POV. AksaTerus terang, aku ingin membalas sakit hatiku terlebih dahulu. Akan kubuat dia menjadi bucin kepadaku. Bahkan lebih bucin lagi dari sebelum-sebelumnya. Saat dia sedang merasa begitu gila karena mencintaiku, maka saat itulah, aku akan menceraikannya. Aku bahkan heran dengan perempuan yang satu ini. Selama ini, aku selalu berusaha bersikap baik kepadanya. Selalu mengalah dengan sifat keras kepalanya. Sebagai seorang suami, aku nyaris tidak punya cela.Tapi hanya gara-gara kesalahanku yang hanya satu kali saja, dia mendadak melupakan semua kebaikanku. Melupakan semua kenangan yang pernah kami lewati selama dua tahun ini. Ibarat nila setitik, rusak susu sebelanga. Mungkin itu adalah pepatah yang cocok untuk kami berdua.Sudah berbagai cara kucoba untuk meminta maaf. Namun dia tetap saja menyimpan curiga. Bahkan hingga seluruh uangku, kuberikan semua, dia tetap bersikap sama. Keras kepala. Semua uang hasil jerih payahku, bekerja lembur membanting tulang, bertahun-tahun lamany
Pov. LunaSetelah tiga malam berturut-turut dia tidak pulang, jujur aku sebenarnya ada rindu di sudut hati kecilku. Bagaimanapun, dia itu adalah satu-satunya laki-laki, yang sering menyatukan raganya denganku. Ada rasa rindu, yang menuntut untuk segera dilabuhkan. Sebenci apa pun aku dengan tingkahnya, tetap saja, rasa cinta itu masih ada. Karena dia adalah laki-laki yang selama dua tahun ini mengobati sepiku. Namun setelah peristiwa yang baru saja terjadi, di mana aku hampir kehilangan semuanya, dan ternyata suamiku justru sibuk dengan gundiknya, seketika, mataku pun terbuka. Aku tidak boleh mempertahankan pernikahan yang sudah tidak sehat ini. Aku harus segera meminta cerai dari laki-laki yang sudah tidak lagi mencintaiku ini. "Mas, bagaimana jika kita tercerai saja? Lepaskan aku. Biar kamu bisa puas bersenang-senang dengan gundikmu."Kuberanikan diriku, meminta cerai dari suamiku. Semoga dia akan segera mengiyakan. Toh, dia sudah ada lain perempuan."Sayang, jangan bicara sepe
POV. Luna"Kamu ngapain di sini, Mas?"Aku bertanya dengan spontan, begitu melihat bahwa orang yang sedang berdiri di hadapanku itu adalah Bara."Memangnya, tidak boleh? Bukankah tempat ini, adalah tempat umum?" jawabnya santai. "Maaf ... heran saja. Kan kamu belum pernah ke sini, sebelumnya," jawabku. "Bisa jadi, mulai hari ini, aku bakalan sering ke sini," jawabnya."Mau ngapain?" tanyaku."Ya mau belanja, lah. Masak mau ngapelin kamu? Yang ada ntar aku kena tonjok suami kamu."Bara berjalan menghampiri deretan kemeja lengan pendek. Dia mengambil banyak sekali baju dengan dengan warna dan model yang sama. "Kenapa banyak sekali?" tanyaku. "Buat karyawan aku," jawabnya singkat, tanpa menoleh ke arahkan.Lagaknya benar-benar sangat cool. Seolah-olah, dia tidak peduli sama sekali dengan keberadaanku yang saat ini sedang ada di sampingnya."Oh, iya. Makasih, ya, Mas, semalam sudah menolongku. Aku malah lupa, tidak bilang terimakasih," ucapku. "Menolong apaan? Bahkan aku semalam mala
POV. Luna"Enggak ada yang direpotkan. Lagian kan rumah kita juga tetanggaan. Tinggal ke luar lima langkah, sudah sampai. Atau kalau enggak, gini aja. Kalau suami kamu nggak pulang, kamu ngomong sama aku,"Bara berucap sambil mengedipkan sebelah matanya. Spontan aku langsung menimpuk tubuhnya dengan tumpukan baju-baju yang ada di tanganku. Dia pun tertawa kecil, kemudian lekas berjalan ke kasir, membayar semua belanjaannya. ******Sorenya, sepulang dari butik, aku segera membersihkan diri. Kutunggu kepulangan suamiku.Sambil menunggu kepulangan suamiku, aku menghubungi temanku yang berprofesi sebagai seorang pengacara, Nadin, namanya. Dia teman SMA ku. Saat kuliah pun, kami satu kampus, berbeda jurusan. Dari jaman sekolah dulu, memang dia sudah punya cita-cita ingin menjadi pengacara. Selain cerdas, dia juga tangkas, dan pandai berbicara dengan berputar-putar. Kuceritakan lewat telpon, tentang kondisi rumah tanggaku, tanpa ada yang kututupi. Kumintai pendapatnya.Kuceritakan renca
POV. Luna"Ok, Luna. Ok. Kamu jangan marah. Aku bukannya tidak mau membantumu. Baiklah. Kapan rencananya kamu akan bercerai?" tanya Nadin kemudian. "Satu bulan lagi," jawabku. "Kenapa harus menunggu hingga satu bulan? Kenapa tidak secepatnya saja, jika kamu sudah mantap mengambil keputusan?""Mas Aksa tidak mau. Dia tidak mau menalakku. Mungkin dia itu mau dua-duanya. Mau sama aku, mau sama gundiknya juga. Tapi semalam aku sudah membujuknya. Dia mau menalakku, satu bulan lagi. Selama satu bulan itu, aku masih tetap harus menjadi istrinya. Harus tetap melayaninya dengan baik, selayaknya seorang istri. Itu syarat yang dia ajukan, supaya aku bisa mendapatkan ikrar talak darinya. Makanya, aku akan meminta bantuanmu, supaya kamu membuatkan surat perjanjian untuk suamiku. Jangan sampai, nanti satu bulan lagi, dia berubah pikiran dan tidak mau menceraikan aku. Selama satu bulan ini, aku akan berusaha menjadi istrinya yang baik. Agar dia bisa mengenang hal-hal yang baik, tentangku. Agar nan
POV. BaraPov. BaraSaat aku keluar dari rumah sakit untuk merawat lukaku, aku melihat mobilnya Luna yang terparkir tidak jauh dari mobilku. Aku yang semula ingin langsung pulang pun, menjadi urung.Aku berniat ingin mencari Luna terlebih dahulu. Apalagi jika mengingat, bahwa akhir-akhir ini, Luna selalu tampak sedih. Setiap ke luar rumah, matanya selalu merah dan sembab. Semua itu pasti berhubungan dengan suaminya yang ingin menikah lagi.Dan kejadian yang baru saja, dengan keberadaan Luna yang hanya sendirian, di taman, di tengah guyuran hujan itu pun semakin membuka mataku. Bahwa mantan kekasihku sebenarnya sedang sangat rapuh. Dia butuh support, dia butuh dukungan. Sayangnya, dia terlalu menutup diri. Bahkan mungkin orang tuanya pun, tidak mengetahui, tentang masalah yang sedang menimpa putrinya.Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Jika aku melihat Luna, maka akan kuajak dia untuk pulang. Jangan sampai dia membahayakan dirinya sendiri, seperti tadi.Terus kulangkahkan kaki
POV. Bara"Menikah lagi? Sama perempuan yang katanya sedang hamil itu?"Ibu terkejut. Beliau melepas celemek yang menutupi dadanya, dan menaruhnya di sandaran kursi. Aku hanya mengangguk menanggapi keterkejutan Ibu. "Kamu memangnya melihat pertengkaran mereka?" tanya Ibu. "Ya mereka bertengkarnya di teras, ya aku melihat, lah. Luna itu, sepertinya labil," ucapku. "Kalau Ibu yang jadi Non Luna, laki-laki yang seperti itu, bukan cuma Ibu ludahi. Tapi sudah Ibu kasih ra*un. Kalau cuma diludahi, itu sangat tidak seimbang dengan kesalahan yang dia lakukan. Kamu bisa-bisanya bicara kalau Non Luna itu labil. Kamu tidak tahu rasanya menjadi dia. Perempuan lain, mungkin sudah bunuh diri, jika ada di posisinya."Ibu berbicara dengan ketus. Beliau tidak terima, aku menyalahkan Luna. "Kasihan Non Luna. Dia masih kecil, tapi cobaannya besar ...."Mata Ibu, menerawang. Terlihat bulir bening yang menggenang di pelupuk matanya. "Hal yang paling sakit bagi seorang istri, itu ketika suaminya bers
POV. Bara"Tapi akhir-akhir ini, aku merasa labil. Aku sering gagal mengontrol emosiku. Aku bahkan takut, jika suatu hari nanti, aku akan depresi, kemudian menjadi gila. Kasihan nanti orang tuaku ...."Kini bahkan Luna sudah menangis. Entah ini tangisannya yang ke berapa kali. "Makanya itu, sebaiknya diskusikan dengan orang tuamu. Ceritakan, apa yang menjadi bebanmu. Aku yakin, orang tuamu pasti punya solusinya. Beliau pasti akan bisa mendapatkan jalan yang terbaik. Yakinlah."Dari desah nafasnya yang terdengar, dia sepertinya sedang begitu putus asa. "Aku sudah meminta cerai. Tapi suamiku tidak mau mengikrarkan talak untukku. Dia sepertinya ingin menggantungku. Dia ingin membuat aku menjadi gila ...."Ya Allah, seandainya boleh, aku ingin bilang kepada Luna, supaya dia segera bercerai, dan aku akan segera menikahinya, begitu masa idahnya selesai. Tapi sepertinya tidak etis, jika aku berbicara seperti itu. "Kamu yakin, akan bercerai?" tanyaku. "Aku tidak sanggup berbagi. Kemarin-k