Erika meraung. Dia seperti kesurupan saat dua polisi itu membawanya pergi. Rengekan, permohonan dan linang air matanya seolah tak berarti. Dia memang pantas mendapatkan balasan setimpal atas semua yang pernah dilakukannya bukan? Melihat Erika histeris seperti itu, bukannya iba, Naufal justru semakin benci. Rasa bencinya semakin bertambah setelah dia tahu siapa yang diculik oleh istrinya itu. Benci, amarah dan muak seolah tercampur menjadi satu. Mamanya yang mendadak sakit pun semakin shock saat melihat menantu kesayangannya digelandang polisi bahkan mungkin akan segera dijebloskannya ke penjara. Sakit jantung yang sebelumnya hanya sandiwara, kini justru menjadi nyata. Allah telah mengabulkan ucapan wanita paruh baya itu. Bukankah ucapan bagian dari doa? Begitu pula Sumiwi yang sebelumnya berpura-pura sakit, kini dia benar-benar terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang pasien karena sakit jantungnya. Wanita itu hanya membisu saat anggota keluarga dan kerabatnya menjenguk. Mungkin
Kasus Erika mulai masuk ke meja hijau. Alya didampingi Nuri, Laras dan Azka beserta pengacaranya sudah duduk di kursi yang disediakan. Para pelaku pun mengikuti sidang ini dan duduk tak jauh dari tempat Alya berada. Alya tampak begitu cemas setelah memberikan penjelasan tentang kejadian itu. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang saat Laras dan Nuri kembali meyakinkannya jika semua akan baik-baik saja. Tak banyak kata, Azka berusaha meyakinkan Alya dengan caranya. Senyum tipis dan tatapan lekatnya membuat Alya sedikit lebih tenang. Dia merasa banyak orang yang begitu menyayangi dan mendukungnya saat ini. Pengacara yang disewa Azka pun bukan pengacara sembarangan. Dia cukup kompeten di bidangnya bahkan termasuk pengacara terkenal yang berhasil memenangkan beragam kasus rumit. Azka ingin melakukan yang terbaik untuk Alya karena dia tahu orang tua Erika pasti juga akan melakukan beragam cara untuk membantu anak semata wayangnya. Sidang berjalan cukup sengit karena orang tua Erika dan
"Alya, maukah kamu menikah denganku?" Pertanyaan Azka saat makan malam itu masih teringat jelas di benak Alya. Sesekali dia tersenyum saat membayangkan kembali momen mendebarkan itu. Dengan sedikit jongkok, Azka membuka kotak cincin itu lalu mengangsurkannya ke arah Alya yang berdiri di depannya. Laras tersenyum tipis melihat keromantisan yang sudah direncanakan anak lelakinya untuk menyambut Alya. Ruangan tak terlalu lebar yang dihiasi beberapa bunga mawar putih dan balon berbentuk hati itu semakin membuat nuansa romantis di dalamnya. Lilin-lilin kecil di tepi dinding seolah menjadi sakti ungkapan cinta lelaki tampan itu. "Aku akan berusaha membuatmu bahagia. Akan kuletakkan bahagiamu di atas bahagiaku, Alya. Percayalah, karena bahagiamu adalah bahagiaku jua." Azka tersenyum tipis menatap Alya yang masih mematung. Dia terharu dengan semua perjuangan Azka selama ini. Berkali-kali ditolak dan diabaikan, berkali-kali pula dia bangkit dan membuktikan cinta tulusnya. Alya yang sebelum
Kebaya berwarna putih gading dengan hiasan swarovski membuat penampilan Alya terlihat cantik dan elegan. Dilengkapi dengan polesan make up flawless dan senyum tipisnya, membuatnya semakin mempesona. Beberapa kali Azka menatapnya kagum lalu tersenyum saat tak sengaja bersirobok dengannya. Tak ingin semakin salah tingkah, Azka pamit untuk menemui tamu setelah selesai dimake up.Keluarga besar Azka dari Jogja datang semua ke Jakarta untuk menghadiri hari spesialnya. Mulai dari keluarga papa angkatnya, kakak tirinya dan keluarga ayah kandungnya pun ikut datang. Kebahagian Azka semakin bertambah saat melihat keluarga besarnya akur dan kumpul hari ini.Melihat keluarga besar Azka, Alya pun merasa bersyukur. Dia yang selama ini tak memiliki keluarga akhirnya mendapatkan keluarga baru yang begitu hangat dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Berulang kali Alya mengucapkan Hamdallah atas semua karunia-Nya. Dia yang selama ini mendapatkan banyak ujian, akhirnya kini mendapatkan kenikmatan berl
"Al, bajuku udah disetrika belum?" tanya Mbak Rani saat aku masih sibuk menjemur baju di belakang. "Belum, Mbak. Belum kepegang soalnya, cucian banyak banget. Maaf belum sempat," ucapku cepat sembari menggantungkan beberapa baju yang sudah kucuci. Bukan hanya bajuku dan baju Mas Naufal saja, tapi baju ipar-iparku dan mertua juga. "Gimana sih, Al?! Itu baju mau aku pakai sekarang kok malah belum disetrika? Harusnya nyetrika baju dulu, Al. Nyucinya nanti belakangan kalau kita sudah pergi ke hajatan. Kamu kan di rumah beberes." Mbak Rani bersungut kesal. Kedua matanya melotot tajam ke arahku yang masih sibuk dengan tumpukan baju setengah kering. "Iya, maaf, Mbak. Soalnya ini mumpung cuaca panas, biar lekas kering," balasku lagi. "Alasan aja. Baju mama juga sudah ditungguin itu. Buruan, lelet banget sih kaya putri Solo!" Buru-buru kuletakkan ember di samping mesin cuci. Mesin yang rusak, hanya pengeringnya saja yang masih jalan. Berulang kali kuminta Mas Naufal memanggil tukang serv
[Sebelas juta, Nur? Banyak sekali, MasyaAllah. Makasih ya, Nur. Kamu begitu pintar berbisnis sampai bisa menghasilkan keuntungan berkali lipat selama enam bulan belakangan. Aku akan gunakan uang itu sebaik mungkin, Nur. Kalau bisa, aku juga ingin memiliki usaha supaya punya penghasilan sendiri. Mereka pasti akan diam jika tahu aku punya penghasilan dan tak hanya ongkang-ongkang kaki seperti yang mereka tuduhkan selama ini]Kukirimkan balasan panjang itu pada Nuri. Rasa syukurku bertambah. Ternyata di balik ujian yang menerpa, ada keajaiban yang kuterima. Cukup lama bergeming, kulihat jarum jam semakin merambat naik. Sejak kepergian Mas Naufal dan keluarganya sore tadi aku benar-benar gelisah. Entah mengapa dalam hati rasanya tak tenang. Kucoba untuk menghubungi Mas Naufal, tapi nomornya tak aktif. Beberapa pesan kukirimkan, tapi tak juga dibalasnya bahkan masih tetap ceklis satu hingga sekarang. Aku pun berusaha menghubungi Ratna dan Mbak Rani, tapi mereka seolah kompak mengabaikan.
"Mas, ini uang empat juta yang aku pinjam untuk menebus sisa hutang ibuku waktu itu. Sekarang aku sudah ada dana, jadi aku kembalikan. Kamu jangan tersinggung ya, aku cuma ingin membuat ibu tenang karena sudah melunasi hutangnya," ucapku pada Mas Naufal sembari memberikan lembaran seratus ribuan itu ke pangkuannya. Mas Naufal yang masih asyik ngobrol di ruang keluarga, membahas hajatan kemarin yang sepertinya cukup meriah itu pun tercekat seketika. Dia masih saja bengong melihat lembaran merah di pangkuannya. Begitu pula mama, Mbak Rani dan Ratna. Mereka kompak melihat tumpukan uang di pangkuan Mas Naufal lalu beralih menatapku penuh tanya dan sepertinya curiga darimana aku mendapatkan uangnya. "Dapat duit darimana kamu, Sayang? Kan aku bilang nggak perlu dikembalikan. Aku ikhlas kok buat bayar hutang ibu," sahut Mas Naufal kemudian. "Ih kamu itu, Fal. Namanya hutang ya harus dibayar. Tak peduli dia dapat uang itu darimana yang penting tiap hutang wajib dibayar. Jangan terlalu lem
Aku tak sanggup berada di antara mereka di ruang keluarga. Lebih memilih menghindar dan pergi ke kamar daripada terus disudutkan dan disalahkan. Di sini, aku bisa menumpahkan segala rasa yang menyesaki dada selama tiga bulan belakangan. Kuhapus jejak air mataku sendiri tiap kali membayangkan sikap-sikap mereka padaku selama ini. Aku benar-benar tak paham mengapa mama dan ipar-iparku begitu membenciku. Seolah tak ada sisi baiknya dariku menurut mereka. "Erika itu cantik, menarik dan berpendidikan. Bibit, bebet dan bobotnya jelas karena kita mengenalnya sejak dia dilahirkan. Mama nggak habis pikir kenapa kamu tak menyukainya, Fal." Suara wanita yang telah melahirkan suamiku tiga puluh tahun lalu itu kembali terdengar. Volumenya meninggi seolah sengaja supaya aku bisa mendengar dengan jelas obrolan mereka di sana. "Erika bahkan menjadi primadona di kampusnya dulu, Fal. Banyak lelaki yang jatuh hati padanya bahkan melamarnya sebelum lulus kuliah, tapi dia tetap memilih kamu. Apa kamu n