Romy menghela napas panjang sebelum menerima panggilan dari Fammy, perempuan yang mengaku sebagai selingkuhannya bahkan mengandung darah dagingnya itu. Tak ingin membuat Prilly semakin curiga atau buruk sangka, Romy sengaja menyalakan speaker handphonenya. Dengan begitu, tak hanya dia yang mendengarkan ucapan perempuan itu, tapi Prilly juga bisa ikut mendengarkannya dengan jelas. Tanpa ada yang ditutup-tutupi. "Kenapa lama banget angkat teleponnya, Mas?" Pertanyaan dengan suara manja terdengar membuat Prilly bergidik. Jijik sekali mendengar suara manja perempuan itu pada suaminya. Benar-benar nggak tahu malu. "Mau ngapain lagi kamu telepon? Jangan macam-macam, Fam. Aku nggak akan membiarkan kamu menghancurkan rumah tanggaku bersama Prilly. Meski saat ini aku belum bisa membuktikan jika semua ini sekadar rekayasamu, tapi aku yakin kalau kamu memang sengaja dan sadar melakukannya. Kalau nggak-- Belum sempat melanjutkan kalimatnya. Perempuan itu buru-buru memotong kalimatnya. "Kalau
Hari ini Amran dan Zilva datang ke rumah mamanya. Sejak kedatangan Fammy beberapa hari lalu, Ratna mulai gelisah. Dia benar-benar mengkhawatirkan keadaan Prilly. Ratna cukup trauma dengan perceraian Selly beberapa tahun lalu. Takut sekali jika Prilly memendam semuanya sendiri sampai akhirnya melakukan percobaan bunuh diri seperti yang dilakukan kakaknya waktu itu.Kesehatan Ratna mulai menurun sejak perempuan berbadan dua itu mengaku sebagai selingkuhan menantunya. Meski Prilly berusaha menenangkannya dan selalu bilang baik-baik saja, tapi Ratna tahu jika anak bungsunya itu juga pusing dengan masalah yang ada. Hanya saja, Prilly memang tipe orang yang lebih sabar dan tegar saat menghadapi badai rumah tangganya, berbeda dengan Selly yang sedikit plin-plan, grasak-grusuk dan tak bisa berpikir panjang ke depan saat melakukan suatu hal. Jika dibandingkan dengan kakaknya, Prilly jauh lebih baik dari segi emosional dan spiritual. Itu pula yang membuat Ratna tak terlalu was-was seperti wak
Suasana di rumah Selly hari ini cukup ramai. Selain keluarga inti, beberapa kerabat dan tetangga juga ikut hadir di sana. Mereka saling membantu menyiapkan beberapa menu masakan dan camilan untuk menyambut tamu spesial. Bima akan datang melamar Selly. Bima memang sudah tak memiliki orang tua dan saudara, tapi dia memiliki dua anak kembar yang jelita. Yuki dan Yuka ikut bahagia melihat senyum dan tawa ayahnya."Gimana penampilan ayah hari ini?" tanya Bima yang masih mematut diri di depan cermin kamarnya. Yuki dan Yuka mendekat lalu meneliti penampilan ayahnya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Keduanya sama-sama melipat tangan ke dada lalu mengacungkan ibu jarinya. "Tampan. Ayah terlihat sedikit lebih muda dibandingkan biasanya," balas Yuka dengan senyum lebar. "Benar, Ka. Ayah makin menawan dengan kemeja ini," sambung Yuki sembari memeluk ayahnya. "Syukurlah kalau begitu. Setelah ayah menikah dengan Tante Selly, nanti kalian memiliki saudara tiri bernama Ruri. Usianya masih tujuh
"Tamunya Mbak Selly sudah datang." Terdengar beberapa tetangga saling bisik. Mereka menunjuk dua mobil yang parkir di halaman rumah. Bima turun dengan didampingi dua anak kembarnya. Sementara Dimas dan Amelia mengikuti mereka dengan membawa beberapa kado untuk lamaran. Bima sudah menyiapkannya sesak beberapa hari yang lalu. Semua terasa lebih spesial karena Yuki dan Yuka membantu menyiapkannya. Mulai dari membeli beberapa barang yang dibutuhkan seperti tas, sandal dan gamis, lalu mereka juga membantu membungkusnya dengan kado. Tak lupa Bima menyiapkan sebuah cincin untuk mengikat hubungannya dengan Selly sebelum akad nikah digelar. Amran dan Romy menyambut kedatangan Bima dan keluarganya di teras rumah. Mereka saling berjabat tangan lalu mempersilakan laki-laki itu ke ruang keluarga dan duduk bersama keluarga yang lain. Beberapa tetangga membantu Amelia membawakan beberapa kado dan oleh-oleh lainnya. "Bima sudah datang, Sel. Jangan di kamar terus," ucap Ratna dengan senyum tipisny
Acara lamaran Selly dan Bima berjalan lancar. Keduanya akan menggelar resepsi pernikahan sebulan kemudian. Bima sudah menyiapkan segala sesuatunya. Persiapan pernikahan sudah 80% katanya. Mendengar cerita Bima, Selly merasa lega. Bima sudah merencanakan semuanya cukup matang jauh-jauh hari karena tak ingin melihat Selly kerepotan untuk menyiapkan semuanya sendiri. Semua tamu yang hadir masih asyik ngobrol sembari menikmati hidangan yang disajikan. Amran dan Bima pun tampak akrab ngobrol di samping pintu tengah. Sesekali tawa mereka terdengar. Suasana tampak meriah diiringi canda tawa mereka. Tak sadar ada seorang laki-laki yang mengawasi rumah itu dari luar. Laki-laki berjaket kulit itu beberapa kali memotret lalu mengirimkan foto dan pesan-pesannya pada seseorang. "Kami pamit ya, Jeng. Semoga acara resepsi Selly nanti berjalan lancar," pamit salah seorang tetangga yang diikuti tetangga lainnya. Mereka bersalaman pada tuan rumah dan beberapa tamu perempuan lainnya. Beberapa kerabat
"Kenapa murung begitu, Sayang? Ada masalah?" tanya Amran setelah makan malam di rumahnya. "Lihat deh, Mas." Zilva menunjukkan pesan dan foto yang dikirimkan Arumi kemarin malam padanya. Amran mengernyit. Dia menatap foto di layar handphone Zilva beberapa saat lalu bergeming. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu atau mungkin dia juga pernah bertemu dengan lelaki berjaket kulit itu. "Kamu harus hati-hati, Mas. Sepertinya dia selalu mengawasi kita. Kemarin dia juga mengikuti kita di rumah Mbak Selly. Kebetulan aku intip dari gorden jendela. Laki-laki itu ada di seberang jalan sembari menelepon seseorang," ucap Zilva kemudian membuat Amran semakin kaget. "Benar, Sayang? Kalau kamu lihat orang itu lagi, lekas telepon aku ya? Aku nggak mau kejadian yang lalu terulang lagi. Ingat, kalau ada paket mencurigakan nggak usah diterima. Misalkan kamu beli barang via online, kasih Pak Joko atau Pak Burhan dulu biar dibukakan." Zilva mengangguk lagi. "Kira-kira siapa peneror itu ya, Mas? Apa
Amran membuka pintu utama lalu menyambut Mayang dan Deswita yang bertamu ke rumahnya. "Assalamualaikum, Dan, Va. Maaf malam-malam mengganggu," ucap Mayang setelah Zilva dan Amran sampai teras. "Wa'alaikumsalam, Tante. Nggak apa-apa kok, baru jam delapan. Belum terlalu malam juga," balas Amran disertai anggukan Zilva. Mayang pun mengangguk lalu menyalami Zilva yang mendekatinya. "Masuk, Tante. Kita ngobrol di dalam saja," ajak Zilva ramah. Mayang dan Deswita mengiyakan. Keduanya duduk di sofa ruang tamu lalu memberikan oleh-olehnya pada Zilva. "Cuma kue lapis sama bika, Va." "MasyaAllah. Lain kali nggak perlu repot-repot, Tante." "Nggak repot kok. Kebetulan beli banyak tadi sekalian buat tetangga sekitar." "Oh, ada acara pentingkah, Tante? Sampai bagi-bagi camilan buat tetangga juga." "Deswita tunangan hari ini, Va. Dia setuju bertunangan dengan anak sahabat Tante, makanya sengaja bagi-bagi camilan sebagai ungkapan rasa syukur." "Oh, MasyaAllah. Alhamdulillah kalau Mbak Wita
[By, coba selidiki orang ini. Beberapa kali dia mengikutiku dan Zilva. Dia juga selalu mengawasi rumah dan cafe. Cari tahu siapa dia dan siapa yang menyuruhnya!]Amran mengirimkan pesan itu pada Roby, tangan kanannya. Roby yang saat ini masih menikmati secangkir kopi dan roti bakar di sebuah cafe gegas membalas pesan dari bosnya itu. Dia mengamati beberapa foto yang dikirimkan Amran. Tak terlihat jelas bagaimana wajahnya bahkan plat nomor motornya pun tak terlihat. Sepertinya memang sengaja ditutup agar tak terlihat orang lain. [Apa kamu kenal? Coba tanya anak buahmu, kali saja mereka kenal orang ini] Pesan terbaru Amran kembali muncul di layar. [Nggak jelas wajahnya, Mas. Aku harus menyelidikinya sendiri. Mereka juga nggak akan tahu kalau fotonya begini, Mas. Tenang saja, aku pasti bisa mendapatkan informasi tentang dia secepatnya] Amran manggut-manggut setelah mendapatkan balasan dari Roby. Dia menghela napas panjang lalu kembali latihan berjalan. Mondar-mandir dari ruang tamu s
"Assalamualaikum, Jeng Ratna. Gimana kabarnya?" Ratna, mamanya Amran menerima panggilan telepon. "Wa'alaikumsalam, Jeng Mayang. Alhamdulillah kabar saya dan keluarga baik. Kabar Jeng May sama Wita bagaimana?" balas Ratna dengan senyum tipis. Ternyata yang menelepon saat ini adalah Mayang, mamanya Deswita. Wanita paruh baya itupun gegas mencuci tangan di wastafel. Suara Mayang terdengar cukup keras saat loud speaker di handphone Ratna diaktifkan. "Alhamdulillah kami juga baik, Jeng. Kebetulan Wita sama suaminya baru pulang dari Singapure. Mereka bawa oleh-oleh lumayan banyak, sudah dibagi-bagi ke tetangga. Tadi pagi kami ke rumah Jeng Ratna, sayangnya nggak ada di rumah. Memangnya Jeng Ratna sekeluarga ke mana?" tanya Mayang perlahan. "Oh iya, Jeng. Sejak kemarin kami memang pergi hajatan ke rumah saudara. InsyaAllah sore nanti pulang, sengaja menginap semalam di sini. Wita baru pulang honeymoon ya, Jeng?" balas Ratna lagi. "Benar, Jeng. Mereka baru pulang honeymoon di Singapure.
"Tamu yang kamu tunggu datang tuh, Mas," ucap Arumi saat melihat Lana dan Dikta datang dari pintu utama. Berliana adalah perempuan yang disukai Radit sejak dulu, namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia justru menikah dengan Dikta, cinta pertamanya saat di sekolah putih abu-abu dulu. "Apa kamu bilang?" tanya Radit yang tak terlalu mendengar ucapan istrinya. Radit sempat melamun beberapa saat, jadi tak fokus dengan pembicaraan Arumi. "Tamu yang kamu tunggu sudah datang. Lihatlah, biar hatimu senang," ucap Arumi lagi dengan menahan sesak di dada. Radit cukup kaget saat melihat Lana datang bersama suaminya, lebih kaget lagi saat mendengar ucapan sang istri perihal masa lalunya. Dia memang sempat cerita soal Lana sekilas, tapi tak menyangka jika Arumi mengenali wajah perempuan itu. Tanpa Radit tahu jika Arumi sempat melihat Lana di album foto mertuanya bahkan ada foto perempuan itu di dompet suaminya. "Kamu tahu darimana kalau dia Lana?" tanya Radit gugup. Dia menatap Arumi beber
Suasana begitu meriah saat keluarga Amran sampai ke gedung tempat pernikahan Arumi dan Radit digelar. Sepasang pengantin sudah duduk di pelaminan. Arumi tampak cantik dan anggun dengan kebaya berwarna biru mudanya. Radit pun terlihat lebih tampan dan menawan dengan warna jas yang sama."Zilva!" Arumi melambaikan tangan pada Zilva yang baru memasuki gedung. Zilva tersenyum sembari memberikan kode agar sahabatnya itu bisa menjaga sikap karena banyak tamu yang datang. "Mas, aku ke sana sebentar ya?" ucap Zilva saat ingin menghampiri Arumi di pelaminan. "Iya, Sayang. Aku tunggu di sini sama mama. Mbak Selly juga mau ikut itu," balas Amran sembari menunjuk kakaknya yang melangkah paling belakang. "Iya, Mas. Mbak Selly juga mau ngucapin selamat." Zilva tersenyum tipis. "Kenapa nggak sekalian nanti aja pas mau pulang?""Kelamaan, Mas. Arumi sudah lihat tadi, lagipula cuma salaman aja, nanti ke sini lagi," bisik Zilva dibalas dengan anggukan suaminya. Zilva pun menggandeng Rafka lalu men
Robby, tangan kanan Amran itu tiba-tiba datang tanpa mengirimkan pesan terlebih dahulu. Sepertinya ada kabar penting yang dia bawa, makanya buru-buru datang meski dia juga tahu kalau Amran dan keluarganya ada acara saat ini. "Maaf mengganggu, Mas. Ada berita penting yang harus saya sampaikan secepatnya," ucap Robby sembari mengikuti langkah bosnya ke teras rumah. Amran duduk di salah satu kursi teras lalu disusul oleh Robby yang menduduki kursi lain. "Soal apa? Kecelakaan Prilly?" tebak Amran seketika. Namun, Robby menggeleng pelan membuat Amran mengernyit. "Kalau bukan itu, lantas soal apa?" tanyanya penasaran karena tebakan yang diyakininya benar justru salah besar. "Soal lelaki berjaket kulit yang selama ini meneror keluarga bos." Robby mengangguk pelan berusaha meyakinkan saat Amran menatapnya lekat. "Kenapa dia? Sudah tertangkap?" Kali ini Robby menggeleng. "Lantas? Lincah sekali dia, bisa-bisanya kamu dan anak buahmu tak mampu menangkapnya setelah sekian lama berusaha mel
Zilva merahasiakan permasalahan Arumi dengan calon suaminya dari Amran. Dia ingin menjaga perasaan sahabatnya, meskipun Amran sedikit tahu tentang kisah percintaan Arumi saat ini. Kisah cinta yang datang dari sebuah perjodohan, sementara Radit belum selesai dengan masa lalunya. "Cantik," puji Amran saat melihat istrinya keluar dari kamar dengan gamis abu-abunya. Rafka dan Amran pun memakai kemeja dengan warna yang sama. "Bukannya dari dulu memang cantik, Mas? Lupa?" Zilva sedikit mencibir saat digoda suaminya. "Nggak lupa dong. Lagipula kalau nggak cantik, mana mungkin jadi istri seorang Amran." "Oo ... jadi, kriteria menjadi istri Amran itu hanya cantik saja?" Zilva melirik malas. "Cantik wajahnya memang banyak, tapi yang cantik wajah dan hatinya itu nggak akan banyak." Amran menarik pelan dagu istrinya lalu mencium kening dan bibirnya."Kalian sudah siap?" Tiba-tiba mama Amran muncul dari ruang tamu. Sepertinya dia baru saja datang bersama Selly dan Ruri. "Astaghfirullah!" pek
"Om Galih ya, Mas?" tanya Zilva setelah Amran mengakhiri panggilan. Laki-laki itu pun mengangguk lalu meletakkan kembali benda pipih kecil berwarna hitam itu ke meja. "Om Galih bilang kalau Lala akan segera bebas sekitar enam bulan lagi." Zilva manggut-manggut. "Lala masih berharap kalau kamu bakal jenguk dia?" tebak Zilva yang tahu apa inti pembicaraan itu. Zilva paham bagaimana keinginan Lala, tapi dia juga mengerti bagaimana keputusan suaminya yang tak ingin berhubungan dengan mantan istrinya itu lagi. "Biar sajalah, Sayang. Makin ribet kalau nanti berurusan dengan dia lagi. Kita nggak tahu apakah tiga tahun penahanannya itu membuatnya benar-benar jera atau justru menimbulkan dendam semakin dalam." "Jenguk saja sekali, Mas. Nggak ada salahnya kan?" bujuk Zilva lagi. Namun, Amran justru hanya membalas dengan hembusan napas kasar lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kamu lupa bagaimana sepak terjangnya selama ini? Dia nyaris memisahkan kita dan membuat kita selalu ribut, Saya
"Assalamualaikum. Bagaimana kabarmu, Ran?" Suara dari seberang mengingatkan Amran dengan seseorang yang begitu dia kenal. Amran mengernyit. Dia tak tahu mengapa tiba-tiba laki-laki itu meneleponnya dengan nomor baru. "Wa'alaikumsalam, Pa. Alhamdulillah kabar baik. Papa sama mama gimana?" tanya Amran pada Galih, orang tua Lala yang tak lain mantan istri keduanya. "Alhamdulillah kami baik, Ran." Amran mengucap Hamdallah saat mendengar berita baik itu. "Sudah lama tak kasih kabar, papa hanya mau bilang kalau nomor yang lama hilang. Ini nomor baru papa." "Iya, Pa. Nanti Amran simpan nomornya. Maaf belum bisa jenguk papa dan mama. Akhir-akhir ini cukup banyak masalah dan Amran harus menyelesaikannya satu persatu." Amran menghela napas panjang. Sejak perceraiannya dengan Lala beberapa bulan silam, Amran memang hanya dua atau tiga kali menjenguk mertuanya. Itupun karena mama mertuanya sakit. Setelahnya, dia tak pernah ke sana lagi karena memang banyak masalah yang menimpa keluarganya.
"Fika, sini sama Tante." Zilva menyambut Fika dengan hangat. Gadis cantik itu dititipkan pada Zilva dan Amran selama Prilly masih di klinik. Romi yang bekerja sebagai karyawan swasta tak mungkin bisa menjaga Fika 24 jam. Dia harus bekerja dan menjenguk istrinya. Oleh karena itulah, pilihan terakhir dan terbaik memang menitipkan Fika pada Zilva karena dia yang selalu di rumah. "Tante, maaf kalau Fika ganggu Tante Zilva ya," ucap Fika dengan polosnya. "Nggak ganggu, Sayang. Tante justru senang Fika di sini. Adik Rafka ada yang nemenin main. Iya kan?" Zilva jongkok, mensejajari Fika yang berdiri di depannya. Dia pun tersenyum lalu mengusap puncak kepala Fika yang menatapnya dengan berbinar. "Iya, Tante. Fika mau ajak adik Rafka main," balas Fika sembari berlari kecil ke arah Rafka yang bermain bola di ruang tengah. Zilva dan Amran saling tatap lalu sama-sama tersenyum. Amran merangkul istrinya saat melangkah beriringan mendekati Rafka dan Fika. Mereka membicarakan tentang keadaan Pr
"Gimana keadaan Prilly, Ma?" tanya Amran saat mamanya menjemput di depan pintu utama klinik Amal Sehat. "Alhamdulillah Prilly membaik, Ran. Dia cuma agak trauma saja." Amran menatap mamanya lekat."Trauma gimana, Ma?" lirih Amran sembari melangkah ke kamar inap Prilly. "Dia bilang beberapa kali tak sengaja lihat ada yang mengikutinya. Sebelum ke pasar tadi dia juga sudah lihat laki-laki yang menabraknya itu, tapi Prilly mencoba berbaik sangka. Ternyata, firasatnya memang benar kalau laki-laki itu ingin mencelakainya." Ratna menjelaskan semuanya pada Amran. "Jadi, Prilly memang sengaja ditabrak?" tanya Amran lagi saat berhenti di depan kamar inap Prilly. Ratna pun mengangguk. "Dia kabur setelah melihat Prilly tergeletak di trotoar." "Kurang ajar," gumam Amran begitu geram. Jemari-jemarinya mengepal. Dia tak akan tinggal diam melihat adiknya diperlakukan semena-mena seperti itu. "Sudahlah, Ran. Yang penting sekarang kesembuhan Prilly dulu. Soal pelakunya kita urus belakangan." "N