"Ah Yue!" Tuan muda itu menjadi sangat panik karena keadaan wisma tersebut sangat sepi. "Ah Yueeeeee!"
"Ah Yue, buka pintunyaaaaa!" "Ah Yue! Ah Yueee, apa kamu dan Ah Ling baik-baik saja?" Pemuda itu berkali-kali mengetuk pintu rumah Jing Yue dengan terburu-buru. Namun, tak ada sahutan ataupun pintu yang dibuka dari dalam. Hal itu membuat pemuda itu semakin cemas dan merasa sangat penasaran. "Ah Yue! Maafkan aku, kalau aku sedikit mengganggumu. Aku hanya ingin memastikan keadaanmu!" Pria yang bersama sang tuan muda ikut memeriksa keadaan sekitar rumah yang sunyi. Lelaki itu berkata, "Tuan Muda, sepertinya tempat ini sepi. Mungkin, Nona Jing Yue sudah pergi dari sini." "Mungkin saja. Aku juga berharap demikian. Tapi, di mana dia?" Pria muda berpakaian hanfu biru itu tidak menemukan orang yang dicarinya. "Bagaimana, Tuan Muda Hua Yan?" tanya si pengawal yang tidak menemukan apa pun. "Sepertinya memang sepi. Kalau begitu, aku akan melihatnya ke dalam!" Hua Yan yang masih merasa penasaran disertai kecemasan. Pria muda berwajah tampan itu secara perlahan membuka pintu kediaman yang ternyata tidak dikunci sama sekali. "Tidak dikunci!" "Kalau begitu kita langsung masuk saja, Tuan Muda," ujar si pengawal. "Baiklah." Hua Yan menganggukkan kepala sambil mendorong pintu. Ia dan pengawalnya segera masuk dan berpencar ke segala arah untuk mencari keberadaan Jing Yue. "Tuan Muda, aku tidak menemukan apa pun. Tidak ada siapa-siapa di dalam wisma ini!" Pria pengawal melaporkan kepada Hua Yan yang merupakan kakak seperguruan dari Jing Yue. "Benar sekali. Memang tidak ada siapa pun!" sahut Hua Yan dengan perasaan masih diliputi kecemasan. "Kita cari ke tempat lain!" "Baiklah, Tuan Muda!" Si pengawal setuju. Mereka berdua terus mencari ke segala tempat sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke pusat kekacauan dan bergabung kembali dengan kelompok mereka. Pria muda tampan itu melangkahkan kaki di antara reruntuhan bangunan. Sesekali pula, ia menyibak puing-puing dan mendapati mayat-mayat dengan luka tikam sebuah senjata yang sangat tajam. Hua Yan bertanya-tanya sendiri dalam hati. "Siapa yang melakukan semua ini? Sungguh biadab sekali orang-orang yang melakukannya!" "Tuan Muda, sepertinya kita terlambat! Tidak ada satu pun dari orang-orang ini yang masih hidup!" Salah seorang pengawal berseru dari kejauhan sembari memeriksa beberapa tubuh mayat yang dia ketemukan. "Benarkah? Adakah di antara mereka, orang yang kamu kenal?" bertanya Hua Yan kepada para pengikutnya yang lain. "Mereka semua adalah para penjaga dan pelayan kediaman ini," jawab pria yang sedang meneliti para mayat. Hua Yan berbisik dalam hati. "Ah Yue, maafkan atas keterlambatanku kali ini!" "Tuan Muda, apakah yang akan kita lakukan sekarang?" bertanya salah seorang di antara pengikut Hua Yan. "Kalian semua, cepat padamkan api dan bantulah orang-orang itu mengurus mayat-mayat itu! Bagaimanapun juga, Ah Yue adalah adik seperguruanku. Membantunya adalah hal yang wajar." Hua Yan menjawab sekaligus memberi perintah. "Kalian bertindaklah! Aku akan mencari Ah Yue dan ayahnya. Aku masih merasa khawatir dengan keadaan mereka." "Siap laksanakan perintah, Tuan Muda!" Para pria pengikut Hua Yan membungkukkan badan sembari melakukan salam soja sebagai penghormatan. Mereka pun segera melaksanakan perintah dari sang tuan muda mereka. "Pergilah!" Hua Yan berkata sembari melesat pergi dengan menggunakan ilmu peringan tubuh. Tujuannya kali ini adalah kediaman Jing Zhao dan pada saat pemuda itu tiba di pelataran tempat tinggal kepala Keluarga Jing, dirinya sangat terkejut melihat Jing Yue sedang duduk bersimpuh sambil menangis di sisi mayat pria tua yang sangat dia kenal. "Paman Zhao!" Mata Hua Yan terbelalak lebar dengan mulut ternganga. "Pria itu, bukankah suaminya?" Hua Yan tidak ingin kedatangannya diketahui oleh pasangan suami istri yang terlihat dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik saja. Pemuda itu memutuskan menyembunyikan diri dengan sebuah ilmu menghilang yang bernama Ilmu Bulan Mati. Secara samar-samar Hua Yan mendengar pembicaraan suami istri yang sekarang tengah bersitegang di antara asap dan kobaran api yang mulai padam. "Ah Yue, jika dia berani menyakitimu. Maka akulah yang akan menjadi pembelamu. Bahkan jika aku harus bertarung dengan suamimu itu sekalipun!" Yan Hua berkata-kata sendiri dalam lingkup ruang bayang ilmunya. Tentu saja, setiap ucapan lelaki muda itu, tidak akan bisa didengar oleh siapa pun. "Ah Yue, maafkan aku! Aku terpaksa menyakitimu dan anak kita!" Jiu Wang dengan rasa bersalahnya berkata, "Ah Yue istriku! Sejujurnya, sejak pertama kali aku melihatmu. Aku benar-benar lupa pada tugas yang diberikan para tetua klan padaku. Di hadapanmu, aku juga telah lupa pada istri dan anakku yang lain!" "Ternyata dia memang sudah memiliki istri sebelum menikahiku," bisik Jing Yue dalam hati dengan kepedihan yang dalam. Jing Yue sekarang duduk bersimpuh di tengah puing-puing kediaman keluarganya yang telah hancur dan terbakar. Wanita yang masih merasa lemah akibat dari melahirkan itu pun hanya bisa menangis sesenggukan menahan kepedihan yang tiada tara. "Ah Yue, jika kelak ada hari saat kamu meminta pembalasan atas semua yang aku lakukan padamu itu tiba." Jiu Wang berkata penuh kepasrahan. "Maka aku melepaskan senjata dan tidak akan menggunakan semua ilmu." "Aku tak akan melawanmu dan aku akan menyerahkan nyawaku dengan suka rela, sebagai ganti atas penderitaan kalian!" Jiu Wang telah merelakan hidupnya untuk diambil oleh sang istri. Bagaimanapun juga, ia sangat menyesali semua tindakannya. "Untuk sekarang ini, aku harus pergi dan menyelesaikan hal lain. Ah Yue, aku pasti akan membayar semua utang ini!" Pergi? Setelah melakukan semua ini, ia ingin pergi begitu saja?" "Jiu Wang, jika kamu benar-benar pergi kali ini, maka, jangan harap anak ini memakai margamu untuk namanya! Dan jangan harap kamu mendengar suaranya untuk memanggilmu ayah!" Jing Yue berkata tegas sembari memeluk bayinya yang terus menangis. "Atau, kamu bunuh saja kami berdua malam ini, seperti kamu membantai seluruh Keluarga Jing!" Jing Yue berkata tajam. Suaranya memang pelan dan berat, tetapi ada tekanan amarah yang kuat di dalamnya. "Ah Yue, meskipun menumpas Keluarga Jing adalah misiku, tetapi aku tidak memiliki niat untuk membunuh istri dan anaku! Aku mencintaimu, Ah Yue! Aku mencintaimu hingga sudah tak terbilang berapa banyak pria yang aku bunuh hanya karena mereka mendaratkan pandangannya pada kecantikanmu!" Jiu Wang berkata dengan setengah terisak. "Aku juga sangat mencintainya!" Sepasang mata elang Jiu Wang yang telah sembab menatap kepada bayi lelakinya. Betapa manis dan mungilnya bayi itu, membuat hati lelaki itu sungguh merasa semakin tersayat. Jing Yue segera menyahut, "Omong kosong apa yang kamu bicarakan? Toh pada akhirnya, kamu tetap mengkhianati dan akan meninggalkan kami!" "Ah Yue, aku pun tak ingin melakukan semua ini! Aku juga terpaksa ... Ah Yue, aku memiliki alasan yang tak bisa kujelaskan padamu!" Jiu Wang merangkak ingin memeluk istri dan bayinya. "Jangan sentuh kami!""Jangan sentuh kami dengan tangan kotormu itu! Kamu telah membasuhnya dengan darah ayah dan juga saudara-saudaraku! Kamu pikirkan saja sekarang! Masih pantaskah kamu menyentuh kami berdua?" Jing Yue berteriak sembari menghindar. Dirinya sudah merasa teramat jijik dengan pria yang masih bergelar suaminya. "Ah Yue, maafkan aku! Aku juga sangat terpaksa melakukannyaaa! Keluargaku yang lain juga dalam ancaman. Aku!" "Aku ..." "Aaaaarrghhh! Haruskah aku meninggalkan mereka?" Jiu Wang yang sedang merasa sangat frustrasi akhirnya hanya bisa melampiaskan dengan berteriak setinggi gunung pencakar langit. "Mengapa tidak ada pilihan lain?" Jiu Wang lalu meremas-remas rambutnya sendiri dengan penuh penyesalan, kegeraman dan kemarahan yang bercampur menjadi satu. "Mengapaa aku disudutkan pada persoalan seperti ini?" "Mengapaaaaaa?" "Mengapa kamu bertanya padaku?" Melihat tingkah gila Jiu Wang, Jing Yue justru merasa semakin jijik dan ingin muntah. "Jika kamu pergi malam ini juga, maka sejak k
"Pergilah jika itu pilihanmu! Tapi ingatlah, setelah kau menginjakkan kakimu di luar tanah Keluarga Jing. Sejak itulah, kau bukan lagi suamiku!" Jing Yue berucap tanpa menoleh sedikit pun. "Kalau begitu, aku tidak akan pergi dari sisimu!" teriak Jiu Wang merasa sangat berat hati meninggalkan anak dan istrinya ini. "Aku tidak akan meninggalkanmu dan anak kita, Ah Yue!" "Tuan Muda, tuan muda kecil dan seluruh klan sudah menunggumu!" Salah seorang pengawal Keluarga Han mengingatkan sekali lagi. "Aaaaaaaarrgghh!" Sebuah jeritan panjang bernada tinggi dengan lambaran ilmu tenaga dalam terlepas dari mulut Jiu Wang. Para pengawal dari Keluarga Han pun harus berusaha keras menahan akibatnya. Darah segar seketika mengalir dari telinga dan hidung mereka. Para pria pengawal dari Keluarga Han saling memberi isyarat satu sama lain. Salah satu seorang dari mereka bergerak bangkit dan maju mendekati sang tuan muda. Pria itu memukul tengkuk Jiu Wang hingga tak sadarkan diri. "Maaf, Tuan Muda! Ta
17 tahun kemudian. Pada suatu hari yang cerah di Gunung Naga. Sinar mentari sudah tidak lagi menyengat, tetapi masih terasa cukup hangat di permukaan kulit. Cahayanya menembus hutan pinus di perbatasan perbukitan, menambah keelokan pemandangan di sana. Di padang rumput yang tak seberapa luas, seorang anak muda berlarian menerobos semak belukar dan kelebatan rumput ilalang. Dia bahkan tidak memedulikan kulit halus kaki-kaki kokohnya yang sesekali tergores oleh duri-duri dari tanaman liar hingga berdarah. Tampaknya, pemuda itu sedang memburu sesuatu. Anak muda itu berhenti di depan semak perdu yang cukup rimbun. Mata indah dengan iris birunya mengawasi suatu pergerakan kecil pada tumbuhan berumpun berdaun kecil, panjang dan memiliki warna hijau kekuningan. Mulut pemuda itu lirih bergumam, "Di mana dia? Bukankah tadi dia lari ke sini?" Suara gemerisik nan samar disertai desisan lembut telah menjatuhkan sepasang mata cantik itu mengalihkan perhatian pada sisi semak yang lain. Seutas
"Mengapa dia selalu saja tidak sabaran sekali?" Hua Fei hanya bisa menggelengkan kepalanya berulang kali. Dia berjalan menyusul saudara mudanya sembari menggendong keranjang milik Jing Ling. Di sepanjang perjalanan, mulut pemuda itu terus bergumam seperti sedang menghafalkan sesuatu. "Daun mongoose, minyak kelapa, minyak lavender, lalu ... apa lagi?" Hua Fei berjalan sembari membuka buku tentang pengobatan. "Mungkinkah batu giok hitam juga bisa untuk menyerap racun pada luka bekas gigitan ular?" "Mengisap racun dari bekas luka justru tidak diperbolehkan, karena racun bisa tertelan dan mengakibatkan hal yang sangat berbahaya bagi si pengisap." Hua Fei masih sibuk dengan buku metode penanganan pertama pada korban gigitan ular. Baru beberapa ratus langkah Hua Fei berjalan, dia dikejutkan oleh suara ramai orang-orang yang sedang tertawa. Anak muda itu lalu berlari-lari ke arah sumber suara keributan dan mendapati pemandangan yang membuatnya bukan hanya terkejut, tetapi juga merasa sang
"Apa kau bilang? Apakah aku sudah salah dengar?" Hua Fei yang menjadi tertawa kali ini. Hua Fei merasa sangat geli mendengar perkataan Jing Yanxi yang sedang mengunggulkan dirinya sendiri dan tidak pernah mau bersikap rendah hati kepada siapa pun. "Dan kurasa, seekor keledai bahkan masih lebih pintar darimu. Seekor katak pun kurasa tidak lebih rendah dari dirimu yang congkak itu!" "Beraninya kau mentertawakan tuan muda kami, Hua Fei!" Salah seorang anak buah Jing Yanxi berteriak. Dia sungguh sangat tidak terima sang tuan muda mereka dihina dan dikatai oleh seseorang yang bagi mereka, Hua Fei hanyalah anak tidak memiliki kemampuan apa pun selain daripada seorang kutu buku. "Minggir!" Hua Fei membentak sambil berlari menghampiri Jing Ling setelah menabrak tubuh Jing Yanxi dan mendorong salah seorang anak buah tuan muda Keluarga Jing hingga terjatuh. Pemuda itu berulang kali mengusap-usap pakaian saudaranya guna membersihkan debu dan kotoran lain yang menempel di tubuh sang adik kec
"Hah! Kau pikir kami takut pada jurus murahanmu itu?" Anak lelaki berbadan sedang dengan sebuah tahi lalat pada kiri hidungnya maju dan langsung menyerang Hua Fei secara serampangan. Suara pekikan keras terdengar dari arah arena perkelahian antara Hua Fei dan 6 orang anak buah Jing Yanxi. Seseorang terpental dari lingkaran perkelahian kecil dan 5 orang lainnya segera menghentikan gerakan penyerangan. "Genduuuuut!" Para pengikut Jing Yanxi yang lain berteriak histeris. Mereka semua terlihat berang setelah jatuhnya kawan mereka di tangan Hua Fei. "Majulah kalian semua jika ingin merasakan tinjuku ini!" Hua Fei mengepalkan tinjunya dengan sikap menantang yang dia buat seangkuh mungkin. Salah seorang dari mereka berteriak lantang, "Hua Fei, kamu benar-benar membela anak dari si pengkhianat ituuuu!" "Tidak usah banyak bicara!" Hua Fei membentak dan tidak memedulikan perkataan mereka, tentang ayah dari Jing Ling. Baginya, dia akan berada di garis depan saat saudaranya dalam bahaya. "Ay
"Tuan Muda Jing Yanxi yang terhormat Sepertinya, sekarang Anda sudah sangat nyaman berada di bawah kakiku ini." Jing Ling berucap sembari berkacak pinggang. "Bukankah tadi, kau yang ingin menjadikan kami berdua alas kaki?" "Ji-Jing Ling!" Jing Yanxi mendesis penuh kemarahan namun dia tak berdaya sama sekali. "Rasakan akibat dari kesombonganmu, Yanxi!" Jing Ling kembali tertawa sambil berkacak pinggang. Dia merasa puas bisa membalas sakit hatinya kepada anak dari Jing Cheng yang merupakan saudara sepupu lelaki Jing Yue ibunya. "Jing Ling, Aku akan membalasmu!" Jing Yanxi mendengus marah. Jing Ling merasa geli sehingga ia tertawa panjang dengan nada mengejek dan berkata, "Tuan Muda Jing yang terhormat. Seharusnya, sejak awal kamu pikirkan terlebih dahulu akibatnya. Kamu ini tidak lebih dari seorang pecundang yang tak akan pernah bisa mengalahkan seorang Jing Ling!" "A--aku masih be--belum kalah darimu, Jing Ling!" Jing Yanxi berusaha keras untuk bangkit dari tindasan adik sepupunya
"Kamu!" "Huh! Apa kamu pikir aku dengan takut dengan ancamanmu itu?" Jing Yunxi mencibirkan mulutnya ke arah Jing Yanxi. Jing Yanxi merasa sangat geram dalam hati atas sikap dan perbuatan adiknya. Namun, ia juga tak mungkin melawan para pengawal yang diutus oleh ayahnya yang tentu saja mereka memiliki kemampuan di atas dirinya. "Huh, selamat menikmati hasil dari perbuatanmu!" Jing Yunxi mencibirkan bibirnya ke arah punggung sang kakak. 'Berani mengusik calon suamiku, maka rasakan akibatnya nanti!' gumam Jing Yunxi dalam hati. Setelah kepergian Jing Yanxi, gadis itu beralih menatap kepada Hua Fei. "Kakak Fei! Kakak Fei tidak apa-apa?" Jing Yunxi berjongkok dan membantu Hua Fei untuk bangkit. Kecemasan membayang di kedua bola mata gadis cantik berpakaian serba merah saat melihat kondisi lelaki muda yang diam-diam dikaguminya ini tampak sangat tidak baik-baik saja. "Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir!" Hua Fei menyahut sambil menyeka darah di sudut bibir dengan menggunakan ujung
Hua Yan masih berdiri tegak di depan paviliun utama Sekte Lembah Berawan. Sorot matanya tajam, menatap barisan kereta barang yang tak kurang dari sepuluh gerbong kereta. Ia berpikir, sebenarnya ini hendak pelatihan ataukah hendak pergi bertamasya? Para tetua ini sungguh berlebihan!Di hadapannya, barisan pria berseragam lengkap berdiri dengan disiplin. Setiap dari mereka membawa senjata berkilauan dan bendera kebesaran sekte, sementara empat kereta kuda mewah, dihiasi ukiran naga dan burung hong, telah siap mengiringi perjalanannya.“Haruskah seperti ini?” gumam Hua Yan, setengah mengeluh sambil menepuk dahinya.Tetua Hua Ming, yang berdiri tak jauh darinya, melangkah maju. “Pemimpin besar, ini semua telah diatur dengan cermat. Kewibawaan sekte harus dijaga, terlebih saat Anda berangkat ke misi penting seperti ini.”Namun, Hua Yan mengibaskan tangannya. "Sekali lagi, aku dan anak-anak itu bukan akan berangkat ke medan perang, Tetua Hua Ming. Para tuan muda kita butuh belajar kesederh
Jing Ling memejamkan matanya saat merasa ada kilat energi dingin memasuki dahinya. Energi itu semula terasa dingin, tetapi kemudian menjadi hangat. "Ini disebut sebagai Mata Dewa. Dengan penglihatan ini, kamu bisa melihat berbagai macam hal yang sebelumnya tak bisa kamu lihat." Leluhur Jing Shuang berkata setelah menarik kembali jarinya dari dahi Jing Ling. "Kamu tinggal memfokuskan penglihatan dan pikiranmu ketika melihat sesuatu yang kamu anggap tidak biasa. Dan kamu akan segera mengetahui rahasia-rahasia yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa." "Mata Dewa?" Jing Ling membuka matanya, dan merasa penglihatannya menjadi semakin cemerlang. "Penglihatan Mata Dewa merupakan ilmu tingkat tinggi yang dipelajari dari Kitab Mata Dewa milik Keluarga Yu yang kutemukan dua ratus tahun lalu di peti mayat ahli waris yang tak diakui yang bernama Qing Yuan." Ada kesedihan dalam nada ucapan Leluhur Jing Shuang saat menyebutkan nama misterius ini. Jing Ling berpikir, 'Dua ratus tahun lalu ...
"Jangan takut. Aku adalah Jing Shuang, orang yang menciptakan cincin ini." Jing Ling sedikit panik, merasa bahwa pendengarannya saat ini sedang tidak normal. Pandangan matanya terus tertuju ke arah bayangan berwujud manusia yang terjebak di gumpalan sinar merah yang tampak samar. "Sudah sangat lama aku terjebak di tempat ini, menunggu seseorang dari penerusku datang dan menemukanku." Suara anggun dan lembut itu kembali terdengar dengan jelas. Jing Ling terkejut. Ternyata, sinar berwujud manusia itu bisa berbicara? Dan dia mengaku bernama Jing Shuang? Tunggu! Bukankah itu adalah nama yang disebutkan oleh Jing Yue, ibunya? "Jing Shuang?" Jing Ling luar biasa terkejut. "Jadi, Anda adalah Jing Shuang, pencipta dan pemilik Cincin Segala Ruang ini?" "Benar. Itu aku." Leluhur Jing Shuang berbalik dengan anggun, jubahnya berkibar, dan sinar merah yang menyelimutinya seketika menghilang. Sekarang, wujud asli pria muda yang sangat menawan bak seorang kaisar langit terlihat jelas. W
"Bagaimana mungkin itu adalah benda yang rusak? Kamu cobalah sekali lagi, Ah Lin!" Hua Lin mencoba memberi semangat kepada keponakannya. "Semangat!""Baiklah. Aku akan mencobanya sekali lagi." Jing Ling mengangguk, kemudian kembali memfokuskan pikiran agar dapat terhubung dengan cincin segala ruang miliknya.Namun, masih tidak ada yang terjadi meskipun ia telah mencobanya hingga berulang kali.Jing Ling menarik napas sesaat dengan perasaan kecewa. "Tetap tidak bisa.""Aneh ... mengapa tetap tidak bisa?" Hua Fei juga tak mengerti.Jing Ling tak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan sekaligus rasa penasarannya.Ia menghadap kembali kepada sang ibu. "Ibu, aku tak bisa menggunakan cincin ini. Meskipun aku berusaha keras menyatukan pikiranku, tetapi aku tak bisa merasakan apa pun. Aku jadi berpikir kalau benda ini tidak berjodoh denganku, atau mungkin saja benda ini memang sudah rusak.""Itu tidak rusak. Tapi memang cincin milikmu itu sedikit berbeda dengan benda ruang milik Ah Fei dan Ah Li
Hua Fei melihat kantung di tangannya, mencoba menemukan rahasia yang tersembunyi dalam benda tersebut. Namun, tetap saja ia tak menemukan apa pun di sana."Ah Fei, kantung yang sekarang kamu pegang itu bernama Qian Cang Pao, kantung seribu ruang yang mampu memuat banyak benda-benda tanpa membebani pemiliknya." Jing Yue menjelaskan perihal kantung putih milik Hua Fei. "Selain dapat menyimpan benda-benda, kantung itu juga sangat kuat karena terbuat dari kepompong ulat sutra berusia seribu tahun."Hua Fei terkejut. "Kantung seribu ruang?""Ternyata itu adalah kantung seribu ruang yang sangat legendaris!" Hua Lin berseru disertai keterkejutan dan kekaguman. "Ah Fei, kamu sungguh beruntung bisa memiliki benda seperti itu."Hua Fei dan yang lainnya mulai berisik dengan decakan kagum. Ternyata benda yang dianggap kosong itu benar-benar merupakan benda istimewa.Wajah Hua Fei seketika secerah langit pagi. Sekarang, ia justru merasa takjub dan berterima kasih dalam hati atas pemberian Jing Yue
Dari kerutan alis matanya, jelas ada bayang-bayang kekecewaan Hua Fei yang tak bisa disembunyikan. Ekspresi wajah pemuda itu berubah muram dan matanya menyipit, seolah mencoba memahami sesuatu yang sedikit mengganggu.Tabib muda itu menarik napas panjang, perlahan mengembuskannya, mencoba menenangkan gejolak pertanyaan dalam benaknya.'Mungkin saja aku yang tidak seberuntung mereka berdua,' gumam Hua Fei, dalam hati.Ia melirik sekilas ke arah kedua keponakannya yang tengah sibuk dengan hadiahnya masing-masing. Perasaan tak menentu berkecamuk dalam dada Hua Fei.'Tapi ... mana mungkin Bibi tega mempermainkan aku?' pikir Hua Fei lagi. 'Atau mungkin ... ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bibi?'"Paman Kecil, kamu mendapatkan ikat pinggang!" Seruan Jing Ling membuat Hua Lin tersenyum tipis.Ia segera menghampiri untuk melihat lebih dekat ikat pinggang hitam yang sederhana tapi penuh keunikan. Sorot mata Jing Ling berbinar-binar, mengagumi bentuk sabuk hitam dengan gesper perak yang rumi
Jing Ling, Hua Fei dan Hua Lin menatap kantung kain di tangan Jing Yue. 'Apakah bibi menyiapkan bekal uang lagi?' Hua Fei membatin. 'Bukankah kami sudah mendapatkan biaya dari sekte?' 'Kakak Yue memberi kami kantung parfum?' Hua Lin mengira itu adalah kantung pengharum yang biasanya dipakai untuk menyamarkan bau badan tak sedap dengan aromanya. 'Aiyaa, kakak iparku ini mengapa aneh sekali?' Jing Ling akhirnya bertanya, "Ibu, itu adalah kantung kain yang akan diberikan kepada kami bertiga?" "Benar. Ini adalah hadiah dari kami yang sudah lama dipersiapkan untuk kalian." Jing Yue mengulurkan tangannya secara perlahan, memperlihatkan tiga kantung sachet yang terbuat dari kain satin, halus dan berkilau di bawah sinar matahari pagi. "Hadiah?" Ketiga tuan muda terperangah. "Untuk kami?" Hua Lin tak mengerti. "Ya. Ini memang untuk kalian." Jing Yue kembali mengulas senyum dan berkata, "Kami mengumpulkan semua benda ini sejak lama sebagai persiapan karena kami merasa sewaktu-waktu kal
Jing Ling tercekat. Hua Fei tertegun. Keduanya menatap Hua Lin dan Hua Feng secara bergantian dengan pandangan bingung. Mereka khawatir jika Hua Lin tak bisa menahan amarahnya. "Hua Feeeeeng!" Hua Lin berteriak, suaranya meledak di udara hingga membuat banyak orang terkejut. "Hua Feng, bagaimana kamu bisa seceroboh itu?" Hua Lin merasa frustrasi, sedangkan Hua Feng memasang ekspresi wajah sebodoh keledai dungu. Hua Lin ingin menangis, tetapi ia tak mungkin menangis di hadapan banyak orang, terlebih lagi hanya soal perbekalan yang masih bisa digunakan meskipun tidak kecil kemungkinan sudah hancur. Pemuda itu hanya bisa menatap dengan tatapan yang seakan hendak memangsa Hua Feng hidup-hidup. "Ma--ma ... maaf!" Napas Hua Feng masih tersengal, dadanya naik turun, tetapi tatapan tajam Hua Lin yang menusuk itu membuatnya seolah tercekik oleh rasa bersalah. Bagi Hua Feng, pandangan mata Hua Lin terlihat sangat mengerikan hingga udara panas dan perasaan dingin terus menari-nar
Di kejauhan, Jing Ling dan Hua Fei sudah berdiri menunggu di bawah pohon maple sembari menyaksikan kesibukan para pelayan. Mereka tampak siap untuk perjalanan panjang yang akan segera mereka tempuh.Sebenarnya, Hua Fei merasa ada suatu firasat aneh yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tetapi perasaan itu terus-menerus mengganggu pikirannya. Pemuda itu larut dalam diam hingga beberapa waktu dan hal tersebut dapat segera ditangkap oleh sang keponakan.Jing Ling menyiku lengan Hua Fei. "Eh, Kakak Fei, ada apa denganmu? Apakah kamu merasa tidak tega untuk pergi dari tempat ini, atau ....""Kakak Fei sedang merindukan Yunxi, adik sepupuku yang cantik jelita itu?" Jing Ling sengaja menggoda Hua Fei dengan mengungkit masalah Jing Yunxi. "Apa kamu sudah merasa rindu padanya bahkan sebelum kamu pergi?"Mendengar nama Jing Yunxi disebutkan, seketika darah Hua Fei terasa berdesir dingin, seolah-olah puluhan jarum tajam menusuk jantungnya. Sensasi perih itu merayap cepat, menyesakkan dadan