Jing Ling memejamkan matanya saat merasa ada kilat energi dingin memasuki dahinya. Energi itu semula terasa dingin, tetapi kemudian menjadi hangat. "Ini disebut sebagai Mata Dewa. Dengan penglihatan ini, kamu bisa melihat berbagai macam hal yang sebelumnya tak bisa kamu lihat." Leluhur Jing Shuang berkata setelah menarik kembali jarinya dari dahi Jing Ling. "Kamu tinggal memfokuskan penglihatan dan pikiranmu ketika melihat sesuatu yang kamu anggap tidak biasa. Dan kamu akan segera mengetahui rahasia-rahasia yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa." "Mata Dewa?" Jing Ling membuka matanya, dan merasa penglihatannya menjadi semakin cemerlang. "Penglihatan Mata Dewa merupakan ilmu tingkat tinggi yang dipelajari dari Kitab Mata Dewa milik Keluarga Yu yang kutemukan dua ratus tahun lalu di peti mayat ahli waris yang tak diakui yang bernama Qing Yuan." Ada kesedihan dalam nada ucapan Leluhur Jing Shuang saat menyebutkan nama misterius ini. Jing Ling berpikir, 'Dua ratus tahun lalu ...
Pada suatu malam di sebuah kediaman besar dan megah, terlihat banyak sekali orang-orang berseragam penjaga dan pelayan berlarian berusaha untuk menyelamatkan diri dari amukan kobaran si jago merah. Bau anyir darah mengucur deras dari luka-luka di tubuh mereka, berhasil merusak hawa malam yang dingin dan murni. "Tolooong! Tolooooong!" "Tolong kamiiii!" Terdengar suara ramai minta tolong dari arah kejadian pembakaran bangunan. Beberapa orang lelaki penjaga berlarian sambil memegangi luka tikam di bagian perut kanannya. Pria lain juga terlihat berjalan terseok-seok dalam keadaan menyedihkan dengan luka robek pada punggungnya. Mereka semua berlumuran darah, bermandikan keringat dan air mata. Tak ada satu pun yang tinggal di kediaman besar itu mengira, akan adanya tragedi mengerikan terjadi pada malam ini. "Apiiiii! Cepat padamkan apiiiii!" Suara hiruk pikuk lainnya mengacaukan suasana. "Tolooong, to-long a-aku!" Pria yang terkena luka tikam seketika ambruk di atas lantai pelatara
Jiu Wang menjawab dengan nada dingin. "Benar! Sebenarnya aku adalah menantu dari Keluarga Wen." "Keluarga Wen? Ja-jadi?" Jing Zhao sungguh tidak pernah mengira, jika pria pemenang sayembara ini adalah orang suruhan dari Keluarga Wen, musuhnya. Pria tua itu berusaha duduk sembari memegangi dadanya. "Jadi selama ini, kamu telah mempermainkan kami? Mempermainkan Ah Yue!" "Ah Yue?" Jiu Wang berteriak dalam hati saat teringat istrinya. "Ah Yue, maafkan aku! Aku akan mempertanggungjawabkan semua perbuatanku ini!" Jing Zhao terbatuk hingga beberapa kali, segumpal darah kembali terlempar dari mulutnya. Wajahnya telah menjadi sangat pucat pasi. Lelaki tua itu berkata dalam hati sembari menatap langit malam yang jernih tanpa awan. "Sepertinya, hari ini memang hari terakhir aku hidup di dunia ini. Aku bahkan tidak sempat melihat wajah anak dan cucuku untuk yang terakhir kalinya." "Ah Yue, maafkan ayah! Maafkan ayah yang telah membuatmu bertemu dengan pria biadab tak bermoral ini!" J
Tak bisa dipungkiri, jika dia pun merasa sangat menyesali perbuatannya. Ia dihadapkan oleh persoalan pelik yang hanya bisa dipilih salah satu dan tidak ada pilihan lain. Kesetiaan pada sumpah yang telah dia ucapkan, harus dibayar mahal dengan mengorbankan perasaan dan cinta. Namun, semua hanya tinggal segunung sesal yang akan menjadi awal penderitaan panjang pria ini. Jerit tangis bayi membuat pria itu menoleh ke arah sumber suara dan matanya langsung mendapati sesosok bayangan tubuh di antara asap dari kobaran api. "Kakak!" Seorang wanita cantik berdiri tertegun sambil menggendong bayi laki-laki berusia empat puluh hari yang sedang menangis. Tangisan sang bayi lelaki berparas tampan nan cantik itu terdengar begitu menyayat hati kedua orang tuanya yang mulai detik ini berdiri berhadapan sebagai musuh. Hati Jing Yue mulai dilumuri dendam kepada pelaku pembantaian keluarganya sendiri, yang mana si pembunuh adalah ayah dari putranya. Wanita itu terpaku, tertegun dan mematung di
Namun rupanya, kebahagiaan pasangan itu tidak bisa berlangsung lama. Keluarga kecil yang semula sangat bahagia tersebut harus berakhir dengan sangat singkat. Jiu Wang menerima sebuah surat rahasia dari Klan Wen yang memaksa Jiu Wang harus membantai seluruh keluarga istrinya dan mencari sebuah benda pusaka yang diinginkan oleh Klan Wen sejak lama. Walaupun barang pusaka kuno itu tak berhasil ia dapatkan, tetapi Jiu Wang harus tetap memenuhi sumpahnya untuk menghancurkan Keluarga Jing. Hal itu dikarenakan, keluarganya juga di bawah ancaman Klan Wen. Sebagai seorang tuan muda pertama penerus keluarga besarnya, Jiu Wang harus bertanggung jawab dan memikul beban seberat Gunung Naga. Selain Jing Yue dan putranya yang baru berusia empat puluh hari, tak ada seorang pun yang dibiarkan hidup oleh Jiu Wang di malam pembantaian ini. Raja Arak menatap nanar pada kobaran api dan mayat-mayat yang bergelimangan akibat ulahnya sendiri. Tombak Naga Emas telah meminum darah dari orang-orang yang menjad
"Ah Yue!" Tuan muda itu menjadi sangat panik karena keadaan wisma tersebut sangat sepi. "Ah Yueeeeee!" "Ah Yue, buka pintunyaaaaa!" "Ah Yue! Ah Yueee, apa kamu dan Ah Ling baik-baik saja?" Pemuda itu berkali-kali mengetuk pintu rumah Jing Yue dengan terburu-buru. Namun, tak ada sahutan ataupun pintu yang dibuka dari dalam. Hal itu membuat pemuda itu semakin cemas dan merasa sangat penasaran. "Ah Yue! Maafkan aku, kalau aku sedikit mengganggumu. Aku hanya ingin memastikan keadaanmu!" Pria yang bersama sang tuan muda ikut memeriksa keadaan sekitar rumah yang sunyi. Lelaki itu berkata, "Tuan Muda, sepertinya tempat ini sepi. Mungkin, Nona Jing Yue sudah pergi dari sini." "Mungkin saja. Aku juga berharap demikian. Tapi, di mana dia?" Pria muda berpakaian hanfu biru itu tidak menemukan orang yang dicarinya. "Bagaimana, Tuan Muda Hua Yan?" tanya si pengawal yang tidak menemukan apa pun. "Sepertinya memang sepi. Kalau begitu, aku akan melihatnya ke dalam!" Hua Yan yang masih merasa pe
"Jangan sentuh kami dengan tangan kotormu itu! Kamu telah membasuhnya dengan darah ayah dan juga saudara-saudaraku! Kamu pikirkan saja sekarang! Masih pantaskah kamu menyentuh kami berdua?" Jing Yue berteriak sembari menghindar. Dirinya sudah merasa teramat jijik dengan pria yang masih bergelar suaminya. "Ah Yue, maafkan aku! Aku juga sangat terpaksa melakukannyaaa! Keluargaku yang lain juga dalam ancaman. Aku!" "Aku ..." "Aaaaarrghhh! Haruskah aku meninggalkan mereka?" Jiu Wang yang sedang merasa sangat frustrasi akhirnya hanya bisa melampiaskan dengan berteriak setinggi gunung pencakar langit. "Mengapa tidak ada pilihan lain?" Jiu Wang lalu meremas-remas rambutnya sendiri dengan penuh penyesalan, kegeraman dan kemarahan yang bercampur menjadi satu. "Mengapaa aku disudutkan pada persoalan seperti ini?" "Mengapaaaaaa?" "Mengapa kamu bertanya padaku?" Melihat tingkah gila Jiu Wang, Jing Yue justru merasa semakin jijik dan ingin muntah. "Jika kamu pergi malam ini juga, maka sejak k
"Pergilah jika itu pilihanmu! Tapi ingatlah, setelah kau menginjakkan kakimu di luar tanah Keluarga Jing. Sejak itulah, kau bukan lagi suamiku!" Jing Yue berucap tanpa menoleh sedikit pun. "Kalau begitu, aku tidak akan pergi dari sisimu!" teriak Jiu Wang merasa sangat berat hati meninggalkan anak dan istrinya ini. "Aku tidak akan meninggalkanmu dan anak kita, Ah Yue!" "Tuan Muda, tuan muda kecil dan seluruh klan sudah menunggumu!" Salah seorang pengawal Keluarga Han mengingatkan sekali lagi. "Aaaaaaaarrgghh!" Sebuah jeritan panjang bernada tinggi dengan lambaran ilmu tenaga dalam terlepas dari mulut Jiu Wang. Para pengawal dari Keluarga Han pun harus berusaha keras menahan akibatnya. Darah segar seketika mengalir dari telinga dan hidung mereka. Para pria pengawal dari Keluarga Han saling memberi isyarat satu sama lain. Salah satu seorang dari mereka bergerak bangkit dan maju mendekati sang tuan muda. Pria itu memukul tengkuk Jiu Wang hingga tak sadarkan diri. "Maaf, Tuan Muda! Ta
Jing Ling memejamkan matanya saat merasa ada kilat energi dingin memasuki dahinya. Energi itu semula terasa dingin, tetapi kemudian menjadi hangat. "Ini disebut sebagai Mata Dewa. Dengan penglihatan ini, kamu bisa melihat berbagai macam hal yang sebelumnya tak bisa kamu lihat." Leluhur Jing Shuang berkata setelah menarik kembali jarinya dari dahi Jing Ling. "Kamu tinggal memfokuskan penglihatan dan pikiranmu ketika melihat sesuatu yang kamu anggap tidak biasa. Dan kamu akan segera mengetahui rahasia-rahasia yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa." "Mata Dewa?" Jing Ling membuka matanya, dan merasa penglihatannya menjadi semakin cemerlang. "Penglihatan Mata Dewa merupakan ilmu tingkat tinggi yang dipelajari dari Kitab Mata Dewa milik Keluarga Yu yang kutemukan dua ratus tahun lalu di peti mayat ahli waris yang tak diakui yang bernama Qing Yuan." Ada kesedihan dalam nada ucapan Leluhur Jing Shuang saat menyebutkan nama misterius ini. Jing Ling berpikir, 'Dua ratus tahun lalu ...
"Jangan takut. Aku adalah Jing Shuang, orang yang menciptakan cincin ini." Jing Ling sedikit panik, merasa bahwa pendengarannya saat ini sedang tidak normal. Pandangan matanya terus tertuju ke arah bayangan berwujud manusia yang terjebak di gumpalan sinar merah yang tampak samar. "Sudah sangat lama aku terjebak di tempat ini, menunggu seseorang dari penerusku datang dan menemukanku." Suara anggun dan lembut itu kembali terdengar dengan jelas. Jing Ling terkejut. Ternyata, sinar berwujud manusia itu bisa berbicara? Dan dia mengaku bernama Jing Shuang? Tunggu! Bukankah itu adalah nama yang disebutkan oleh Jing Yue, ibunya? "Jing Shuang?" Jing Ling luar biasa terkejut. "Jadi, Anda adalah Jing Shuang, pencipta dan pemilik Cincin Segala Ruang ini?" "Benar. Itu aku." Leluhur Jing Shuang berbalik dengan anggun, jubahnya berkibar, dan sinar merah yang menyelimutinya seketika menghilang. Sekarang, wujud asli pria muda yang sangat menawan bak seorang kaisar langit terlihat jelas. W
"Bagaimana mungkin itu adalah benda yang rusak? Kamu cobalah sekali lagi, Ah Lin!" Hua Lin mencoba memberi semangat kepada keponakannya. "Semangat!""Baiklah. Aku akan mencobanya sekali lagi." Jing Ling mengangguk, kemudian kembali memfokuskan pikiran agar dapat terhubung dengan cincin segala ruang miliknya.Namun, masih tidak ada yang terjadi meskipun ia telah mencobanya hingga berulang kali.Jing Ling menarik napas sesaat dengan perasaan kecewa. "Tetap tidak bisa.""Aneh ... mengapa tetap tidak bisa?" Hua Fei juga tak mengerti.Jing Ling tak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan sekaligus rasa penasarannya.Ia menghadap kembali kepada sang ibu. "Ibu, aku tak bisa menggunakan cincin ini. Meskipun aku berusaha keras menyatukan pikiranku, tetapi aku tak bisa merasakan apa pun. Aku jadi berpikir kalau benda ini tidak berjodoh denganku, atau mungkin saja benda ini memang sudah rusak.""Itu tidak rusak. Tapi memang cincin milikmu itu sedikit berbeda dengan benda ruang milik Ah Fei dan Ah Li
Hua Fei melihat kantung di tangannya, mencoba menemukan rahasia yang tersembunyi dalam benda tersebut. Namun, tetap saja ia tak menemukan apa pun di sana."Ah Fei, kantung yang sekarang kamu pegang itu bernama Qian Cang Pao, kantung seribu ruang yang mampu memuat banyak benda-benda tanpa membebani pemiliknya." Jing Yue menjelaskan perihal kantung putih milik Hua Fei. "Selain dapat menyimpan benda-benda, kantung itu juga sangat kuat karena terbuat dari kepompong ulat sutra berusia seribu tahun."Hua Fei terkejut. "Kantung seribu ruang?""Ternyata itu adalah kantung seribu ruang yang sangat legendaris!" Hua Lin berseru disertai keterkejutan dan kekaguman. "Ah Fei, kamu sungguh beruntung bisa memiliki benda seperti itu."Hua Fei dan yang lainnya mulai berisik dengan decakan kagum. Ternyata benda yang dianggap kosong itu benar-benar merupakan benda istimewa.Wajah Hua Fei seketika secerah langit pagi. Sekarang, ia justru merasa takjub dan berterima kasih dalam hati atas pemberian Jing Yue
Dari kerutan alis matanya, jelas ada bayang-bayang kekecewaan Hua Fei yang tak bisa disembunyikan. Ekspresi wajah pemuda itu berubah muram dan matanya menyipit, seolah mencoba memahami sesuatu yang sedikit mengganggu.Tabib muda itu menarik napas panjang, perlahan mengembuskannya, mencoba menenangkan gejolak pertanyaan dalam benaknya.'Mungkin saja aku yang tidak seberuntung mereka berdua,' gumam Hua Fei, dalam hati.Ia melirik sekilas ke arah kedua keponakannya yang tengah sibuk dengan hadiahnya masing-masing. Perasaan tak menentu berkecamuk dalam dada Hua Fei.'Tapi ... mana mungkin Bibi tega mempermainkan aku?' pikir Hua Fei lagi. 'Atau mungkin ... ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bibi?'"Paman Kecil, kamu mendapatkan ikat pinggang!" Seruan Jing Ling membuat Hua Lin tersenyum tipis.Ia segera menghampiri untuk melihat lebih dekat ikat pinggang hitam yang sederhana tapi penuh keunikan. Sorot mata Jing Ling berbinar-binar, mengagumi bentuk sabuk hitam dengan gesper perak yang rumi
Jing Ling, Hua Fei dan Hua Lin menatap kantung kain di tangan Jing Yue. 'Apakah bibi menyiapkan bekal uang lagi?' Hua Fei membatin. 'Bukankah kami sudah mendapatkan biaya dari sekte?' 'Kakak Yue memberi kami kantung parfum?' Hua Lin mengira itu adalah kantung pengharum yang biasanya dipakai untuk menyamarkan bau badan tak sedap dengan aromanya. 'Aiyaa, kakak iparku ini mengapa aneh sekali?' Jing Ling akhirnya bertanya, "Ibu, itu adalah kantung kain yang akan diberikan kepada kami bertiga?" "Benar. Ini adalah hadiah dari kami yang sudah lama dipersiapkan untuk kalian." Jing Yue mengulurkan tangannya secara perlahan, memperlihatkan tiga kantung sachet yang terbuat dari kain satin, halus dan berkilau di bawah sinar matahari pagi. "Hadiah?" Ketiga tuan muda terperangah. "Untuk kami?" Hua Lin tak mengerti. "Ya. Ini memang untuk kalian." Jing Yue kembali mengulas senyum dan berkata, "Kami mengumpulkan semua benda ini sejak lama sebagai persiapan karena kami merasa sewaktu-waktu kal
Jing Ling tercekat. Hua Fei tertegun. Keduanya menatap Hua Lin dan Hua Feng secara bergantian dengan pandangan bingung. Mereka khawatir jika Hua Lin tak bisa menahan amarahnya. "Hua Feeeeeng!" Hua Lin berteriak, suaranya meledak di udara hingga membuat banyak orang terkejut. "Hua Feng, bagaimana kamu bisa seceroboh itu?" Hua Lin merasa frustrasi, sedangkan Hua Feng memasang ekspresi wajah sebodoh keledai dungu. Hua Lin ingin menangis, tetapi ia tak mungkin menangis di hadapan banyak orang, terlebih lagi hanya soal perbekalan yang masih bisa digunakan meskipun tidak kecil kemungkinan sudah hancur. Pemuda itu hanya bisa menatap dengan tatapan yang seakan hendak memangsa Hua Feng hidup-hidup. "Ma--ma ... maaf!" Napas Hua Feng masih tersengal, dadanya naik turun, tetapi tatapan tajam Hua Lin yang menusuk itu membuatnya seolah tercekik oleh rasa bersalah. Bagi Hua Feng, pandangan mata Hua Lin terlihat sangat mengerikan hingga udara panas dan perasaan dingin terus menari-nar
Di kejauhan, Jing Ling dan Hua Fei sudah berdiri menunggu di bawah pohon maple sembari menyaksikan kesibukan para pelayan. Mereka tampak siap untuk perjalanan panjang yang akan segera mereka tempuh.Sebenarnya, Hua Fei merasa ada suatu firasat aneh yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tetapi perasaan itu terus-menerus mengganggu pikirannya. Pemuda itu larut dalam diam hingga beberapa waktu dan hal tersebut dapat segera ditangkap oleh sang keponakan.Jing Ling menyiku lengan Hua Fei. "Eh, Kakak Fei, ada apa denganmu? Apakah kamu merasa tidak tega untuk pergi dari tempat ini, atau ....""Kakak Fei sedang merindukan Yunxi, adik sepupuku yang cantik jelita itu?" Jing Ling sengaja menggoda Hua Fei dengan mengungkit masalah Jing Yunxi. "Apa kamu sudah merasa rindu padanya bahkan sebelum kamu pergi?"Mendengar nama Jing Yunxi disebutkan, seketika darah Hua Fei terasa berdesir dingin, seolah-olah puluhan jarum tajam menusuk jantungnya. Sensasi perih itu merayap cepat, menyesakkan dadan
"Bodoh!" Sambil mengumpat, Hua Lin melayangkan satu tamparan secepat lesatan anak panah yang langsung menghantam pelipis Hua Feng."Aaah!" Hua Feng terpekik keras hingga beberapa orang menoleh ke arahnya. Hua Lin tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Ia lanjut mengomeli Hua Feng. "Tentu saja itu bukan jimat, melainkan sesuatu untuk menangkal bahaya kelaparan!"'Mengapa aku bertemu orang sebodoh dia?' Hua Lin merasa sial dalam hal ini.Hua Feng tak sempat mengelak. Pukulan itu tidak terlalu keras, tetapi cukup membuat tubuhnya terhuyung ke samping, hampir kehilangan keseimbangan.'Penangkal bahaya kelaparan, bukankah itu makanan?' pikir Hua Feng yang mulai mengerti maksud seniornya ini.Hua Feng mengusap pelipisnya yang sedikit memanas. Ia mengerang kesal. "Tuan Muda, kamu menyiksaku lagi!""Tuan Muda selalu saja begitu, padahal aku hanya bertanya, tapi Tuan Muda malah menindasku." Raut wajah Hua Feng berubah sedih, bibirnya mengerucut hingga ia tampak lucu. "Tuan Muda