"Tuan Muda Jing Yanxi yang terhormat Sepertinya, sekarang Anda sudah sangat nyaman berada di bawah kakiku ini." Jing Ling berucap sembari berkacak pinggang. "Bukankah tadi, kau yang ingin menjadikan kami berdua alas kaki?" "Ji-Jing Ling!" Jing Yanxi mendesis penuh kemarahan namun dia tak berdaya sama sekali. "Rasakan akibat dari kesombonganmu, Yanxi!" Jing Ling kembali tertawa sambil berkacak pinggang. Dia merasa puas bisa membalas sakit hatinya kepada anak dari Jing Cheng yang merupakan saudara sepupu lelaki Jing Yue ibunya. "Jing Ling, Aku akan membalasmu!" Jing Yanxi mendengus marah. Jing Ling merasa geli sehingga ia tertawa panjang dengan nada mengejek dan berkata, "Tuan Muda Jing yang terhormat. Seharusnya, sejak awal kamu pikirkan terlebih dahulu akibatnya. Kamu ini tidak lebih dari seorang pecundang yang tak akan pernah bisa mengalahkan seorang Jing Ling!" "A--aku masih be--belum kalah darimu, Jing Ling!" Jing Yanxi berusaha keras untuk bangkit dari tindasan adik sepupunya
"Kamu!" "Huh! Apa kamu pikir aku dengan takut dengan ancamanmu itu?" Jing Yunxi mencibirkan mulutnya ke arah Jing Yanxi. Jing Yanxi merasa sangat geram dalam hati atas sikap dan perbuatan adiknya. Namun, ia juga tak mungkin melawan para pengawal yang diutus oleh ayahnya yang tentu saja mereka memiliki kemampuan di atas dirinya. "Huh, selamat menikmati hasil dari perbuatanmu!" Jing Yunxi mencibirkan bibirnya ke arah punggung sang kakak. 'Berani mengusik calon suamiku, maka rasakan akibatnya nanti!' gumam Jing Yunxi dalam hati. Setelah kepergian Jing Yanxi, gadis itu beralih menatap kepada Hua Fei. "Kakak Fei! Kakak Fei tidak apa-apa?" Jing Yunxi berjongkok dan membantu Hua Fei untuk bangkit. Kecemasan membayang di kedua bola mata gadis cantik berpakaian serba merah saat melihat kondisi lelaki muda yang diam-diam dikaguminya ini tampak sangat tidak baik-baik saja. "Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir!" Hua Fei menyahut sambil menyeka darah di sudut bibir dengan menggunakan ujung
"Bagaimana ini? Apakah kami tidak akan bisa lolos ke tahap selanjutnya?" Mereka butuh waktu selama enam bulan untuk bisa memasuki ujian tahap lanjut pada kelas racun di Sekte Lembah Berawan. Meskipun dirinya dan Jing Ling adalah para calon ketua sekte yang akan datang, tetapi mereka berdua harus tetap menjalani pembelajaran sesuai peraturan sekte yang telah diterapkan. Terlebih lagi, mereka murid pribadi dari Hua Yan sang ketua sekte. "Kakak Fei, maaf! Kami tidak tahu, betapa berartinya mereka untuk kalian berdua." Jing Yunxi berucap dengan nada lirih penuh penyesalan. "Kalau saja kami tahu bahwa mereka sudah dilumpuhkan, mungkin kami tidak akan membunuh mereka semua. Kakak Fei ... maaf!" "Sudahlah. Lagi pula nasi sudah menjadi bubur. Aku juga mengerti dengan ketakutan kalian," ucap Hua Fei dengan tenang. Raut wajahnya tidak menunjukkan sedikit pun rasa dendam atau pun benci. Hal itulah yang membuat Jing Yunxi menjadi semakin menaruh simpati yang kian mendalam pada anak lelaki ini.
"Nona, bukankah itu memang tidak pantas?" Suara seorang pria muda lain terdengar dari bawah sebatang pohon pucuk merah yang rimbun dan rindang. "Sebaiknya, sekarang kamu segera pulang saja!" "Itu bukan urusanmu aku mau di mana!" Jing Yunxi menyahut dengan nada acuh tak acuh pada seorang lelaki muda yang sedang berdiri bersandar pada batang pohon tersebut. "Heh! Mau apa kamu ke mari?" Anak muda yang baru saja datang tampak sangat acuh tak acuh kepada gadis cantik ini. Jika dilihat dari sikap keduanya, mereka terlihat sama-sama tidak saling menyukai. Meski demikian, para pengawal wanita yang datang bersama dengan Jing Yunxi pun tetap memberi hormat kepada lelaki muda tersebut. "Bukankah seharusnya aku yang bertanya padamu, sedang apa kamu di sini?" Sepertinya, anak itu sudah berada di sana cukup lama. Namun, dia terlihat enggan mendekati Jing Yunxi. "Seorang gadis mencari laki-laki. Bukankah itu sangat tidak pantas?" Jing Yunxi yang mulai geram itu pun, akhirnya membentak, "Diam kamu
"Apa?" Jing Yue yang tengah menyiapkan makanan untuk anak-anaknya merasa sangat terkejut, saat pendengarannya menangkap nama anak lelakinya disebut. Wanita itu berlari secepat kijang menuju ke arah sumber suara keributan. "Ah Ling, ada apa dengan anakku?" "Nyonyaaa! Tuan muda, Nyonyaaa!" Dari kejauhan Seorang pelayang wanita datang dengan berlari-lari hingga napasnya bagai hendak terputus. Jing Yue bergegas menghampiri wanita pelayan kediamannya. "Ada apa dengan Ah Ling?" "Nyo--Nyo ... Nyonya!" "Ah Ruo, katakan ada apa?" Jing Yue semakin merasa penasaran, hingga dia mendesak wanita yang sedang terengah-engah sembari memegangi dadanya. Su Ruo berusaha keras mengatur pernapasannya yang kacau dan terengah-engah. "Tu--tuan muda pi--pingsan!" "Apa?" Jing Yue terkejut bukan buatan. "Pingsan? Ah Lingku pingsan?" Su Ruo menganggukan kepalanya dengan wajah cemas. "Benar, Nyonya. Para pengawal dari Keluarga Jing yang membawa Tuan Muda Jing Ling." "Pengawal Keluarga Jing? Bukankah itu ar
Jing Ling merasa senang akan semua doa yang diucapkan oleh ibunya, meski dalam hati kecilnya dia berucap, "Banyak sekali doa ibuku. Apakah semua akan terwujud?" "Benarkah itu, Ibu?" bertanya Jing Ling yang masih dalam pelukan ibunya. Dia sungguh berharap, jika doa ibunya akan benar-benar terwujud. "Tentu saja itu benar. Doa baik seorang ibu untuk anaknya, pasti akan terkabul!" Jing Yue menjawab dengan penuh keyakinan, dia membelai rambut Jing Ling yang hitam, lebat, lurus dan panjang. Namun, dalam hati Jing Yue berkata, "Aku harus mengadakan perhitungan dengan pria itu! Apakah dia benar-benar tidak bisa menjaga anaknya, supaya bisa sedikit bersikap baik kepada kami? Benar-benar tidak bisa dibiarkan!" Pada saat itu juga, tiba-tiba Jing Yue teringat kepada dua tuan muda lainnya. "Ah Fei dan Ah Lin! Di mana mereka?" "Kak Fei?" Sebarisan orang berseragam pengawal Keluarga Jing berjalan mengiringi Jing Yanxi sang tuan muda mereka. Barisan tersebut bergegas mengawal anak pertama dari
"Ibumu?" Jing Feng terlihat terkejut dengan kejujuran anaknya ini. Pria itu bergumam dalam hati. 'Jia Yan yang bercerita pada anak ini?' 'Jadi, sesungguhnya dia masih menyimpan perasaan dendam pada Pendekar Dewa Mabuk itu?' Jing Cheng terlihat serius kali ini. 'Tidak bisa terus dibiarkan! Hal ini akan merusak hubunganku dengan Ah Yue dan Hua Yan!' "Mengapa harus kamu dengarkan cerita ibumu? Bahkan kalau itu adalah hal yang benar, tidak seharusnya kamu ikut campur urusan mereka!" Jing Cheng berusaha menasehati sang anak. "Sekarang kamu harus menghadap pada Bibi Yue dan meminta maaf kepada mereka!" "Aku tidak mau!" Jing Yanxi berteriak dengan suara lantang. "Lancang!" Jing Cheng membentak dengan suara tinggi penuh kemarahan. "Ayah! Pokoknya aku hanya tidak ingin bergaul dengan anak seperti dia! Dia bahkan tak lebih baik dari seekor keledai!" Jing Yanxi menyahut perkataan sang ayah dengan tanpa ragu. "Dia hanya anak lemah yang tidak akan pernah bisa mengalahkan aku!" "Maaf, Ayah!
"Tenanglah, Ah Lin! Kakak tidak akan marah pada mereka. Justru kakak akan menuntut pertanggungjawaban Jing Cheng atas apa yang telah dilakukan oleh anaknya." Jing Yue berbicara sambil menahan perasaan marah namun tetap berusaha tenang di hadapan pria muda ini. "Kakak akan menuntut keadilan untuk kalian!" "Tapi, Bibi!" Hua Fei merasa keberatan dengan niat Jing Yue. "Tapi, Bibi. Aku khawatir nantinya dia akan menjadi lebih mendendam kepada kami dan Adik Ling yang terus ditindas oleh pemuda itu," sahut Hua Fei yang merasa keberatan dengan rencana Jing Yue. "Ah Fei, kalau pemuda manja dan sombong seperti si pongah itu tidak diberi pelajaran, mungkin dia akan terus menindas siapa saja dengan sesuka hati. Kau ingatlah tentang Nona Xiao Lu! Dia juga kerap ditindas olehnya!" Hua Fei bergumam, "Nona Xiao Lu ...." Hua Fei masih ingat dengan sangat baik nasib nona bertubuh gemuk yang selalu mengejar-ngejar Jing Yanxi. Gadis itu selalu menerima hinaan dari pria muda yang disukainya. Namun, X
"Jangan takut. Aku adalah Jing Shuang, orang yang menciptakan cincin ini." Jing Ling sedikit panik, merasa bahwa pendengarannya saat ini sedang tidak normal. Pandangan matanya terus tertuju ke arah bayangan berwujud manusia yang terjebak di gumpalan sinar merah yang tampak samar. "Sudah sangat lama aku terjebak di tempat ini, menunggu seseorang dari penerusku datang dan menemukanku." Suara anggun dan lembut itu kembali terdengar dengan jelas. Jing Ling terkejut. Ternyata, sinar berwujud manusia itu bisa berbicara? Dan dia mengaku bernama Jing Shuang? Tunggu! Bukankah itu adalah nama yang disebutkan oleh Jing Yue, ibunya? "Jing Shuang?" Jing Ling luar biasa terkejut. "Jadi, Anda adalah Jing Shuang, pencipta dan pemilik Cincin Segala Ruang ini?" "Benar. Itu aku." Leluhur Jing Shuang berbalik dengan anggun, jubahnya berkibar, dan sinar merah yang menyelimutinya seketika menghilang. Sekarang, wujud asli pria muda yang sangat menawan bak seorang kaisar langit terlihat jelas. W
"Bagaimana mungkin itu adalah benda yang rusak? Kamu cobalah sekali lagi, Ah Lin!" Hua Lin mencoba memberi semangat kepada keponakannya. "Semangat!""Baiklah. Aku akan mencobanya sekali lagi." Jing Ling mengangguk, kemudian kembali memfokuskan pikiran agar dapat terhubung dengan cincin segala ruang miliknya.Namun, masih tidak ada yang terjadi meskipun ia telah mencobanya hingga berulang kali.Jing Ling menarik napas sesaat dengan perasaan kecewa. "Tetap tidak bisa.""Aneh ... mengapa tetap tidak bisa?" Hua Fei juga tak mengerti.Jing Ling tak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan sekaligus rasa penasarannya.Ia menghadap kembali kepada sang ibu. "Ibu, aku tak bisa menggunakan cincin ini. Meskipun aku berusaha keras menyatukan pikiranku, tetapi aku tak bisa merasakan apa pun. Aku jadi berpikir kalau benda ini tidak berjodoh denganku, atau mungkin saja benda ini memang sudah rusak.""Itu tidak rusak. Tapi memang cincin milikmu itu sedikit berbeda dengan benda ruang milik Ah Fei dan Ah Li
Hua Fei melihat kantung di tangannya, mencoba menemukan rahasia yang tersembunyi dalam benda tersebut. Namun, tetap saja ia tak menemukan apa pun di sana."Ah Fei, kantung yang sekarang kamu pegang itu bernama Qian Cang Pao, kantung seribu ruang yang mampu memuat banyak benda-benda tanpa membebani pemiliknya." Jing Yue menjelaskan perihal kantung putih milik Hua Fei. "Selain dapat menyimpan benda-benda, kantung itu juga sangat kuat karena terbuat dari kepompong ulat sutra berusia seribu tahun."Hua Fei terkejut. "Kantung seribu ruang?""Ternyata itu adalah kantung seribu ruang yang sangat legendaris!" Hua Lin berseru disertai keterkejutan dan kekaguman. "Ah Fei, kamu sungguh beruntung bisa memiliki benda seperti itu."Hua Fei dan yang lainnya mulai berisik dengan decakan kagum. Ternyata benda yang dianggap kosong itu benar-benar merupakan benda istimewa.Wajah Hua Fei seketika secerah langit pagi. Sekarang, ia justru merasa takjub dan berterima kasih dalam hati atas pemberian Jing Yue
Dari kerutan alis matanya, jelas ada bayang-bayang kekecewaan Hua Fei yang tak bisa disembunyikan. Ekspresi wajah pemuda itu berubah muram dan matanya menyipit, seolah mencoba memahami sesuatu yang sedikit mengganggu.Tabib muda itu menarik napas panjang, perlahan mengembuskannya, mencoba menenangkan gejolak pertanyaan dalam benaknya.'Mungkin saja aku yang tidak seberuntung mereka berdua,' gumam Hua Fei, dalam hati.Ia melirik sekilas ke arah kedua keponakannya yang tengah sibuk dengan hadiahnya masing-masing. Perasaan tak menentu berkecamuk dalam dada Hua Fei.'Tapi ... mana mungkin Bibi tega mempermainkan aku?' pikir Hua Fei lagi. 'Atau mungkin ... ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bibi?'"Paman Kecil, kamu mendapatkan ikat pinggang!" Seruan Jing Ling membuat Hua Lin tersenyum tipis.Ia segera menghampiri untuk melihat lebih dekat ikat pinggang hitam yang sederhana tapi penuh keunikan. Sorot mata Jing Ling berbinar-binar, mengagumi bentuk sabuk hitam dengan gesper perak yang rumi
Jing Ling, Hua Fei dan Hua Lin menatap kantung kain di tangan Jing Yue. 'Apakah bibi menyiapkan bekal uang lagi?' Hua Fei membatin. 'Bukankah kami sudah mendapatkan biaya dari sekte?' 'Kakak Yue memberi kami kantung parfum?' Hua Lin mengira itu adalah kantung pengharum yang biasanya dipakai untuk menyamarkan bau badan tak sedap dengan aromanya. 'Aiyaa, kakak iparku ini mengapa aneh sekali?' Jing Ling akhirnya bertanya, "Ibu, itu adalah kantung kain yang akan diberikan kepada kami bertiga?" "Benar. Ini adalah hadiah dari kami yang sudah lama dipersiapkan untuk kalian." Jing Yue mengulurkan tangannya secara perlahan, memperlihatkan tiga kantung sachet yang terbuat dari kain satin, halus dan berkilau di bawah sinar matahari pagi. "Hadiah?" Ketiga tuan muda terperangah. "Untuk kami?" Hua Lin tak mengerti. "Ya. Ini memang untuk kalian." Jing Yue kembali mengulas senyum dan berkata, "Kami mengumpulkan semua benda ini sejak lama sebagai persiapan karena kami merasa sewaktu-waktu kal
Jing Ling tercekat. Hua Fei tertegun. Keduanya menatap Hua Lin dan Hua Feng secara bergantian dengan pandangan bingung. Mereka khawatir jika Hua Lin tak bisa menahan amarahnya. "Hua Feeeeeng!" Hua Lin berteriak, suaranya meledak di udara hingga membuat banyak orang terkejut. "Hua Feng, bagaimana kamu bisa seceroboh itu?" Hua Lin merasa frustrasi, sedangkan Hua Feng memasang ekspresi wajah sebodoh keledai dungu. Hua Lin ingin menangis, tetapi ia tak mungkin menangis di hadapan banyak orang, terlebih lagi hanya soal perbekalan yang masih bisa digunakan meskipun tidak kecil kemungkinan sudah hancur. Pemuda itu hanya bisa menatap dengan tatapan yang seakan hendak memangsa Hua Feng hidup-hidup. "Ma--ma ... maaf!" Napas Hua Feng masih tersengal, dadanya naik turun, tetapi tatapan tajam Hua Lin yang menusuk itu membuatnya seolah tercekik oleh rasa bersalah. Bagi Hua Feng, pandangan mata Hua Lin terlihat sangat mengerikan hingga udara panas dan perasaan dingin terus menari-nar
Di kejauhan, Jing Ling dan Hua Fei sudah berdiri menunggu di bawah pohon maple sembari menyaksikan kesibukan para pelayan. Mereka tampak siap untuk perjalanan panjang yang akan segera mereka tempuh.Sebenarnya, Hua Fei merasa ada suatu firasat aneh yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tetapi perasaan itu terus-menerus mengganggu pikirannya. Pemuda itu larut dalam diam hingga beberapa waktu dan hal tersebut dapat segera ditangkap oleh sang keponakan.Jing Ling menyiku lengan Hua Fei. "Eh, Kakak Fei, ada apa denganmu? Apakah kamu merasa tidak tega untuk pergi dari tempat ini, atau ....""Kakak Fei sedang merindukan Yunxi, adik sepupuku yang cantik jelita itu?" Jing Ling sengaja menggoda Hua Fei dengan mengungkit masalah Jing Yunxi. "Apa kamu sudah merasa rindu padanya bahkan sebelum kamu pergi?"Mendengar nama Jing Yunxi disebutkan, seketika darah Hua Fei terasa berdesir dingin, seolah-olah puluhan jarum tajam menusuk jantungnya. Sensasi perih itu merayap cepat, menyesakkan dadan
"Bodoh!" Sambil mengumpat, Hua Lin melayangkan satu tamparan secepat lesatan anak panah yang langsung menghantam pelipis Hua Feng."Aaah!" Hua Feng terpekik keras hingga beberapa orang menoleh ke arahnya. Hua Lin tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Ia lanjut mengomeli Hua Feng. "Tentu saja itu bukan jimat, melainkan sesuatu untuk menangkal bahaya kelaparan!"'Mengapa aku bertemu orang sebodoh dia?' Hua Lin merasa sial dalam hal ini.Hua Feng tak sempat mengelak. Pukulan itu tidak terlalu keras, tetapi cukup membuat tubuhnya terhuyung ke samping, hampir kehilangan keseimbangan.'Penangkal bahaya kelaparan, bukankah itu makanan?' pikir Hua Feng yang mulai mengerti maksud seniornya ini.Hua Feng mengusap pelipisnya yang sedikit memanas. Ia mengerang kesal. "Tuan Muda, kamu menyiksaku lagi!""Tuan Muda selalu saja begitu, padahal aku hanya bertanya, tapi Tuan Muda malah menindasku." Raut wajah Hua Feng berubah sedih, bibirnya mengerucut hingga ia tampak lucu. "Tuan Muda
"Maka saya akan mendesaknya!" Mu Lei tiba-tiba berkata tegas.Mu Lei adalah orang luar yang pernah diselamatkan oleh Hua Yan pada tragedi berdarah Suku Mu lima tahun lalu, saat terjadi pemberontakan salah satu kubu 'pakaian kotor' yang berselisih dengan kubu 'pakaian bersih' Suku Mu, dan itu membuatnya nyaris mati terpenggal.Namun, rupanya dewa mengirim Hua Yan pada waktu nyawanya sudah di ujung tanduk. Ia pun lolos dari kematian di mata pedang milik Mu Yan, pengkhianat Suku Mu, dan semua itu berkat pertolongan Hua Yan.Semenjak saat itu, ia bertekad untuk mengabdikan seluruh hidupnya demi membalas jasa kepada dewa penyelamatnya. Meskipun Hua Yan sudah membebaskan dan tidak mengungkit lagi tentang hal tersebut, Mu Lei tetap bersikeras untuk menjadi penjaga bagi Hua Yan dan keluarganya."Baiklah. Kita lihat saja nanti," Tetua Hua Lei yang bicara kali ini.Semua orang hanya bisa berharap kalau Hua Yan tidak keberatan dengan persiapan keamanan yang mereka lakukan kali ini.*****Sementa