POV. Luna"Enggak ada yang direpotkan. Lagian kan rumah kita juga tetanggaan. Tinggal ke luar lima langkah, sudah sampai. Atau kalau enggak, gini aja. Kalau suami kamu nggak pulang, kamu ngomong sama aku,"Bara berucap sambil mengedipkan sebelah matanya. Spontan aku langsung menimpuk tubuhnya dengan tumpukan baju-baju yang ada di tanganku. Dia pun tertawa kecil, kemudian lekas berjalan ke kasir, membayar semua belanjaannya. ******Sorenya, sepulang dari butik, aku segera membersihkan diri. Kutunggu kepulangan suamiku.Sambil menunggu kepulangan suamiku, aku menghubungi temanku yang berprofesi sebagai seorang pengacara, Nadin, namanya. Dia teman SMA ku. Saat kuliah pun, kami satu kampus, berbeda jurusan. Dari jaman sekolah dulu, memang dia sudah punya cita-cita ingin menjadi pengacara. Selain cerdas, dia juga tangkas, dan pandai berbicara dengan berputar-putar. Kuceritakan lewat telpon, tentang kondisi rumah tanggaku, tanpa ada yang kututupi. Kumintai pendapatnya.Kuceritakan renca
POV. Luna"Ok, Luna. Ok. Kamu jangan marah. Aku bukannya tidak mau membantumu. Baiklah. Kapan rencananya kamu akan bercerai?" tanya Nadin kemudian. "Satu bulan lagi," jawabku. "Kenapa harus menunggu hingga satu bulan? Kenapa tidak secepatnya saja, jika kamu sudah mantap mengambil keputusan?""Mas Aksa tidak mau. Dia tidak mau menalakku. Mungkin dia itu mau dua-duanya. Mau sama aku, mau sama gundiknya juga. Tapi semalam aku sudah membujuknya. Dia mau menalakku, satu bulan lagi. Selama satu bulan itu, aku masih tetap harus menjadi istrinya. Harus tetap melayaninya dengan baik, selayaknya seorang istri. Itu syarat yang dia ajukan, supaya aku bisa mendapatkan ikrar talak darinya. Makanya, aku akan meminta bantuanmu, supaya kamu membuatkan surat perjanjian untuk suamiku. Jangan sampai, nanti satu bulan lagi, dia berubah pikiran dan tidak mau menceraikan aku. Selama satu bulan ini, aku akan berusaha menjadi istrinya yang baik. Agar dia bisa mengenang hal-hal yang baik, tentangku. Agar nan
POV. BaraPov. BaraSaat aku keluar dari rumah sakit untuk merawat lukaku, aku melihat mobilnya Luna yang terparkir tidak jauh dari mobilku. Aku yang semula ingin langsung pulang pun, menjadi urung.Aku berniat ingin mencari Luna terlebih dahulu. Apalagi jika mengingat, bahwa akhir-akhir ini, Luna selalu tampak sedih. Setiap ke luar rumah, matanya selalu merah dan sembab. Semua itu pasti berhubungan dengan suaminya yang ingin menikah lagi.Dan kejadian yang baru saja, dengan keberadaan Luna yang hanya sendirian, di taman, di tengah guyuran hujan itu pun semakin membuka mataku. Bahwa mantan kekasihku sebenarnya sedang sangat rapuh. Dia butuh support, dia butuh dukungan. Sayangnya, dia terlalu menutup diri. Bahkan mungkin orang tuanya pun, tidak mengetahui, tentang masalah yang sedang menimpa putrinya.Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Jika aku melihat Luna, maka akan kuajak dia untuk pulang. Jangan sampai dia membahayakan dirinya sendiri, seperti tadi.Terus kulangkahkan kaki
POV. Bara"Menikah lagi? Sama perempuan yang katanya sedang hamil itu?"Ibu terkejut. Beliau melepas celemek yang menutupi dadanya, dan menaruhnya di sandaran kursi. Aku hanya mengangguk menanggapi keterkejutan Ibu. "Kamu memangnya melihat pertengkaran mereka?" tanya Ibu. "Ya mereka bertengkarnya di teras, ya aku melihat, lah. Luna itu, sepertinya labil," ucapku. "Kalau Ibu yang jadi Non Luna, laki-laki yang seperti itu, bukan cuma Ibu ludahi. Tapi sudah Ibu kasih ra*un. Kalau cuma diludahi, itu sangat tidak seimbang dengan kesalahan yang dia lakukan. Kamu bisa-bisanya bicara kalau Non Luna itu labil. Kamu tidak tahu rasanya menjadi dia. Perempuan lain, mungkin sudah bunuh diri, jika ada di posisinya."Ibu berbicara dengan ketus. Beliau tidak terima, aku menyalahkan Luna. "Kasihan Non Luna. Dia masih kecil, tapi cobaannya besar ...."Mata Ibu, menerawang. Terlihat bulir bening yang menggenang di pelupuk matanya. "Hal yang paling sakit bagi seorang istri, itu ketika suaminya bers
POV. Bara"Tapi akhir-akhir ini, aku merasa labil. Aku sering gagal mengontrol emosiku. Aku bahkan takut, jika suatu hari nanti, aku akan depresi, kemudian menjadi gila. Kasihan nanti orang tuaku ...."Kini bahkan Luna sudah menangis. Entah ini tangisannya yang ke berapa kali. "Makanya itu, sebaiknya diskusikan dengan orang tuamu. Ceritakan, apa yang menjadi bebanmu. Aku yakin, orang tuamu pasti punya solusinya. Beliau pasti akan bisa mendapatkan jalan yang terbaik. Yakinlah."Dari desah nafasnya yang terdengar, dia sepertinya sedang begitu putus asa. "Aku sudah meminta cerai. Tapi suamiku tidak mau mengikrarkan talak untukku. Dia sepertinya ingin menggantungku. Dia ingin membuat aku menjadi gila ...."Ya Allah, seandainya boleh, aku ingin bilang kepada Luna, supaya dia segera bercerai, dan aku akan segera menikahinya, begitu masa idahnya selesai. Tapi sepertinya tidak etis, jika aku berbicara seperti itu. "Kamu yakin, akan bercerai?" tanyaku. "Aku tidak sanggup berbagi. Kemarin-k
POV. Bara[Samawa till jannah. Dekap eratlah yang ada di hadapanmu. Lupakan yang sudah meninggalkanmu.]Aku tahu. Aku paham, maksud dari komentar itu. Nadin ingin, agar Luna belajar mencintai Aksa yang telah menjadi suaminya, dan melupakan aku yang telah meninggalkannya.Nasehat itu tidak salah. Jika saat ini hatiku merasa tercubit, itu karena mungkin saja aku sedang sensitif. Komentar Nadin, hanya ditanggapi Luna dengan emotikon tersenyum.Kulihat unggahan-unggahannya dari yang paling atas. Semua hanya tentang butiknya. Tentang produk-produk yang dijualnya. Dia sama sekali tidak mengunggah masalahnya di dunia maya.Namun ada akunnya Nadin yang menandainya.[Keep strong. Wonder woman akan selalu kuat. Sobatku yang cantik dan baik.]Unggahan itu disertai dengan fotonya Nadin dan Luna, yang sepertinya sedang duduk di sudut kafe. Postingan itu baru saja diunggah beberapa jam yang lalu. Itu artinya, mereka masih berinteraksi hingga saat ini. Kulihat ada lingkaran kecil berwarna hijau m
Pov. LunaEntah benar, entah salah. Bahkan aku sudah tidak bisa membedakan lagi. Saat aku sedang merasa begitu rapuh, aku justru berbagi cerita dengan mantan kekasihku itu. Bahkan aku juga bercerita tentang rencana perceraianku. Mungkin memang aku salah. Aku keliru. Sebagai seorang istri yang baik, seharusnya jika sedang ada masalah, dia akan mengadu kepada Tuhannya. Dia akan lebih mendekatkan diri kepada agamanya. Bukan malah seperti aku. Berduaan di luar rumah malam-malam, membuka aib rumah tanggaku, berkeluh kesah kepada mantan pacarku. "Kamu yakin, akan bercerai?" tanya Bara."Aku tidak sanggup berbagi. Kemarin-kemarin, kukira aku akan kuat. Tapi baru beberapa hari menjalani, aku rasanya sudah mau gila. Aku lebih baik menjauhi mudharat, daripada mengejar manfaat. Aku tidak sanggup ...."Bara tercenung sejenak, mendengar kalimat yang kuucapkan. Entah apa yang dia pikirkan. Kadang laki-laki itu, memang terlihat misterius."Dik, masuklah ke rumahmu. Tubuhmu punya hak, untuk dijaga
POV. LunaItu minuman siapa? Perasaan, aku tidak pernah meminum minuman seperti itu. Di kulkas memang menyimpannya, tapi lebih sering kugunakan untuk menjamu temannya Mas Aksa, jika ada yang datang ke sini. Suamiku pun, jarang sekali menyentuh minuman seperti itu. Apakah Mas Aksa, semalam sempat pulang? Tapi dia tidur di mana? Dari mana juga, dia bisa masuk? Apakah dia memiliki kunci cadangan?Aku memutar langkahku, menuju ke ruang tamu. Kusingkap dengan lebar, gorden jendela yang tadinya masih tertutup.Benar saja, aku melihat mobil suamiku. Tapi orangnya, ada di mana? Apakah tidur di mobil? Lantas botol minuman itu? Kulangkahkan kakiku, menuju kamar tamu. Kuputar kenop pintunya. Terkunci dari dalam. Itu artinya, memang suamiku pulang, dan memilih tidur terpisah dariku. Sudahlah, biar saja.Aku sedang mulai untuk tidak peduli dengan semua hal tentang dia. Aku akan fokus dengan kebahagiaanku. Semoga saja, Mama dan Papa bisa segera pulang. Dan semoga saja mereka tidak kaget, jika nan
POV. Aksa"Aku sudah tidak peduli. Kamu mau menikahi dia, kamu mau menceraikan dia. Bukan urusanku. Justru sekarang juga, aku yang akan meminta cerai. Ceraikan aku sekarang juga! Aku tidak mau lagi bersuamikan laki-laki yang kelakuannya bahkan melebihi kelakuan binatang!"Lagi-lagi, Luna berbicara dengan sangat lantang. Perempuan itu. Sudah kuperlakukan dengan baik, tetap saja bersikap angkuh. Lama-lama, aku pun kesal juga. Apalagi, semenjak dia mengetahui perselingkuhanku dengan Bunga, akhir-akhir ini, dia entah sudah berapa kali mengataiku sebagai binatang. Aku juga heran. Dia yang notebenya sebagai bisnis woman, sebagai seorang putri pejabat, namun mulutnya tidak bisa terkontrol. Tingkahnya juga cenderung arogan. "Luna! Kamu dengar tidak. Nyalakan airnya sekarang juga. Kamu jadi perempuan terlalu angkuh. Selalu ingin menjadi yang paling dominan, di setiap keadaan. Laki-laki mana pun, tidak akan tahan, hidup bersama dengan perempuan sepertimu. Kamu itu sudah berani kurang ajar.
POV. AksaBunga pun tampak berbinar. Kemudian dengan manjanya, dia meminta gendong. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Luna. Dengan senang hati, aku pun menggendongnya hingga ke kamar atas. Sayangnya, saat di kamar mandi, Bunga justru menggodaku. Hingga akhirnya, aku pun tidak kuasa untuk menolaknya. Dan terjadilah semuanya. Suara musik yang mengalun dengan merdu, membuat kami lupa. Saat aku bersama Bunga sedang sibuk memadu cinta, tiba-tiba aku dikejutkan dengan air shower yang tiba-tiba mati, tidak mengalir lagi. Dalam sekilat pandangan mata, aku melihat Luna sudah menggenggam sabun cair dalam botol. Di semprotkannya, sabun cair itu ke wajahku, hingga mengenai mataku. Aku pun tidak bisa melihat dengan jelas. Mataku terasa perih. Dan sepertinya, hal yang sama juga terjadi kepada Bunga.Kami yang memang sedang berbaring di lantai kamar mandi, dalam posisi yang tidak siap pun, kalah telak, dengan seorang yang diberikan oleh Luna. Luna juga menyemprotkan sabun cair itu ke
POV. Aksa"Aku nggak bisa tidur. Rasanya aku pingiiiinnn ... banget tidur di rumah kamu. Mungkinkah ini yang dinamakan ngidam?"Bunga berbicara lirih, sambil takut-takut. Kasihan sekali, dia. "Ini bukan keinginanku. Ini keinginan anak kamu. Dia pingin tidur di rumah papanya. Kalau aku sih, sudah terbiasa hidup miskin. Meskipun diajak tinggal dikolong jembatan, asal bersamamu, aku rela ...."Bunga mengusap-usap perutnya. "Kalau besok saja, bagaimana? Biar Luna, aku ungsikan dulu ke rumah orang tuaku,"Aku berusaha beralasan. Terus terang, aku merasa ragu, jika ingin membawa Bunga ke rumahku, sementara di situ ada Luna. Aku takut, Bunga yang sedang hamil, dijadikan bulan-bulanan oleh Luna. Jangan sampai, nanti calon bayiku yang menjadi korban. "Tapi anak kita maunya sekarang. Aku nggak bakalan bisa tidur, jika tidak diajak ke sana," rengek Bunga dengan sangat manja. Akhirnya, aku pun mengalah. Membawa Bunga ke rumahku. Untunglah, Luna sudah tidur. Aku bisa masuk ke dalam rumah denga
POV. AksaPagi ini juga, Luna langsung bilang kepada orang tuaku, bahwa dia ingin pulang saja ke rumahnya. Jika sudah Luna yang berbicara, maka Mama Papa pun akan menyetujuinya.Akhirnya, aku bisa juga lepas dari pengawasan Papa.Sepulang dari rumah orangtuaku, aku langsung menghampiri Bunga ke rumahnya."Aksa, muka kamu kenapa? Kok lebam?"Bunga menatap wajahku dengan tatapan heran."Dihajar Papa," jawabku. Bunga menatapku dengan tatapan kasihan. Kemudian dia masuk ke dalam. Tidak berselang lama, dia sudah keluar dengan mangok yang berisi air hangat, dan sapu tangan. Dikompresnya wajahku dengan air hangat itu. "Pasti istrimu mengadu yang tidak-tidak, kepada orang tuamu. Aku bahkan heran. Apa istimewanya Luna, hingga orangtuamu lebih membelanya, daripada terhadap anaknya sendiri."Bunga berbicara dengan nada yang nelangsa. "Luna sudah meminta cerai."Aku berbicara sambil menahan perih di wajahku."Bagus, dong. Ceraikan saja secepatnya! Toh kamu sudah punya aku. Punya calon anak jug
POV. Luna"Siapa juga, yang mau nyium handuk kamu? Aku juga ogah, yang ada ntar aku langsung pingsan. Keringat kamu, baunya nggak ketulungan. Udah gitu, kepedean, lagi."Aku berbicara sambil mencebikkan bibirku."Cewek memang paling pinter, kalau disuruh ngeles. Kirain kamu cuma pinter nangis doang. Ternyata pinter ngeles juga. Bilangnya pingsan, kalau nyium bau keringat aku. Padahal pas pinjem selimut punya aku aja, dicium-cium, dihirup-hirup sampai matanya merem-merem. Kamu pikir, aku tidak tahu? Aku bahkan melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Masih mau ngeles juga?"Aku malu, mendengar semua kalimat yang dia ucapkan. Benarkah dia melihatnya. "Tuh, kan, pipi kamu merona. Itu artinya, iya."Kenapa pagi ini, dia mendadak genit? Benar-benar, kepribadiannya memang sulit untuk ditebak. Kadang dia bersikap cuek, kadang bersikap serius, kadang malah genitnya nggak ketulungan, seperti pagi ini. "Gimana, boleh ya, aku ngelukis wajah kamu? Sebenarnya, bakat melukis itu, sudah ada sejak
POV. Luna"Maaf juga, jika kemarin-kemarin, aku sempat membuat status yang bukan-bukan. Tapi status yang kuunggah, sudah aku atur privasinya, sehingga tidak ada orang yang melihatnya. Maaf juga, jika beberapa hari yang lalu, aku sempat meludahimu."Sebisa mungkin, aku berbicara dengan sopan. Aku ingin, saat perceraian nanti, aku sudah meminta maaf kepadanya."Sudahlah, jangan ngomong hal-hal yang nggak penting. Aku ke sini cuma mau ngomong, kalau nasi gorengnya nggak jadi. Aku mau bubur ayam saja. Kamu tolong ke depan, cari bubur ayam. Cepetan, jangan pakai lama."Aku merasa kesal dengannya. Seenaknya saja, dia mengganti perintah, saat perintah yang pertama sudah hampir kuselesaikan. "Matanya jangan melotot seperti itu. Baru juga meminta maaf, sudah mau membuat dosa. Atau kamu mau? Nanti jika sudah jadi janda, aku informasikan kepada semua orang, jika kamu itu perempuan arogan yang sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga, dan bahkan pernah meludahiku? Biar kamu jadi janda seum
POV. LunaItu minuman siapa? Perasaan, aku tidak pernah meminum minuman seperti itu. Di kulkas memang menyimpannya, tapi lebih sering kugunakan untuk menjamu temannya Mas Aksa, jika ada yang datang ke sini. Suamiku pun, jarang sekali menyentuh minuman seperti itu. Apakah Mas Aksa, semalam sempat pulang? Tapi dia tidur di mana? Dari mana juga, dia bisa masuk? Apakah dia memiliki kunci cadangan?Aku memutar langkahku, menuju ke ruang tamu. Kusingkap dengan lebar, gorden jendela yang tadinya masih tertutup.Benar saja, aku melihat mobil suamiku. Tapi orangnya, ada di mana? Apakah tidur di mobil? Lantas botol minuman itu? Kulangkahkan kakiku, menuju kamar tamu. Kuputar kenop pintunya. Terkunci dari dalam. Itu artinya, memang suamiku pulang, dan memilih tidur terpisah dariku. Sudahlah, biar saja.Aku sedang mulai untuk tidak peduli dengan semua hal tentang dia. Aku akan fokus dengan kebahagiaanku. Semoga saja, Mama dan Papa bisa segera pulang. Dan semoga saja mereka tidak kaget, jika nan
Pov. LunaEntah benar, entah salah. Bahkan aku sudah tidak bisa membedakan lagi. Saat aku sedang merasa begitu rapuh, aku justru berbagi cerita dengan mantan kekasihku itu. Bahkan aku juga bercerita tentang rencana perceraianku. Mungkin memang aku salah. Aku keliru. Sebagai seorang istri yang baik, seharusnya jika sedang ada masalah, dia akan mengadu kepada Tuhannya. Dia akan lebih mendekatkan diri kepada agamanya. Bukan malah seperti aku. Berduaan di luar rumah malam-malam, membuka aib rumah tanggaku, berkeluh kesah kepada mantan pacarku. "Kamu yakin, akan bercerai?" tanya Bara."Aku tidak sanggup berbagi. Kemarin-kemarin, kukira aku akan kuat. Tapi baru beberapa hari menjalani, aku rasanya sudah mau gila. Aku lebih baik menjauhi mudharat, daripada mengejar manfaat. Aku tidak sanggup ...."Bara tercenung sejenak, mendengar kalimat yang kuucapkan. Entah apa yang dia pikirkan. Kadang laki-laki itu, memang terlihat misterius."Dik, masuklah ke rumahmu. Tubuhmu punya hak, untuk dijaga
POV. Bara[Samawa till jannah. Dekap eratlah yang ada di hadapanmu. Lupakan yang sudah meninggalkanmu.]Aku tahu. Aku paham, maksud dari komentar itu. Nadin ingin, agar Luna belajar mencintai Aksa yang telah menjadi suaminya, dan melupakan aku yang telah meninggalkannya.Nasehat itu tidak salah. Jika saat ini hatiku merasa tercubit, itu karena mungkin saja aku sedang sensitif. Komentar Nadin, hanya ditanggapi Luna dengan emotikon tersenyum.Kulihat unggahan-unggahannya dari yang paling atas. Semua hanya tentang butiknya. Tentang produk-produk yang dijualnya. Dia sama sekali tidak mengunggah masalahnya di dunia maya.Namun ada akunnya Nadin yang menandainya.[Keep strong. Wonder woman akan selalu kuat. Sobatku yang cantik dan baik.]Unggahan itu disertai dengan fotonya Nadin dan Luna, yang sepertinya sedang duduk di sudut kafe. Postingan itu baru saja diunggah beberapa jam yang lalu. Itu artinya, mereka masih berinteraksi hingga saat ini. Kulihat ada lingkaran kecil berwarna hijau m