POV. LunaDengan tangan gemetar, aku segera membuka layar ponselku. Kucari nomor kontak dengan nama Bu Indah. Hanya dia orang yang bisa kuminta pertolongan, saat ini. Tetangga lain, mungkin mereka sudah tertidur, di jam seperti ini. Berkali-kali aku mencoba menelpon Bu Indah, tetap saja gagal. Apa mungkin ponselnya tidak aktif? Nomer ponselnya Pak Bagus, atau Bara, aku tidak punya. Selama ini, aku tidak pernah punya kepentingan kepada mereka, jadi aku tidak tahu nomor ponselnya.Mencoba kucari nomer Pak Bagus di sebuah WA grub RT. Ketemu. Ada, nomer Pak Bagus. Aku pun mencoba menelponnya. Tersambung dan diangkat. Alhamdulillah. Semoga Allah memberiku pertolongan lewat tangan-tangan orang itu. "Pak, tolong, rumah saya, ada orang yang masuk."Aku berucap dengan suara yang bergetar. Tanganku gemetar, memegang ponsel yang ada. "Ini siapa?" tanya Pak Bagus. Mungkin saja Pak Bagus juga tidak menyimpan nomor ponselku, jadi beliau tidak tahu, dengan siapa beliau sedang berbicara. "Lu
POV. LunaSatu di antara mereka, bahkan sudah menarik celana panjangku. Namun tidak berhasil. Karena celana ini terlalu kuat dan tebal. "Ayo, bilang! Di mana, uang dan perhiasanmu?!"Satu laki-laki itu, mencengkeram kedua pipiku. Sementara, yang satunya lagi, memegang tubuhku. Aku sama sekali tidak berdaya, melawan mereka. Aku hanya bisa berdoa dalam hati. Dan tiba-tiba saja, ada suara tembakan di halaman rumahku. Suasana mendadak gaduh. Derap langkah kaki seperti orang yang berlari, terdengar semakin mendekat. Beberapa pria berseragam coklat, terlihat masuk ke kamarku. Mereka menodongkan senjata laras pendek, ke arah dua penjahat itu. Namun, naasnya, dua penjahat itu justru menyandera aku.Leherku dipasang pisau. Tubuhku semakin gemetar, tidak bisa kukendalikan. Mungkinkah, umurku hanya akan sampai di sini say? Dan tiba-tiba saja, aku dibuat lebih terkejut lagi. Suara tembakan, terdengar persis di samping telingaku. Pisau yang dipegang oleh laki-laki itu, jatuh tepat di pang
Pov. AksaMalam ini, saat aku bersama Bunga sedang memulai memadu kasih, tiba-tiba ponselnya Bunga berdering. Kami biarkan saja, hingga deringnya mati sendiri. Namun baru saja deringnya mati, tiba-tiba langsung berdering lagi. Begitu seterusnya. Hingga akhirnya aku menyuruh Bunga untuk melihat ponselnya. "Siapa?" tanyaku. "Tidak tahu," jawab Bunga."Lihat, coba,"Aku mengulurkan tanganku. Bunga pun memberikan ponselnya. Ponsel pun berdering kembali. Nomer ini, aku hafal. Ini nomer ponselnya Papa. Kenapa Papa menelpon Bunga? Dari mana dia tahu, nomernya Bunga? Selang beberapa detik, Papa sudah mengirimkan sebuah pesan.[Tolong beritahu Aksa, untuk pulang ke rumahnya sekarang juga, jika kalian masih ingin bekerja di perusahaan yang sekarang menjadi tempat kalian bekerja.][Atau perselingkuhan kalian, akan saya laporkan kepada pihak perusahaan, biar kalian dipecat bersama-sama.] Dari mana juga Papa tahu, jika saat ini, aku sedang bersama Bunga? Apakah Luna sudah mengadukan pernikaha
POV. AksaSatu tangan kiri Mama, memegang tangannya Papa. Sementara, satu tangan kanannya, mengusap-usap punggungnya Papa. Aku hanya berani berdiri di pintu utama. Kulihat, Luna pun duduk berhadapan dengan Mama, didampingi oleh Bu Indah. "Mohon maaf, Non Luna, saya mau pamit dulu. Sebentar lagi, suami saya pulang, di rumah tidak ada orang," pamit Bu Indah.Mungkin Bu Indah sengaja pulang, karena merasa tidak enak dengan keributan yang sedang terjadi. Dari tempatku berdiri, aku melihat dua polisi baru saja keluar dari dalam. Mereka membawa pisau yang terbungkus plastik.Sebenarnya, apa yang baru saja terjadi di rumah ini?Orang-orang yang ada di luar pun, sudah mulai pulang ke rumahnya masing-masing. Para polisi itu, berpamitan kepada kami."Kami permisi dulu. Ibu Luna, besok harap datang ke kantor polisi. Masalah kekeluargaan kalian, harap bisa diselesaikan secara kekeluargaan, ya, Pak?" ucap polisi itu kepada Papa."Iya, Pak. Terimakasih, untuk semua bantuannya. Kami tidak tahu, a
POV. Aksa"Sayang, kamu yakin, mau tinggal di rumah Papa?" tanyaku.Luna hanya menatapku sekilas. Kemudian dia kembali sibuk dengan memasukkan baju-baju itu ke dalam koper. Benar-benar perempuan yang angkuh."Luna, kamu dengar tidak, aku bertanya apa?" Nada suaraku mulai meninggi. "Tidak usah teriak-teriak. Aku sudah dengar."Akhirnya, bibir itu pun bersuara. Meski jawaban yang dikeluarkan, sangat tidak memuaskan. Mungkin aku harus merubah intonasi suaraku. Semoga saja, aku bisa membujuk Luna untuk tetap tinggal di sini. "Sayang, aku minta maaf. Aku beberapa hari ini tidak pulang. Jujur, aku merasa tersinggung, kamu meludahiku berkali-kali. Aku juga marah, kamu sudah membanting ponselku. Tapi jika boleh jujur, aku masih sangat mencintaimu. Bahkan yang ada di hatiku, ya cuma kamu. Bunga hanya kujadikan sebagai pelampiasan saja. Ada alasan yang lebih penting lagi, kenapa aku tidak pulang. Aku sedang berusaha membujuk Bunga untuk menyerahkan video itu. Nanti jika video itu sudah ada d
POV. AksaTerus terang, aku ingin membalas sakit hatiku terlebih dahulu. Akan kubuat dia menjadi bucin kepadaku. Bahkan lebih bucin lagi dari sebelum-sebelumnya. Saat dia sedang merasa begitu gila karena mencintaiku, maka saat itulah, aku akan menceraikannya. Aku bahkan heran dengan perempuan yang satu ini. Selama ini, aku selalu berusaha bersikap baik kepadanya. Selalu mengalah dengan sifat keras kepalanya. Sebagai seorang suami, aku nyaris tidak punya cela.Tapi hanya gara-gara kesalahanku yang hanya satu kali saja, dia mendadak melupakan semua kebaikanku. Melupakan semua kenangan yang pernah kami lewati selama dua tahun ini. Ibarat nila setitik, rusak susu sebelanga. Mungkin itu adalah pepatah yang cocok untuk kami berdua.Sudah berbagai cara kucoba untuk meminta maaf. Namun dia tetap saja menyimpan curiga. Bahkan hingga seluruh uangku, kuberikan semua, dia tetap bersikap sama. Keras kepala. Semua uang hasil jerih payahku, bekerja lembur membanting tulang, bertahun-tahun lamany
Pov. LunaSetelah tiga malam berturut-turut dia tidak pulang, jujur aku sebenarnya ada rindu di sudut hati kecilku. Bagaimanapun, dia itu adalah satu-satunya laki-laki, yang sering menyatukan raganya denganku. Ada rasa rindu, yang menuntut untuk segera dilabuhkan. Sebenci apa pun aku dengan tingkahnya, tetap saja, rasa cinta itu masih ada. Karena dia adalah laki-laki yang selama dua tahun ini mengobati sepiku. Namun setelah peristiwa yang baru saja terjadi, di mana aku hampir kehilangan semuanya, dan ternyata suamiku justru sibuk dengan gundiknya, seketika, mataku pun terbuka. Aku tidak boleh mempertahankan pernikahan yang sudah tidak sehat ini. Aku harus segera meminta cerai dari laki-laki yang sudah tidak lagi mencintaiku ini. "Mas, bagaimana jika kita tercerai saja? Lepaskan aku. Biar kamu bisa puas bersenang-senang dengan gundikmu."Kuberanikan diriku, meminta cerai dari suamiku. Semoga dia akan segera mengiyakan. Toh, dia sudah ada lain perempuan."Sayang, jangan bicara sepe
POV. Luna"Kamu ngapain di sini, Mas?"Aku bertanya dengan spontan, begitu melihat bahwa orang yang sedang berdiri di hadapanku itu adalah Bara."Memangnya, tidak boleh? Bukankah tempat ini, adalah tempat umum?" jawabnya santai. "Maaf ... heran saja. Kan kamu belum pernah ke sini, sebelumnya," jawabku. "Bisa jadi, mulai hari ini, aku bakalan sering ke sini," jawabnya."Mau ngapain?" tanyaku."Ya mau belanja, lah. Masak mau ngapelin kamu? Yang ada ntar aku kena tonjok suami kamu."Bara berjalan menghampiri deretan kemeja lengan pendek. Dia mengambil banyak sekali baju dengan dengan warna dan model yang sama. "Kenapa banyak sekali?" tanyaku. "Buat karyawan aku," jawabnya singkat, tanpa menoleh ke arahkan.Lagaknya benar-benar sangat cool. Seolah-olah, dia tidak peduli sama sekali dengan keberadaanku yang saat ini sedang ada di sampingnya."Oh, iya. Makasih, ya, Mas, semalam sudah menolongku. Aku malah lupa, tidak bilang terimakasih," ucapku. "Menolong apaan? Bahkan aku semalam mala