17 tahun kemudian.
Pada suatu hari yang cerah di Gunung Naga. Sinar mentari sudah tidak lagi menyengat, tetapi masih terasa cukup hangat di permukaan kulit. Cahayanya menembus hutan pinus di perbatasan perbukitan, menambah keelokan pemandangan di sana. Di padang rumput yang tak seberapa luas, seorang anak muda berlarian menerobos semak belukar dan kelebatan rumput ilalang. Dia bahkan tidak memedulikan kulit halus kaki-kaki kokohnya yang sesekali tergores oleh duri-duri dari tanaman liar hingga berdarah. Tampaknya, pemuda itu sedang memburu sesuatu. Anak muda itu berhenti di depan semak perdu yang cukup rimbun. Mata indah dengan iris birunya mengawasi suatu pergerakan kecil pada tumbuhan berumpun berdaun kecil, panjang dan memiliki warna hijau kekuningan. Mulut pemuda itu lirih bergumam, "Di mana dia? Bukankah tadi dia lari ke sini?" Suara gemerisik nan samar disertai desisan lembut telah menjatuhkan sepasang mata cantik itu mengalihkan perhatian pada sisi semak yang lain. Seutas benda panjang menjuntai telah membuatnya menoleh dan meneliti. Tidak salah lagi, inilah yang sejak tadi membuatnya harus berlarian hingga kelelahan. Anak muda itu menyeringai kecil, karena apa yang sedang dia cari telah ditemukan. "Hmm, di sini rupanya!" Anak muda itu mengulurkan tangannya untuk meraih benda berbentuk panjang dan lunak yang membelit pada batang tumbuhan semak. Rupanya, benda itu bukanlah barang mati yang tidak bisa diam saja saat bahaya mengancamnya. Benda itu pun dengan gerakan cepat segera menghindarkan diri sang pemburu. Namun, anak lelaki itu juga bukanlah seseorang yang mudah menyerah begitu saja. Dia pun segera menyambar benda misterius tersebut dengan gerakan yang tidak kalah cepat pula. "Haaaaa! Kena kau!" Pemuda tampan berusia tujuh belas tahun itu pun segera melompat hingga menabrak rumpun semak di mana buruannya bersembunyi. Dia jatuh bergulingan dih atas padang rumput berhiaskan bunga-bunga liar yang tengah bermekaran. Meskipun dirinya baru saja terjatuh, tetapi tidak ada rintih kesakitan pada raut wajah manisnya. Sesungging senyum penuh kepuasan mengembang di bibir tipis merah mudanya. Kali ini dia berhasil menggenggam benda panjang bagaikan sulur akar pohon yang meliuk-liuk dan terus memberontak. "Kamu sudah tak bisa melarikan diri lagi, Makhluk Jelek!" Seekor ular belang hitam bercampur merah terang sekarang berusaha melepaskan diri dengan cara meronta-ronta penuh kemarahan. Binatang berbisa itu telah terjebak dalam genggaman tangan pemuda berwajah tampan nan cantik yang memiliki bola mata biru bercahaya bagaikan warna langit. Badan hewan melata itu terus menggeliat-geliat, sambil membuka mulutnya lebar-lebar dan memperlihatkan taring runcing serta bersiap untuk mematuk anak yang telah berani menangkapnya. Pemuda itu justru tertawa-tawa senang. Dia merasa menang melawan binatang yang mulai tak berdaya dalam genggamannya. "Hei, Ular Jelek! Apakah kamu pikir, kamu bisa melawan seorang Jing Ling yang perkasa ini?" Jing Ling atau Hua Ling dengan perasaan gemas menyentili kepala ular yang memiliki ukuran lebih kecil dari lengannya. "Diamlah dan jangan terus memberontak! Sebentar lagi kamu akan dijadikan sup untuk makan malamku!" Jing Ling masih terus tertawa-tawa berulang kali dengan suara keras. Hal itu telah mengganggu seseorang lainnya yang sedang asyik membaca sebuah buku tentang ilmu pengobatan. "Sebegitu senangnyakah dia hari ini? Sampai-sampai aku tidak bisa membaca bukuku dengan tenang." Anak muda lain yang tengah sibuk membaca buku tak jauh dari Jing Ling tampak melihat keadaan hari yang sudah mulai beranjak naik meninggalkan siang hari. Panas terik tidak lagi terasa semenyengat beberapa waktu yang lalu, dan perbekalan makanan serta minuman yang mereka bawa dari rumah pun sudah tak tersisa. "Hari sudah semakin siang. Bukankah sudah saatnya untuk kembali ke rumah?" Anak lelaki itu pun segera menyimpan buku bacaannya ke balik hanfu lapisan terdalam. Dia bangkit dan bergegas menuju ke tempat di mana Jing Ling sedang mempermainkan ular hasil tangkapannya. "Ular Cincin Darah yang ke dua puluh tiga!" Mata Jing Ling berbinar saat melihat keranjang bambunya telah terisi dengan puluhan ekor ular belang hitam merah yang sangat berbisa. "Ini artinya aku berhasil mengalahkan Hua Feng dengan perolehan nilai tertingginya!" "Adik Ling, sudah berapa banyak ular hasil tangkapanmu?" Sebuah suara lelaki muda lainnya mengejutkan Jing Ling yang sedang bermain-main dengan hewan berbisa hasil tangkapannya. Tentu saja, hal itu membuat sang ular terlepas dan dengan cepat pula segera melarikan diri dari anak yang tengah menyiksanya. Pemuda yang baru saja datang itu adalah Hua Fei, keponakan satu-satunya dari Hua Yan. Anak berusia dua tahun tidak lebih muda dari Jing Ling ini memiliki bakat alami dalam hal ilmu pengobatan. Selain berlatih ilmu bela diri, Hua Fei lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku tentang berbagai macam tanaman obat, racun dan penawarnya. Maka tidaklah mengherankan, kalau beberapa buah buku akan selalu dibawa ke mana pun dia pergi. "Kakak Feiiii! Suaramu telah membuatnya lari!" Jing Ling berteriak disertai nada kesal sembari bergerak dengan cepat untuk mengejar buruannya. "Lihatlah! Sekarang dia hilang lagi!" "Maaf, Adik Ling! Tapi, bukankah keranjangmu sudah penuh? Ayo kita pulang, sebelum bibi memarahi kita berdua!" Hua Fei tanpa diminta mengambil keranjang berisi ular belang hitam merah untuk dibawa pulang. "Biar kubawakan mereka semua untukmu!" "Tapi, bagaimana dengan ular kedua puluh tigaku?" Jing Ling terlihat sangat kecewa karena tidak berhasil menangkap kembali ularnya yang lepas. Matanya masih menyelidik ke arah larinya sang ular. "Sudahlaah! Kita harus segera pulang ke rumah sebelum senja." Hua Fei menarik tangan Jing Ling dan menuntunnya sambil bertanya, "Bukankah kita bisa mencarinya lagi besok?" "Tapi, aku ingin menangkap yang lebih banyak dari ini!" Jing Ling menyahut dan terus menggeliatkan dan menarik lengannya yang berada dalam cengkeraman tangan sang kakak. "Ayo, Kak. Kita berburu lagi! Setelah ular-ular itu kita perihatkan kepada laoshi untuk dinilai, kita akan lebih banyak mengumpulkan empedunya untuk dijual ke toko obat di pusat kota." "Adik, bukankah ibumu sudah mengatakan pada kita, kalau kita tidak boleh berkeliaran ke Kota Xiangqing," ujar Hua Fei sambil memegangi keranjang yang berisikan dua puluh dua ekor ular berbisa. "Tapi aku ingin ke sana, Kakak Fei. Aku ingin melihat-lihat toko senjata di sana." Jing Ling terlihat bersemangat membayangkan sebilah pedang yang sudah lama dia impikan. "Senjata untuk apa lagi. Bukankah kamu sudah punya tombak bermata batu hitam biru itu?" bertanya Hua Fei sambil masih memegangi lengan sang adik. Jing Ling menepis tangan Hua Fei dengan sedikit kasar. "Memang benar, Kakak Fei. Tapi aku ingin melihat dan memiliki senjata yang lain." Hua Fei mengerti akan tabiat anak muda satu ini dan dia pun harus berusaha menenangkan supaya Jing Ling tidak bertindak gegabah. "Baiklah. Kita bisa ke sana suatu hari nanti. Sekarang, sebaiknya kita segera pulang saja. Ayo!" Hua Fei berkata sambil menggendong keranjang bambu milik Jing Ling. Jing Ling hanya menatap sang kakak dengan perasaan kecewa dan menggerutu dalam hati. "Dia sungguh tidak menyenangkan sama sekali!" "Adik Ling, apakah kamu tidak tahu kalau melihat pamanku pergi pagi tadi?" bertanya Hua Fei. Dia sengaja mengungkit hal ini karena Jing Ling cukup merepotkan kalau sudah berkeinginan. "Haaaa? Ayah pergi?" Jing Ling seketika menghentikan pemberontakannya karena merasa terkejut. "Benarkah ayah pergi? Mengapa ayah tidak mengatakan apa pun padaku?" "Aku juga tidak tahu. Mungkin saja untuk menghindari kita." Perkataan Hua Fei sukses membuat Jing Ling kembali merasa kecewa. "Ayah sungguh keterlaluan!" Jing Ling kesal dan merasa sangat tidak dipedulikan oleh sang ayah. "Mungkin itu karena ...." Hua Fei urung melanjutkan perkataannya saat secara tiba-tiba, Jing Ling telah berlari kencang meninggalkannya seorang diri. "Adik Ling, tunggu!" Hua Fei mengangkat tangannya, tetapi kembali diturunkan. "Aiyaaa! Dasar anak itu!" Baru beberapa lama Hua Fei melangkah, tiba-tiba saja terdengar suara jeritan dari arah depan. "Aaaaaa!""Mengapa dia selalu saja tidak sabaran sekali?" Hua Fei hanya bisa menggelengkan kepalanya berulang kali. Dia berjalan menyusul saudara mudanya sembari menggendong keranjang milik Jing Ling. Di sepanjang perjalanan, mulut pemuda itu terus bergumam seperti sedang menghafalkan sesuatu. "Daun mongoose, minyak kelapa, minyak lavender, lalu ... apa lagi?" Hua Fei berjalan sembari membuka buku tentang pengobatan. "Mungkinkah batu giok hitam juga bisa untuk menyerap racun pada luka bekas gigitan ular?" "Mengisap racun dari bekas luka justru tidak diperbolehkan, karena racun bisa tertelan dan mengakibatkan hal yang sangat berbahaya bagi si pengisap." Hua Fei masih sibuk dengan buku metode penanganan pertama pada korban gigitan ular. Baru beberapa ratus langkah Hua Fei berjalan, dia dikejutkan oleh suara ramai orang-orang yang sedang tertawa. Anak muda itu lalu berlari-lari ke arah sumber suara keributan dan mendapati pemandangan yang membuatnya bukan hanya terkejut, tetapi juga merasa sang
"Apa kau bilang? Apakah aku sudah salah dengar?" Hua Fei yang menjadi tertawa kali ini. Hua Fei merasa sangat geli mendengar perkataan Jing Yanxi yang sedang mengunggulkan dirinya sendiri dan tidak pernah mau bersikap rendah hati kepada siapa pun. "Dan kurasa, seekor keledai bahkan masih lebih pintar darimu. Seekor katak pun kurasa tidak lebih rendah dari dirimu yang congkak itu!" "Beraninya kau mentertawakan tuan muda kami, Hua Fei!" Salah seorang anak buah Jing Yanxi berteriak. Dia sungguh sangat tidak terima sang tuan muda mereka dihina dan dikatai oleh seseorang yang bagi mereka, Hua Fei hanyalah anak tidak memiliki kemampuan apa pun selain daripada seorang kutu buku. "Minggir!" Hua Fei membentak sambil berlari menghampiri Jing Ling setelah menabrak tubuh Jing Yanxi dan mendorong salah seorang anak buah tuan muda Keluarga Jing hingga terjatuh. Pemuda itu berulang kali mengusap-usap pakaian saudaranya guna membersihkan debu dan kotoran lain yang menempel di tubuh sang adik kec
"Hah! Kau pikir kami takut pada jurus murahanmu itu?" Anak lelaki berbadan sedang dengan sebuah tahi lalat pada kiri hidungnya maju dan langsung menyerang Hua Fei secara serampangan. Suara pekikan keras terdengar dari arah arena perkelahian antara Hua Fei dan 6 orang anak buah Jing Yanxi. Seseorang terpental dari lingkaran perkelahian kecil dan 5 orang lainnya segera menghentikan gerakan penyerangan. "Genduuuuut!" Para pengikut Jing Yanxi yang lain berteriak histeris. Mereka semua terlihat berang setelah jatuhnya kawan mereka di tangan Hua Fei. "Majulah kalian semua jika ingin merasakan tinjuku ini!" Hua Fei mengepalkan tinjunya dengan sikap menantang yang dia buat seangkuh mungkin. Salah seorang dari mereka berteriak lantang, "Hua Fei, kamu benar-benar membela anak dari si pengkhianat ituuuu!" "Tidak usah banyak bicara!" Hua Fei membentak dan tidak memedulikan perkataan mereka, tentang ayah dari Jing Ling. Baginya, dia akan berada di garis depan saat saudaranya dalam bahaya. "Ay
"Tuan Muda Jing Yanxi yang terhormat Sepertinya, sekarang Anda sudah sangat nyaman berada di bawah kakiku ini." Jing Ling berucap sembari berkacak pinggang. "Bukankah tadi, kau yang ingin menjadikan kami berdua alas kaki?" "Ji-Jing Ling!" Jing Yanxi mendesis penuh kemarahan namun dia tak berdaya sama sekali. "Rasakan akibat dari kesombonganmu, Yanxi!" Jing Ling kembali tertawa sambil berkacak pinggang. Dia merasa puas bisa membalas sakit hatinya kepada anak dari Jing Cheng yang merupakan saudara sepupu lelaki Jing Yue ibunya. "Jing Ling, Aku akan membalasmu!" Jing Yanxi mendengus marah. Jing Ling merasa geli sehingga ia tertawa panjang dengan nada mengejek dan berkata, "Tuan Muda Jing yang terhormat. Seharusnya, sejak awal kamu pikirkan terlebih dahulu akibatnya. Kamu ini tidak lebih dari seorang pecundang yang tak akan pernah bisa mengalahkan seorang Jing Ling!" "A--aku masih be--belum kalah darimu, Jing Ling!" Jing Yanxi berusaha keras untuk bangkit dari tindasan adik sepupunya
"Kamu!" "Huh! Apa kamu pikir aku dengan takut dengan ancamanmu itu?" Jing Yunxi mencibirkan mulutnya ke arah Jing Yanxi. Jing Yanxi merasa sangat geram dalam hati atas sikap dan perbuatan adiknya. Namun, ia juga tak mungkin melawan para pengawal yang diutus oleh ayahnya yang tentu saja mereka memiliki kemampuan di atas dirinya. "Huh, selamat menikmati hasil dari perbuatanmu!" Jing Yunxi mencibirkan bibirnya ke arah punggung sang kakak. 'Berani mengusik calon suamiku, maka rasakan akibatnya nanti!' gumam Jing Yunxi dalam hati. Setelah kepergian Jing Yanxi, gadis itu beralih menatap kepada Hua Fei. "Kakak Fei! Kakak Fei tidak apa-apa?" Jing Yunxi berjongkok dan membantu Hua Fei untuk bangkit. Kecemasan membayang di kedua bola mata gadis cantik berpakaian serba merah saat melihat kondisi lelaki muda yang diam-diam dikaguminya ini tampak sangat tidak baik-baik saja. "Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir!" Hua Fei menyahut sambil menyeka darah di sudut bibir dengan menggunakan ujung
"Bagaimana ini? Apakah kami tidak akan bisa lolos ke tahap selanjutnya?" Mereka butuh waktu selama enam bulan untuk bisa memasuki ujian tahap lanjut pada kelas racun di Sekte Lembah Berawan. Meskipun dirinya dan Jing Ling adalah para calon ketua sekte yang akan datang, tetapi mereka berdua harus tetap menjalani pembelajaran sesuai peraturan sekte yang telah diterapkan. Terlebih lagi, mereka murid pribadi dari Hua Yan sang ketua sekte. "Kakak Fei, maaf! Kami tidak tahu, betapa berartinya mereka untuk kalian berdua." Jing Yunxi berucap dengan nada lirih penuh penyesalan. "Kalau saja kami tahu bahwa mereka sudah dilumpuhkan, mungkin kami tidak akan membunuh mereka semua. Kakak Fei ... maaf!" "Sudahlah. Lagi pula nasi sudah menjadi bubur. Aku juga mengerti dengan ketakutan kalian," ucap Hua Fei dengan tenang. Raut wajahnya tidak menunjukkan sedikit pun rasa dendam atau pun benci. Hal itulah yang membuat Jing Yunxi menjadi semakin menaruh simpati yang kian mendalam pada anak lelaki ini.
"Nona, bukankah itu memang tidak pantas?" Suara seorang pria muda lain terdengar dari bawah sebatang pohon pucuk merah yang rimbun dan rindang. "Sebaiknya, sekarang kamu segera pulang saja!" "Itu bukan urusanmu aku mau di mana!" Jing Yunxi menyahut dengan nada acuh tak acuh pada seorang lelaki muda yang sedang berdiri bersandar pada batang pohon tersebut. "Heh! Mau apa kamu ke mari?" Anak muda yang baru saja datang tampak sangat acuh tak acuh kepada gadis cantik ini. Jika dilihat dari sikap keduanya, mereka terlihat sama-sama tidak saling menyukai. Meski demikian, para pengawal wanita yang datang bersama dengan Jing Yunxi pun tetap memberi hormat kepada lelaki muda tersebut. "Bukankah seharusnya aku yang bertanya padamu, sedang apa kamu di sini?" Sepertinya, anak itu sudah berada di sana cukup lama. Namun, dia terlihat enggan mendekati Jing Yunxi. "Seorang gadis mencari laki-laki. Bukankah itu sangat tidak pantas?" Jing Yunxi yang mulai geram itu pun, akhirnya membentak, "Diam kamu
"Apa?" Jing Yue yang tengah menyiapkan makanan untuk anak-anaknya merasa sangat terkejut, saat pendengarannya menangkap nama anak lelakinya disebut. Wanita itu berlari secepat kijang menuju ke arah sumber suara keributan. "Ah Ling, ada apa dengan anakku?" "Nyonyaaa! Tuan muda, Nyonyaaa!" Dari kejauhan Seorang pelayang wanita datang dengan berlari-lari hingga napasnya bagai hendak terputus. Jing Yue bergegas menghampiri wanita pelayan kediamannya. "Ada apa dengan Ah Ling?" "Nyo--Nyo ... Nyonya!" "Ah Ruo, katakan ada apa?" Jing Yue semakin merasa penasaran, hingga dia mendesak wanita yang sedang terengah-engah sembari memegangi dadanya. Su Ruo berusaha keras mengatur pernapasannya yang kacau dan terengah-engah. "Tu--tuan muda pi--pingsan!" "Apa?" Jing Yue terkejut bukan buatan. "Pingsan? Ah Lingku pingsan?" Su Ruo menganggukan kepalanya dengan wajah cemas. "Benar, Nyonya. Para pengawal dari Keluarga Jing yang membawa Tuan Muda Jing Ling." "Pengawal Keluarga Jing? Bukankah itu ar
Hua Yan masih berdiri tegak di depan paviliun utama Sekte Lembah Berawan. Sorot matanya tajam, menatap barisan kereta barang yang tak kurang dari sepuluh gerbong kereta. Ia berpikir, sebenarnya ini hendak pelatihan ataukah hendak pergi bertamasya? Para tetua ini sungguh berlebihan!Di hadapannya, barisan pria berseragam lengkap berdiri dengan disiplin. Setiap dari mereka membawa senjata berkilauan dan bendera kebesaran sekte, sementara empat kereta kuda mewah, dihiasi ukiran naga dan burung hong, telah siap mengiringi perjalanannya.“Haruskah seperti ini?” gumam Hua Yan, setengah mengeluh sambil menepuk dahinya.Tetua Hua Ming, yang berdiri tak jauh darinya, melangkah maju. “Pemimpin besar, ini semua telah diatur dengan cermat. Kewibawaan sekte harus dijaga, terlebih saat Anda berangkat ke misi penting seperti ini.”Namun, Hua Yan mengibaskan tangannya. "Sekali lagi, aku dan anak-anak itu bukan akan berangkat ke medan perang, Tetua Hua Ming. Para tuan muda kita butuh belajar kesederh
Jing Ling memejamkan matanya saat merasa ada kilat energi dingin memasuki dahinya. Energi itu semula terasa dingin, tetapi kemudian menjadi hangat. "Ini disebut sebagai Mata Dewa. Dengan penglihatan ini, kamu bisa melihat berbagai macam hal yang sebelumnya tak bisa kamu lihat." Leluhur Jing Shuang berkata setelah menarik kembali jarinya dari dahi Jing Ling. "Kamu tinggal memfokuskan penglihatan dan pikiranmu ketika melihat sesuatu yang kamu anggap tidak biasa. Dan kamu akan segera mengetahui rahasia-rahasia yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa." "Mata Dewa?" Jing Ling membuka matanya, dan merasa penglihatannya menjadi semakin cemerlang. "Penglihatan Mata Dewa merupakan ilmu tingkat tinggi yang dipelajari dari Kitab Mata Dewa milik Keluarga Yu yang kutemukan dua ratus tahun lalu di peti mayat ahli waris yang tak diakui yang bernama Qing Yuan." Ada kesedihan dalam nada ucapan Leluhur Jing Shuang saat menyebutkan nama misterius ini. Jing Ling berpikir, 'Dua ratus tahun lalu ...
"Jangan takut. Aku adalah Jing Shuang, orang yang menciptakan cincin ini." Jing Ling sedikit panik, merasa bahwa pendengarannya saat ini sedang tidak normal. Pandangan matanya terus tertuju ke arah bayangan berwujud manusia yang terjebak di gumpalan sinar merah yang tampak samar. "Sudah sangat lama aku terjebak di tempat ini, menunggu seseorang dari penerusku datang dan menemukanku." Suara anggun dan lembut itu kembali terdengar dengan jelas. Jing Ling terkejut. Ternyata, sinar berwujud manusia itu bisa berbicara? Dan dia mengaku bernama Jing Shuang? Tunggu! Bukankah itu adalah nama yang disebutkan oleh Jing Yue, ibunya? "Jing Shuang?" Jing Ling luar biasa terkejut. "Jadi, Anda adalah Jing Shuang, pencipta dan pemilik Cincin Segala Ruang ini?" "Benar. Itu aku." Leluhur Jing Shuang berbalik dengan anggun, jubahnya berkibar, dan sinar merah yang menyelimutinya seketika menghilang. Sekarang, wujud asli pria muda yang sangat menawan bak seorang kaisar langit terlihat jelas. W
"Bagaimana mungkin itu adalah benda yang rusak? Kamu cobalah sekali lagi, Ah Lin!" Hua Lin mencoba memberi semangat kepada keponakannya. "Semangat!""Baiklah. Aku akan mencobanya sekali lagi." Jing Ling mengangguk, kemudian kembali memfokuskan pikiran agar dapat terhubung dengan cincin segala ruang miliknya.Namun, masih tidak ada yang terjadi meskipun ia telah mencobanya hingga berulang kali.Jing Ling menarik napas sesaat dengan perasaan kecewa. "Tetap tidak bisa.""Aneh ... mengapa tetap tidak bisa?" Hua Fei juga tak mengerti.Jing Ling tak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan sekaligus rasa penasarannya.Ia menghadap kembali kepada sang ibu. "Ibu, aku tak bisa menggunakan cincin ini. Meskipun aku berusaha keras menyatukan pikiranku, tetapi aku tak bisa merasakan apa pun. Aku jadi berpikir kalau benda ini tidak berjodoh denganku, atau mungkin saja benda ini memang sudah rusak.""Itu tidak rusak. Tapi memang cincin milikmu itu sedikit berbeda dengan benda ruang milik Ah Fei dan Ah Li
Hua Fei melihat kantung di tangannya, mencoba menemukan rahasia yang tersembunyi dalam benda tersebut. Namun, tetap saja ia tak menemukan apa pun di sana."Ah Fei, kantung yang sekarang kamu pegang itu bernama Qian Cang Pao, kantung seribu ruang yang mampu memuat banyak benda-benda tanpa membebani pemiliknya." Jing Yue menjelaskan perihal kantung putih milik Hua Fei. "Selain dapat menyimpan benda-benda, kantung itu juga sangat kuat karena terbuat dari kepompong ulat sutra berusia seribu tahun."Hua Fei terkejut. "Kantung seribu ruang?""Ternyata itu adalah kantung seribu ruang yang sangat legendaris!" Hua Lin berseru disertai keterkejutan dan kekaguman. "Ah Fei, kamu sungguh beruntung bisa memiliki benda seperti itu."Hua Fei dan yang lainnya mulai berisik dengan decakan kagum. Ternyata benda yang dianggap kosong itu benar-benar merupakan benda istimewa.Wajah Hua Fei seketika secerah langit pagi. Sekarang, ia justru merasa takjub dan berterima kasih dalam hati atas pemberian Jing Yue
Dari kerutan alis matanya, jelas ada bayang-bayang kekecewaan Hua Fei yang tak bisa disembunyikan. Ekspresi wajah pemuda itu berubah muram dan matanya menyipit, seolah mencoba memahami sesuatu yang sedikit mengganggu.Tabib muda itu menarik napas panjang, perlahan mengembuskannya, mencoba menenangkan gejolak pertanyaan dalam benaknya.'Mungkin saja aku yang tidak seberuntung mereka berdua,' gumam Hua Fei, dalam hati.Ia melirik sekilas ke arah kedua keponakannya yang tengah sibuk dengan hadiahnya masing-masing. Perasaan tak menentu berkecamuk dalam dada Hua Fei.'Tapi ... mana mungkin Bibi tega mempermainkan aku?' pikir Hua Fei lagi. 'Atau mungkin ... ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bibi?'"Paman Kecil, kamu mendapatkan ikat pinggang!" Seruan Jing Ling membuat Hua Lin tersenyum tipis.Ia segera menghampiri untuk melihat lebih dekat ikat pinggang hitam yang sederhana tapi penuh keunikan. Sorot mata Jing Ling berbinar-binar, mengagumi bentuk sabuk hitam dengan gesper perak yang rumi
Jing Ling, Hua Fei dan Hua Lin menatap kantung kain di tangan Jing Yue. 'Apakah bibi menyiapkan bekal uang lagi?' Hua Fei membatin. 'Bukankah kami sudah mendapatkan biaya dari sekte?' 'Kakak Yue memberi kami kantung parfum?' Hua Lin mengira itu adalah kantung pengharum yang biasanya dipakai untuk menyamarkan bau badan tak sedap dengan aromanya. 'Aiyaa, kakak iparku ini mengapa aneh sekali?' Jing Ling akhirnya bertanya, "Ibu, itu adalah kantung kain yang akan diberikan kepada kami bertiga?" "Benar. Ini adalah hadiah dari kami yang sudah lama dipersiapkan untuk kalian." Jing Yue mengulurkan tangannya secara perlahan, memperlihatkan tiga kantung sachet yang terbuat dari kain satin, halus dan berkilau di bawah sinar matahari pagi. "Hadiah?" Ketiga tuan muda terperangah. "Untuk kami?" Hua Lin tak mengerti. "Ya. Ini memang untuk kalian." Jing Yue kembali mengulas senyum dan berkata, "Kami mengumpulkan semua benda ini sejak lama sebagai persiapan karena kami merasa sewaktu-waktu kal
Jing Ling tercekat. Hua Fei tertegun. Keduanya menatap Hua Lin dan Hua Feng secara bergantian dengan pandangan bingung. Mereka khawatir jika Hua Lin tak bisa menahan amarahnya. "Hua Feeeeeng!" Hua Lin berteriak, suaranya meledak di udara hingga membuat banyak orang terkejut. "Hua Feng, bagaimana kamu bisa seceroboh itu?" Hua Lin merasa frustrasi, sedangkan Hua Feng memasang ekspresi wajah sebodoh keledai dungu. Hua Lin ingin menangis, tetapi ia tak mungkin menangis di hadapan banyak orang, terlebih lagi hanya soal perbekalan yang masih bisa digunakan meskipun tidak kecil kemungkinan sudah hancur. Pemuda itu hanya bisa menatap dengan tatapan yang seakan hendak memangsa Hua Feng hidup-hidup. "Ma--ma ... maaf!" Napas Hua Feng masih tersengal, dadanya naik turun, tetapi tatapan tajam Hua Lin yang menusuk itu membuatnya seolah tercekik oleh rasa bersalah. Bagi Hua Feng, pandangan mata Hua Lin terlihat sangat mengerikan hingga udara panas dan perasaan dingin terus menari-nar
Di kejauhan, Jing Ling dan Hua Fei sudah berdiri menunggu di bawah pohon maple sembari menyaksikan kesibukan para pelayan. Mereka tampak siap untuk perjalanan panjang yang akan segera mereka tempuh.Sebenarnya, Hua Fei merasa ada suatu firasat aneh yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tetapi perasaan itu terus-menerus mengganggu pikirannya. Pemuda itu larut dalam diam hingga beberapa waktu dan hal tersebut dapat segera ditangkap oleh sang keponakan.Jing Ling menyiku lengan Hua Fei. "Eh, Kakak Fei, ada apa denganmu? Apakah kamu merasa tidak tega untuk pergi dari tempat ini, atau ....""Kakak Fei sedang merindukan Yunxi, adik sepupuku yang cantik jelita itu?" Jing Ling sengaja menggoda Hua Fei dengan mengungkit masalah Jing Yunxi. "Apa kamu sudah merasa rindu padanya bahkan sebelum kamu pergi?"Mendengar nama Jing Yunxi disebutkan, seketika darah Hua Fei terasa berdesir dingin, seolah-olah puluhan jarum tajam menusuk jantungnya. Sensasi perih itu merayap cepat, menyesakkan dadan