[Sebelas juta, Nur? Banyak sekali, MasyaAllah. Makasih ya, Nur. Kamu begitu pintar berbisnis sampai bisa menghasilkan keuntungan berkali lipat selama enam bulan belakangan. Aku akan gunakan uang itu sebaik mungkin, Nur. Kalau bisa, aku juga ingin memiliki usaha supaya punya penghasilan sendiri. Mereka pasti akan diam jika tahu aku punya penghasilan dan tak hanya ongkang-ongkang kaki seperti yang mereka tuduhkan selama ini]
Kukirimkan balasan panjang itu pada Nuri. Rasa syukurku bertambah. Ternyata di balik ujian yang menerpa, ada keajaiban yang kuterima. Cukup lama bergeming, kulihat jarum jam semakin merambat naik. Sejak kepergian Mas Naufal dan keluarganya sore tadi aku benar-benar gelisah. Entah mengapa dalam hati rasanya tak tenang. Kucoba untuk menghubungi Mas Naufal, tapi nomornya tak aktif. Beberapa pesan kukirimkan, tapi tak juga dibalasnya bahkan masih tetap ceklis satu hingga sekarang. Aku pun berusaha menghubungi Ratna dan Mbak Rani, tapi mereka seolah kompak mengabaikan. Bahkan pesan yang kukirim pun tak mendapatkan balasan sekalipun statusnya sudah terbaca. Nyaris jam sebelas malam baru kuterima telepon dari Mas Naufal. "Mas, kamu kemana aja? Aku telpon berkali-kali nggak aktif. Aku kirim pesan pun nggak kamu balas. Apa di sana kamu sesibuk itu? Aku khawatir kamu kenapa-kenapa, Mas," ucapku setelah membalas salam Mas Naufal. Laki-laki yang baru menikah denganku tiga bulan lalu itu pun sedikit gugup. Entah mengapa Mas Naufal segugup itu saat bicara denganku padahal biasanya dia begitu tenang dan santai. Adakah yang tengah disembunyikannya dariku?"Maaf ya, Sayang. Tadi ponselku dibawa mama dan mama lupa menaruhnya di mana. Ini baru ketemu. Jadi aku langsung telepon kamu. Maaf baru kasih kabar. Kupikir langsung pulang, tapi ternyata mama minta menginap dan besok pagi baru pulang. Kamu nggak apa-apa di rumah sendirian?" Lagi-lagi Mas Naufal sedikit gugup. Jujur saja aku kembali kecewa. Baru tiga bulan menikah dengannya tapi sudah tiga kali ini ditinggal di rumah sendirian. Mama selalu saja mendadak menginap tiap pergi ke acara keluarga atau hajatan. Entah sengaja atau tidak, tapi selalu begitu polanya. Dari rumah bilang nggak menginap tapi kenyataannya berbeda. Alasan mama selalu tak enak hati karena acara belum selesai dan keluarga yang lain pun ikut menginap di sana. Entahlah. "Sayang ... kamu marah?" Suara itu kembali terdengar. Kuseka air mata yang meleleh ke pipi. Berusaha tegar dan tak ingin Mas Naufal tahu jika saat ini aku benar-benar kecewa. "Sudahlah, Mas. Aku nggak apa-apa. Besok cepat pulang ya?" pintaku.Entah mengapa sejak kepergiannya ke acara itu, firasatku mulai tak enak. Mendadak gelisah dan tak nyaman melakukan apapun. Aku benar-benar takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan di sana. Tanpa sepengetahuanku."Bener kamu nggak marah?" tanyanya tak percaya dengan jawabanku."Jikalaupun aku marah, apakah kamu akan menuruti permintaanku dan menolak perintah mama? Nggak, kan, Mas?" Aku balik bertanya. Seperti biasa, Mas Naufal hanya diam. Tak mampu memberikan balasan apapun. Aku tahu dia memang mencintaiku. Namun, dia juga begitu menghormati mamanya. Bukan sekadar hormat, tapi lebih ke arah takut dan takluk apapun perintah mamanya sekalipun kadang bertolak belakang dengan nuraninya.Mas Naufal memang anak yang baik. Dia tak hanya hormat pada mama, tapi pada ibuku juga. Dia cukup perhatian dan tulus menyayangi ibuku yang telah tenang di sisiNya lima bulan yang lalu. Sebelum aku memutuskan menikah dengan Mas Naufal, dia memang cukup banyak membantu keluargaku, terutama ibu. Dia sering membeli dagangan ibu yang kebetulan jualan nasi uduk di dekat kantornya saat itu. Dia juga sering memberi ibu sembako sekalipun ibu tak pernah meminta, bahkan dia pernah memberi uang untuk debt collector yang datang marah-marah dan mengancam ibu ke lokasi jualannya. Ibu merasa banyak berhutang budi dengan Mas Naufal. Hatinya tersentuh saat laki-laki itu mengutarakan niatnya untuk menikah denganku. Aku yang saat itu hanya beberapa kali melihatnya, tapi dia bilang sudah cukup lama memperhatikan dan mencari tahu tentangku. Entahlah.Sebelum meninggal, ibu memang memintaku untuk menerima cinta laki-laki itu. Ibu cukup yakin jika dia bisa menghargai perempuan dan bertanggungjawab atas anak istrinya kelak. Hingga akhirnya aku mengiyakan lamaran Mas Naufal dan resmi menikah dengannya tiga bulan lalu. "Kenapa diam saja, Mas? Kamu nggak mungkin menuruti permintaanku jika itu bertentangan dengan perintah mama kan?" tanyaku lagi. Kudengar Mas Naufal mendesah. "Bukan begitu, Sayang. Jangan membenturkan aku dengan mama. Harusnya tadi kamu ikut saja, Sayang. Biar mama tak berencana menginap seperti ini. Sayangnya kamu nggak buru-buru jadi mama malas menunggu. Kamu tahu sendiri kan kalau mama memang nggak suka menunggu terlalu lama." Lirih kudengar pembelaan Mas Naufal. Lagi-lagi dia terlalu mempercayai ucapan mamanya tanpa mendengarkan penjelasanku lebih dulu."Kalau aku bilang mama, Mbak Rani dan Ratna menyuruhku ini dan itu hingga aku tak bisa siap-siap, apa kamu juga akan mempercayainya, Mas? Nggak kan? Kamu akan tetap percaya ucapan mereka bertiga dibandingkan ucapanku yang hanya sendirian saja. Mereka yang pasti kompak menyudutkanku," ucapku jujur. "Sudahlah, Sayang. Jangan membuatku semakin pusing ya? Kamu tahu sendiri kalau anak laki-laki masih bertanggungjawab penuh pada ibunya sekalipun dia sudah menikah, kan?" "Iya kalau mama benar, tapi kalau keliru masa kamu bela terus, Mas?" Aku cukup kesal mendengar jawaban Mas Naufal. Selalu begitu sedari dulu. Aku tahu jawabannya tak keliru. Hanya saja jika terus mengiyakan perintah mama, aku yakin hubunganku dengannya akan semakin renggang sebab mama tak pernah menyukaiku. Mama akan melakukan berbagai cara agar aku dan Mas Naufal tak selalu bersama. "Ini persoalan ringan, Sayang. Jangan terlalu diambil hati ya? Maafkan mama." Aku hanya menghela napas lalu pamit tidur. Tak ingin terus berdebat dengan Mas Naufal hanya karena masalah itu. Paginya, semua pekerjaan sudah selesai kukerjakan. Waktunya santai sembari membalas pesan dari Nuri. Dia akan membantuku mencari tempat yang pas untuk membuka usaha laundry di sini. Rasanya cukup lega saat menceritakan secuil persoalan rumah tanggaku bersama Mas Naufal. Aku tak memiliki sanak saudara bahkan keluarga lagi setelah ibu pergi. Hanya Nuri yang masih menemaniku hingga kini sekalipun aku jarang bertemu dengannya. "Kamu tenang saja, Al. Aku akan membantumu mematahkan keangkuhan mertua dan kedua iparmu itu. Tak perlu kerja, aku yang akan mengurus semuanya. Mas Naufal juga harus tegas pada mama dan keluarganya jika tak ingin kehilangan kamu. Jika terus lembek begini itu tandanya dia tak benar-benar mencintaimu, Al. Kamu harus ambil sikap jika tak ingin makan hati setiap hari," ucap Nuri dari seberang. "Iya, Nur. Kamu benar. Mas Naufal memang harus tegas jika tak ingin pernikahanku dengannya hancur karena ulah ipar dan mertua," balasku. "Nanti kalau mereka pulang, lekas kembalikan uang Mas Naufal yang empat juta itu di hadapan mereka semua. Biar saja mereka tahu kalau kamu tak semiskin yang mereka pikirkan. Buat mereka terkejut perlahan hingga akhirnya mereka sadar jika kamu bukanlah perempuan sembarangan!" ucap Nuri lagi. Aku kembali mengiyakan. Ternyata rencana Nuri sama persis dengan rencana yang sejak semalam kubayangkan. Aku akan membuat mereka shock perlahan mulai hari ini. Lihat saja nanti!πππ"Mas, ini uang empat juta yang aku pinjam untuk menebus sisa hutang ibuku waktu itu. Sekarang aku sudah ada dana, jadi aku kembalikan. Kamu jangan tersinggung ya, aku cuma ingin membuat ibu tenang karena sudah melunasi hutangnya," ucapku pada Mas Naufal sembari memberikan lembaran seratus ribuan itu ke pangkuannya. Mas Naufal yang masih asyik ngobrol di ruang keluarga, membahas hajatan kemarin yang sepertinya cukup meriah itu pun tercekat seketika. Dia masih saja bengong melihat lembaran merah di pangkuannya. Begitu pula mama, Mbak Rani dan Ratna. Mereka kompak melihat tumpukan uang di pangkuan Mas Naufal lalu beralih menatapku penuh tanya dan sepertinya curiga darimana aku mendapatkan uangnya. "Dapat duit darimana kamu, Sayang? Kan aku bilang nggak perlu dikembalikan. Aku ikhlas kok buat bayar hutang ibu," sahut Mas Naufal kemudian. "Ih kamu itu, Fal. Namanya hutang ya harus dibayar. Tak peduli dia dapat uang itu darimana yang penting tiap hutang wajib dibayar. Jangan terlalu lem
Aku tak sanggup berada di antara mereka di ruang keluarga. Lebih memilih menghindar dan pergi ke kamar daripada terus disudutkan dan disalahkan. Di sini, aku bisa menumpahkan segala rasa yang menyesaki dada selama tiga bulan belakangan. Kuhapus jejak air mataku sendiri tiap kali membayangkan sikap-sikap mereka padaku selama ini. Aku benar-benar tak paham mengapa mama dan ipar-iparku begitu membenciku. Seolah tak ada sisi baiknya dariku menurut mereka. "Erika itu cantik, menarik dan berpendidikan. Bibit, bebet dan bobotnya jelas karena kita mengenalnya sejak dia dilahirkan. Mama nggak habis pikir kenapa kamu tak menyukainya, Fal." Suara wanita yang telah melahirkan suamiku tiga puluh tahun lalu itu kembali terdengar. Volumenya meninggi seolah sengaja supaya aku bisa mendengar dengan jelas obrolan mereka di sana. "Erika bahkan menjadi primadona di kampusnya dulu, Fal. Banyak lelaki yang jatuh hati padanya bahkan melamarnya sebelum lulus kuliah, tapi dia tetap memilih kamu. Apa kamu n
"Coba pikir, darimana istrimu dapat uang segitu? Dia kan nggak kerja dan nggak punya tabungan sama sekali. Bahkan harus jual rumah ibunya buat bayar hutang, kan? Lantas darimana duit itu?" Mama kembali mengompori anak lelakinya. Seolah tak peduli jika detik ini aku sudah berdiri di sampingnya. "Alya, kamu bisa jelaskan ke mama dan Mbak Rani kalau tuduhan mereka salah besar kan? Aku percaya kamu nggak mungkin melakukan itu." Mas Naufal menatapku lekat sembari menghela napas panjang. Aku mengangguk lalu duduk di sampingnya. "Aku memang miskin bahkan kini yatim piatu, Ma. Tapi, aku nggak terima jika difitnah sekeji itu apalagi oleh keluarga suamiku sendiri. Aku benar-benar tak menyangka jika mama yang sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri dan Mbak Rani yang kupikir bisa menjadi kakak terbaikku bisa menuduhku serendah itu. Dari tadi aku berusaha menjelaskan darimana asal uang itu, tapi kalian selalu memotong dan seolah tak percaya dengan penjelasanku. Kenapa setelah aku pergi jus
"Kamu tahu sendiri selama ini aku nggak pernah pacaran, Mas. Mana mungkin aku berkencan dengan lelaki lain setelah menikah denganmu. Aku masih takut dosa, Mas. Lagipula aku jarang keluar rumah, gimana ceritanya bisa berhubungan dengan lelaki lain?" Kedua mataku mulai berkaca. Perempuan mana yang tak terluka hatinya saat suami yang dicintainya curiga akan kesetiaannya. "Jangan terus beralasan, Mbak. Kamu memang jarang keluar rumah, tapi semalam rumah ini sepi. Semuanya menginap di rumah bibi setelah hajatan itu. Bisa saja kamu bawa laki-laki itu ke rumah ini semalam lalu dia bayar kamu dengan uang sebanyak itu. Iya kan? Apalagi tadi Mas Naufal bilang transfernya sebelas juta. Itu uang semua, bukan daun. Masa usaha laundry bisa dapat sebanyak itu." Ratna kembali mengompori. Rasanya pengin kuremas bibirnya yang bicara sembarangan itu. "Astaghfirullah, kamu benar-benar menuduhku pela*ur, Rat?" Bulir bening yang sedari tadi kutahan pun meluncur begitu saja. "Mas, aku bisa telepon atau v
Rumah Pak Rudi tepat berada di depan rumah mama. Dari sana jelas terlihat jika ada tamu yang datang dan memarkirkan motornya di depan rumah. Pak Rudi mendengarkan penjelasan Mas Naufal soal keinginannya memeriksa cctv di depan rumah mama dua hari terakhir. Sepertinya laki-laki paruh baya itu paham apa yang sebenarnya dicurigai Mas Naufal. Dia pun memperbolehkan Mas Naufal untuk memeriksa cctv nya. Sebenarnya aku malu jika masalah ini diketahui orang lain, hanya saja aku tak bisa berbuat banyak. Semakin aku mengelak atau menolak, Mas Naufal akan semakin curiga dan percaya apa yang diucapkan keluarga besarnya. Jadi, jalan satu-satunya memang sama-sama melihat cctv itu supaya semua lega. "Lihat itu, Mas. Jam lima lebih ada yang datang bawa kado!" tunjuk Ratna saat terlihat seorang lelaki membawa sebuah kado lalu mengetuk gerbang rumah mama. Aku ingat betul kejadian sore kemarin. Lelaki itu memang datang, tapi aku benar-benar tak mengenalinya. Dia hanya menanyakan alamat paket yang di
"Apa kamu punya hubungan khusus dengan Erika selain sekadar teman di masa kecil, Mas? Apa hajatan kemarin berhubungan dengan kalian berdua?" Cecarku lagi membuat Mas Naufal mendadak pucat pasi. Aku semakin yakin jika ada sesuatu di antara mereka. Mas Naufal tak pandai berbohong. Tiap kali dia bicara dusta, pasti terlihat jelas dari mimik wajahnya. Aku sudah cukup hafal dengan sikapnya itu. "Ng-- nggak ada, Dek. Biasa saja, nggak ada yang istimewa. Kenapa memangnya?" Dia balik bertanya untuk menutupi kegugupannya. Aku kembali menatapnya, lekat. Namun, laki-laki itu berusaha mengalihkan pandangannya. "Firasatku nggak enak ditambah sikapmu agak aneh makanya aku bertanya begitu, Mas. Aku yakin sekali ada sesuatu saat hajatan kemarin." "Hanya perasaanmu saja, Dek. Nggak da sesuatu yang spesial kok. Jangan berpikir aneh-aneh ya?" Mas Naufal mengusap puncak kepalaku. Seperti biasa, dia sangat manis tiap kali berdua, tapi jika di depan keluarganya, semua terasa hambar. Seolah tak ada cin
[Sayang, masak yang enak ada tamu dari jauh yang akan datang. Kita harus menyambutnya dengan baik supaya betah] Pesan dari Mas Naufal baru saja kubaca. Aku tak tahu siapa tamu yang dia maksud, tapi entah mengapa ada rasa aneh dalam hati saat dia menyebut kata tamu dari jauh. Meski begitu, aku tetap mematuhi perintahnya. Hari ini aku masak bermacam jenis masakan, mulai dari soto, telur balado, nila goreng, opor dan tempe goreng. Sesuai permintaan mama dan Mas Naufal, aku harus menyiapkan hidangan yang menggugah selera. Seperti biasa, tak ada seorang pun yang membantuku berkutat di dapur. Sejak pagi sampai setengah harian ini mama masih sibuk ke pasar membeli camilan untuk tamunya. Sebenarnya aku tahu jika itu hanyalah alasannya saja. Yang benar, mama sibuk foya-foya dengan jatah bulanan yang diberikan Mas Naufal padanya. Maklumlah, saat ini tanggal muda. Jadi, uang bulanan mama masih cukup banyak untuk belanja. Mbak Rani dan Ratna pun sibuk ke mall mau beli keperluan bulanan, katany
Alya. Dia istri shalihahku. Selalu berusaha menjalankan apa yang kukatakan, jarang sekali membantah jika memang perintahku masih dalam batas kewajaran. Tak hanya padaku, pada mama dan saudaraku yang lain pun dia patuh. Alya adalah perempuan idaman yang kuyakin banyak diincar para lelaki. Dia cantik dan lembut. Meski penampilannya sederhana, tapi hatinya begitu istimewa. Bukan salahnya tak bisa merawat wajah hingga terkesan kusam dan berjerawat. Hanya saja, aku yang tak memberinya dana lebih untuk membeli skincare. Gajiku memang cukup banyak sebagai manager keuangan, tapi kebutuhan harian pun tak kalah banyak. Mama selalu meminta jatah lebih tiap bulan, meski uang dapur sudah diurus oleh Alya. Gajiku sebelas juta perbulan. Dua juta rupiah kuberikan pada mama tiap bulannya, sama persis dengan jatah Alya. Hanya saja, uang mama fokus untuk kebutuhannya sendiri sementara uang yang kuberikan pada Alya untuk kebutuhan keluarga, mulai dari perdapuran, listrik, WiFi, air, dan iuran lain. Ua