kamu pergi malam ini juga, maka sejak k
"Pergilah jika itu pilihanmu! Tapi ingatlah, setelah kau menginjakkan kakimu di luar tanah Keluarga Jing. Sejak itulah, kau bukan lagi suamiku!" Jing Yue berucap tanpa menoleh sedikit pun. "Kalau begitu, aku tidak akan pergi dari sisimu!" teriak Jiu Wang merasa sangat berat hati meninggalkan anak dan istrinya ini. "Aku tidak akan meninggalkanmu dan anak kita, Ah Yue!" "Tuan Muda, tuan muda kecil dan seluruh klan sudah menunggumu!" Salah seorang pengawal Keluarga Han mengingatkan sekali lagi. "Aaaaaaaarrgghh!" Sebuah jeritan panjang bernada tinggi dengan lambaran ilmu tenaga dalam terlepas dari mulut Jiu Wang. Para pengawal dari Keluarga Han pun harus berusaha keras menahan akibatnya. Darah segar seketika mengalir dari telinga dan hidung mereka. Para pria pengawal dari Keluarga Han saling memberi isyarat satu sama lain. Salah satu seorang dari mereka bergerak bangkit dan maju mendekati sang tuan muda. Pria itu memukul tengkuk Jiu Wang hingga tak sadarkan diri. "Maaf, Tuan Muda! Ta
17 tahun kemudian. Pada suatu hari yang cerah di Gunung Naga. Sinar mentari sudah tidak lagi menyengat, tetapi masih terasa cukup hangat di permukaan kulit. Cahayanya menembus hutan pinus di perbatasan perbukitan, menambah keelokan pemandangan di sana. Di padang rumput yang tak seberapa luas, seorang anak muda berlarian menerobos semak belukar dan kelebatan rumput ilalang. Dia bahkan tidak memedulikan kulit halus kaki-kaki kokohnya yang sesekali tergores oleh duri-duri dari tanaman liar hingga berdarah. Tampaknya, pemuda itu sedang memburu sesuatu. Anak muda itu berhenti di depan semak perdu yang cukup rimbun. Mata indah dengan iris birunya mengawasi suatu pergerakan kecil pada tumbuhan berumpun berdaun kecil, panjang dan memiliki warna hijau kekuningan. Mulut pemuda itu lirih bergumam, "Di mana dia? Bukankah tadi dia lari ke sini?" Suara gemerisik nan samar disertai desisan lembut telah menjatuhkan sepasang mata cantik itu mengalihkan perhatian pada sisi semak yang lain. Seutas
"Mengapa dia selalu saja tidak sabaran sekali?" Hua Fei hanya bisa menggelengkan kepalanya berulang kali. Dia berjalan menyusul saudara mudanya sembari menggendong keranjang milik Jing Ling. Di sepanjang perjalanan, mulut pemuda itu terus bergumam seperti sedang menghafalkan sesuatu. "Daun mongoose, minyak kelapa, minyak lavender, lalu ... apa lagi?" Hua Fei berjalan sembari membuka buku tentang pengobatan. "Mungkinkah batu giok hitam juga bisa untuk menyerap racun pada luka bekas gigitan ular?" "Mengisap racun dari bekas luka justru tidak diperbolehkan, karena racun bisa tertelan dan mengakibatkan hal yang sangat berbahaya bagi si pengisap." Hua Fei masih sibuk dengan buku metode penanganan pertama pada korban gigitan ular. Baru beberapa ratus langkah Hua Fei berjalan, dia dikejutkan oleh suara ramai orang-orang yang sedang tertawa. Anak muda itu lalu berlari-lari ke arah sumber suara keributan dan mendapati pemandangan yang membuatnya bukan hanya terkejut, tetapi juga merasa sang
"Jangan takut. Aku adalah Jing Shuang, orang yang menciptakan cincin ini." Jing Ling sedikit panik, merasa bahwa pendengarannya saat ini sedang tidak normal. Pandangan matanya terus tertuju ke arah bayangan berwujud manusia yang terjebak di gumpalan sinar merah yang tampak samar. "Sudah sangat lama aku terjebak di tempat ini, menunggu seseorang dari penerusku datang dan menemukanku." Suara anggun dan lembut itu kembali terdengar dengan jelas. Jing Ling terkejut. Ternyata, sinar berwujud manusia itu bisa berbicara? Dan dia mengaku bernama Jing Shuang? Tunggu! Bukankah itu adalah nama yang disebutkan oleh Jing Yue, ibunya? "Jing Shuang?" Jing Ling luar biasa terkejut. "Jadi, Anda adalah Jing Shuang, pencipta dan pemilik Cincin Segala Ruang ini?" "Benar. Itu aku." Leluhur Jing Shuang berbalik dengan anggun, jubahnya berkibar, dan sinar merah yang menyelimutinya seketika menghilang. Sekarang, wujud asli pria muda yang sangat menawan bak seorang kaisar langit terlihat jelas. W
"Bagaimana mungkin itu adalah benda yang rusak? Kamu cobalah sekali lagi, Ah Lin!" Hua Lin mencoba memberi semangat kepada keponakannya. "Semangat!""Baiklah. Aku akan mencobanya sekali lagi." Jing Ling mengangguk, kemudian kembali memfokuskan pikiran agar dapat terhubung dengan cincin segala ruang miliknya.Namun, masih tidak ada yang terjadi meskipun ia telah mencobanya hingga berulang kali.Jing Ling menarik napas sesaat dengan perasaan kecewa. "Tetap tidak bisa.""Aneh ... mengapa tetap tidak bisa?" Hua Fei juga tak mengerti.Jing Ling tak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan sekaligus rasa penasarannya.Ia menghadap kembali kepada sang ibu. "Ibu, aku tak bisa menggunakan cincin ini. Meskipun aku berusaha keras menyatukan pikiranku, tetapi aku tak bisa merasakan apa pun. Aku jadi berpikir kalau benda ini tidak berjodoh denganku, atau mungkin saja benda ini memang sudah rusak.""Itu tidak rusak. Tapi memang cincin milikmu itu sedikit berbeda dengan benda ruang milik Ah Fei dan Ah Li
Hua Fei melihat kantung di tangannya, mencoba menemukan rahasia yang tersembunyi dalam benda tersebut. Namun, tetap saja ia tak menemukan apa pun di sana."Ah Fei, kantung yang sekarang kamu pegang itu bernama Qian Cang Pao, kantung seribu ruang yang mampu memuat banyak benda-benda tanpa membebani pemiliknya." Jing Yue menjelaskan perihal kantung putih milik Hua Fei. "Selain dapat menyimpan benda-benda, kantung itu juga sangat kuat karena terbuat dari kepompong ulat sutra berusia seribu tahun."Hua Fei terkejut. "Kantung seribu ruang?""Ternyata itu adalah kantung seribu ruang yang sangat legendaris!" Hua Lin berseru disertai keterkejutan dan kekaguman. "Ah Fei, kamu sungguh beruntung bisa memiliki benda seperti itu."Hua Fei dan yang lainnya mulai berisik dengan decakan kagum. Ternyata benda yang dianggap kosong itu benar-benar merupakan benda istimewa.Wajah Hua Fei seketika secerah langit pagi. Sekarang, ia justru merasa takjub dan berterima kasih dalam hati atas pemberian Jing Yue
Dari kerutan alis matanya, jelas ada bayang-bayang kekecewaan Hua Fei yang tak bisa disembunyikan. Ekspresi wajah pemuda itu berubah muram dan matanya menyipit, seolah mencoba memahami sesuatu yang sedikit mengganggu.Tabib muda itu menarik napas panjang, perlahan mengembuskannya, mencoba menenangkan gejolak pertanyaan dalam benaknya.'Mungkin saja aku yang tidak seberuntung mereka berdua,' gumam Hua Fei, dalam hati.Ia melirik sekilas ke arah kedua keponakannya yang tengah sibuk dengan hadiahnya masing-masing. Perasaan tak menentu berkecamuk dalam dada Hua Fei.'Tapi ... mana mungkin Bibi tega mempermainkan aku?' pikir Hua Fei lagi. 'Atau mungkin ... ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bibi?'"Paman Kecil, kamu mendapatkan ikat pinggang!" Seruan Jing Ling membuat Hua Lin tersenyum tipis.Ia segera menghampiri untuk melihat lebih dekat ikat pinggang hitam yang sederhana tapi penuh keunikan. Sorot mata Jing Ling berbinar-binar, mengagumi bentuk sabuk hitam dengan gesper perak yang rumi
Jing Ling, Hua Fei dan Hua Lin menatap kantung kain di tangan Jing Yue. 'Apakah bibi menyiapkan bekal uang lagi?' Hua Fei membatin. 'Bukankah kami sudah mendapatkan biaya dari sekte?' 'Kakak Yue memberi kami kantung parfum?' Hua Lin mengira itu adalah kantung pengharum yang biasanya dipakai untuk menyamarkan bau badan tak sedap dengan aromanya. 'Aiyaa, kakak iparku ini mengapa aneh sekali?' Jing Ling akhirnya bertanya, "Ibu, itu adalah kantung kain yang akan diberikan kepada kami bertiga?" "Benar. Ini adalah hadiah dari kami yang sudah lama dipersiapkan untuk kalian." Jing Yue mengulurkan tangannya secara perlahan, memperlihatkan tiga kantung sachet yang terbuat dari kain satin, halus dan berkilau di bawah sinar matahari pagi. "Hadiah?" Ketiga tuan muda terperangah. "Untuk kami?" Hua Lin tak mengerti. "Ya. Ini memang untuk kalian." Jing Yue kembali mengulas senyum dan berkata, "Kami mengumpulkan semua benda ini sejak lama sebagai persiapan karena kami merasa sewaktu-waktu kal
Jing Ling tercekat. Hua Fei tertegun. Keduanya menatap Hua Lin dan Hua Feng secara bergantian dengan pandangan bingung. Mereka khawatir jika Hua Lin tak bisa menahan amarahnya. "Hua Feeeeeng!" Hua Lin berteriak, suaranya meledak di udara hingga membuat banyak orang terkejut. "Hua Feng, bagaimana kamu bisa seceroboh itu?" Hua Lin merasa frustrasi, sedangkan Hua Feng memasang ekspresi wajah sebodoh keledai dungu. Hua Lin ingin menangis, tetapi ia tak mungkin menangis di hadapan banyak orang, terlebih lagi hanya soal perbekalan yang masih bisa digunakan meskipun tidak kecil kemungkinan sudah hancur. Pemuda itu hanya bisa menatap dengan tatapan yang seakan hendak memangsa Hua Feng hidup-hidup. "Ma--ma ... maaf!" Napas Hua Feng masih tersengal, dadanya naik turun, tetapi tatapan tajam Hua Lin yang menusuk itu membuatnya seolah tercekik oleh rasa bersalah. Bagi Hua Feng, pandangan mata Hua Lin terlihat sangat mengerikan hingga udara panas dan perasaan dingin terus menari-nar
Di kejauhan, Jing Ling dan Hua Fei sudah berdiri menunggu di bawah pohon maple sembari menyaksikan kesibukan para pelayan. Mereka tampak siap untuk perjalanan panjang yang akan segera mereka tempuh.Sebenarnya, Hua Fei merasa ada suatu firasat aneh yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tetapi perasaan itu terus-menerus mengganggu pikirannya. Pemuda itu larut dalam diam hingga beberapa waktu dan hal tersebut dapat segera ditangkap oleh sang keponakan.Jing Ling menyiku lengan Hua Fei. "Eh, Kakak Fei, ada apa denganmu? Apakah kamu merasa tidak tega untuk pergi dari tempat ini, atau ....""Kakak Fei sedang merindukan Yunxi, adik sepupuku yang cantik jelita itu?" Jing Ling sengaja menggoda Hua Fei dengan mengungkit masalah Jing Yunxi. "Apa kamu sudah merasa rindu padanya bahkan sebelum kamu pergi?"Mendengar nama Jing Yunxi disebutkan, seketika darah Hua Fei terasa berdesir dingin, seolah-olah puluhan jarum tajam menusuk jantungnya. Sensasi perih itu merayap cepat, menyesakkan dadan
"Bodoh!" Sambil mengumpat, Hua Lin melayangkan satu tamparan secepat lesatan anak panah yang langsung menghantam pelipis Hua Feng."Aaah!" Hua Feng terpekik keras hingga beberapa orang menoleh ke arahnya. Hua Lin tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Ia lanjut mengomeli Hua Feng. "Tentu saja itu bukan jimat, melainkan sesuatu untuk menangkal bahaya kelaparan!"'Mengapa aku bertemu orang sebodoh dia?' Hua Lin merasa sial dalam hal ini.Hua Feng tak sempat mengelak. Pukulan itu tidak terlalu keras, tetapi cukup membuat tubuhnya terhuyung ke samping, hampir kehilangan keseimbangan.'Penangkal bahaya kelaparan, bukankah itu makanan?' pikir Hua Feng yang mulai mengerti maksud seniornya ini.Hua Feng mengusap pelipisnya yang sedikit memanas. Ia mengerang kesal. "Tuan Muda, kamu menyiksaku lagi!""Tuan Muda selalu saja begitu, padahal aku hanya bertanya, tapi Tuan Muda malah menindasku." Raut wajah Hua Feng berubah sedih, bibirnya mengerucut hingga ia tampak lucu. "Tuan Muda
"Maka saya akan mendesaknya!" Mu Lei tiba-tiba berkata tegas.Mu Lei adalah orang luar yang pernah diselamatkan oleh Hua Yan pada tragedi berdarah Suku Mu lima tahun lalu, saat terjadi pemberontakan salah satu kubu 'pakaian kotor' yang berselisih dengan kubu 'pakaian bersih' Suku Mu, dan itu membuatnya nyaris mati terpenggal.Namun, rupanya dewa mengirim Hua Yan pada waktu nyawanya sudah di ujung tanduk. Ia pun lolos dari kematian di mata pedang milik Mu Yan, pengkhianat Suku Mu, dan semua itu berkat pertolongan Hua Yan.Semenjak saat itu, ia bertekad untuk mengabdikan seluruh hidupnya demi membalas jasa kepada dewa penyelamatnya. Meskipun Hua Yan sudah membebaskan dan tidak mengungkit lagi tentang hal tersebut, Mu Lei tetap bersikeras untuk menjadi penjaga bagi Hua Yan dan keluarganya."Baiklah. Kita lihat saja nanti," Tetua Hua Lei yang bicara kali ini.Semua orang hanya bisa berharap kalau Hua Yan tidak keberatan dengan persiapan keamanan yang mereka lakukan kali ini.*****Sementa