Senja temaram. Langit masih kelam dan berjerabu. Nampaklah mega merah yang menawan di ufuk Barat. Begitu pula dengan hembusan angin yang menerpa diri nan sedang kelelahan.
"Bukankah sudah kukatakan kepadamu, Azzura, jangan melawan Enes sendirian. Karena kekuatannya sekarang ini sangatlah besar dan dahsyat." Tempest memberikan nasihat kepada Azzura. "Bagaimana tidak aku ingin menebasnya. Sebab, Azzumar dan Louyi telah dibunuh olehnya," timpal Azzura sambil menarik nafas ketika masih menyandarkan badannya yang masih terluka di sebuah pohon beringin. "Memang benar apa yang dia katakan. Tapi sayang aku terlambat datang untuk membantunya. Aku melihat mereka berdua tidak lagi bernyawa. Namun, kalau dilihat dari bekas pertempuran mereka, sangat mustahil jika Azzumar kalah." Jelas Tempest sambil mengoleskan obat penyembuh super kepadanya. "Maksudmu?" Tanya Azzura penasaran. "Ya, kita tahu bagaimana kuatnya Azzumar. Lagian di antara pemegang kunci cahaya, dialah yang paling kuat dan bersinar. Sehingga amat mustahil bagi Enes bisa mengalahkannya walaupun dengan kekuatannya yang sekarang, jika tidak dengan cara licik." "Cara licik bagaimana?" Azzura semakin penasaran. "Bisa jadi dengan menyandera anak mereka." Jawab Tempest dengan mata serius. "Menyandera anaknya?" Azzura terbakar emosi. "Ya, dengan menyandera anaknya. Maka Azzumar dan Louyi tidak akan bisa melawan Enes dengan semua kekuatannya. Dilihat dari kematian mereka berdua, sepertinya bukan dibunuh melainkan..." Tempest tertegun. "Melainkan bunuh diri maksudmu, begitu?" "Iya bunuh diri, ketika mereka hendak melepaskan anaknya dari cengkeraman Enes dengan kekuatan Dewa Kematian yang mereka punya, tapi mereka masukkan kekuatan itu melalui tangan Enes. Dan akhirnya anak itu terlepas dari genggaman Enes." "Apa kamu melihat tanda bahwa Azzumar dan Louyi melakukan hal demikian?" "Ya, aku melihatnya pada lingkaran tangan mereka. Dengan menyatukan kekuatan jempol sehingga berbentuk silang jika dilihat dari bekasnya. Maka di situlah Dewa Kematian akan keluar dari dalam tubuh dan merenggut nyawa pemanggilnya. Namun, kekuatan itu ia salurkan melalui tangan musuhnya." "Uhg... Baiklah, boleh bantu aku berdiri, Tempest?" Azzura meraih pundak Tempest. "Hei, jangan banyak gerak dulu! Nanti lukamu makin terbuka." Tempest berusaha menghentikannya. Namun, Azzura bersikeras untuk berdiri. "Jadi, di mana anak mereka sekarang?" Sambil menarik nafas. "Aku meninggalkannya di Gunung Dwargo yang dekat dengan Desa Penyihir. Karena udara dan mana di sana pas untuk masa pertumbuhannya. Dan melatihnya menjadi kesatria yang hebat seperti ayahnya." "Kalau begitu mari kita ke sana!" Ajak Azzura kepada Tempest. "Tapi, lukamu bagaimana?" "Luka sedikit ini tidak masalah bagiku, asalkan bisa bertemu dengan anaknya Azzumar. Sehingga merawat dan membesarkannya sebagai anakku sendiri." Akhirnya Tempest dan Azzura pergi ke Gunung Dwargo. Sebuah gunung yang buas akan hewannya, terletak di desa para penyihir. Di gunung itu banyak mengandung batu dan kristal sihir murni. Bahkan dunia ini adalah dunia yang mengandung unsur sihir dan mana. Dunia yang saling berbenturan antara cahaya dan kegelapan. Dunia yang terdapat bangsa peri, iblis dan manusia. Jika seseorang telah masuk ke dalamnya akan merasakan betapa hebatnya dunia ini. *** Waktu berlalu dan berjalan. Bayi yang dulunya hanya bisa menangis, sekarang telah bisa berlari. Bahkan pegunungan Dwargo ini yang terkenal dengan hewan buasnya seolah tempat bermain baginya. Setiap hari dia diajarkan oleh paman dan bibinya untuk menggunakan kekuatan aura dan pedang. Ketika dia telah berumur 8 tahun, dia disuruh seorang diri berburu hewan untuk dijadikan makanan. Setelah beranjak 10 tahun, sang paman mengajaknya memburu iblis. "Apa kau telah siap, Zera?" Ya, namanya Zera Dwargo putra dari Azzumar dan Louyi yang dibesarkan oleh Tempest dan Azzura. Nama ini telah terukir di kalung yang tergantung di lehernya. Kalung yang terbuat dari taring dan kuku perpaduan empat hewan suci. Dan nama belakangnya diambil dari tempat pertumbuhannya. "Sudah, Paman. Aku telah siap dari tadi," jawabnya dengan semangat. "Kalau begitu, carilah iblis yang akan kita buru!" Sambil menunjuk ke arah hutan dari tempat berdirinya. "Bagaimana cara mencarinya?" Zera pun menoleh ke arah pamannya. Tempest pun memperagakan caranya, kemudian mengeluarkan auranya. "Sebarkan aura di sekitarmu! Jika ada aura atau mana yang menyentuhnya, kamu bisa mengetahui keberadaannya. Karena seluruh makhluk memiliki aura dan mana. Kamu bisa segera tahu tentang makhluk apa dan lokasinya. Hal ini di kalangan para penyihir, disebut Sihir Pendeteksi." "Oh, begitu caranya, ya Paman. Baiklah sekarang akan kucoba." Zera pun langsung mencoba apa yang dilakukan Tempest. Disebarkannyalah aura miliknya, aura yang sangat terang dan sangat besar. Bahkan, Tempest pun terkejut melihat pancaran aura yang dikeluarkannya. "Sudah kuduga, aura yang dimilikinya lebih terang dari aura Azzumar. Wajar saja, Azzumar dan Louyi mau mengorbankan diri untuk menyelamatkan anak mereka," gumam Tempest. Setelah Zera menyebarkan auranya, dia bisa melihat aura dan mana seluruh hutan. Pas ketika bersentuhan auranya dengan mana hitam, di situ ia tertegun. "Bagaimana, apa kau menemukannya?" Tanya Tempest karena ia pun merasakan mana hitam itu. "Iya, paman, aku menemukannya. Tapi, aku merasakan bahwa ada bau darah di sekitarnya. Ayo paman kita bergegas." Zera pun berlari menyusuri mana hitam yang ia rasakan, dan Tempest menyusul dari belakang. Setiba di tempat itu, mereka melihat bahwa ada dua kereta kuda hancur beserta penumpangnya. Nampaknya, ada dua rombongan yang telah disantap iblis itu. Iblis yang berbentuk harimau hitam. Pancaran mana yang dikeluarkannya sungguh gelap dan menakutkan. "Paman, ayo segera kita selesaikan dia. Kalau tidak akan banyak korban berjatuhan karena ulahnya." Zera pun langsung melesat sambil mengeluarkan pedang kecil dari sarungnya. "Tunggu, Zera!" Tempest mencegahnya. "Langkah angin," dia menggunakan langkah seperti angin kencang. Kemudian terbang dengan sangat cepat ke arah iblis itu. "Tebasan pedang petir," kemudian mengayunkan pedangnya ke arah kepala iblis, itu. Namun, iblis itu menangkis dengan cakarnya dan mengibaskan ekornya menampar Zera. Dengan sigap Zera menghindari kibasan itu. Kemudian, Zera memasang kuda-kuda seperti harimau yang akan melompat untuk segera mencapai iblis itu sambil memancarkan aura cahaya yang sangat terang dan hangat darinya. Dan memasang kuda-kuda penyerangan keduanya. "Terkaman Harimau Petir," sambil mengayunkan pedangnya keluarlah harimau biru dari ayunannya. Lalu ditambah dengan, "Tebasan kilat langit," Zera pun menebas kepala iblis itu dengan secepat kilat setelah ia tidak bisa bergerak karena serangan pertama yang dia lancarkan. Dan, akhirnya iblis itu pun tumbang. Tempest yang hanya melihat sedari tadi pun tercengang karena kemampuan yang dimiliki muridnya. Seketika itu juga, Tempest pun melihat aura Dewa Kematian dari diri Zera. "Paman... Oi.. Paman!" Zera memanggil Tempest yang tercengang sedari tadi. "I... Iya, ada apa?" "Bagaimana, paman, apa seperti itu caranya? Betulkah apa yang kulakukan tadi?" "Benar, seperti itu. Tapi, apa itu tadi yang berada di kakimu? Sehingga kau bisa melesat seperti tadi?" Tempest bertanya penasaran. "Oh itu adalah langkah angin, paman. Hi.. Hi... Hi." Sambil ketawa kecil. "Langkah angin? Tapi, ya sudah mari kita pulang. Nanti bibimu bisa marah jika kita terlambat." Ajak Tempest kepada Zera, sambil membenamkan pertanyaan dalam kepalanya. "Baiklah, paman." Mereka pun kembali pulang setelah membasmi iblis harimau itu. Dalam perjalanan pulang, mereka pun bercanda sebagaimana bercandanya ayah kepada anaknya. Walaupun sebenarnya mereka adalah guru dan murid. Tetapi, Tempest sudah menganggap Zera sebagai anaknya, kenangan dari teman lama dan adiknya, yaitu Azzumar dan Louyi.¤Siang berdentang. Panas matahari membara. Angin yang berembus tidak memberikan kenyamanan, seolah menghardik siapa saja yang mengenainya. Setelah lepas dari Hutan Kematian, Zera pun tiba di perbatasan desa Goblin. Sebuah desa para monster yang dibilang kejam. Walaupun monster itu peringkat bahayanya berada di rank E, tapi jika dia menyerang bersama maka naiklah peringkat bahayanya menjadi rank B. Biasanya mereka menyerang pada malam hari.Banyak orang menganggap enteng tentang Goblin, padahal jika mereka berevolusi menjadi Hobgoblins, maka ketika itu juga bahaya mereka naik menjadi Rank A. Sangat jarang melihat para goblin atau monster berevolusi, jika tidak ada mendalanginya.Sedang bersandar melepaskan letih di pohon beringin yang menjadi perbatasan desa, Zera mendengar sebuah pertarungan yang berada di dalam desa itu."Panah Es Beracun," nampaklah kilauan es datang dari langit menghujani monster yang ditargetkan.Bisa dibilang monster itu setingkat dengan raksasa. Karena ukurannya
Kabut semakin tebal menutupi jalan di kaki bukit. Sehingga siang seolah menjadi malam. Formasi kabut kebingungan yang disusun Kaijin menjadi semakin kuat dan pekat. Dalam keadaan situasi itu terdengar suara bergema."Hihahaha... Hihahaha... Ada dua kelinci yang berani memasuki formasiku tanpa rasa takut kiranya,""Hei, siapa kamu? Jangan bersembunyi seperti pengecut. Keluar kau...! " Ucap Tifany dengan rasa takut.Melihat tingkah Tifany seperti itu, Zera pun merasa kagum. "Walau dia merasa takut, tapi masih berani menantang sesuatu di luar kemampuannya." Gumam Zera."Hihahaha... Berani juga kau. Kalau begitu, akan kubuat dirimu tak bisa keluar dari formasiku ini," suara itu pun semakin bergema kemudian hilang perlahan. Dan kabut pun semakin tebal sehingga membuat mereka bingung dalam ilusi kabut.**Dalam ilusi kabut."Hei nak, kamu sudah besar. Apakah kamu sekuat ayahmu, yang pernah melukai dan memukul mundurku?" Sapa seseorang yang keluar dari dalam kabut."Siapa kamu? Mengapa kamu
Mentari sudah mulai muncul. Bukit kesesatan telah bersih dari kabut kebingungan. Udara yang tadinya kotor, sekarang sudah bersih. Setelah bangun dari meditasi, Zera menghampiri Tifany yang masih terbaring."Bagaimana kondisimu sekarang?" Tanya Zera."Sudah mendingan daripada tadi malam." jawab Tifany. "Di mana penyihir yang menyelamatkan kita?" tambahnya."Dia di pintu goa, berjaga semalaman..." belum selesai Zera berkata, Isaac datang menghampirinya."Apa kalian sudah bangun? Kalau sudah, mari kita makan sambil bercerita." ajak Isaac sambil menyuguhkan daging panggang yang telah ia tangkap."Terima kasih, sangat tidak sopan kalau menolak ajakan orang yang telah menolong kami," sahut Tifany dan Zera.Mereka bertiga pun makan bersama sambil bertukar cerita."Tuan, kalau boleh tahu ke mana tujuan, Tuan?" Zera pun mulai bertanya sambil melahap hidangan daging bakar yang ada di tangannya."Sebelum kujawab pertanyaanmu, mengapa kalian berdua bisa berakhir di bukit ini? Padahal bukit ini te
Pagi yang cerah. Mentari sudah menampilkan karismanya. Setelah istirahat selama tiga hari di goa bukit kesaksian, Zera, Tifany dan Isaac memulai perjalanan untuk mencapai Pulau Terapung dengan berjalan kaki. Sebab tidak jauh dari balik bukit ini ada sebuah desa yang bisa membuat mereka beristirahat untuk sebentar sebelum melanjutkan perjalanan kembali."Kira-kira berapa lama kita akan sampai di desa terdekat, Kak Isaac?" Tanya Tifany sambil berjalan dengan kelelahan."Kisaran 2 jam lagi kita akan sampai. Apa kamu sudah lelah? Kalau iya kita istirahat sebentar." Jawab Isaac."Ayo kita istirahat dulu 15 menit, Kak Isaac!" Ajak Zera sambil menghampiri sebuah pohon yang agaj rindang."Baiklah, kita istirahat dulu." Isaac dan Tifany pun ikut menghampirinya dan duduk. Dan mengeluarkan sebotol air dari cincin penyimpanannya.Sedang asyik duduk dan bersandar di bawah pohon, terdengar suara yang agak bising oleh Zera dan Isaac."Kayaknya kita telah dikepung, Kak Isaac?" Zera mengambil pedangny
Siang berdentang. Udara terasa hambar karena terik matahari sedang menggila. Dalam ruang pertemuan, udara terasa pengap dan berat."Jadi bukit itu telah dimurnikan, ya?" Tanya Kaijin kepada Kazen."Apa kamu tidak merasakannya? Padahal kamulah yang memasang penghalang dan formasi tingkat enam itu." Jawab Kazen dengan senyuman tipis."Aku merasakannya empat hari lalu, namun aku hanya acuh saja. Lagian mana ada orang bisa menghancurkan formasi yang kubuat." Timpal Kaijin."Memangnya kenapa jika formasi itu hancur dan bukit telah dimurnikan? Lagian tidak akan ada untung dan ruginya buat kita, bukan? Ryu bertanya datar sambil menyalakan rokoknya."Tentu ada untung dan ruginya bagi kita. Apa kamu ingat ketika peperangan 6 tahun lalu di bukit itu?" Kazen menepis perkataan Ryu."Kerugian yang kita dapati jika bukit itu telah dimurnikan adalah kawasan dan sumber daya. Sebab bukit itu bagaikan benteng kekuatan antara kegelapan dan cahaya. Ketika bukit itu menyimpan kegelapan, maka kekuatan Yang
Malam mulai datang. Setelah kejadian heboh di sore tadi. Orang-orang banyak menyebarkan rumor di setiap penginapan dan restoran. Salah satu penginapan itu bernama Mawar Putih."Hei! Apa kamu lihat fenomena di sore tadi?" Seseorang sedang berbicara dengan teman di meja makannya."Iya, aku lihat. Fenoma yang sangat dahsyat. Apakah mungkin Sang Legenda akan terlahir kembali?" Tanya temannya kembali."Bisa jadi. Karena telah 1000 tahun cerita itu diturunkan secara turun-temurun disetiap keluarga yang ada di kerajaan ini." kata temannya satu lagi."Betul, pernah nenekku mengatakan dahulu bahwa suatu hari nanti akan terlahir kembali legenda yang akan melindungi kita semua dari kegelapan yang hampa. Dia adalah orang yang mempunyai aura dan mana dalam satu tubuh." Teman yang lain pun menambahkan perkataan temanya."Apakah mungkin aura dan mana bersatu dalam satu tubuh? Kebanyakan dari kita hanya mempunyai salah satu di antaranya.""Bisa jadi hal itu menjadi mungkin berkumpulnya dua energi itu
Dalam ruangan yang penuh dengan semua karya Blacksmith, Zera dan Isaac masih menunggu. Sudah berlalu 3 jam sejak masuk toko itu. Tak lama sesudah itu, blacksmith itu menghampiri dan memperhatikan mereka dari dekat tanpa mereka sadari. Mulai dari kesinambungan mana dan aura, blacksmith itu menganggukkan kepalanya. "Ada yang bisa dibantu, Tuan?" Sapa Blacksmith itu kepada mereka. Zera dan Isaac pun terkejut dengan sapaan itu. Sebab mereka tidak merasakan hawa keberadaannya. "Sungguh hawa keberadaan yang sangat halus. Bahkan kami pun tak merasakannya." Kata hati Zera dan Isaac. "Ini, Tuan..." Belum sempat Zera melanjutkan perkataannya, blacksmith itu lansung memotong pembicaraan. "Panggil saja aku Pak Tua Bruq. Namaku Bruq Romander. Dari keluarga Romander ras Dwarf." Pak tua itu menepuk pakaiannya yang terkena debu. "Jadi apa ada yang bisa kubuantu buat kalian." Imbuhnya. "Bisakah kamu menyatukan isi dalam kotak ini dengan pedangku." Zera mengeluarkan sebuah kotak yang berukir lam
Malam muncul dengan kedinginan pekat. Purnama telah menerang di langit malam. Tower Kehidupan di Pulau Terapung terdengar sangat riuh. Karena Raja kerajaan ini datang bersama pengawal elitnya yang tersembunyi di dalam kegelapan. Dengan terburu-buru, satu murid di tower itu mencari Tempest sang penguasa tower untuk memberitahukan kedatangan raja. "Guru! Raja beserta pengawalnya datang ke sini." Kata murid itu kepada Tempest. "Iya, aku telah mengetahuinya. Di mana raja sekarang?" Tanya Tempest. "Dia berada di ruang tamu, guru." Jawab muridnya. Mereka pun bersegera ke ruang tamu untuk menemui raja. Setelah sampai di dalam ruangannya. "Maafkan aku, Yang Mulia. Aku tidak tahu akan kedatanganmu ke mari. Biasanya, Yang Mulia mengirim surat terlebih dahulu kepadaku untuk mengabari kedatanganmu." Kata Tempest sambil menundukkan kepalanya memberi hormat kepada raja. "Tempest, temanku! Apakah salah, seorang teman datang untuk menemui temannya? Apakah kamu sendirian? Di mana Dewi Peda