Rumah Pak Rudi tepat berada di depan rumah mama. Dari sana jelas terlihat jika ada tamu yang datang dan memarkirkan motornya di depan rumah. Pak Rudi mendengarkan penjelasan Mas Naufal soal keinginannya memeriksa cctv di depan rumah mama dua hari terakhir. Sepertinya laki-laki paruh baya itu paham apa yang sebenarnya dicurigai Mas Naufal. Dia pun memperbolehkan Mas Naufal untuk memeriksa cctv nya.
Sebenarnya aku malu jika masalah ini diketahui orang lain, hanya saja aku tak bisa berbuat banyak. Semakin aku mengelak atau menolak, Mas Naufal akan semakin curiga dan percaya apa yang diucapkan keluarga besarnya. Jadi, jalan satu-satunya memang sama-sama melihat cctv itu supaya semua lega. "Lihat itu, Mas. Jam lima lebih ada yang datang bawa kado!" tunjuk Ratna saat terlihat seorang lelaki membawa sebuah kado lalu mengetuk gerbang rumah mama. Aku ingat betul kejadian sore kemarin. Lelaki itu memang datang, tapi aku benar-benar tak mengenalinya. Dia hanya menanyakan alamat paket yang dia bawa dan kebetulan milik Mbak Rani. Paket itu pun masih kusimpan di kamar. Bo dohnya aku sampai lupa nggak segera memberikan paketnya karena kembali sibuk dengan pekerjaan rumah yang menumpuk. "Bukan kado itu paket buat Mbak Rani. Aku juga nggak tahu isinya apa, paketnya masih kusimpan di kamar kok," sahutku cepat. "Lihat saja itu dia pulang lagi. Mana mungkin aku ajak lelaki menginap di rumah. Sekalipun aku jelek, burik dan miskin, aku juga paham adab dan tahu soal haramnya zina." Kedua mataku kembali berkaca saat adik iparku itu terus menyudutkanku. Mas Naufal yang seharusnya bisa berucap tegas, justru seolah bingung mau memihak siapa. Dia hanya mengacak rambutnya kasar lalu mendengkus kesal. "Kadonya ada di rumah, Mas. Kalau nggak percaya, ayo pulang. Sekalian aku kasih ke Mbak Rani," balasku lagi mencoba meyakinkannya. "Alasan! Kalau kadonya nggak ada, apa kamu masih percaya sama istrimu yang sok polos itu, Mas?" Ratna masih saja mengompori. "Sudah, Rat! Kamu masih anak kemarin sore, ngapain ikut campur masalah orang tua. Mikir kuliah saja sana. Bikin tambah pusing aja. Ayo pulang!" sentak Mas Naufal setelah pamit dan mengucapkan terima kasih pada Pak Rudi. Tak ingin membuat keributan di rumah tetangga, aku pun mengikuti Mas Rama untuk pulang. Ratna masih saja cerewet, berulang kali kubentak rupanya tak membuatnya takut. Justru sengaja mencari cara agar emosiku meluap. "Kalau memang kamu benar-benar tak mengenali laki-laki itu, mana kado buat Mbak Rani seperti yang kamu katakan tadi, Al?" Mas Naufal mulai menata emosinya. Dia mengusap lenganku pelan untuk menenangkan. Aku tahu sebenarnya Mas Naufal tak seburuk saudara-saudaranya. Hanya saja dia nggak bisa tegas kalau mama sudah angkat bicara. Mbak Rani dan mama saling tatap lalu sama-sama diam. Tak ada obrolan apapun yang terjadi setelahnya. "Cepetan ambil, Mbak! Jangan-jangan cuma alasan!" Ratna sedikit mendorong punggungku."Ratna!" bentak Mas Naufal lagi membuat gadis itu terdiam seketika. Aku pun buru-buru ke kamar untuk mengambil kado Mbak Rani dari laki-laki yang dititipkannya padaku kemarin sore itu. Aku ingat betul jika kadonya kuletakkan di dalam lemari paling atas tepat di tumpukan bajuku. Namun, entah mengapa saat ini menghilang. Kadonya lenyap begitu saja tanpa jejak. Ya Allah, gimana ini? Pasti Mas Naufal menuduhku macam-macam setelah ini. Aku yakin dia akan semakin curiga jika tuduhan Ratna benar adanya. "Mana kadonya, Al? Katanya buat aku, kok sekarang nggak ada? Jangan-jangan isinya duit makanya kamu ambil sendiri. Lihat tuh, Fal! Istri polos yang kamu bilang setia, jelas sudah mulai bermain mata dengan lelaki lain jika kamu tak berada di rumah. Keputusanmu menikah dengan Er-- Ucapan Mbak Rani terpotong saat Mas Naufal membulatkan kedua matanya. Aku kembali mengeja kata-kata yang terucap dari bibir Mbak Rani tadi. Keputusan menikah dengan Er-- Er siapa? Mungkinkah Erika yang selalu dipuji-puji mama sebagai teman kecil Mas Naufal itu? Apakah semalam Mas Naufal menikah dengan perempuan lain, makanya pakai acara menginap segala? Apakah firasatku kemarin benar, jika terjadi sesuatu dengan Mas Naufal di luar sana? Ya Allah, jika memang itu terjadi betapa teganya dia. Baru tiga bulan bersama, dia sudah berani mendua. Apakah belum banyak pengorbanan yang kulakukan selama tiga bulan bersamanya? Apakah aku kurang patuh, kurang setia dan kurang mengalah hingga dia tega mengkhianati janji-janji sucinya sendiri? Jika sudah begini, haruskah aku terus mempertahankan rumah tanggaku ini? Pernikahan yang nyatanya tak membuatku bahagia, tapi justru semakin membuatku nelangsa. Mas Naufal tak bersyukur memiliki istri sepertiku. Rupanya dia yang bermain api, bukan aku. "Mana kadonya, Al?" Pertanyaan Mbak Rani kembali membuatku tersentak. "Kadonya hilang, Mbak. Aku juga nggak tahu kenapa kado itu nggak ada di dalam lemari. Padahal aku ingat betul jika kadonya kumasukkan di lemariku paling atas. Namun, sekarang lenyap tak berbekas." Kedua mataku mulai berkaca. Aku yakin Mas Naufal tak akan percaya lagi dengan apa yang kuucapkan setelah bukti kado itu hilang. "Kamu buka kali, Al. Terus kamu buang bungkusnya! Kalau nggak, dugaan Ratna benar isinya sesuatu yang spesial dari laki-laki itu buat kamu. Makanya sekarang nggak ada karena isinya sudah kamu simpan." Mbak Rani mencibir. Pikiranku mendadak kacau saking heran kemana lenyapnya kado itu. "Kamu beneran nggak buka kadonya, Dek?" Aku hanya menjawabnya dengan menggeleng pelan."Halah! Kalau sudah ketahuan pasti banyak drama. Urus saja istrimu yang pembual itu, Fal. Aku males!" Mbak Rani melengos pergi, diikuti dengan Ratna yang melirikku sinis. Tak peduli dengan sikap mereka, aku kembali duduk di tepi ranjang.Ada banyak hal yang mengusik benak, tapi tak mungkin kutanyakan pada Mas Naufal. Yang ada makin menyesakkan dada sebab dia pasti akan dan selalu membela keluarganya. Mana mungkin dia percaya dengan kecurigaanku, jika saudara-saudaranyalah yang sengaja mengambil kado itu untuk mengadu domba aku dengannya."Mas, hajatan kemarin apa ada acara istimewa di sana? Apa kamu memiliki hubungan spesial dengan perempuan yang bernama Erika itu?" Entah mengapa pertanyaan itu meluncur begitu saja. Setelah ucapan Mbak Rani yang terpotong tadi, perasaanku semakin nggak karuan. Aku merasa ada yang ditutupi dari Mas Naufal. Sikapnya terlalu berbeda dan tak sesantai biasanya. ***"Apa kamu punya hubungan khusus dengan Erika selain sekadar teman di masa kecil, Mas? Apa hajatan kemarin berhubungan dengan kalian berdua?" Cecarku lagi membuat Mas Naufal mendadak pucat pasi. Aku semakin yakin jika ada sesuatu di antara mereka. Mas Naufal tak pandai berbohong. Tiap kali dia bicara dusta, pasti terlihat jelas dari mimik wajahnya. Aku sudah cukup hafal dengan sikapnya itu. "Ng-- nggak ada, Dek. Biasa saja, nggak ada yang istimewa. Kenapa memangnya?" Dia balik bertanya untuk menutupi kegugupannya. Aku kembali menatapnya, lekat. Namun, laki-laki itu berusaha mengalihkan pandangannya. "Firasatku nggak enak ditambah sikapmu agak aneh makanya aku bertanya begitu, Mas. Aku yakin sekali ada sesuatu saat hajatan kemarin." "Hanya perasaanmu saja, Dek. Nggak da sesuatu yang spesial kok. Jangan berpikir aneh-aneh ya?" Mas Naufal mengusap puncak kepalaku. Seperti biasa, dia sangat manis tiap kali berdua, tapi jika di depan keluarganya, semua terasa hambar. Seolah tak ada cin
[Sayang, masak yang enak ada tamu dari jauh yang akan datang. Kita harus menyambutnya dengan baik supaya betah] Pesan dari Mas Naufal baru saja kubaca. Aku tak tahu siapa tamu yang dia maksud, tapi entah mengapa ada rasa aneh dalam hati saat dia menyebut kata tamu dari jauh. Meski begitu, aku tetap mematuhi perintahnya. Hari ini aku masak bermacam jenis masakan, mulai dari soto, telur balado, nila goreng, opor dan tempe goreng. Sesuai permintaan mama dan Mas Naufal, aku harus menyiapkan hidangan yang menggugah selera. Seperti biasa, tak ada seorang pun yang membantuku berkutat di dapur. Sejak pagi sampai setengah harian ini mama masih sibuk ke pasar membeli camilan untuk tamunya. Sebenarnya aku tahu jika itu hanyalah alasannya saja. Yang benar, mama sibuk foya-foya dengan jatah bulanan yang diberikan Mas Naufal padanya. Maklumlah, saat ini tanggal muda. Jadi, uang bulanan mama masih cukup banyak untuk belanja. Mbak Rani dan Ratna pun sibuk ke mall mau beli keperluan bulanan, katany
Alya. Dia istri shalihahku. Selalu berusaha menjalankan apa yang kukatakan, jarang sekali membantah jika memang perintahku masih dalam batas kewajaran. Tak hanya padaku, pada mama dan saudaraku yang lain pun dia patuh. Alya adalah perempuan idaman yang kuyakin banyak diincar para lelaki. Dia cantik dan lembut. Meski penampilannya sederhana, tapi hatinya begitu istimewa. Bukan salahnya tak bisa merawat wajah hingga terkesan kusam dan berjerawat. Hanya saja, aku yang tak memberinya dana lebih untuk membeli skincare. Gajiku memang cukup banyak sebagai manager keuangan, tapi kebutuhan harian pun tak kalah banyak. Mama selalu meminta jatah lebih tiap bulan, meski uang dapur sudah diurus oleh Alya. Gajiku sebelas juta perbulan. Dua juta rupiah kuberikan pada mama tiap bulannya, sama persis dengan jatah Alya. Hanya saja, uang mama fokus untuk kebutuhannya sendiri sementara uang yang kuberikan pada Alya untuk kebutuhan keluarga, mulai dari perdapuran, listrik, WiFi, air, dan iuran lain. Ua
Malam tiba. Aku sengaja pura-pura memejamkan mata dan terlelap lebih dulu sebelum Mas Naufal masuk kamar. Di ruang keluarga masih terdengar suara mama dan Erika juga Mas Naufal yang bercengkerama membahas masa lalu mereka. Merasa tak dibutuhkan dan selalu diabaikan, bukankah lebih baik aku di dalam kamar saja? Pura-pura terlelap lebih dulu jauh lebih baik dibandingkan harus ikut duduk di tengah mereka, tapi tak pernah dianggap ada. Hanya sebagai manekin yang membisu, mendengarkan apapun yang mereka bicarakan. Jam sebelas lewat, belum terdengar langkah kaki Mas Naufal menuju kamar. Biasanya dia tak suka begadang. Dia selalu tidur teratur apalagi jika bukan weekend atau hari libur yang lain. Nyaris tak pernah melewati jam sebelas malam, kecuali benar-benar ada masalah atau kegiatan penting. Namun, kali ini dia betah mengobrol di luar. Detik ini aku mulai merasa tak ingin pura-pura tidur, tapi benar-benar ingin bisa tidur. Denting jarum jam di dinding seolah mengejekku yang tidur send
"Al, kok belum ada sarapan?" Suara mama mulai terdengar saat aku baru selesai mencuci pakaian Mas Naufal. Walau bagaimanapun Mas Naufal masih sah suamiku dan aku wajib menjalankan tugasku sebagai istri dengan baik. Biar kelak dia mengingat semua baktiku dan menyesal sudah menduakanku seperti ini. Cukup pakaianku dan Mas Naufal saja yang kucuci. Pakaian mereka, biar saja dicuci sendiri. Nggak ada lagi menantu rasa pembantu. Hari ini aku akan cari kontrakan dan akan mengubah duniaku sendiri. "Aku habis nyuci, Ma. Capek. Lagipula kemarin aku sudah bilang nggak akan dipusingkan dengan urusan beberes rumah dan perdapuran lagi. Apa mama lupa? Lagipula di rumah ini banyak kepala, kenapa nggak minta mereka untuk saling membantu mengerjakan semuanya?" balasku sekenanya. Kedua mata mama membulat lebar. Tentu shock karena tak biasanya aku seperti ini. Aku terbiasa patuh dan tunduk pada apapun yang mereka perintahkan, tapi itu dulu sebab mulai detik ini akan jelas berbeda. Siap-siap saja shock
Tiga hari waktu yang kuberikan untuk Mas Naufal berpikir. Dia harus memutuskan untuk tetap tinggal di rumah mama bersama perempuan itu atau lebih memilih tinggal di kontrakan demi mempertahankan rumah tangganya denganku. Aku sengaja ingin melihat apakah saat ini dia bisa memutuskan sendiri atau tetap bergantung pada keputusan mamanya. Jika dia tak juga berubah, aku yang akan berubah dan mengambil sikap. Semua berkas untuk gugatan sudah kusimpan rapi tanpa dia ketahui. Mungkin Mas Naufal masih menganggapku istri yang polos, baik dan super sabar sekalipun terus disakiti. Namun, dia salah besar. Aku tak sesabar istri-istri Baginda Rasul yang rela dipoligami, pun dia tak bisa seperti Rasul yang bisa adil dalam berbagai hati. Jadi, agar tetap waras bukankah lebih baik mundur daripada selalu makan hati ketika bersamanya? "Tiga hari ini aku masih memberimu kesempatan untuk berpikir, Mas. Namun, seperti yang kukatakan kemarin jika aku hanya ingin mengurusmu saja sebagai baktiku padamu. Yan
"Dengar kamu, Al. Kamu nggak akan pernah mendapatkan Naufal seutuhnya selagi mama masih hidup!" Ancaman mama kembali terdengar untuk kedua kalinya. Aku mencoba tetap tenang lalu balik menatap mama."Kalau begitu kenapa nggak minta anak lelaki mama buat talak aku saja? Lagipula percuma punya suami yang masih berdiri di bawah ketiak mamanya. Aku bisa hidup mandiri dan bahagia tanpanya kok, Ma. Tenang saja." Aku kembali menantang mama setelah kemarin menantang anak lelakinya.Kupikir mama akan senang dengan permintaan talakku. Namun, di luar dugaan. Dia cukup shock dengan ancamanku barusan. Aneh. Bukannya tantanganku seharusnya diterima dengan senang hati, tapi kenapa mama sekaget itu? Oh, apa dia pikir aku akan menangis dan memohon-mohon agar tak diceraikan Mas Naufal? Atau dia sengaja membiarkanku di rumah ini agar bisa dijadikan pembantu gratisan seperti biasanya? Oh, tidak! Aku nggak selugu dulu. "Belagu banget kamu, Al! Apa karena sudah punya sugar daddy jadi kamu menantang Mas Na
"Alya!" Teriakan dan lambaian tangan Nuri membuatku tersenyum lebar. Aku memang sengaja menjemputnya di stasiun. Sudah lama tak bertemu dengannya membuatku pangling. Nuri terlihat lebih dewasa dibandingkan beberapa bulan lalu. Dia juga lebih cantik dan modis sekarang. "Al, sepertinya kamu banyak masalah ya?" tanyanya setelah mengurai pelukan. Kedua tangannya memegang lenganku lalu mengamati wajahku yang mungkin terlihat kusam dibandingkan saat terlahir bertemu dengannya. Tubuhku pun lebih kurus karena turun lima kilo. Bukan karena diet, melainkan kecapekan mengurus dan membersihkan rumah. Lelah yang dibalas dengan cibiran dan dipandang sebelah mata. Menyakitkan"Nanti sore kita ke salon bareng ya? Sudah lama nggak jalan berdua. Tumben kamu boleh keluar, biasanya selalu dikurung di kamar seperti calon pengantin." Aku tersenyum tipis. Mungkin terlihat hambar di mata Nuri. "Biasalah, Nur. Mas Naufal mengantar kakak, adik dan istri barunya jalan-jalan ke mall." "Lah, kamu nggak diaja