"Pergilah jika itu pilihanmu! Tapi ingatlah, setelah kau menginjakkan kakimu di luar tanah Keluarga Jing. Sejak itulah, kau bukan lagi suamiku!" Jing Yue berucap tanpa menoleh sedikit pun.
"Kalau begitu, aku tidak akan pergi dari sisimu!" teriak Jiu Wang merasa sangat berat hati meninggalkan anak dan istrinya ini. "Aku tidak akan meninggalkanmu dan anak kita, Ah Yue!" "Tuan Muda, tuan muda kecil dan seluruh klan sudah menunggumu!" Salah seorang pengawal Keluarga Han mengingatkan sekali lagi. "Aaaaaaaarrgghh!" Sebuah jeritan panjang bernada tinggi dengan lambaran ilmu tenaga dalam terlepas dari mulut Jiu Wang. Para pengawal dari Keluarga Han pun harus berusaha keras menahan akibatnya. Darah segar seketika mengalir dari telinga dan hidung mereka. Para pria pengawal dari Keluarga Han saling memberi isyarat satu sama lain. Salah satu seorang dari mereka bergerak bangkit dan maju mendekati sang tuan muda. Pria itu memukul tengkuk Jiu Wang hingga tak sadarkan diri. "Maaf, Tuan Muda! Tak ada pilihan lain bagimu." "Nyonya! Ketua klan kami berpesan pada kami, bahwa anak itu tidak diperkenankan memakai nama dengan marga Keluarga Han. Karena dia terlahir akibat dari sebuah misi penghancuran. Jadi, selamanya dia tidak akan diakui oleh klan ayahnya. Ingat itu, Nyonya!" Selesai berucap mereka semua bersiap untuk pergi dari tempat berdarah itu. Mereka mengangkat tubuh Jiu Wang yang sudah dalam keadaan pingsan. "Baiklah. Aku berjanji untuk hal itu. Anak ini tidak akan pernah memakai nama asli pemberian dari ayahnya!" Jing Yue berucap dengan suara datar, dingin dan penuh dendam. "Baguslah, Nyonya! Anda masih sangat beruntung, karena kami tidak menghabisi Anda dan juga putra dari tuan muda pertama kami. Itu adalah yang sangat patut Nyonya syukuri!" ucap salah seorang dari para pengawal itu tanpa memedulikan perasaan istri kedua dari tuan mudanya ini. Para pengawal Keluarga Han segera membawa tubuh Jiu Wang yang ternyata adalah tuan muda pertama dari Keluarga Han dalam keadaan tidak sadarkan diri dan segera dibawa pulang ke wilayah utara di Daerah Huang Yun. Jiu Wang harus rela meninggalkan Jing Yue dan sang bayi yang baru berusia empat puluh hari, untuk kembali kepada istri pertamanya. Pria itu sebelumnya pernah memberikan Kitab Tujuh Kunci Langit dan sebilah tombak dengan sebuah tanda khusus agar kelak dia menemukan kembali putranya. Tinggalah Jing Yue berdua dengan bayinya menatap mayat-mayat yang berserakan. Mereka semua adalah keluarga dan orang-orang dari Keluarga Jing yang tinggal di kediaman itu. Dalam hati wanita itu hanya ada rasa dendam yang membara. Wanita itu telah bertekad untuk mendidik putranya untuk menjadi seorang yang lebih tidak berperasaan melampaui ayah dari bayi lelaki ini. "Anakku, kamu harus bisa menjadi orang yang sangat kuat agar dapat mengalahkan pembunuh Jing Zhao, kakekmu!" Jing Yue berucap sambil membelai kepala anaknya. "Ibu akan menjadikanmu sebagai penakluk dunia persilatan dari Puncak Gunung Naga!" "Kamu akan menjadi Kaisar Puncak Naga!" "Selamat datang, Kaisar Puncak Naga!" Jing Yue berteriak di tengah-tengah sisa-sisa kepulan asap pembakaran kediamannya. "Dan tombak ini!" Jing Yue meraih tombak yang tergeletak di samping mayat ayahnya. "Senjata inilah yang yang telah membunuh ayahku! Dan tombak ini juga yang akan menghabisi pembuatnya kelak!" Jing Yue yang masih memeluk bayi dan tombaknya tidak menyadari sama sekali akan keberadaan seseorang yang sudah lama memperhatikannya dari balik ilmu Tanpa Bayangan. "Ah Yue, pada akhirnya pria itu mengkhianatimu." Hua Yan berucap dalam hati sembari tersenyum tipis. Sepertinya, dia sedang merasa senang atas peristiwa yang terjadi di depan matanya. "Bagus! Ini juga sebuah jalan untuk mendapatkanmu, Ah Yue!" "Memangnya apa bagusnya, jika anakku ini memakai Marga Han?" Jing Yue tiba-tiba tertawa panjang dan menangis sembari memeluk anaknya. "Sampai kapan pun dia tak akan pernah memakai nama itu!" "Lihatlah, anakku! Sekarang mereka telah menjadi mayat akibat dari perbuatan ayahmu. Suatu hari nanti saat kau sudah menjadi pria yang kuat tak terkalahkan, kau balaslah perbuatan dan berikan kepala laki-laki biadab itu untuk menghias makam Jing Zhao kakekmu!" Jing Yue meraih tombak berwarna keemasan itu dan Kitab Tujuh Kunci Langit pemberian dari Jiu Wang. "Baguslah, dia memberikan senjata dan kitab itu untuk membunuh dirinya sendiri kelak!" "Ah Yue, kamu ikutlah bersamaku! Aku akan membantumu untuk membalaskan dendammu pada pria tak bermoral seperti dia." Sesosok tubuh tinggi besar dengan jubah hanfu biru dan suara dingin namun tajam, mengejutkan Jing Yue dari tangisnya. "Hua Yan Shi Xiong!" Wanita cantik itu mendongakkan wajah menatap pria berwajah tampan dengan ekspresi dingin yang memancar. Tak ada senyuman sama sekali. Hua Yan sedikit melengkungkan badannya ke depan mengulurkan tangan, menawarkan sebuah pegangan bagi Jing Yue yang sedang merasa sangat terpuruk dalam kesedihan terdalamnya. "Jadilah istriku. Aku akan merawat kalian berdua seumur hidupku dan membantu anak itu menemukan keadilannya!" ucap pria itu masih dengan suara datar dan dinginnya. Mata tajam Hua Yan tertuju kepada bayi lelaki mungil dalam dekapan Jing Yue. Tanpa pikir panjang lagi, Jing Yue mengangkat tubuh bayi laki-laki berbalut kain sutera merah dan memberikannya pada pria itu. Dia lalu berucap, "Aku percayakan anak ini padamu, jadikanlah dia muridmu!" "Baiklah." Pria tersebut menerima tubuh bayi laki-laki berwajah tampan nan cantik. Bayi itu memiliki wajah sang ibu dengan kulit sewarna dengan ayahnya. Pria berjubah biru mengangkat tinggi-tinggi tubuh si bayi bagai menyerahkannya pada langit sambil berseru, "Wahai langit dan bumi yang bersaksi di malam ini! Juga bintang dan rembulan yang terus bersembunyi! Saksikanlah seruan dan janjiku! Mulai saat ini, bayi lelaki yang ada di tanganku ini adalah muridku dan juga anakku! Dia akan meninggalkan marga ayah kandungnya serta akan mewarisi seluruh ilmuku!" "Mulai sekarang, namanya adalah Hua Ling! Dan dia akan kuresmikan menjadi tuan muda Sekte Lembah Berawan!" Selesai Hua Yan berseru, terdengarlah suara ledakan petir hingga beberapa kali bagai hendak menghancurkan angkasa malam. Ya! Dialah Hua Yan, seorang pria berjuluk Pembunuh Dalam Bayangan yang sangat ditakuti dengan kehebatan ilmu Tapak Dewa Petir-nya. "Ah Yue, ikut aku sekarang. Kita akan menikah secepatnya!" Hua Yan berucap seraya merengkuh tubuh lemah Jing Yue sambil masih menggendong bayi yang telah diangkat menjadi muridnya dan diberi nama Hua Ling. Jing Yue hanya sanggup berkata dengan setengah berbisik, "Baiklah, lakukan saja! Selama itu bisa membalaskan sakit hati kami!" "Bersiaplah, Ah Yue!" Hua Yan merengkuh tubuh wanita yang telah lama dia idamkan untuk dibawa kembali ke tempatnya saat ini. "Terima kasih, Shi Xiong!" Wanita itu telah bertekad untuk mengikuti dan mengabdi kepada pria ini demi membalaskan dendamnya. Jing Yue berbisik dalam hati. "Jiu Wang, tunggulah pembalasanku yang akan dilakukan oleh anakmu sendiri!" Hua Yan tersenyum tipis dalam keremangan. Dia merasa cukup puas atas apa yang didapatkannya pada malam ini. Pria itu pun melesat bagai terbang bersama para pengikutnya yang baru saja selesai membakar mayat-mayat korban dari keganasan Raja Arak. Mereka juga membawa tubuh Jing Zhao untuk dimakamkan sebagaimana layaknya seorang pemimpin sebuah keluarga besar. Perasaan Hua Yan terlalu bahagia setelah berhasil membawa Jing Yue dan bayinya meninggalkan puing-puing reruntuhan kediaman Keluarga Jing yang telah di bumi hanguskan oleh menantu mereka sendiri.17 tahun kemudian. Pada suatu hari yang cerah di Gunung Naga. Sinar mentari sudah tidak lagi menyengat, tetapi masih terasa cukup hangat di permukaan kulit. Cahayanya menembus hutan pinus di perbatasan perbukitan, menambah keelokan pemandangan di sana. Di padang rumput yang tak seberapa luas, seorang anak muda berlarian menerobos semak belukar dan kelebatan rumput ilalang. Dia bahkan tidak memedulikan kulit halus kaki-kaki kokohnya yang sesekali tergores oleh duri-duri dari tanaman liar hingga berdarah. Tampaknya, pemuda itu sedang memburu sesuatu. Anak muda itu berhenti di depan semak perdu yang cukup rimbun. Mata indah dengan iris birunya mengawasi suatu pergerakan kecil pada tumbuhan berumpun berdaun kecil, panjang dan memiliki warna hijau kekuningan. Mulut pemuda itu lirih bergumam, "Di mana dia? Bukankah tadi dia lari ke sini?" Suara gemerisik nan samar disertai desisan lembut telah menjatuhkan sepasang mata cantik itu mengalihkan perhatian pada sisi semak yang lain. Seutas
"Mengapa dia selalu saja tidak sabaran sekali?" Hua Fei hanya bisa menggelengkan kepalanya berulang kali. Dia berjalan menyusul saudara mudanya sembari menggendong keranjang milik Jing Ling. Di sepanjang perjalanan, mulut pemuda itu terus bergumam seperti sedang menghafalkan sesuatu. "Daun mongoose, minyak kelapa, minyak lavender, lalu ... apa lagi?" Hua Fei berjalan sembari membuka buku tentang pengobatan. "Mungkinkah batu giok hitam juga bisa untuk menyerap racun pada luka bekas gigitan ular?" "Mengisap racun dari bekas luka justru tidak diperbolehkan, karena racun bisa tertelan dan mengakibatkan hal yang sangat berbahaya bagi si pengisap." Hua Fei masih sibuk dengan buku metode penanganan pertama pada korban gigitan ular. Baru beberapa ratus langkah Hua Fei berjalan, dia dikejutkan oleh suara ramai orang-orang yang sedang tertawa. Anak muda itu lalu berlari-lari ke arah sumber suara keributan dan mendapati pemandangan yang membuatnya bukan hanya terkejut, tetapi juga merasa sang
"Apa kau bilang? Apakah aku sudah salah dengar?" Hua Fei yang menjadi tertawa kali ini. Hua Fei merasa sangat geli mendengar perkataan Jing Yanxi yang sedang mengunggulkan dirinya sendiri dan tidak pernah mau bersikap rendah hati kepada siapa pun. "Dan kurasa, seekor keledai bahkan masih lebih pintar darimu. Seekor katak pun kurasa tidak lebih rendah dari dirimu yang congkak itu!" "Beraninya kau mentertawakan tuan muda kami, Hua Fei!" Salah seorang anak buah Jing Yanxi berteriak. Dia sungguh sangat tidak terima sang tuan muda mereka dihina dan dikatai oleh seseorang yang bagi mereka, Hua Fei hanyalah anak tidak memiliki kemampuan apa pun selain daripada seorang kutu buku. "Minggir!" Hua Fei membentak sambil berlari menghampiri Jing Ling setelah menabrak tubuh Jing Yanxi dan mendorong salah seorang anak buah tuan muda Keluarga Jing hingga terjatuh. Pemuda itu berulang kali mengusap-usap pakaian saudaranya guna membersihkan debu dan kotoran lain yang menempel di tubuh sang adik kec
"Hah! Kau pikir kami takut pada jurus murahanmu itu?" Anak lelaki berbadan sedang dengan sebuah tahi lalat pada kiri hidungnya maju dan langsung menyerang Hua Fei secara serampangan. Suara pekikan keras terdengar dari arah arena perkelahian antara Hua Fei dan 6 orang anak buah Jing Yanxi. Seseorang terpental dari lingkaran perkelahian kecil dan 5 orang lainnya segera menghentikan gerakan penyerangan. "Genduuuuut!" Para pengikut Jing Yanxi yang lain berteriak histeris. Mereka semua terlihat berang setelah jatuhnya kawan mereka di tangan Hua Fei. "Majulah kalian semua jika ingin merasakan tinjuku ini!" Hua Fei mengepalkan tinjunya dengan sikap menantang yang dia buat seangkuh mungkin. Salah seorang dari mereka berteriak lantang, "Hua Fei, kamu benar-benar membela anak dari si pengkhianat ituuuu!" "Tidak usah banyak bicara!" Hua Fei membentak dan tidak memedulikan perkataan mereka, tentang ayah dari Jing Ling. Baginya, dia akan berada di garis depan saat saudaranya dalam bahaya. "Ay
"Tuan Muda Jing Yanxi yang terhormat Sepertinya, sekarang Anda sudah sangat nyaman berada di bawah kakiku ini." Jing Ling berucap sembari berkacak pinggang. "Bukankah tadi, kau yang ingin menjadikan kami berdua alas kaki?" "Ji-Jing Ling!" Jing Yanxi mendesis penuh kemarahan namun dia tak berdaya sama sekali. "Rasakan akibat dari kesombonganmu, Yanxi!" Jing Ling kembali tertawa sambil berkacak pinggang. Dia merasa puas bisa membalas sakit hatinya kepada anak dari Jing Cheng yang merupakan saudara sepupu lelaki Jing Yue ibunya. "Jing Ling, Aku akan membalasmu!" Jing Yanxi mendengus marah. Jing Ling merasa geli sehingga ia tertawa panjang dengan nada mengejek dan berkata, "Tuan Muda Jing yang terhormat. Seharusnya, sejak awal kamu pikirkan terlebih dahulu akibatnya. Kamu ini tidak lebih dari seorang pecundang yang tak akan pernah bisa mengalahkan seorang Jing Ling!" "A--aku masih be--belum kalah darimu, Jing Ling!" Jing Yanxi berusaha keras untuk bangkit dari tindasan adik sepupunya
"Kamu!" "Huh! Apa kamu pikir aku dengan takut dengan ancamanmu itu?" Jing Yunxi mencibirkan mulutnya ke arah Jing Yanxi. Jing Yanxi merasa sangat geram dalam hati atas sikap dan perbuatan adiknya. Namun, ia juga tak mungkin melawan para pengawal yang diutus oleh ayahnya yang tentu saja mereka memiliki kemampuan di atas dirinya. "Huh, selamat menikmati hasil dari perbuatanmu!" Jing Yunxi mencibirkan bibirnya ke arah punggung sang kakak. 'Berani mengusik calon suamiku, maka rasakan akibatnya nanti!' gumam Jing Yunxi dalam hati. Setelah kepergian Jing Yanxi, gadis itu beralih menatap kepada Hua Fei. "Kakak Fei! Kakak Fei tidak apa-apa?" Jing Yunxi berjongkok dan membantu Hua Fei untuk bangkit. Kecemasan membayang di kedua bola mata gadis cantik berpakaian serba merah saat melihat kondisi lelaki muda yang diam-diam dikaguminya ini tampak sangat tidak baik-baik saja. "Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir!" Hua Fei menyahut sambil menyeka darah di sudut bibir dengan menggunakan ujung
"Bagaimana ini? Apakah kami tidak akan bisa lolos ke tahap selanjutnya?" Mereka butuh waktu selama enam bulan untuk bisa memasuki ujian tahap lanjut pada kelas racun di Sekte Lembah Berawan. Meskipun dirinya dan Jing Ling adalah para calon ketua sekte yang akan datang, tetapi mereka berdua harus tetap menjalani pembelajaran sesuai peraturan sekte yang telah diterapkan. Terlebih lagi, mereka murid pribadi dari Hua Yan sang ketua sekte. "Kakak Fei, maaf! Kami tidak tahu, betapa berartinya mereka untuk kalian berdua." Jing Yunxi berucap dengan nada lirih penuh penyesalan. "Kalau saja kami tahu bahwa mereka sudah dilumpuhkan, mungkin kami tidak akan membunuh mereka semua. Kakak Fei ... maaf!" "Sudahlah. Lagi pula nasi sudah menjadi bubur. Aku juga mengerti dengan ketakutan kalian," ucap Hua Fei dengan tenang. Raut wajahnya tidak menunjukkan sedikit pun rasa dendam atau pun benci. Hal itulah yang membuat Jing Yunxi menjadi semakin menaruh simpati yang kian mendalam pada anak lelaki ini.
"Nona, bukankah itu memang tidak pantas?" Suara seorang pria muda lain terdengar dari bawah sebatang pohon pucuk merah yang rimbun dan rindang. "Sebaiknya, sekarang kamu segera pulang saja!" "Itu bukan urusanmu aku mau di mana!" Jing Yunxi menyahut dengan nada acuh tak acuh pada seorang lelaki muda yang sedang berdiri bersandar pada batang pohon tersebut. "Heh! Mau apa kamu ke mari?" Anak muda yang baru saja datang tampak sangat acuh tak acuh kepada gadis cantik ini. Jika dilihat dari sikap keduanya, mereka terlihat sama-sama tidak saling menyukai. Meski demikian, para pengawal wanita yang datang bersama dengan Jing Yunxi pun tetap memberi hormat kepada lelaki muda tersebut. "Bukankah seharusnya aku yang bertanya padamu, sedang apa kamu di sini?" Sepertinya, anak itu sudah berada di sana cukup lama. Namun, dia terlihat enggan mendekati Jing Yunxi. "Seorang gadis mencari laki-laki. Bukankah itu sangat tidak pantas?" Jing Yunxi yang mulai geram itu pun, akhirnya membentak, "Diam kamu
Hua Yan masih berdiri tegak di depan paviliun utama Sekte Lembah Berawan. Sorot matanya tajam, menatap barisan kereta barang yang tak kurang dari sepuluh gerbong kereta. Ia berpikir, sebenarnya ini hendak pelatihan ataukah hendak pergi bertamasya? Para tetua ini sungguh berlebihan!Di hadapannya, barisan pria berseragam lengkap berdiri dengan disiplin. Setiap dari mereka membawa senjata berkilauan dan bendera kebesaran sekte, sementara empat kereta kuda mewah, dihiasi ukiran naga dan burung hong, telah siap mengiringi perjalanannya.“Haruskah seperti ini?” gumam Hua Yan, setengah mengeluh sambil menepuk dahinya.Tetua Hua Ming, yang berdiri tak jauh darinya, melangkah maju. “Pemimpin besar, ini semua telah diatur dengan cermat. Kewibawaan sekte harus dijaga, terlebih saat Anda berangkat ke misi penting seperti ini.”Namun, Hua Yan mengibaskan tangannya. "Sekali lagi, aku dan anak-anak itu bukan akan berangkat ke medan perang, Tetua Hua Ming. Para tuan muda kita butuh belajar kesederh
Jing Ling memejamkan matanya saat merasa ada kilat energi dingin memasuki dahinya. Energi itu semula terasa dingin, tetapi kemudian menjadi hangat. "Ini disebut sebagai Mata Dewa. Dengan penglihatan ini, kamu bisa melihat berbagai macam hal yang sebelumnya tak bisa kamu lihat." Leluhur Jing Shuang berkata setelah menarik kembali jarinya dari dahi Jing Ling. "Kamu tinggal memfokuskan penglihatan dan pikiranmu ketika melihat sesuatu yang kamu anggap tidak biasa. Dan kamu akan segera mengetahui rahasia-rahasia yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa." "Mata Dewa?" Jing Ling membuka matanya, dan merasa penglihatannya menjadi semakin cemerlang. "Penglihatan Mata Dewa merupakan ilmu tingkat tinggi yang dipelajari dari Kitab Mata Dewa milik Keluarga Yu yang kutemukan dua ratus tahun lalu di peti mayat ahli waris yang tak diakui yang bernama Qing Yuan." Ada kesedihan dalam nada ucapan Leluhur Jing Shuang saat menyebutkan nama misterius ini. Jing Ling berpikir, 'Dua ratus tahun lalu ...
"Jangan takut. Aku adalah Jing Shuang, orang yang menciptakan cincin ini." Jing Ling sedikit panik, merasa bahwa pendengarannya saat ini sedang tidak normal. Pandangan matanya terus tertuju ke arah bayangan berwujud manusia yang terjebak di gumpalan sinar merah yang tampak samar. "Sudah sangat lama aku terjebak di tempat ini, menunggu seseorang dari penerusku datang dan menemukanku." Suara anggun dan lembut itu kembali terdengar dengan jelas. Jing Ling terkejut. Ternyata, sinar berwujud manusia itu bisa berbicara? Dan dia mengaku bernama Jing Shuang? Tunggu! Bukankah itu adalah nama yang disebutkan oleh Jing Yue, ibunya? "Jing Shuang?" Jing Ling luar biasa terkejut. "Jadi, Anda adalah Jing Shuang, pencipta dan pemilik Cincin Segala Ruang ini?" "Benar. Itu aku." Leluhur Jing Shuang berbalik dengan anggun, jubahnya berkibar, dan sinar merah yang menyelimutinya seketika menghilang. Sekarang, wujud asli pria muda yang sangat menawan bak seorang kaisar langit terlihat jelas. W
"Bagaimana mungkin itu adalah benda yang rusak? Kamu cobalah sekali lagi, Ah Lin!" Hua Lin mencoba memberi semangat kepada keponakannya. "Semangat!""Baiklah. Aku akan mencobanya sekali lagi." Jing Ling mengangguk, kemudian kembali memfokuskan pikiran agar dapat terhubung dengan cincin segala ruang miliknya.Namun, masih tidak ada yang terjadi meskipun ia telah mencobanya hingga berulang kali.Jing Ling menarik napas sesaat dengan perasaan kecewa. "Tetap tidak bisa.""Aneh ... mengapa tetap tidak bisa?" Hua Fei juga tak mengerti.Jing Ling tak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan sekaligus rasa penasarannya.Ia menghadap kembali kepada sang ibu. "Ibu, aku tak bisa menggunakan cincin ini. Meskipun aku berusaha keras menyatukan pikiranku, tetapi aku tak bisa merasakan apa pun. Aku jadi berpikir kalau benda ini tidak berjodoh denganku, atau mungkin saja benda ini memang sudah rusak.""Itu tidak rusak. Tapi memang cincin milikmu itu sedikit berbeda dengan benda ruang milik Ah Fei dan Ah Li
Hua Fei melihat kantung di tangannya, mencoba menemukan rahasia yang tersembunyi dalam benda tersebut. Namun, tetap saja ia tak menemukan apa pun di sana."Ah Fei, kantung yang sekarang kamu pegang itu bernama Qian Cang Pao, kantung seribu ruang yang mampu memuat banyak benda-benda tanpa membebani pemiliknya." Jing Yue menjelaskan perihal kantung putih milik Hua Fei. "Selain dapat menyimpan benda-benda, kantung itu juga sangat kuat karena terbuat dari kepompong ulat sutra berusia seribu tahun."Hua Fei terkejut. "Kantung seribu ruang?""Ternyata itu adalah kantung seribu ruang yang sangat legendaris!" Hua Lin berseru disertai keterkejutan dan kekaguman. "Ah Fei, kamu sungguh beruntung bisa memiliki benda seperti itu."Hua Fei dan yang lainnya mulai berisik dengan decakan kagum. Ternyata benda yang dianggap kosong itu benar-benar merupakan benda istimewa.Wajah Hua Fei seketika secerah langit pagi. Sekarang, ia justru merasa takjub dan berterima kasih dalam hati atas pemberian Jing Yue
Dari kerutan alis matanya, jelas ada bayang-bayang kekecewaan Hua Fei yang tak bisa disembunyikan. Ekspresi wajah pemuda itu berubah muram dan matanya menyipit, seolah mencoba memahami sesuatu yang sedikit mengganggu.Tabib muda itu menarik napas panjang, perlahan mengembuskannya, mencoba menenangkan gejolak pertanyaan dalam benaknya.'Mungkin saja aku yang tidak seberuntung mereka berdua,' gumam Hua Fei, dalam hati.Ia melirik sekilas ke arah kedua keponakannya yang tengah sibuk dengan hadiahnya masing-masing. Perasaan tak menentu berkecamuk dalam dada Hua Fei.'Tapi ... mana mungkin Bibi tega mempermainkan aku?' pikir Hua Fei lagi. 'Atau mungkin ... ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bibi?'"Paman Kecil, kamu mendapatkan ikat pinggang!" Seruan Jing Ling membuat Hua Lin tersenyum tipis.Ia segera menghampiri untuk melihat lebih dekat ikat pinggang hitam yang sederhana tapi penuh keunikan. Sorot mata Jing Ling berbinar-binar, mengagumi bentuk sabuk hitam dengan gesper perak yang rumi
Jing Ling, Hua Fei dan Hua Lin menatap kantung kain di tangan Jing Yue. 'Apakah bibi menyiapkan bekal uang lagi?' Hua Fei membatin. 'Bukankah kami sudah mendapatkan biaya dari sekte?' 'Kakak Yue memberi kami kantung parfum?' Hua Lin mengira itu adalah kantung pengharum yang biasanya dipakai untuk menyamarkan bau badan tak sedap dengan aromanya. 'Aiyaa, kakak iparku ini mengapa aneh sekali?' Jing Ling akhirnya bertanya, "Ibu, itu adalah kantung kain yang akan diberikan kepada kami bertiga?" "Benar. Ini adalah hadiah dari kami yang sudah lama dipersiapkan untuk kalian." Jing Yue mengulurkan tangannya secara perlahan, memperlihatkan tiga kantung sachet yang terbuat dari kain satin, halus dan berkilau di bawah sinar matahari pagi. "Hadiah?" Ketiga tuan muda terperangah. "Untuk kami?" Hua Lin tak mengerti. "Ya. Ini memang untuk kalian." Jing Yue kembali mengulas senyum dan berkata, "Kami mengumpulkan semua benda ini sejak lama sebagai persiapan karena kami merasa sewaktu-waktu kal
Jing Ling tercekat. Hua Fei tertegun. Keduanya menatap Hua Lin dan Hua Feng secara bergantian dengan pandangan bingung. Mereka khawatir jika Hua Lin tak bisa menahan amarahnya. "Hua Feeeeeng!" Hua Lin berteriak, suaranya meledak di udara hingga membuat banyak orang terkejut. "Hua Feng, bagaimana kamu bisa seceroboh itu?" Hua Lin merasa frustrasi, sedangkan Hua Feng memasang ekspresi wajah sebodoh keledai dungu. Hua Lin ingin menangis, tetapi ia tak mungkin menangis di hadapan banyak orang, terlebih lagi hanya soal perbekalan yang masih bisa digunakan meskipun tidak kecil kemungkinan sudah hancur. Pemuda itu hanya bisa menatap dengan tatapan yang seakan hendak memangsa Hua Feng hidup-hidup. "Ma--ma ... maaf!" Napas Hua Feng masih tersengal, dadanya naik turun, tetapi tatapan tajam Hua Lin yang menusuk itu membuatnya seolah tercekik oleh rasa bersalah. Bagi Hua Feng, pandangan mata Hua Lin terlihat sangat mengerikan hingga udara panas dan perasaan dingin terus menari-nar
Di kejauhan, Jing Ling dan Hua Fei sudah berdiri menunggu di bawah pohon maple sembari menyaksikan kesibukan para pelayan. Mereka tampak siap untuk perjalanan panjang yang akan segera mereka tempuh.Sebenarnya, Hua Fei merasa ada suatu firasat aneh yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tetapi perasaan itu terus-menerus mengganggu pikirannya. Pemuda itu larut dalam diam hingga beberapa waktu dan hal tersebut dapat segera ditangkap oleh sang keponakan.Jing Ling menyiku lengan Hua Fei. "Eh, Kakak Fei, ada apa denganmu? Apakah kamu merasa tidak tega untuk pergi dari tempat ini, atau ....""Kakak Fei sedang merindukan Yunxi, adik sepupuku yang cantik jelita itu?" Jing Ling sengaja menggoda Hua Fei dengan mengungkit masalah Jing Yunxi. "Apa kamu sudah merasa rindu padanya bahkan sebelum kamu pergi?"Mendengar nama Jing Yunxi disebutkan, seketika darah Hua Fei terasa berdesir dingin, seolah-olah puluhan jarum tajam menusuk jantungnya. Sensasi perih itu merayap cepat, menyesakkan dadan