"Jangan sentuh kami dengan tangan kotormu itu! Kamu telah membasuhnya dengan darah ayah dan juga saudara-saudaraku! Kamu pikirkan saja sekarang! Masih pantaskah kamu menyentuh kami berdua?" Jing Yue berteriak sembari menghindar. Dirinya sudah merasa teramat jijik dengan pria yang masih bergelar suaminya.
"Ah Yue, maafkan aku! Aku juga sangat terpaksa melakukannyaaa! Keluargaku yang lain juga dalam ancaman. Aku!" "Aku ..." "Aaaaarrghhh! Haruskah aku meninggalkan mereka?" Jiu Wang yang sedang merasa sangat frustrasi akhirnya hanya bisa melampiaskan dengan berteriak setinggi gunung pencakar langit. "Mengapa tidak ada pilihan lain?" Jiu Wang lalu meremas-remas rambutnya sendiri dengan penuh penyesalan, kegeraman dan kemarahan yang bercampur menjadi satu. "Mengapaa aku disudutkan pada persoalan seperti ini?" "Mengapaaaaaa?" "Mengapa kamu bertanya padaku?" Melihat tingkah gila Jiu Wang, Jing Yue justru merasa semakin jijik dan ingin muntah. "Jika kamu pergi malam ini juga, maka sejak kamu melangkah keluar dari tanah kediaman ini. Aku, Jing Yue ini, mulai sekarang, aku sudah bukan istrimu lagi!" "Camkan itu dan jangan pernah berharap kamu bisa melihat anak ini tumbuh dengan menggunakan nama margamu!" Jing Yue memeluk bayinya dan menatap pria kecil dalam bedong merah itu dan berkata tegas, "Selain itu, aku tak akan pernah membiarkan dia mengetahui siapa ayahnya!" "Ah Yue, jangan lakukan itu. Kumohon padamu sekali lagi, jangan korbankan anak kita!" Jiu Wang lalu berlutut dan menjura hingga beberapa kali di hadapan istrinya. "Ah Yue, jangan pernah sekalipun meminta perpisahan dariku! Setelah kuselesaikan masalahku dengan Klan Wen, aku akan menjemputmu dan anak kita!" seru Jiu Wang dengan harapan hati istrinya akan luluh. "Tolong, jangan membuatku semakin dilema dan memilih hal yang tak bisa aku pilih!" "Tidak!" Jing Yue berteriak mengancam setelah berhasil menarik sebilah belati pendek dari pinggangnya. "Aku tidak mau hidup dengan pembunuh keluargaku! Kamu harus melepaskan statusku sebagai istrimu, atau aku akan membunuh anak ini dan juga diriku sendiri setelahnya?" Wanita itu menempelkan ujung belati di perut bayi lelaki, seolah benar-benar akan menusuknya. Jing Yue menatap Jiu Wang dengan pandangan sinis, lalu berkata disertai ancaman tajam. "Aku akan membunuhnya!" "Tidaaaak! Jangan lakukan itu! Kamu adalah ibunya! Bagaimana bisa kamu dengan tega membunuh anak kita?" Jiu Wang menerjang ke depan, ingin menyelamatkan anaknya. Namun, Jing Yue dengan cepat mengarahkan belati ke wajah Jiu Wang dengan luapan amarah. "Diam! Nyawanya adalah milikku!" Tangan Jiu Wang menggantung di udara, tak mampu meraih putranya. "Ah Yue, kumohon jangan lakukan itu! Jangan beri aku pilihan yang berat." Jiu Wang menjatuhkan dahinya di atas lantai, bersujud di hadapan wanita yang teramat ia cintai. "Kumohon jangan kami sakiti anak kita! Kamu boleh membunuhku sekarang juga, dan aku tak akan melawanmu!" "Nyawamu?" Jing Yue bertanya dengan nada sinis. "Saat ini aku tidak ingin nyawamu. Aku ingin sesuatu yang lebih dari hanya sekadar nyawamu!" Wanita itu kembali menyentuhkan ujung belati ke arah bayinya, sedikit menekan pisau kecil di perut mungil itu untuk menakuti Jiu Wang. Dia hanya ingin agar Jiu Wang mengerti perasaannya saat melihat luka tusuk di perut ayahnya. "Aku yang melahirkannya. Maka aku juga berhak menghilangkan nyawanya, sama seperti kau menikam ayahku hingga tewas!" "Ah Yue, jangan lakukan ituuu!" Jiu Wang berucap mengiba dengan perasaan hati yang sudah sehancur serpihan debu. "Anakku! Dia juga anakku!" Jiu Wang merasa sangat ketakutan kali ini. Tentu saja, ia tidak ingin kehilangan orang-orang yang sangat dia sayangi. Terlebih lagi, putranya baru berusia 40 hari dan ia merasa sangat menyayangi buah cintanya bersama dengan Jing Yue. "Daripada kamu membunuh anakmu sendiri yang juga adalah darah dagingku, lebih baik kamu bunuh saja aku sekarang juga, Ah Yueee!" Jiu Wang dengan tulus menawarkan nyawanya untuk menggantikan kehidupan putranya. "Bunuh atau kamu siksa aku sepuas hatimu! Kamu juga bisa perlakukan aku sebagaimana apa yang telah aku lakukan kepada mereka semua!" "Bukankah kamu adalah Pembunuh Tak Berperasaan? Jadi, mengapa kamu sangat ketakutan sekarang? Kamu takut melihat mayat kami berdua, lalu apa bedanya kami dengan mereka semua yang telah kamu bantai malam ini?" Jing Yue menoleh ke arah jasad Jing Zhao. Jiu Wang mengangkat wajahnya, menatap Jing Yue. "Kamu berbeda. Kalian tak sama dengan mereka! Ah Yue, aku mohon letakkan belati itu sekarang jugaaa! Lihatlah, anak kita terus menangis. Mungkin dia sedang ketakutan sekarang karena ...." "Ya! Dia sangat ketakutan karena ayahnya ternyata adalah seorang pengkhianat yang sudah membunuh keluarga ibunya! Puaaaas?" bentak Jing Yue dengan air mata yang terus berderaian. "Itukah yang harus kuceritakan kepadanya kelak?" "Ah Yueeee!" "Dia memang sangat ketakutan melihat ayahnya yang ternyata adalah seorang pembunuh terkeji di muka bumi ini!" Jing Yue membentak dengan air mata yang masih berderaian. "Bukankah dia lebih baik mati saat ini, daripada kelak harus membawa gelar sebagai anak seorang pengkhianat?" Jing Yue bertanya dengan masih bersimpuh di samping mayat Jing Zhao. Air matanya berderaian membasahi wajah sang bayi. "Maafkan aku!" Jiu Wang berucap dengan suara bergetaran. "Ah Yue, aku ... aku ... aku harus bagaimana sekarang?" bertanya Jiu Wang sembari menangis penuh penyesalan dan ketidakberdayaan. "Ah Yue, maafkan akuuu!" "Mengapa kamu bertanya padaku? Bukankah kamu sudah menentukan pilihanmu sebelumnya? Sekarang kamu hanya bisa memilih salah satunya!" Jing Yue memberi sebuah pilihan yang sangat sulit bagi suaminya. Baru saja Jing Yue selesai berucap, beberapa kelebat bayangan manusia datang ke tempat itu. Mereka semua dengan sigap memberi hormat di hadapan Jiu Wang yang tak memedulikan kedatangan kelompok tersebut. "Salam, Tuan Muda! Tetua Wen dan Tetua Han sedang menunggu laporan dari Tuan Muda!" Salah seorang dari mereka berucap sembari masih menunduk hormat. "Kalian kembalilah dan bawa semua bukti kalau aku telah selesai menjalankan tugasku. Aku masih akan di sini!" Jiu Wang menyahut dengan suara lemah bagai tak ada lagi semangat untuk melakukan apa pun. "Maaf, Tuan Muda. Mereka juga sudah terlalu lama menunggu, dan juga ... tuan muda kecil pertama saat ini sedang sakit. Dia terus menangis memanggil-manggil Anda!" Sang pengawal berkata dengan tegas. "Anda harus ikut kami kembali sekarang juga, atau kami juga akan mendapatkan hukuman atas kegagalan kami." "Yujie sakit?" Jiu Wang berteriak dalam hati menyebut nama anak pertamanya. Sebagai seorang ayah, ia pun merindukan putranya yang lain. Jiu Wang terhenyak dalam kebingungan yang teramat sangat. Ditatapnya istri dan anaknya dengan air mata berlinangan. "Ah Yue ...." Wanita yang ditatapnya membuang wajah ke arah lain. "Pergilah jika itu pilihanmu! Tapi ingatlah, setelah kau menginjakan kakimu di luar tanah Keluarga Jing. Sejak itulah, kau bukan lagi suamiku!""Pergilah jika itu pilihanmu! Tapi ingatlah, setelah kau menginjakkan kakimu di luar tanah Keluarga Jing. Sejak itulah, kau bukan lagi suamiku!" Jing Yue berucap tanpa menoleh sedikit pun. "Kalau begitu, aku tidak akan pergi dari sisimu!" teriak Jiu Wang merasa sangat berat hati meninggalkan anak dan istrinya ini. "Aku tidak akan meninggalkanmu dan anak kita, Ah Yue!" "Tuan Muda, tuan muda kecil dan seluruh klan sudah menunggumu!" Salah seorang pengawal Keluarga Han mengingatkan sekali lagi. "Aaaaaaaarrgghh!" Sebuah jeritan panjang bernada tinggi dengan lambaran ilmu tenaga dalam terlepas dari mulut Jiu Wang. Para pengawal dari Keluarga Han pun harus berusaha keras menahan akibatnya. Darah segar seketika mengalir dari telinga dan hidung mereka. Para pria pengawal dari Keluarga Han saling memberi isyarat satu sama lain. Salah satu seorang dari mereka bergerak bangkit dan maju mendekati sang tuan muda. Pria itu memukul tengkuk Jiu Wang hingga tak sadarkan diri. "Maaf, Tuan Muda! Ta
17 tahun kemudian. Pada suatu hari yang cerah di Gunung Naga. Sinar mentari sudah tidak lagi menyengat, tetapi masih terasa cukup hangat di permukaan kulit. Cahayanya menembus hutan pinus di perbatasan perbukitan, menambah keelokan pemandangan di sana. Di padang rumput yang tak seberapa luas, seorang anak muda berlarian menerobos semak belukar dan kelebatan rumput ilalang. Dia bahkan tidak memedulikan kulit halus kaki-kaki kokohnya yang sesekali tergores oleh duri-duri dari tanaman liar hingga berdarah. Tampaknya, pemuda itu sedang memburu sesuatu. Anak muda itu berhenti di depan semak perdu yang cukup rimbun. Mata indah dengan iris birunya mengawasi suatu pergerakan kecil pada tumbuhan berumpun berdaun kecil, panjang dan memiliki warna hijau kekuningan. Mulut pemuda itu lirih bergumam, "Di mana dia? Bukankah tadi dia lari ke sini?" Suara gemerisik nan samar disertai desisan lembut telah menjatuhkan sepasang mata cantik itu mengalihkan perhatian pada sisi semak yang lain. Seutas
"Mengapa dia selalu saja tidak sabaran sekali?" Hua Fei hanya bisa menggelengkan kepalanya berulang kali. Dia berjalan menyusul saudara mudanya sembari menggendong keranjang milik Jing Ling. Di sepanjang perjalanan, mulut pemuda itu terus bergumam seperti sedang menghafalkan sesuatu. "Daun mongoose, minyak kelapa, minyak lavender, lalu ... apa lagi?" Hua Fei berjalan sembari membuka buku tentang pengobatan. "Mungkinkah batu giok hitam juga bisa untuk menyerap racun pada luka bekas gigitan ular?" "Mengisap racun dari bekas luka justru tidak diperbolehkan, karena racun bisa tertelan dan mengakibatkan hal yang sangat berbahaya bagi si pengisap." Hua Fei masih sibuk dengan buku metode penanganan pertama pada korban gigitan ular. Baru beberapa ratus langkah Hua Fei berjalan, dia dikejutkan oleh suara ramai orang-orang yang sedang tertawa. Anak muda itu lalu berlari-lari ke arah sumber suara keributan dan mendapati pemandangan yang membuatnya bukan hanya terkejut, tetapi juga merasa sang
"Apa kau bilang? Apakah aku sudah salah dengar?" Hua Fei yang menjadi tertawa kali ini. Hua Fei merasa sangat geli mendengar perkataan Jing Yanxi yang sedang mengunggulkan dirinya sendiri dan tidak pernah mau bersikap rendah hati kepada siapa pun. "Dan kurasa, seekor keledai bahkan masih lebih pintar darimu. Seekor katak pun kurasa tidak lebih rendah dari dirimu yang congkak itu!" "Beraninya kau mentertawakan tuan muda kami, Hua Fei!" Salah seorang anak buah Jing Yanxi berteriak. Dia sungguh sangat tidak terima sang tuan muda mereka dihina dan dikatai oleh seseorang yang bagi mereka, Hua Fei hanyalah anak tidak memiliki kemampuan apa pun selain daripada seorang kutu buku. "Minggir!" Hua Fei membentak sambil berlari menghampiri Jing Ling setelah menabrak tubuh Jing Yanxi dan mendorong salah seorang anak buah tuan muda Keluarga Jing hingga terjatuh. Pemuda itu berulang kali mengusap-usap pakaian saudaranya guna membersihkan debu dan kotoran lain yang menempel di tubuh sang adik kec
"Hah! Kau pikir kami takut pada jurus murahanmu itu?" Anak lelaki berbadan sedang dengan sebuah tahi lalat pada kiri hidungnya maju dan langsung menyerang Hua Fei secara serampangan. Suara pekikan keras terdengar dari arah arena perkelahian antara Hua Fei dan 6 orang anak buah Jing Yanxi. Seseorang terpental dari lingkaran perkelahian kecil dan 5 orang lainnya segera menghentikan gerakan penyerangan. "Genduuuuut!" Para pengikut Jing Yanxi yang lain berteriak histeris. Mereka semua terlihat berang setelah jatuhnya kawan mereka di tangan Hua Fei. "Majulah kalian semua jika ingin merasakan tinjuku ini!" Hua Fei mengepalkan tinjunya dengan sikap menantang yang dia buat seangkuh mungkin. Salah seorang dari mereka berteriak lantang, "Hua Fei, kamu benar-benar membela anak dari si pengkhianat ituuuu!" "Tidak usah banyak bicara!" Hua Fei membentak dan tidak memedulikan perkataan mereka, tentang ayah dari Jing Ling. Baginya, dia akan berada di garis depan saat saudaranya dalam bahaya. "Ay
"Tuan Muda Jing Yanxi yang terhormat Sepertinya, sekarang Anda sudah sangat nyaman berada di bawah kakiku ini." Jing Ling berucap sembari berkacak pinggang. "Bukankah tadi, kau yang ingin menjadikan kami berdua alas kaki?" "Ji-Jing Ling!" Jing Yanxi mendesis penuh kemarahan namun dia tak berdaya sama sekali. "Rasakan akibat dari kesombonganmu, Yanxi!" Jing Ling kembali tertawa sambil berkacak pinggang. Dia merasa puas bisa membalas sakit hatinya kepada anak dari Jing Cheng yang merupakan saudara sepupu lelaki Jing Yue ibunya. "Jing Ling, Aku akan membalasmu!" Jing Yanxi mendengus marah. Jing Ling merasa geli sehingga ia tertawa panjang dengan nada mengejek dan berkata, "Tuan Muda Jing yang terhormat. Seharusnya, sejak awal kamu pikirkan terlebih dahulu akibatnya. Kamu ini tidak lebih dari seorang pecundang yang tak akan pernah bisa mengalahkan seorang Jing Ling!" "A--aku masih be--belum kalah darimu, Jing Ling!" Jing Yanxi berusaha keras untuk bangkit dari tindasan adik sepupunya
"Kamu!" "Huh! Apa kamu pikir aku dengan takut dengan ancamanmu itu?" Jing Yunxi mencibirkan mulutnya ke arah Jing Yanxi. Jing Yanxi merasa sangat geram dalam hati atas sikap dan perbuatan adiknya. Namun, ia juga tak mungkin melawan para pengawal yang diutus oleh ayahnya yang tentu saja mereka memiliki kemampuan di atas dirinya. "Huh, selamat menikmati hasil dari perbuatanmu!" Jing Yunxi mencibirkan bibirnya ke arah punggung sang kakak. 'Berani mengusik calon suamiku, maka rasakan akibatnya nanti!' gumam Jing Yunxi dalam hati. Setelah kepergian Jing Yanxi, gadis itu beralih menatap kepada Hua Fei. "Kakak Fei! Kakak Fei tidak apa-apa?" Jing Yunxi berjongkok dan membantu Hua Fei untuk bangkit. Kecemasan membayang di kedua bola mata gadis cantik berpakaian serba merah saat melihat kondisi lelaki muda yang diam-diam dikaguminya ini tampak sangat tidak baik-baik saja. "Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir!" Hua Fei menyahut sambil menyeka darah di sudut bibir dengan menggunakan ujung
"Bagaimana ini? Apakah kami tidak akan bisa lolos ke tahap selanjutnya?" Mereka butuh waktu selama enam bulan untuk bisa memasuki ujian tahap lanjut pada kelas racun di Sekte Lembah Berawan. Meskipun dirinya dan Jing Ling adalah para calon ketua sekte yang akan datang, tetapi mereka berdua harus tetap menjalani pembelajaran sesuai peraturan sekte yang telah diterapkan. Terlebih lagi, mereka murid pribadi dari Hua Yan sang ketua sekte. "Kakak Fei, maaf! Kami tidak tahu, betapa berartinya mereka untuk kalian berdua." Jing Yunxi berucap dengan nada lirih penuh penyesalan. "Kalau saja kami tahu bahwa mereka sudah dilumpuhkan, mungkin kami tidak akan membunuh mereka semua. Kakak Fei ... maaf!" "Sudahlah. Lagi pula nasi sudah menjadi bubur. Aku juga mengerti dengan ketakutan kalian," ucap Hua Fei dengan tenang. Raut wajahnya tidak menunjukkan sedikit pun rasa dendam atau pun benci. Hal itulah yang membuat Jing Yunxi menjadi semakin menaruh simpati yang kian mendalam pada anak lelaki ini.
"Jangan takut. Aku adalah Jing Shuang, orang yang menciptakan cincin ini." Jing Ling sedikit panik, merasa bahwa pendengarannya saat ini sedang tidak normal. Pandangan matanya terus tertuju ke arah bayangan berwujud manusia yang terjebak di gumpalan sinar merah yang tampak samar. "Sudah sangat lama aku terjebak di tempat ini, menunggu seseorang dari penerusku datang dan menemukanku." Suara anggun dan lembut itu kembali terdengar dengan jelas. Jing Ling terkejut. Ternyata, sinar berwujud manusia itu bisa berbicara? Dan dia mengaku bernama Jing Shuang? Tunggu! Bukankah itu adalah nama yang disebutkan oleh Jing Yue, ibunya? "Jing Shuang?" Jing Ling luar biasa terkejut. "Jadi, Anda adalah Jing Shuang, pencipta dan pemilik Cincin Segala Ruang ini?" "Benar. Itu aku." Leluhur Jing Shuang berbalik dengan anggun, jubahnya berkibar, dan sinar merah yang menyelimutinya seketika menghilang. Sekarang, wujud asli pria muda yang sangat menawan bak seorang kaisar langit terlihat jelas. W
"Bagaimana mungkin itu adalah benda yang rusak? Kamu cobalah sekali lagi, Ah Lin!" Hua Lin mencoba memberi semangat kepada keponakannya. "Semangat!""Baiklah. Aku akan mencobanya sekali lagi." Jing Ling mengangguk, kemudian kembali memfokuskan pikiran agar dapat terhubung dengan cincin segala ruang miliknya.Namun, masih tidak ada yang terjadi meskipun ia telah mencobanya hingga berulang kali.Jing Ling menarik napas sesaat dengan perasaan kecewa. "Tetap tidak bisa.""Aneh ... mengapa tetap tidak bisa?" Hua Fei juga tak mengerti.Jing Ling tak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan sekaligus rasa penasarannya.Ia menghadap kembali kepada sang ibu. "Ibu, aku tak bisa menggunakan cincin ini. Meskipun aku berusaha keras menyatukan pikiranku, tetapi aku tak bisa merasakan apa pun. Aku jadi berpikir kalau benda ini tidak berjodoh denganku, atau mungkin saja benda ini memang sudah rusak.""Itu tidak rusak. Tapi memang cincin milikmu itu sedikit berbeda dengan benda ruang milik Ah Fei dan Ah Li
Hua Fei melihat kantung di tangannya, mencoba menemukan rahasia yang tersembunyi dalam benda tersebut. Namun, tetap saja ia tak menemukan apa pun di sana."Ah Fei, kantung yang sekarang kamu pegang itu bernama Qian Cang Pao, kantung seribu ruang yang mampu memuat banyak benda-benda tanpa membebani pemiliknya." Jing Yue menjelaskan perihal kantung putih milik Hua Fei. "Selain dapat menyimpan benda-benda, kantung itu juga sangat kuat karena terbuat dari kepompong ulat sutra berusia seribu tahun."Hua Fei terkejut. "Kantung seribu ruang?""Ternyata itu adalah kantung seribu ruang yang sangat legendaris!" Hua Lin berseru disertai keterkejutan dan kekaguman. "Ah Fei, kamu sungguh beruntung bisa memiliki benda seperti itu."Hua Fei dan yang lainnya mulai berisik dengan decakan kagum. Ternyata benda yang dianggap kosong itu benar-benar merupakan benda istimewa.Wajah Hua Fei seketika secerah langit pagi. Sekarang, ia justru merasa takjub dan berterima kasih dalam hati atas pemberian Jing Yue
Dari kerutan alis matanya, jelas ada bayang-bayang kekecewaan Hua Fei yang tak bisa disembunyikan. Ekspresi wajah pemuda itu berubah muram dan matanya menyipit, seolah mencoba memahami sesuatu yang sedikit mengganggu.Tabib muda itu menarik napas panjang, perlahan mengembuskannya, mencoba menenangkan gejolak pertanyaan dalam benaknya.'Mungkin saja aku yang tidak seberuntung mereka berdua,' gumam Hua Fei, dalam hati.Ia melirik sekilas ke arah kedua keponakannya yang tengah sibuk dengan hadiahnya masing-masing. Perasaan tak menentu berkecamuk dalam dada Hua Fei.'Tapi ... mana mungkin Bibi tega mempermainkan aku?' pikir Hua Fei lagi. 'Atau mungkin ... ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bibi?'"Paman Kecil, kamu mendapatkan ikat pinggang!" Seruan Jing Ling membuat Hua Lin tersenyum tipis.Ia segera menghampiri untuk melihat lebih dekat ikat pinggang hitam yang sederhana tapi penuh keunikan. Sorot mata Jing Ling berbinar-binar, mengagumi bentuk sabuk hitam dengan gesper perak yang rumi
Jing Ling, Hua Fei dan Hua Lin menatap kantung kain di tangan Jing Yue. 'Apakah bibi menyiapkan bekal uang lagi?' Hua Fei membatin. 'Bukankah kami sudah mendapatkan biaya dari sekte?' 'Kakak Yue memberi kami kantung parfum?' Hua Lin mengira itu adalah kantung pengharum yang biasanya dipakai untuk menyamarkan bau badan tak sedap dengan aromanya. 'Aiyaa, kakak iparku ini mengapa aneh sekali?' Jing Ling akhirnya bertanya, "Ibu, itu adalah kantung kain yang akan diberikan kepada kami bertiga?" "Benar. Ini adalah hadiah dari kami yang sudah lama dipersiapkan untuk kalian." Jing Yue mengulurkan tangannya secara perlahan, memperlihatkan tiga kantung sachet yang terbuat dari kain satin, halus dan berkilau di bawah sinar matahari pagi. "Hadiah?" Ketiga tuan muda terperangah. "Untuk kami?" Hua Lin tak mengerti. "Ya. Ini memang untuk kalian." Jing Yue kembali mengulas senyum dan berkata, "Kami mengumpulkan semua benda ini sejak lama sebagai persiapan karena kami merasa sewaktu-waktu kal
Jing Ling tercekat. Hua Fei tertegun. Keduanya menatap Hua Lin dan Hua Feng secara bergantian dengan pandangan bingung. Mereka khawatir jika Hua Lin tak bisa menahan amarahnya. "Hua Feeeeeng!" Hua Lin berteriak, suaranya meledak di udara hingga membuat banyak orang terkejut. "Hua Feng, bagaimana kamu bisa seceroboh itu?" Hua Lin merasa frustrasi, sedangkan Hua Feng memasang ekspresi wajah sebodoh keledai dungu. Hua Lin ingin menangis, tetapi ia tak mungkin menangis di hadapan banyak orang, terlebih lagi hanya soal perbekalan yang masih bisa digunakan meskipun tidak kecil kemungkinan sudah hancur. Pemuda itu hanya bisa menatap dengan tatapan yang seakan hendak memangsa Hua Feng hidup-hidup. "Ma--ma ... maaf!" Napas Hua Feng masih tersengal, dadanya naik turun, tetapi tatapan tajam Hua Lin yang menusuk itu membuatnya seolah tercekik oleh rasa bersalah. Bagi Hua Feng, pandangan mata Hua Lin terlihat sangat mengerikan hingga udara panas dan perasaan dingin terus menari-nar
Di kejauhan, Jing Ling dan Hua Fei sudah berdiri menunggu di bawah pohon maple sembari menyaksikan kesibukan para pelayan. Mereka tampak siap untuk perjalanan panjang yang akan segera mereka tempuh.Sebenarnya, Hua Fei merasa ada suatu firasat aneh yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tetapi perasaan itu terus-menerus mengganggu pikirannya. Pemuda itu larut dalam diam hingga beberapa waktu dan hal tersebut dapat segera ditangkap oleh sang keponakan.Jing Ling menyiku lengan Hua Fei. "Eh, Kakak Fei, ada apa denganmu? Apakah kamu merasa tidak tega untuk pergi dari tempat ini, atau ....""Kakak Fei sedang merindukan Yunxi, adik sepupuku yang cantik jelita itu?" Jing Ling sengaja menggoda Hua Fei dengan mengungkit masalah Jing Yunxi. "Apa kamu sudah merasa rindu padanya bahkan sebelum kamu pergi?"Mendengar nama Jing Yunxi disebutkan, seketika darah Hua Fei terasa berdesir dingin, seolah-olah puluhan jarum tajam menusuk jantungnya. Sensasi perih itu merayap cepat, menyesakkan dadan
"Bodoh!" Sambil mengumpat, Hua Lin melayangkan satu tamparan secepat lesatan anak panah yang langsung menghantam pelipis Hua Feng."Aaah!" Hua Feng terpekik keras hingga beberapa orang menoleh ke arahnya. Hua Lin tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Ia lanjut mengomeli Hua Feng. "Tentu saja itu bukan jimat, melainkan sesuatu untuk menangkal bahaya kelaparan!"'Mengapa aku bertemu orang sebodoh dia?' Hua Lin merasa sial dalam hal ini.Hua Feng tak sempat mengelak. Pukulan itu tidak terlalu keras, tetapi cukup membuat tubuhnya terhuyung ke samping, hampir kehilangan keseimbangan.'Penangkal bahaya kelaparan, bukankah itu makanan?' pikir Hua Feng yang mulai mengerti maksud seniornya ini.Hua Feng mengusap pelipisnya yang sedikit memanas. Ia mengerang kesal. "Tuan Muda, kamu menyiksaku lagi!""Tuan Muda selalu saja begitu, padahal aku hanya bertanya, tapi Tuan Muda malah menindasku." Raut wajah Hua Feng berubah sedih, bibirnya mengerucut hingga ia tampak lucu. "Tuan Muda
"Maka saya akan mendesaknya!" Mu Lei tiba-tiba berkata tegas.Mu Lei adalah orang luar yang pernah diselamatkan oleh Hua Yan pada tragedi berdarah Suku Mu lima tahun lalu, saat terjadi pemberontakan salah satu kubu 'pakaian kotor' yang berselisih dengan kubu 'pakaian bersih' Suku Mu, dan itu membuatnya nyaris mati terpenggal.Namun, rupanya dewa mengirim Hua Yan pada waktu nyawanya sudah di ujung tanduk. Ia pun lolos dari kematian di mata pedang milik Mu Yan, pengkhianat Suku Mu, dan semua itu berkat pertolongan Hua Yan.Semenjak saat itu, ia bertekad untuk mengabdikan seluruh hidupnya demi membalas jasa kepada dewa penyelamatnya. Meskipun Hua Yan sudah membebaskan dan tidak mengungkit lagi tentang hal tersebut, Mu Lei tetap bersikeras untuk menjadi penjaga bagi Hua Yan dan keluarganya."Baiklah. Kita lihat saja nanti," Tetua Hua Lei yang bicara kali ini.Semua orang hanya bisa berharap kalau Hua Yan tidak keberatan dengan persiapan keamanan yang mereka lakukan kali ini.*****Sementa