Tak bisa dipungkiri, jika dia pun merasa sangat menyesali perbuatannya. Ia dihadapkan oleh persoalan pelik yang hanya bisa dipilih salah satu dan tidak ada pilihan lain.
Kesetiaan pada sumpah yang telah dia ucapkan, harus dibayar mahal dengan mengorbankan perasaan dan cinta. Namun, semua hanya tinggal segunung sesal yang akan menjadi awal penderitaan panjang pria ini. Jerit tangis bayi membuat pria itu menoleh ke arah sumber suara dan matanya langsung mendapati sesosok bayangan tubuh di antara asap dari kobaran api. "Kakak!" Seorang wanita cantik berdiri tertegun sambil menggendong bayi laki-laki berusia empat puluh hari yang sedang menangis. Tangisan sang bayi lelaki berparas tampan nan cantik itu terdengar begitu menyayat hati kedua orang tuanya yang mulai detik ini berdiri berhadapan sebagai musuh. Hati Jing Yue mulai dilumuri dendam kepada pelaku pembantaian keluarganya sendiri, yang mana si pembunuh adalah ayah dari putranya. Wanita itu terpaku, tertegun dan mematung di tempat dia berdiri dengan mata terbelalak lebar. Degup jantung bagai berhenti berdetak, tubuhnya terasa lemas hingga gemetar. Hampir saja, bayi dalam dekapan Jing Yue terlepas, akan tetapi dia berusaha untuk tetap memeluk dan menguatkan diri dan hatinya. "Suamiku, apa yang baru saja kamu lakukan?" Wanita cantik itu bertanya dengan suara lirih dan pilu yang menghujam relung hatinya. "Kakak, apa yang telah kau lakukan terhadap ayahku?" "Ah Yue?"Jiu Wang tersentak luar biasa saat mendengar suara istri dan anaknya tepat dari arah pintu masuk. Jing Yue menyaksikan dengan mata kepala sendiri, jasad ayah kandungnya yang bersimbah darah dengan organ tubuh yang telah tercerai-berai. Sang ayah tercinta telah terbujur kaku dengan mata melotot dan tangan menunjuk ke arah Jiu Wang suaminya. Jing Yue segera berlari dan menjatuhkan lututnya di hadapan mayat sang ayah. "Ayaaaaaah!" "Ah Yue!" Jiu Wang membalikan badannya dan melihat Jing Yue yang sudah jatuh memeluk tubuh sang ayah. Jing Yue meraup darah dengan tangannya, lalu mendekatkan lumuran darah segar tersebut ke hadapan wajah cantiknya dengan mata membelalak lebar. Bibir Jing Yue bergetar hebat saat berucap, "Da--da--darah! Ini darah A--Ayah?" "Ah Yue! Ah Yueeee!" Jiu Wang berusaha meraih tangan itu, akan tetapi Jing Yue menepisnya dengan sangat kasar. "Kakak, apakah benar kamu yang melakukan semua ini?" Jiu Wang ingin menjelaskan, tapi mulunya seperti tak mampu untuk bergerak. "Ah Yue! Yue, a--aku ...." Jiu Wang menatap nanar wajah Jing Yue, seakan terbayang kembali saat bagaimana susah payah dirinya berjuang untuk mendapatkan Persik Puncak Naga ini. Seorang gadis pertaruhan sayembara yang berhasil membuatnya menjadi iblis paling kejam di muka bumi ini. Berawal dari sebuah sayembara yang diadakan oleh Keluarga Jing dan pergelaran acara tersebut, telah mempertemukan seorang pendekar muda nan tampan rupawan dengan Jing Yue yang merupakan kecantikan paling tersohor di Wilayah Zhangye Danxia atau yang disebut juga dengan Pegunungan Pelangi. Pada saat itu, tiada yang tidak mengakui akan kejelitaan wajah milik Persik Gunung Naga. Gadis secantik bidadari surga tersebut telah dijadikan hadiah serta bahan perebutan bagi para pengikut sayembara, dan Jing Yue harus rela menikah dengan pria mana pun yang menjadi pemenang dari sayembara tersebut. Gadis tercantik di wilayah Kekaisaran Han bagian tenggara ini telah berhasil memikat hati seorang pemuda tampan yang mengaku sebagai Jiu Wang. Adapun asal usul Jiu Wang itu sendiri tidak pernah dia beberkan kepada siapa pun juga, termasuk kepada sang istri dan keluarganya. Pria itu tetap merahasiakan identitas asli yang dijaga dengan begitu rapat. Pemuda itu juga merupakan seorang pendekar berdarah dingin dengan kebiasaan mabuk beratnya. Bahkan, pada saat menikahi putri tercantik dari keluarga itu pun, dia dalam keadaan mabuk dan meracau tidak tentu arah. Jiu Wang terlalu bahagia atas kemenangannya, sehingga dia merayakannya dengan menenggak berliter-liter arak hingga mabuk. Sayembara itu berisikan sebuah tantangan bagi siapa saja yang berhasil membawa sebongkah besar batu bintang hitam dari ketinggian Puncak Gunung Naga, maka, sang pemenang akan diberi hadiah seorang putri tercantik bernama Jing Yue, Persik Gunung Naga dan seribu keping uang emas. Tentu saja, hal itu berhasil mengundang banyak lelaki dan pendekar muda merasa sangat tergiur dengan hadiah tersebut. Bagi para peserta sayembara, ibarat mendapatkan burung beserta sangkar emasnya. Bagaikan meraih bulan beserta matahari dalam sekali jangkauan. Tahta, harta dan wanita akan menjadi jaminan hidup mereka ke depannya. Tentu saja, itu adalah suatu hal yang teramat diimpikan para pria mana pun di dunia ini. Terlebih lagi, kecantikan seorang Jing Yue memang teramat luar biasa. Para pria bangsawan dan para tuan muda dari berbagai keluarga dan perguruan bela diri, berbondong-bondong mengikuti sayembara tersebut. Mereka semua berlomba untuk mendapatkan serpihan debu angkasa yang jatuh di ketinggian Puncak Gunung Naga, tempat di mana Sekte Giok Darah telah menguasai daerah itu dan tak akan membiarkan siapa pun mengambil batu bintang tersebut dengan mudah. Banyak korban berjatuhan, karena mereka harus bertarung dengan para iblis penjaga dari Sekte Giok Darah. Para iblis itu sengaja ditugaskan oleh perguruan beraliran hitam pimpinan Zhao Qing yang merupakan sekte racun paling ditakuti di rimba jianghu. Sekte tersebut telah mengaku sebagai penemu dan pemilik batu bintang hitam, meskipun benda angksa itu jatuh di ketinggian Puncak Gunung Naga. Puncak Gunung Naga adalah sebuah gunung anakan dari Gunung Berawan, yang dikuasakan kepada Keluarga Jing untuk memegang wilayah tersebut. Hal itu telah memicu sebuah pertikaian antar sekte, dikarenakan sebongkah besar benih senjata telah jatuh di tempat tersebut. Jiu Wang yang juga ahli pembuat senjata, berhasil merebut batu angkasa berwarna campuran hitam dan merah dari tangan Sekte Giok Darah. Pendekar muda tampan itu dengan gagah berani menaklukan para penjaga dari sekte ahli racun tersebut hanya seorang diri. Dia beraksi hanya berbekal sebilah senjata pusaka dari klan naga langit yang bernama Tombak Naga Emas. Jiu Wang kembali dengan membawa syarat sayembara dan dengan senang hati menikahi Jing Yue Persik Gunung Naga yang memiliki kecantikan bak bidadari pada masa mudanya. Pria itu bahkan tak pernah membiarkan lelaki menatap dan menikmati keindahan wanitanya. Jiu Wang tak akan pernah segan-segan untuk menarik dan membenamkan ujung tombaknya ke dalam tubuh lelaki lain yang berani mencuri pandang terhadap Jing Yue. Pernikahan mereka berjalan dengan lancar dan berhasil membuahkan seorang bayi lelaki. Sebagai rasa bahagianya atas kehadiran sang putra, Jiu Wang telah menempa sebatang tombak yang juga pernah dia buat salah satu duplikatnya sebelum menikahi Jing Yue dengan bilah memiliki ukiran nama Jing Yue dan nama sang bayi pemberian dari Jiu Wang. Sebatang tombak lainnya sengaja dia simpan secara rahasia dan tidak ada satu pun orang yang mengetahuinya. Bisa dikatakan, Jiu Wang mempersiapkan dua senjata tombak dan menuliskan kitab berisikan jurus-jurusnya. Senjata tersebut memiliki bentuk dan kekuatan yang sama untuk dua orang pilihannya. Sepertinya, pria itu ingin berlaku adil kepada mereka. Rahasia apakah yang disembunyikan oleh Jiu Wang?Namun rupanya, kebahagiaan pasangan itu tidak bisa berlangsung lama. Keluarga kecil yang semula sangat bahagia tersebut harus berakhir dengan sangat singkat. Jiu Wang menerima sebuah surat rahasia dari Klan Wen yang memaksa Jiu Wang harus membantai seluruh keluarga istrinya dan mencari sebuah benda pusaka yang diinginkan oleh Klan Wen sejak lama. Walaupun barang pusaka kuno itu tak berhasil ia dapatkan, tetapi Jiu Wang harus tetap memenuhi sumpahnya untuk menghancurkan Keluarga Jing. Hal itu dikarenakan, keluarganya juga di bawah ancaman Klan Wen. Sebagai seorang tuan muda pertama penerus keluarga besarnya, Jiu Wang harus bertanggung jawab dan memikul beban seberat Gunung Naga. Selain Jing Yue dan putranya yang baru berusia empat puluh hari, tak ada seorang pun yang dibiarkan hidup oleh Jiu Wang di malam pembantaian ini. Raja Arak menatap nanar pada kobaran api dan mayat-mayat yang bergelimangan akibat ulahnya sendiri. Tombak Naga Emas telah meminum darah dari orang-orang yang menjad
"Ah Yue!" Tuan muda itu menjadi sangat panik karena keadaan wisma tersebut sangat sepi. "Ah Yueeeeee!" "Ah Yue, buka pintunyaaaaa!" "Ah Yue! Ah Yueee, apa kamu dan Ah Ling baik-baik saja?" Pemuda itu berkali-kali mengetuk pintu rumah Jing Yue dengan terburu-buru. Namun, tak ada sahutan ataupun pintu yang dibuka dari dalam. Hal itu membuat pemuda itu semakin cemas dan merasa sangat penasaran. "Ah Yue! Maafkan aku, kalau aku sedikit mengganggumu. Aku hanya ingin memastikan keadaanmu!" Pria yang bersama sang tuan muda ikut memeriksa keadaan sekitar rumah yang sunyi. Lelaki itu berkata, "Tuan Muda, sepertinya tempat ini sepi. Mungkin, Nona Jing Yue sudah pergi dari sini." "Mungkin saja. Aku juga berharap demikian. Tapi, di mana dia?" Pria muda berpakaian hanfu biru itu tidak menemukan orang yang dicarinya. "Bagaimana, Tuan Muda Hua Yan?" tanya si pengawal yang tidak menemukan apa pun. "Sepertinya memang sepi. Kalau begitu, aku akan melihatnya ke dalam!" Hua Yan yang masih merasa pe
"Jangan sentuh kami dengan tangan kotormu itu! Kamu telah membasuhnya dengan darah ayah dan juga saudara-saudaraku! Kamu pikirkan saja sekarang! Masih pantaskah kamu menyentuh kami berdua?" Jing Yue berteriak sembari menghindar. Dirinya sudah merasa teramat jijik dengan pria yang masih bergelar suaminya. "Ah Yue, maafkan aku! Aku juga sangat terpaksa melakukannyaaa! Keluargaku yang lain juga dalam ancaman. Aku!" "Aku ..." "Aaaaarrghhh! Haruskah aku meninggalkan mereka?" Jiu Wang yang sedang merasa sangat frustrasi akhirnya hanya bisa melampiaskan dengan berteriak setinggi gunung pencakar langit. "Mengapa tidak ada pilihan lain?" Jiu Wang lalu meremas-remas rambutnya sendiri dengan penuh penyesalan, kegeraman dan kemarahan yang bercampur menjadi satu. "Mengapaa aku disudutkan pada persoalan seperti ini?" "Mengapaaaaaa?" "Mengapa kamu bertanya padaku?" Melihat tingkah gila Jiu Wang, Jing Yue justru merasa semakin jijik dan ingin muntah. "Jika kamu pergi malam ini juga, maka sejak k
"Pergilah jika itu pilihanmu! Tapi ingatlah, setelah kau menginjakkan kakimu di luar tanah Keluarga Jing. Sejak itulah, kau bukan lagi suamiku!" Jing Yue berucap tanpa menoleh sedikit pun. "Kalau begitu, aku tidak akan pergi dari sisimu!" teriak Jiu Wang merasa sangat berat hati meninggalkan anak dan istrinya ini. "Aku tidak akan meninggalkanmu dan anak kita, Ah Yue!" "Tuan Muda, tuan muda kecil dan seluruh klan sudah menunggumu!" Salah seorang pengawal Keluarga Han mengingatkan sekali lagi. "Aaaaaaaarrgghh!" Sebuah jeritan panjang bernada tinggi dengan lambaran ilmu tenaga dalam terlepas dari mulut Jiu Wang. Para pengawal dari Keluarga Han pun harus berusaha keras menahan akibatnya. Darah segar seketika mengalir dari telinga dan hidung mereka. Para pria pengawal dari Keluarga Han saling memberi isyarat satu sama lain. Salah satu seorang dari mereka bergerak bangkit dan maju mendekati sang tuan muda. Pria itu memukul tengkuk Jiu Wang hingga tak sadarkan diri. "Maaf, Tuan Muda! Ta
17 tahun kemudian. Pada suatu hari yang cerah di Gunung Naga. Sinar mentari sudah tidak lagi menyengat, tetapi masih terasa cukup hangat di permukaan kulit. Cahayanya menembus hutan pinus di perbatasan perbukitan, menambah keelokan pemandangan di sana. Di padang rumput yang tak seberapa luas, seorang anak muda berlarian menerobos semak belukar dan kelebatan rumput ilalang. Dia bahkan tidak memedulikan kulit halus kaki-kaki kokohnya yang sesekali tergores oleh duri-duri dari tanaman liar hingga berdarah. Tampaknya, pemuda itu sedang memburu sesuatu. Anak muda itu berhenti di depan semak perdu yang cukup rimbun. Mata indah dengan iris birunya mengawasi suatu pergerakan kecil pada tumbuhan berumpun berdaun kecil, panjang dan memiliki warna hijau kekuningan. Mulut pemuda itu lirih bergumam, "Di mana dia? Bukankah tadi dia lari ke sini?" Suara gemerisik nan samar disertai desisan lembut telah menjatuhkan sepasang mata cantik itu mengalihkan perhatian pada sisi semak yang lain. Seutas
"Mengapa dia selalu saja tidak sabaran sekali?" Hua Fei hanya bisa menggelengkan kepalanya berulang kali. Dia berjalan menyusul saudara mudanya sembari menggendong keranjang milik Jing Ling. Di sepanjang perjalanan, mulut pemuda itu terus bergumam seperti sedang menghafalkan sesuatu. "Daun mongoose, minyak kelapa, minyak lavender, lalu ... apa lagi?" Hua Fei berjalan sembari membuka buku tentang pengobatan. "Mungkinkah batu giok hitam juga bisa untuk menyerap racun pada luka bekas gigitan ular?" "Mengisap racun dari bekas luka justru tidak diperbolehkan, karena racun bisa tertelan dan mengakibatkan hal yang sangat berbahaya bagi si pengisap." Hua Fei masih sibuk dengan buku metode penanganan pertama pada korban gigitan ular. Baru beberapa ratus langkah Hua Fei berjalan, dia dikejutkan oleh suara ramai orang-orang yang sedang tertawa. Anak muda itu lalu berlari-lari ke arah sumber suara keributan dan mendapati pemandangan yang membuatnya bukan hanya terkejut, tetapi juga merasa sang
"Apa kau bilang? Apakah aku sudah salah dengar?" Hua Fei yang menjadi tertawa kali ini. Hua Fei merasa sangat geli mendengar perkataan Jing Yanxi yang sedang mengunggulkan dirinya sendiri dan tidak pernah mau bersikap rendah hati kepada siapa pun. "Dan kurasa, seekor keledai bahkan masih lebih pintar darimu. Seekor katak pun kurasa tidak lebih rendah dari dirimu yang congkak itu!" "Beraninya kau mentertawakan tuan muda kami, Hua Fei!" Salah seorang anak buah Jing Yanxi berteriak. Dia sungguh sangat tidak terima sang tuan muda mereka dihina dan dikatai oleh seseorang yang bagi mereka, Hua Fei hanyalah anak tidak memiliki kemampuan apa pun selain daripada seorang kutu buku. "Minggir!" Hua Fei membentak sambil berlari menghampiri Jing Ling setelah menabrak tubuh Jing Yanxi dan mendorong salah seorang anak buah tuan muda Keluarga Jing hingga terjatuh. Pemuda itu berulang kali mengusap-usap pakaian saudaranya guna membersihkan debu dan kotoran lain yang menempel di tubuh sang adik kec
"Hah! Kau pikir kami takut pada jurus murahanmu itu?" Anak lelaki berbadan sedang dengan sebuah tahi lalat pada kiri hidungnya maju dan langsung menyerang Hua Fei secara serampangan. Suara pekikan keras terdengar dari arah arena perkelahian antara Hua Fei dan 6 orang anak buah Jing Yanxi. Seseorang terpental dari lingkaran perkelahian kecil dan 5 orang lainnya segera menghentikan gerakan penyerangan. "Genduuuuut!" Para pengikut Jing Yanxi yang lain berteriak histeris. Mereka semua terlihat berang setelah jatuhnya kawan mereka di tangan Hua Fei. "Majulah kalian semua jika ingin merasakan tinjuku ini!" Hua Fei mengepalkan tinjunya dengan sikap menantang yang dia buat seangkuh mungkin. Salah seorang dari mereka berteriak lantang, "Hua Fei, kamu benar-benar membela anak dari si pengkhianat ituuuu!" "Tidak usah banyak bicara!" Hua Fei membentak dan tidak memedulikan perkataan mereka, tentang ayah dari Jing Ling. Baginya, dia akan berada di garis depan saat saudaranya dalam bahaya. "Ay
"Jangan takut. Aku adalah Jing Shuang, orang yang menciptakan cincin ini." Jing Ling sedikit panik, merasa bahwa pendengarannya saat ini sedang tidak normal. Pandangan matanya terus tertuju ke arah bayangan berwujud manusia yang terjebak di gumpalan sinar merah yang tampak samar. "Sudah sangat lama aku terjebak di tempat ini, menunggu seseorang dari penerusku datang dan menemukanku." Suara anggun dan lembut itu kembali terdengar dengan jelas. Jing Ling terkejut. Ternyata, sinar berwujud manusia itu bisa berbicara? Dan dia mengaku bernama Jing Shuang? Tunggu! Bukankah itu adalah nama yang disebutkan oleh Jing Yue, ibunya? "Jing Shuang?" Jing Ling luar biasa terkejut. "Jadi, Anda adalah Jing Shuang, pencipta dan pemilik Cincin Segala Ruang ini?" "Benar. Itu aku." Leluhur Jing Shuang berbalik dengan anggun, jubahnya berkibar, dan sinar merah yang menyelimutinya seketika menghilang. Sekarang, wujud asli pria muda yang sangat menawan bak seorang kaisar langit terlihat jelas. W
"Bagaimana mungkin itu adalah benda yang rusak? Kamu cobalah sekali lagi, Ah Lin!" Hua Lin mencoba memberi semangat kepada keponakannya. "Semangat!""Baiklah. Aku akan mencobanya sekali lagi." Jing Ling mengangguk, kemudian kembali memfokuskan pikiran agar dapat terhubung dengan cincin segala ruang miliknya.Namun, masih tidak ada yang terjadi meskipun ia telah mencobanya hingga berulang kali.Jing Ling menarik napas sesaat dengan perasaan kecewa. "Tetap tidak bisa.""Aneh ... mengapa tetap tidak bisa?" Hua Fei juga tak mengerti.Jing Ling tak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan sekaligus rasa penasarannya.Ia menghadap kembali kepada sang ibu. "Ibu, aku tak bisa menggunakan cincin ini. Meskipun aku berusaha keras menyatukan pikiranku, tetapi aku tak bisa merasakan apa pun. Aku jadi berpikir kalau benda ini tidak berjodoh denganku, atau mungkin saja benda ini memang sudah rusak.""Itu tidak rusak. Tapi memang cincin milikmu itu sedikit berbeda dengan benda ruang milik Ah Fei dan Ah Li
Hua Fei melihat kantung di tangannya, mencoba menemukan rahasia yang tersembunyi dalam benda tersebut. Namun, tetap saja ia tak menemukan apa pun di sana."Ah Fei, kantung yang sekarang kamu pegang itu bernama Qian Cang Pao, kantung seribu ruang yang mampu memuat banyak benda-benda tanpa membebani pemiliknya." Jing Yue menjelaskan perihal kantung putih milik Hua Fei. "Selain dapat menyimpan benda-benda, kantung itu juga sangat kuat karena terbuat dari kepompong ulat sutra berusia seribu tahun."Hua Fei terkejut. "Kantung seribu ruang?""Ternyata itu adalah kantung seribu ruang yang sangat legendaris!" Hua Lin berseru disertai keterkejutan dan kekaguman. "Ah Fei, kamu sungguh beruntung bisa memiliki benda seperti itu."Hua Fei dan yang lainnya mulai berisik dengan decakan kagum. Ternyata benda yang dianggap kosong itu benar-benar merupakan benda istimewa.Wajah Hua Fei seketika secerah langit pagi. Sekarang, ia justru merasa takjub dan berterima kasih dalam hati atas pemberian Jing Yue
Dari kerutan alis matanya, jelas ada bayang-bayang kekecewaan Hua Fei yang tak bisa disembunyikan. Ekspresi wajah pemuda itu berubah muram dan matanya menyipit, seolah mencoba memahami sesuatu yang sedikit mengganggu.Tabib muda itu menarik napas panjang, perlahan mengembuskannya, mencoba menenangkan gejolak pertanyaan dalam benaknya.'Mungkin saja aku yang tidak seberuntung mereka berdua,' gumam Hua Fei, dalam hati.Ia melirik sekilas ke arah kedua keponakannya yang tengah sibuk dengan hadiahnya masing-masing. Perasaan tak menentu berkecamuk dalam dada Hua Fei.'Tapi ... mana mungkin Bibi tega mempermainkan aku?' pikir Hua Fei lagi. 'Atau mungkin ... ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bibi?'"Paman Kecil, kamu mendapatkan ikat pinggang!" Seruan Jing Ling membuat Hua Lin tersenyum tipis.Ia segera menghampiri untuk melihat lebih dekat ikat pinggang hitam yang sederhana tapi penuh keunikan. Sorot mata Jing Ling berbinar-binar, mengagumi bentuk sabuk hitam dengan gesper perak yang rumi
Jing Ling, Hua Fei dan Hua Lin menatap kantung kain di tangan Jing Yue. 'Apakah bibi menyiapkan bekal uang lagi?' Hua Fei membatin. 'Bukankah kami sudah mendapatkan biaya dari sekte?' 'Kakak Yue memberi kami kantung parfum?' Hua Lin mengira itu adalah kantung pengharum yang biasanya dipakai untuk menyamarkan bau badan tak sedap dengan aromanya. 'Aiyaa, kakak iparku ini mengapa aneh sekali?' Jing Ling akhirnya bertanya, "Ibu, itu adalah kantung kain yang akan diberikan kepada kami bertiga?" "Benar. Ini adalah hadiah dari kami yang sudah lama dipersiapkan untuk kalian." Jing Yue mengulurkan tangannya secara perlahan, memperlihatkan tiga kantung sachet yang terbuat dari kain satin, halus dan berkilau di bawah sinar matahari pagi. "Hadiah?" Ketiga tuan muda terperangah. "Untuk kami?" Hua Lin tak mengerti. "Ya. Ini memang untuk kalian." Jing Yue kembali mengulas senyum dan berkata, "Kami mengumpulkan semua benda ini sejak lama sebagai persiapan karena kami merasa sewaktu-waktu kal
Jing Ling tercekat. Hua Fei tertegun. Keduanya menatap Hua Lin dan Hua Feng secara bergantian dengan pandangan bingung. Mereka khawatir jika Hua Lin tak bisa menahan amarahnya. "Hua Feeeeeng!" Hua Lin berteriak, suaranya meledak di udara hingga membuat banyak orang terkejut. "Hua Feng, bagaimana kamu bisa seceroboh itu?" Hua Lin merasa frustrasi, sedangkan Hua Feng memasang ekspresi wajah sebodoh keledai dungu. Hua Lin ingin menangis, tetapi ia tak mungkin menangis di hadapan banyak orang, terlebih lagi hanya soal perbekalan yang masih bisa digunakan meskipun tidak kecil kemungkinan sudah hancur. Pemuda itu hanya bisa menatap dengan tatapan yang seakan hendak memangsa Hua Feng hidup-hidup. "Ma--ma ... maaf!" Napas Hua Feng masih tersengal, dadanya naik turun, tetapi tatapan tajam Hua Lin yang menusuk itu membuatnya seolah tercekik oleh rasa bersalah. Bagi Hua Feng, pandangan mata Hua Lin terlihat sangat mengerikan hingga udara panas dan perasaan dingin terus menari-nar
Di kejauhan, Jing Ling dan Hua Fei sudah berdiri menunggu di bawah pohon maple sembari menyaksikan kesibukan para pelayan. Mereka tampak siap untuk perjalanan panjang yang akan segera mereka tempuh.Sebenarnya, Hua Fei merasa ada suatu firasat aneh yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tetapi perasaan itu terus-menerus mengganggu pikirannya. Pemuda itu larut dalam diam hingga beberapa waktu dan hal tersebut dapat segera ditangkap oleh sang keponakan.Jing Ling menyiku lengan Hua Fei. "Eh, Kakak Fei, ada apa denganmu? Apakah kamu merasa tidak tega untuk pergi dari tempat ini, atau ....""Kakak Fei sedang merindukan Yunxi, adik sepupuku yang cantik jelita itu?" Jing Ling sengaja menggoda Hua Fei dengan mengungkit masalah Jing Yunxi. "Apa kamu sudah merasa rindu padanya bahkan sebelum kamu pergi?"Mendengar nama Jing Yunxi disebutkan, seketika darah Hua Fei terasa berdesir dingin, seolah-olah puluhan jarum tajam menusuk jantungnya. Sensasi perih itu merayap cepat, menyesakkan dadan
"Bodoh!" Sambil mengumpat, Hua Lin melayangkan satu tamparan secepat lesatan anak panah yang langsung menghantam pelipis Hua Feng."Aaah!" Hua Feng terpekik keras hingga beberapa orang menoleh ke arahnya. Hua Lin tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Ia lanjut mengomeli Hua Feng. "Tentu saja itu bukan jimat, melainkan sesuatu untuk menangkal bahaya kelaparan!"'Mengapa aku bertemu orang sebodoh dia?' Hua Lin merasa sial dalam hal ini.Hua Feng tak sempat mengelak. Pukulan itu tidak terlalu keras, tetapi cukup membuat tubuhnya terhuyung ke samping, hampir kehilangan keseimbangan.'Penangkal bahaya kelaparan, bukankah itu makanan?' pikir Hua Feng yang mulai mengerti maksud seniornya ini.Hua Feng mengusap pelipisnya yang sedikit memanas. Ia mengerang kesal. "Tuan Muda, kamu menyiksaku lagi!""Tuan Muda selalu saja begitu, padahal aku hanya bertanya, tapi Tuan Muda malah menindasku." Raut wajah Hua Feng berubah sedih, bibirnya mengerucut hingga ia tampak lucu. "Tuan Muda
"Maka saya akan mendesaknya!" Mu Lei tiba-tiba berkata tegas.Mu Lei adalah orang luar yang pernah diselamatkan oleh Hua Yan pada tragedi berdarah Suku Mu lima tahun lalu, saat terjadi pemberontakan salah satu kubu 'pakaian kotor' yang berselisih dengan kubu 'pakaian bersih' Suku Mu, dan itu membuatnya nyaris mati terpenggal.Namun, rupanya dewa mengirim Hua Yan pada waktu nyawanya sudah di ujung tanduk. Ia pun lolos dari kematian di mata pedang milik Mu Yan, pengkhianat Suku Mu, dan semua itu berkat pertolongan Hua Yan.Semenjak saat itu, ia bertekad untuk mengabdikan seluruh hidupnya demi membalas jasa kepada dewa penyelamatnya. Meskipun Hua Yan sudah membebaskan dan tidak mengungkit lagi tentang hal tersebut, Mu Lei tetap bersikeras untuk menjadi penjaga bagi Hua Yan dan keluarganya."Baiklah. Kita lihat saja nanti," Tetua Hua Lei yang bicara kali ini.Semua orang hanya bisa berharap kalau Hua Yan tidak keberatan dengan persiapan keamanan yang mereka lakukan kali ini.*****Sementa