Prilly dan anak semata wayangnya hanya menginap semalam di rumah Ratna. Sebenarnya Prilly ingin tinggal lebih lama di sana untuk menenangkan diri. Namun, dia tahu jika terus tinggal di rumah mamanya akan membuat hubungannya dengan Romy semakin renggang. Kemungkinan besar suasananya pun semakin memanas. Ada banyak rasa curiga dan perselisihan yang akan terjadi saat tak tinggal di atap yang sama. Oleh karena itulah, Prilly memilih pulang ke rumah dan menghadapi semuanya bersama sang suami. Dia tetap memberi kesempatan suaminya untuk mengumpulkan bukti ketidak terlibatannya pada perempuan yang bernama Fammy itu. "Kamu pulang, Sayang? Kenapa nggak bilang kalau kamu mau pulang. Tahu begitu aku akan jemput kamu ke rumah mama," ucap Romy saat menyambut istri dan anak perempuannya di ambang pintu. Prilly hanya tersenyum tipis lalu meminta Fika istirahat di kamarnya. Gadis kecil itu pun mengiyakan perintah mamanya setelah mencium kedua pipi sang papa. "Fammy datang ke rumah ibu," ucap Prill
Romy menghela napas panjang sebelum menerima panggilan dari Fammy, perempuan yang mengaku sebagai selingkuhannya bahkan mengandung darah dagingnya itu. Tak ingin membuat Prilly semakin curiga atau buruk sangka, Romy sengaja menyalakan speaker handphonenya. Dengan begitu, tak hanya dia yang mendengarkan ucapan perempuan itu, tapi Prilly juga bisa ikut mendengarkannya dengan jelas. Tanpa ada yang ditutup-tutupi. "Kenapa lama banget angkat teleponnya, Mas?" Pertanyaan dengan suara manja terdengar membuat Prilly bergidik. Jijik sekali mendengar suara manja perempuan itu pada suaminya. Benar-benar nggak tahu malu. "Mau ngapain lagi kamu telepon? Jangan macam-macam, Fam. Aku nggak akan membiarkan kamu menghancurkan rumah tanggaku bersama Prilly. Meski saat ini aku belum bisa membuktikan jika semua ini sekadar rekayasamu, tapi aku yakin kalau kamu memang sengaja dan sadar melakukannya. Kalau nggak-- Belum sempat melanjutkan kalimatnya. Perempuan itu buru-buru memotong kalimatnya. "Kalau
Hari ini Amran dan Zilva datang ke rumah mamanya. Sejak kedatangan Fammy beberapa hari lalu, Ratna mulai gelisah. Dia benar-benar mengkhawatirkan keadaan Prilly. Ratna cukup trauma dengan perceraian Selly beberapa tahun lalu. Takut sekali jika Prilly memendam semuanya sendiri sampai akhirnya melakukan percobaan bunuh diri seperti yang dilakukan kakaknya waktu itu.Kesehatan Ratna mulai menurun sejak perempuan berbadan dua itu mengaku sebagai selingkuhan menantunya. Meski Prilly berusaha menenangkannya dan selalu bilang baik-baik saja, tapi Ratna tahu jika anak bungsunya itu juga pusing dengan masalah yang ada. Hanya saja, Prilly memang tipe orang yang lebih sabar dan tegar saat menghadapi badai rumah tangganya, berbeda dengan Selly yang sedikit plin-plan, grasak-grusuk dan tak bisa berpikir panjang ke depan saat melakukan suatu hal. Jika dibandingkan dengan kakaknya, Prilly jauh lebih baik dari segi emosional dan spiritual. Itu pula yang membuat Ratna tak terlalu was-was seperti wak
Suasana di rumah Selly hari ini cukup ramai. Selain keluarga inti, beberapa kerabat dan tetangga juga ikut hadir di sana. Mereka saling membantu menyiapkan beberapa menu masakan dan camilan untuk menyambut tamu spesial. Bima akan datang melamar Selly. Bima memang sudah tak memiliki orang tua dan saudara, tapi dia memiliki dua anak kembar yang jelita. Yuki dan Yuka ikut bahagia melihat senyum dan tawa ayahnya."Gimana penampilan ayah hari ini?" tanya Bima yang masih mematut diri di depan cermin kamarnya. Yuki dan Yuka mendekat lalu meneliti penampilan ayahnya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Keduanya sama-sama melipat tangan ke dada lalu mengacungkan ibu jarinya. "Tampan. Ayah terlihat sedikit lebih muda dibandingkan biasanya," balas Yuka dengan senyum lebar. "Benar, Ka. Ayah makin menawan dengan kemeja ini," sambung Yuki sembari memeluk ayahnya. "Syukurlah kalau begitu. Setelah ayah menikah dengan Tante Selly, nanti kalian memiliki saudara tiri bernama Ruri. Usianya masih tujuh
"Tamunya Mbak Selly sudah datang." Terdengar beberapa tetangga saling bisik. Mereka menunjuk dua mobil yang parkir di halaman rumah. Bima turun dengan didampingi dua anak kembarnya. Sementara Dimas dan Amelia mengikuti mereka dengan membawa beberapa kado untuk lamaran. Bima sudah menyiapkannya sesak beberapa hari yang lalu. Semua terasa lebih spesial karena Yuki dan Yuka membantu menyiapkannya. Mulai dari membeli beberapa barang yang dibutuhkan seperti tas, sandal dan gamis, lalu mereka juga membantu membungkusnya dengan kado. Tak lupa Bima menyiapkan sebuah cincin untuk mengikat hubungannya dengan Selly sebelum akad nikah digelar. Amran dan Romy menyambut kedatangan Bima dan keluarganya di teras rumah. Mereka saling berjabat tangan lalu mempersilakan laki-laki itu ke ruang keluarga dan duduk bersama keluarga yang lain. Beberapa tetangga membantu Amelia membawakan beberapa kado dan oleh-oleh lainnya. "Bima sudah datang, Sel. Jangan di kamar terus," ucap Ratna dengan senyum tipisny
Acara lamaran Selly dan Bima berjalan lancar. Keduanya akan menggelar resepsi pernikahan sebulan kemudian. Bima sudah menyiapkan segala sesuatunya. Persiapan pernikahan sudah 80% katanya. Mendengar cerita Bima, Selly merasa lega. Bima sudah merencanakan semuanya cukup matang jauh-jauh hari karena tak ingin melihat Selly kerepotan untuk menyiapkan semuanya sendiri. Semua tamu yang hadir masih asyik ngobrol sembari menikmati hidangan yang disajikan. Amran dan Bima pun tampak akrab ngobrol di samping pintu tengah. Sesekali tawa mereka terdengar. Suasana tampak meriah diiringi canda tawa mereka. Tak sadar ada seorang laki-laki yang mengawasi rumah itu dari luar. Laki-laki berjaket kulit itu beberapa kali memotret lalu mengirimkan foto dan pesan-pesannya pada seseorang. "Kami pamit ya, Jeng. Semoga acara resepsi Selly nanti berjalan lancar," pamit salah seorang tetangga yang diikuti tetangga lainnya. Mereka bersalaman pada tuan rumah dan beberapa tamu perempuan lainnya. Beberapa kerabat
"Kenapa murung begitu, Sayang? Ada masalah?" tanya Amran setelah makan malam di rumahnya. "Lihat deh, Mas." Zilva menunjukkan pesan dan foto yang dikirimkan Arumi kemarin malam padanya. Amran mengernyit. Dia menatap foto di layar handphone Zilva beberapa saat lalu bergeming. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu atau mungkin dia juga pernah bertemu dengan lelaki berjaket kulit itu. "Kamu harus hati-hati, Mas. Sepertinya dia selalu mengawasi kita. Kemarin dia juga mengikuti kita di rumah Mbak Selly. Kebetulan aku intip dari gorden jendela. Laki-laki itu ada di seberang jalan sembari menelepon seseorang," ucap Zilva kemudian membuat Amran semakin kaget. "Benar, Sayang? Kalau kamu lihat orang itu lagi, lekas telepon aku ya? Aku nggak mau kejadian yang lalu terulang lagi. Ingat, kalau ada paket mencurigakan nggak usah diterima. Misalkan kamu beli barang via online, kasih Pak Joko atau Pak Burhan dulu biar dibukakan." Zilva mengangguk lagi. "Kira-kira siapa peneror itu ya, Mas? Apa
Amran membuka pintu utama lalu menyambut Mayang dan Deswita yang bertamu ke rumahnya. "Assalamualaikum, Dan, Va. Maaf malam-malam mengganggu," ucap Mayang setelah Zilva dan Amran sampai teras. "Wa'alaikumsalam, Tante. Nggak apa-apa kok, baru jam delapan. Belum terlalu malam juga," balas Amran disertai anggukan Zilva. Mayang pun mengangguk lalu menyalami Zilva yang mendekatinya. "Masuk, Tante. Kita ngobrol di dalam saja," ajak Zilva ramah. Mayang dan Deswita mengiyakan. Keduanya duduk di sofa ruang tamu lalu memberikan oleh-olehnya pada Zilva. "Cuma kue lapis sama bika, Va." "MasyaAllah. Lain kali nggak perlu repot-repot, Tante." "Nggak repot kok. Kebetulan beli banyak tadi sekalian buat tetangga sekitar." "Oh, ada acara pentingkah, Tante? Sampai bagi-bagi camilan buat tetangga juga." "Deswita tunangan hari ini, Va. Dia setuju bertunangan dengan anak sahabat Tante, makanya sengaja bagi-bagi camilan sebagai ungkapan rasa syukur." "Oh, MasyaAllah. Alhamdulillah kalau Mbak Wita