"Tamunya Mbak Selly sudah datang." Terdengar beberapa tetangga saling bisik. Mereka menunjuk dua mobil yang parkir di halaman rumah. Bima turun dengan didampingi dua anak kembarnya. Sementara Dimas dan Amelia mengikuti mereka dengan membawa beberapa kado untuk lamaran. Bima sudah menyiapkannya sesak beberapa hari yang lalu. Semua terasa lebih spesial karena Yuki dan Yuka membantu menyiapkannya. Mulai dari membeli beberapa barang yang dibutuhkan seperti tas, sandal dan gamis, lalu mereka juga membantu membungkusnya dengan kado. Tak lupa Bima menyiapkan sebuah cincin untuk mengikat hubungannya dengan Selly sebelum akad nikah digelar. Amran dan Romy menyambut kedatangan Bima dan keluarganya di teras rumah. Mereka saling berjabat tangan lalu mempersilakan laki-laki itu ke ruang keluarga dan duduk bersama keluarga yang lain. Beberapa tetangga membantu Amelia membawakan beberapa kado dan oleh-oleh lainnya. "Bima sudah datang, Sel. Jangan di kamar terus," ucap Ratna dengan senyum tipisny
Acara lamaran Selly dan Bima berjalan lancar. Keduanya akan menggelar resepsi pernikahan sebulan kemudian. Bima sudah menyiapkan segala sesuatunya. Persiapan pernikahan sudah 80% katanya. Mendengar cerita Bima, Selly merasa lega. Bima sudah merencanakan semuanya cukup matang jauh-jauh hari karena tak ingin melihat Selly kerepotan untuk menyiapkan semuanya sendiri. Semua tamu yang hadir masih asyik ngobrol sembari menikmati hidangan yang disajikan. Amran dan Bima pun tampak akrab ngobrol di samping pintu tengah. Sesekali tawa mereka terdengar. Suasana tampak meriah diiringi canda tawa mereka. Tak sadar ada seorang laki-laki yang mengawasi rumah itu dari luar. Laki-laki berjaket kulit itu beberapa kali memotret lalu mengirimkan foto dan pesan-pesannya pada seseorang. "Kami pamit ya, Jeng. Semoga acara resepsi Selly nanti berjalan lancar," pamit salah seorang tetangga yang diikuti tetangga lainnya. Mereka bersalaman pada tuan rumah dan beberapa tamu perempuan lainnya. Beberapa kerabat
"Kenapa murung begitu, Sayang? Ada masalah?" tanya Amran setelah makan malam di rumahnya. "Lihat deh, Mas." Zilva menunjukkan pesan dan foto yang dikirimkan Arumi kemarin malam padanya. Amran mengernyit. Dia menatap foto di layar handphone Zilva beberapa saat lalu bergeming. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu atau mungkin dia juga pernah bertemu dengan lelaki berjaket kulit itu. "Kamu harus hati-hati, Mas. Sepertinya dia selalu mengawasi kita. Kemarin dia juga mengikuti kita di rumah Mbak Selly. Kebetulan aku intip dari gorden jendela. Laki-laki itu ada di seberang jalan sembari menelepon seseorang," ucap Zilva kemudian membuat Amran semakin kaget. "Benar, Sayang? Kalau kamu lihat orang itu lagi, lekas telepon aku ya? Aku nggak mau kejadian yang lalu terulang lagi. Ingat, kalau ada paket mencurigakan nggak usah diterima. Misalkan kamu beli barang via online, kasih Pak Joko atau Pak Burhan dulu biar dibukakan." Zilva mengangguk lagi. "Kira-kira siapa peneror itu ya, Mas? Apa
Amran membuka pintu utama lalu menyambut Mayang dan Deswita yang bertamu ke rumahnya. "Assalamualaikum, Dan, Va. Maaf malam-malam mengganggu," ucap Mayang setelah Zilva dan Amran sampai teras. "Wa'alaikumsalam, Tante. Nggak apa-apa kok, baru jam delapan. Belum terlalu malam juga," balas Amran disertai anggukan Zilva. Mayang pun mengangguk lalu menyalami Zilva yang mendekatinya. "Masuk, Tante. Kita ngobrol di dalam saja," ajak Zilva ramah. Mayang dan Deswita mengiyakan. Keduanya duduk di sofa ruang tamu lalu memberikan oleh-olehnya pada Zilva. "Cuma kue lapis sama bika, Va." "MasyaAllah. Lain kali nggak perlu repot-repot, Tante." "Nggak repot kok. Kebetulan beli banyak tadi sekalian buat tetangga sekitar." "Oh, ada acara pentingkah, Tante? Sampai bagi-bagi camilan buat tetangga juga." "Deswita tunangan hari ini, Va. Dia setuju bertunangan dengan anak sahabat Tante, makanya sengaja bagi-bagi camilan sebagai ungkapan rasa syukur." "Oh, MasyaAllah. Alhamdulillah kalau Mbak Wita
[By, coba selidiki orang ini. Beberapa kali dia mengikutiku dan Zilva. Dia juga selalu mengawasi rumah dan cafe. Cari tahu siapa dia dan siapa yang menyuruhnya!]Amran mengirimkan pesan itu pada Roby, tangan kanannya. Roby yang saat ini masih menikmati secangkir kopi dan roti bakar di sebuah cafe gegas membalas pesan dari bosnya itu. Dia mengamati beberapa foto yang dikirimkan Amran. Tak terlihat jelas bagaimana wajahnya bahkan plat nomor motornya pun tak terlihat. Sepertinya memang sengaja ditutup agar tak terlihat orang lain. [Apa kamu kenal? Coba tanya anak buahmu, kali saja mereka kenal orang ini] Pesan terbaru Amran kembali muncul di layar. [Nggak jelas wajahnya, Mas. Aku harus menyelidikinya sendiri. Mereka juga nggak akan tahu kalau fotonya begini, Mas. Tenang saja, aku pasti bisa mendapatkan informasi tentang dia secepatnya] Amran manggut-manggut setelah mendapatkan balasan dari Roby. Dia menghela napas panjang lalu kembali latihan berjalan. Mondar-mandir dari ruang tamu s
Zilva baru saja menyelesaikan sarapannya dan mencuci peralatan makan di wastafel saat melihat Amran keluar kamar sembari menggendong Rafka. Wajah lelaki itu terlihat cemas dan tak baik-baik saja, membuat Zilva segera mendekat. "Sini sama mama, Sayang," ajak Zilva kemudian. Rafka tak menolak. Dia merangkul mamanya lalu memeluknya erat dalam gendongan. Amran masih mengetik di layar handphonenya untuk membalas pesan dari Hisyam. Setelah terkirim, dia mengikuti istri dan anaknya yang sudah duduk di sofa ruang tengah. "Kenapa, Mas? Apa ada masalah lagi?" tanya Zilva saat Amran melangkah perlahan ke arahnya. "Roby kecelakaan, Sayang." Amran menjatuhkan bobotnya ke sofa lalu menatap lekat Zilva yang duduk di sebelahnya. Ada Rafka di antara mereka berdua. "Innalilahi wa innailaihi roji'un. Kok bisa, Mas? Kejadiannya gimana dan dimana?" Zilva ikut shock mendengar kabar duka itu. Dia memberikan beberapa mainan untuk Rafka lalu fokus mendengarkan cerita Amran. Laki-laki itu memperlihatkan
"Racun, Mbak?" Pak Joko kaget saat mendengar Zilva mengucapkan kata itu. "Iya, Pak. Saya khawatir ada racunnya. Saya nggak bermaksud melarang Pak Joko makan nasi kotak ini. Hanya saja bapak tahu sendiri kalau akhir-akhir ini saya dan Mas Amran sering mendapatkan teror. Waktu itu ada paket berisi ular berbisa dan beberapa hari belakangan ada laki-laki yang mengawasi rumah ini. Mas Amran sudah bilang sama bapak untuk lebih berhati-hati kan?" tanya Zilva saat menerima kembali kresek dari Pak Joko. Laki-laki dewasa itu manggut-manggut setelah mendengarkan penjelasan bosnya. "Benar juga ya, Mbak. Mas Amran sering mengingatkan saya untuk lebih berhati-hati saat menerima paket apapun. Cuma pikir saya tadi nasi ini dari tetangga sini mana mungkin ada racunnya. Maaf kalau kurang teliti ya, Mbak," ucap Pak Joko kemudian. "Apa perlu dicek dulu Mbak ada atau tidaknya racun di nasi kotak ini?" Pak Joko kembali bertanya dan berpikir. "Nggak usah, Pak. Mungkin kita bisa tanya ke Bu Mirad apa ben
"Itu bukannya Pak Laksono supirnya Bu Mirad, Pak?" tanya Zilva lirih, tanpa mengalihkan pandangannya dari gerbang. Pak Joko yang masih bergeming di depannya pun mengiyakan. Dia masih kaget melihat supir Bu Mirad berdiri di depan gerbang. Jika laki-laki itu baru datang dengan kotak nasinya, lantas kotak nasi yang dibawa Pak Joko saat ini sebenarnya dari siapa?"Kotak nasi itu, Pak," lirih Zilva sembari menunjuk kantong plastik di tangan Pak Joko. Tak membuang waktu, Pak Joko buru-buru membuang box nasi di tangannya ke tong sampah lalu membuka gerbang. Pak Laksono tersenyum seraya sedikit menganggukkan kepala saat menatap Pak Joko dan Zilva. "Maaf kalau mengganggu, Pak, Mbak. Saya diutus Bu Mirad mengantarkan ini karena ada syukuran kecil-kecilan di rumah," ucap Pak Laksono sembari menyerahkan tiga kotak nasi di tangannya. Pak Joko menerima kotak nasi itu lalu mengucapkan terima kasih. Dia sempat melirik Zilva sebelum menerima pemberian Bu Mirad. "Kalau begitu saya permisi dulu, Pa