POV. Luna"Ini, Non, tasnya memang tertinggal di kamar tamu. Maaf, saya agak lama. Ternyata di kamar tamu, ada tumpahan bakso, saya harus membersihkan terlebih dahulu. Mana baksonya kecil-kecil, menggelinding ke mana-mana," ucap Bu Indah, sambil tertawa kecil."Mohon maaf, Bu. Itu semalam saya yang memecahkan mangkoknya. Habisnya saya syok. Ternyata laki-laki yang dulu sering kuceritakan kepada Bu Indah, tidak lain adalah laki-laki yang sering diceritakan oleh Bu Indah sebagai majikannya," jawabku."Maaf, jujur, saya juga dulu tidak tahu, jika Luna yang pernah diceritakan oleh Bara, itu adalah Non Luna. Saya sering melihat fotonya. Tapi kayaknya, berbeda. Saya tahunya baru satu tahun yang lalu, kalau Lunanya Bara, ya Non Luna. Tapi Bara melarang Ibu untuk bercerita kepada siapa pun. Lagian Bara juga jarang ada di rumah," ucap Bu Indah."Sekali lagi, saya minta maaf, Bu. Sudah memecahkan mangkoknya," ucapku.Bu Indah tersenyum. Memberikan tas itu kepadaku.Kuterima tas itu, dan kuraba
Pov. AksaMelihat Luna yang menc*kik Ibunya Bunga dengan begitu kejam, dan melihat Bunga yang menjerit histeris karena ketakutan, sebenarnya aku merasa iba, dengan dua perempuan itu.Bagaimanapun juga, aku ikut andil dalam kejadian yang terjadi saat ini. Aku juga bersalah.Namun aku juga tidak berani untuk menyalahkan Luna. Aku tahu, bagaimana rasa sakit hatinya.Apalagi jika sampai Luna mengira bahwa aku lebih membela Bunga dan keluarganya. Bisa-bisa justru akulah yang mendapat giliran untuk dicekiknya.Akhirnya aku lebih memilih cara halus, untuk menaklukkan istriku. Kupeluk dia. Agar hatinya menjadi lebih tenang. Dan benar saja, setelah itu, dia pun menjadi bersikap normal.Dalam perjalanan pulang, aku senantiasa ingat dengan ibunya Bunga, yang hingga kepulanganku, bahkan wajahnya masih tampak pucat itu.Aku takut, jika terjadi sesuatu kepadanya. Bagaimana jika nanti Luna justru harus dimintai pertanggungjawaban. Bagaimana jika nanti, masalahnya justru semakin panjang.Akhirnya, ak
POV. Aksa"Maaf, ya?" ucapku kepada perempuan yang sedang berbaring itu.Dia mengangguk. Senyumnya tersungging indah. Namun senyum itu berbarengan dengan air matanya. Sungguh, aku merasa tidak tega.Kenapa semuanya menjadi seperti ini. Di saat aku ingin memperbaiki rumah tanggaku, Bunga justru hamil karena benihku.Di sini bukan hanya Luna yang terluka. Bunga pun sama terlukanya. Betapa tidak adilnya aku. Aku telah menyia-nyiakan wanita yang sedang mengandung benihku."Maaf, aku pulang dulu," ucapku, sambil beranjak dari tempat dudukku.Bunga mengangguk sambil tersenyum."Terimakasih, sudah menjengukku. Aku sangat bahagia. Meskipun dengan perhatian kecil, aku sudah merasa sangat bahagia sekali."Lagi-lagi, ucapan Bunga mampu mengetuk hatiku. Itulah bedanya Bunga dengan Luna. Bunga cenderung lebih bisa menghargaiku.Aku merasa dianggap, aku merasa dihargai.Aku menyempatkan diriku untuk menatap wajah yang sebenarnya memang cantik itu. Kemudian aku lekas memutar tubuhku, berjalan ke ara
POV. AksaYa Allah, jadi dari tadi siang, kunci ini terbawa olehku? Aku pun lekas masuk ke dalam, menyalakan semua lampunya.Aku segera keluar lagi, ingin mencari istriku. Mungkin di rumah orang tuaku. Namun baru saja aku sampai di teras, aku sudah menemukan istriku yang sedang tertidur di kursi teras. Leganya. Aku pun segera mengajaknya ke dalam. Untungnya, dia tidak bertanya tentang banyak hal. Jadi aku tidak perlu susah-susah mengarang cerita.Kami pun tertidur, hingga pagi menjelang.Sebelum adzan subuh, aku sudah bangun, dan langsung ke masjid. Sebentar lagi, aku akan memiliki dua istri. Itu artinya, aku harus semakin tekun melakukan ibadah wajib.Di jalan depan, ternyata tetanggaku yang tidak pernah muncul ke permukaan itu, juga sedang berjalan menuju ke masjid.Kami pun melangkah kaki dengan cepat, tanpa banyak berbicara.Setelah selesai berjamaah, kami mampir di tempat penjual bubur ayam. Aku makan di tempat. Begitu juga, dia. Aku membungkus dua. Begitu juga, dia. Dan tanpa ku
POV. AksaTapi dari mana, aku akan mendapatkan uang untuk biaya pernikahan? Aku tidak mungkin meminta kepada Luna. Dia tentu tidak mau memberikan uang itu."Baiklah, nanti aku akan mengabarimu, jika semuanya sudah beres," jawabku.Kuiyakan saja permintaannya. Daripada nanti dia kecewa dan sakit hati, dan akhirnya mengancam ingin menyebarkan video itu. Entah nanti bagaimana caranya, untuk mendapatkan uang. Akan kupikirkan nanti."Terimakasih. Aku tahu, kamu memang yang terbaik buat aku. Aku merasa sangat beruntung, bisa bertemu kembali denganmu. Aku tahu, kamu adalah laki-laki yang baik. Laki-laki yang bertanggung jawab. Aku tidak pernah menyesal, telah mempersembahkan kehormatanku kepadamu. Lihatlah, aku sekarang sedang mengandung anakmu. Buah cinta kita."Bunga kembali mengusap perutnya dengan wajah yang terlihat sumringah. Dia melambaikan tangannya. Memberikan isyarat, agar aku mendekat ke arahnya.Aku pun mendekat. Tanganku diraihnya. Kembali, dia membawa telapak tanganku untuk dit
Aku pun membayar cincin itu, kemudian pergi dari toko itu.Keluar dari toko, aku ingin menelpon istriku. Aku ingin bertanya, apakah dia masih di butik. Jika masih, aku ingin mampir ke butiknya.Karena saking sibuknya, seharian ini, aku bahkan tidak menyalakan ponsel. Seharian ini, aku juga tidak menelepon Luna. Jam makan siang, aku juga tidak datang ke butiknya. Aku sibuk mengejar pekerjaan yang selama ini memang keteteran.Ponsel pun kuhidupkan dayanya.Ada banyak sekali chat yang ada. Entah dari siapa saja, karena saking banyaknya.Kebanyakan dari chat yang ada, adalah bertanya tentang siapa yang sakit. Aku menjadi bingung, kenapa ada banyak tanggapan statusku? Perasaan aku tidak membuat status apa pun.Kubuka, kolom status. Kulihat status apa yang kuunggah. Mataku membulat sempurna, begitu melihat apa yang terunggah di akunku itu.Astaghfirullah, kenapa ada status seperti ini? Unggahan berupa gambar tiang dengan botol dan selang infus. Juga ada bubur ayam, di meja kecil dekat selan
"Aku jijik, membayangkan suamiku yang ternyata pandai bersandiwara. Kamu adalah laki-laki munafik yang pernah ada!"Kembali, Luna berteriak. Kemudian, dia menjalankan kursi rodanya, masuk ke rumah. Aku pun mengikutinya."Sayang, maaf, aku bukan bermaksud ingin membohongimu. Tapi perempuan yang kemarin kau cekik lehernya, dia mengalami sesak nafas. Sampai-sampai, bernafasnya harus dibantu dengan selang oksigen. Mau tidak mau, aku harus ke sana. Aku tidak ingin, kamu terkena masalah. Bagaimana jika perempuan itu mati? Bukankah nantinya, kamu juga, yang repot? Aku tidak ingin kamu masuk penjara, Sayang ...."Aku berusaha berkata dengan sangat lembut dan penuh kehati-hatian. Jangan sampai, Luna bertambah marah."Dari mana kamu tahu, kalau perempuan tua itu, sesak nafas?" tanya dia dengan suara yang dingin dan terdengar menakutkan. Matanya menatap ke arah bola mataku. Dia seolah sedang mencari kejujuran. Tidak sedikit pun memberikan celah untukku mengarang kebohongan."Bunga yang menelponk
Kubuka ponselku. Kubuka aplikasi hijau. Maksud hati ingin menelpon Luna. Namun baru saja aku buka, justru sudah ada panggilan video dari Bunga. Karena kesal, aku pun menolak panggilan itu.Berkali-kali dia mencoba memanggilku dengan panggilan video. Berkali-kali pula, aku menolaknya.Akhirnya, karena tidak ingin diganggu, aku pun kembali mematikan data ponselku.Kulangkahkan kakiku menuju rumah Bu Indah. Tetangga yang paling dekat dengan istriku. Siapa tahu, Bu Indah tahu tentang keberadaan Luna.Kuketuk rumah mewah itu. Kutekan bel yang ada di samping pintu, berkali-kali. Namun tidak ada orang yang keluar.Mobil milik Bara yang kadang terparkir di halaman, kini juga tidak tampak. Rumah besar yang menjulang ini, tampak sepi tidak berpenghuni.Aku pun kembali dengan tangan kosong. Melangkah pelan pulang ke rumah.Ponselku berdering kembali. Panggilan telepon biasa. Lagi-lagi, Bunga yang menelponku.Kuabaikan saja. Otakku sedang dipenuhi oleh Luna. Bagaimana pun juga, dia adalah perempu