Share

BAB 2

[Sebelas juta, Nur? Banyak sekali, MasyaAllah. Makasih ya, Nur. Kamu begitu pintar berbisnis sampai bisa menghasilkan keuntungan berkali lipat selama enam bulan belakangan. Aku akan gunakan uang itu sebaik mungkin, Nur. Kalau bisa, aku juga ingin memiliki usaha supaya punya penghasilan sendiri. Mereka pasti akan diam jika tahu aku punya penghasilan dan tak hanya ongkang-ongkang kaki seperti yang mereka tuduhkan selama ini]

Kukirimkan balasan panjang itu pada Nuri. Rasa syukurku bertambah. Ternyata di balik ujian yang menerpa, ada keajaiban yang kuterima. Cukup lama bergeming, kulihat jarum jam semakin merambat naik. Sejak kepergian Mas Naufal dan keluarganya sore tadi aku benar-benar gelisah. Entah mengapa dalam hati rasanya tak tenang. 

Kucoba untuk menghubungi Mas Naufal, tapi nomornya tak aktif. Beberapa pesan kukirimkan, tapi tak juga dibalasnya bahkan masih tetap ceklis satu hingga sekarang. Aku pun berusaha menghubungi Ratna dan Mbak Rani, tapi mereka seolah kompak mengabaikan. Bahkan pesan yang kukirim pun tak mendapatkan balasan sekalipun statusnya sudah terbaca. Nyaris jam sebelas malam baru kuterima telepon dari Mas Naufal. 

"Mas, kamu kemana aja? Aku telpon berkali-kali nggak aktif. Aku kirim pesan pun nggak kamu balas. Apa di sana kamu sesibuk itu? Aku khawatir kamu kenapa-kenapa, Mas," ucapku setelah membalas salam Mas Naufal. 

Laki-laki yang baru menikah denganku tiga bulan lalu itu pun sedikit gugup. Entah mengapa Mas Naufal segugup itu saat bicara denganku padahal biasanya dia begitu tenang dan santai. Adakah yang tengah disembunyikannya dariku?

"Maaf ya, Sayang. Tadi ponselku dibawa mama dan mama lupa menaruhnya di mana. Ini baru ketemu. Jadi aku langsung telepon kamu. Maaf baru kasih kabar. Kupikir langsung pulang, tapi ternyata mama minta menginap dan besok pagi baru pulang. Kamu nggak apa-apa di rumah sendirian?" Lagi-lagi Mas Naufal sedikit gugup. 

Jujur saja aku kembali kecewa. Baru tiga bulan menikah dengannya tapi sudah tiga kali ini ditinggal di rumah sendirian. Mama selalu saja mendadak menginap tiap pergi ke acara keluarga atau hajatan. 

Entah sengaja atau tidak, tapi selalu begitu polanya. Dari rumah bilang nggak menginap tapi kenyataannya berbeda. Alasan mama selalu tak enak hati karena acara belum selesai dan keluarga yang lain pun ikut menginap di sana. Entahlah. 

"Sayang ... kamu marah?" Suara itu kembali terdengar. Kuseka air mata yang meleleh ke pipi. Berusaha tegar dan tak ingin Mas Naufal tahu jika saat ini aku benar-benar kecewa. 

"Sudahlah, Mas. Aku nggak apa-apa. Besok cepat pulang ya?" pintaku.

Entah mengapa sejak kepergiannya ke acara itu, firasatku mulai tak enak. Mendadak gelisah dan tak nyaman melakukan apapun. Aku benar-benar takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan di sana. Tanpa sepengetahuanku.

"Bener kamu nggak marah?" tanyanya tak percaya dengan jawabanku.

"Jikalaupun aku marah, apakah kamu akan menuruti permintaanku dan menolak perintah mama? Nggak, kan, Mas?" Aku balik bertanya.  

Seperti biasa, Mas Naufal hanya diam. Tak mampu memberikan balasan apapun. Aku tahu dia memang mencintaiku. Namun, dia juga begitu menghormati mamanya. Bukan sekadar hormat, tapi lebih ke arah takut dan takluk apapun perintah mamanya sekalipun kadang bertolak belakang dengan nuraninya.

Mas Naufal memang anak yang baik. Dia tak hanya hormat pada mama, tapi pada ibuku juga. Dia cukup perhatian dan tulus menyayangi ibuku yang telah tenang di sisiNya lima bulan yang lalu. 

Sebelum aku memutuskan menikah dengan Mas Naufal, dia memang cukup banyak membantu keluargaku, terutama ibu. Dia sering membeli dagangan ibu yang kebetulan jualan nasi uduk di dekat kantornya saat itu. 

Dia juga sering memberi ibu sembako sekalipun ibu tak pernah meminta, bahkan dia pernah memberi uang untuk debt collector yang datang marah-marah dan mengancam ibu ke lokasi jualannya. 

Ibu merasa banyak berhutang budi dengan Mas Naufal. Hatinya tersentuh saat laki-laki itu mengutarakan niatnya untuk menikah denganku. Aku yang saat itu hanya beberapa kali melihatnya, tapi dia bilang sudah cukup lama memperhatikan dan mencari tahu tentangku. Entahlah.

Sebelum meninggal, ibu memang memintaku untuk menerima cinta laki-laki itu. Ibu cukup yakin jika dia bisa menghargai perempuan dan bertanggungjawab atas anak istrinya kelak.  Hingga akhirnya aku mengiyakan lamaran Mas Naufal dan resmi menikah dengannya tiga bulan lalu. 

"Kenapa diam saja, Mas? Kamu nggak mungkin menuruti permintaanku jika itu bertentangan dengan perintah mama kan?" tanyaku lagi. Kudengar Mas Naufal mendesah. 

"Bukan begitu, Sayang. Jangan membenturkan aku dengan mama. Harusnya tadi kamu ikut saja, Sayang. Biar mama tak berencana menginap seperti ini. Sayangnya kamu nggak buru-buru jadi mama malas menunggu. Kamu tahu sendiri kan kalau mama memang nggak suka menunggu terlalu lama." Lirih kudengar pembelaan Mas Naufal. Lagi-lagi dia terlalu mempercayai ucapan mamanya tanpa mendengarkan penjelasanku lebih dulu.

"Kalau aku bilang mama, Mbak Rani dan Ratna menyuruhku ini dan itu hingga aku tak bisa siap-siap, apa kamu juga akan mempercayainya, Mas? Nggak kan? Kamu akan tetap percaya ucapan mereka bertiga dibandingkan ucapanku yang hanya sendirian saja. Mereka yang pasti kompak menyudutkanku," ucapku jujur. 

"Sudahlah, Sayang. Jangan membuatku semakin pusing ya? Kamu tahu sendiri kalau anak laki-laki masih bertanggungjawab penuh pada ibunya sekalipun dia sudah menikah, kan?" 

"Iya kalau mama benar, tapi kalau keliru masa kamu bela terus, Mas?" Aku cukup kesal mendengar jawaban Mas Naufal. Selalu begitu sedari dulu. 

Aku tahu jawabannya tak keliru. Hanya saja jika terus mengiyakan perintah mama, aku yakin hubunganku dengannya akan semakin renggang sebab mama tak pernah menyukaiku. Mama akan melakukan berbagai cara agar aku dan Mas Naufal tak selalu bersama. 

"Ini persoalan ringan, Sayang. Jangan terlalu diambil hati ya? Maafkan mama." 

Aku hanya menghela napas lalu pamit tidur. Tak ingin terus berdebat dengan Mas Naufal hanya karena masalah itu. 

Paginya, semua pekerjaan sudah selesai kukerjakan. Waktunya santai sembari membalas pesan dari Nuri. Dia akan membantuku mencari tempat yang pas untuk membuka usaha laundry di sini. 

Rasanya cukup lega saat menceritakan secuil persoalan rumah tanggaku bersama Mas Naufal. Aku tak memiliki sanak saudara bahkan keluarga lagi setelah ibu pergi. Hanya Nuri yang masih menemaniku hingga kini sekalipun aku jarang bertemu dengannya. 

"Kamu tenang saja, Al. Aku akan membantumu mematahkan keangkuhan mertua dan kedua iparmu itu. Tak perlu kerja, aku yang akan mengurus semuanya. Mas Naufal juga harus tegas pada mama dan keluarganya jika tak ingin kehilangan kamu. Jika terus lembek begini itu tandanya dia tak benar-benar mencintaimu, Al. Kamu harus ambil sikap jika tak ingin makan hati setiap hari," ucap Nuri dari seberang. 

"Iya, Nur. Kamu benar. Mas Naufal memang harus tegas jika tak ingin pernikahanku dengannya hancur karena ulah ipar dan mertua," balasku. 

"Nanti kalau mereka pulang, lekas kembalikan uang Mas Naufal yang empat juta itu di hadapan mereka semua. Biar saja mereka tahu kalau kamu tak semiskin yang mereka pikirkan. Buat mereka terkejut perlahan hingga akhirnya mereka sadar jika kamu bukanlah perempuan sembarangan!" ucap Nuri lagi. Aku kembali mengiyakan. 

Ternyata rencana Nuri sama persis dengan rencana yang sejak semalam kubayangkan. Aku akan membuat mereka shock perlahan mulai hari ini. Lihat saja nanti!

πŸ’•πŸ’•πŸ’•

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
benar Alya apa kata Nuri tapi bila perlu usaha mu in qm sembunyikan dulu dr suami mu dan mertuamu serta ipar2 mu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status