"Kamu tahu sendiri selama ini aku nggak pernah pacaran, Mas. Mana mungkin aku berkencan dengan lelaki lain setelah menikah denganmu. Aku masih takut dosa, Mas. Lagipula aku jarang keluar rumah, gimana ceritanya bisa berhubungan dengan lelaki lain?" Kedua mataku mulai berkaca. Perempuan mana yang tak terluka hatinya saat suami yang dicintainya curiga akan kesetiaannya.
"Jangan terus beralasan, Mbak. Kamu memang jarang keluar rumah, tapi semalam rumah ini sepi. Semuanya menginap di rumah bibi setelah hajatan itu. Bisa saja kamu bawa laki-laki itu ke rumah ini semalam lalu dia bayar kamu dengan uang sebanyak itu. Iya kan? Apalagi tadi Mas Naufal bilang transfernya sebelas juta. Itu uang semua, bukan daun. Masa usaha laundry bisa dapat sebanyak itu." Ratna kembali mengompori. Rasanya pengin kuremas bibirnya yang bicara sembarangan itu. "Astaghfirullah, kamu benar-benar menuduhku pela*ur, Rat?" Bulir bening yang sedari tadi kutahan pun meluncur begitu saja. "Mas, aku bisa telepon atau video call Nuri sekarang kalau kamu nggak percaya. Biar dia saja yang jelaskan semuanya." Aku kembali menatap Mas Naufal dengan mata berkaca."Bisa saja kamu sekongkol dengan Nurimu itu. Apa Mas Naufal harus percaya dengan dia?" Mulut Ratna kembali mencibir. "Jangan lembek, Fal. Kalau memang Nuri itu sahabat istrimu, bisa saja mereka kong kalikong." Mama yang tadi ke kamar mandi kembali berkomentar. Semua orang di rumah ini mulai menyudutkanku, sementara Mas Naufal masih bergeming sembari menatapku lekat dengan mata berkaca. Ya Allah, aku sudah menjelaskan sedemikian rupa, apakah dia nggak percaya juga?"Ratna dan mama benar, Al. Apa aku bisa percaya jika itu memang Nuri sahabatmu, bukan Nuri-Nuri yang lain? Lagipula selama ini aku belum pernah melihat dia bahkan kamu tak pernah menceritakan sosok Nuri padaku. Bisa jadi ini akal-akalanmu saja." Aku tersentak mendengar balasan Mas Naufal yang masih tak percaya dengan ceritaku. Securiga itukah dia pada istrinya sendiri?"Ratna bilang kemarin kamu ngobrol dengan laki-laki lain di depan rumah. Mungkin sebaiknya kita ke rumah Pak Rudi untuk cek kebenarannya. Aku nggak mau kecolongan, Al. Aku percaya sama kamu sejak dulu, tapi maaf. Uang sebelas juta terlalu banyak buat kamu yang tak memiliki pekerjaan di luar. Kita sama-sama buktikan saja jika kamu memang nggak ada hubungan dengan lelaki manapun, apalagi saat aku nggak ada di rumah," ucap Mas Naufal sembari menarik lenganku perlahan. Aku menghela napas panjang. "Terserah kamu saja, Mas. Selama ini aku sudah berusaha patuh dan setia, tapi jika kamu tetap curiga aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku juga tak bisa memaksamu untuk percaya." Mas Naufal mencelos. Dia mencintaiku, tapi terlalu percaya dan patuh pada keluarganya. Tak bisa mandiri, apalagi memiliki keputusan sendiri. Kadang aku merasa ucapan Nuri ada benarnya. Laki-laki plin-plan dan selalu berada di bawah ketiak mama memang tak layak dijadikan pendamping hidup. Selamanya akan membuatku makan hati dan nelangsa. "Aku ke kamar mandi sebentar. Setelah itu kita ke rumah Pak Rudi." Mas Naufal beranjak dari sofa lalu masuk ke kamar mandi. "Kenapa melamun, Mbak? Takut kedoknya akan terbongkar?" sindir Ratna dengan santainya. Aku menatapnya beberapa saat. Kadang aku merasa benar-benar bingung dan tak mengerti jalan pikiran keluarga Mas Naufal. Kenapa mereka begitu membenciku padahal selama ini aku sudah berusaha menjadi ipar dan menantu yang baik. Bahkan selalu mengalah dan rela mengerjakan semua pekerjaan rumah sementara mereka sesuka hati dan ongkang-ongkang kaki. Nyatanya, semua pengorbananku tak pernah berarti. "Kedok apa yang terbongkar? Selama ini aku nggak pernah pakai topeng. Aku nggak suka drama. Aku nggak takut dengan ancamanmu karena aku tak melakukan apa yang kamu tuduhkan. Sekalipun dunia menghukumku, kalau nggak salah ya nggak perlu takut. Satu hal yang harus diingat, Allah Maha Melihat dan Maha Tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika ternyata semua hanya jebakan, suatu saat pasti akan mendapatkan balasan. Jika balasannya tak di dunia, maka di akhirat pasti mendapatkan hukuman. Bukankah begitu, Rat?" Aku menatapnya lagi lalu tersenyum tipis. Wajah Ratna mendadak pias seketika. Tiga bulan belakangan ini aku sudah patuh dan mengalah dijadikan babu. Aku juga sudah berusaha menjadi istri, menantu dan ipar yang terbaik. Namun, jika mereka menuntut lebih, aku menyerah. Apalagi jika Mas Naufal sampai mempercayai ucapan adiknya yang menuduhku selingkuh, aku benar-benar tak sanggup lagi. Tuduhannya jelas mencabik-cabik harga diri yang selama ini kujunjung tinggi. Teringat kembali ucapan Nuri kemarin, jika rumah tangga yang kujalani terlalu menyakitkan aku pantas melepaskan. Setiap orang berhak bahagia, termasuk aku. Dulu aku terlalu yakin jika cinta Mas Naufal akan membuatku nyaman dan bertahan, tapi akhir-akhir ini rasanya kepercayaanku perlahan mengikis. Tak ada pembelaan apapun yang dilakukannya untukku tiap kali disudutkan oleh keluarga besarnya. Mungkin Mas Naufal mengira aku akan diam dan terus patuh seperti biasanya, tapi bukankah setiap perempuan juga memiliki perasaan yang wajib dijaga? Bukankah tiap orang memiliki titik lemah dan lelahnya? Namun, kenapa Mas Naufal tak peduli akan hal itu? Mungkinkah dia mengira aku perempuan sekuat baja? Padahal, jikalaupun aku sekuat itu, aku juga butuh cinta yang tak hanya terucap lewat kata, tapi cinta yang bisa dirasa dan dibuktikan dengan tindakan nyata. Bukti nyata yang jarang sekali kudapatkan darinya. "Jadi ke rumah Pak Rudi sekarang, Mas?" tanyaku pada Mas Naufal yang baru keluar dari kamar mandi. Entah mengapa kini kulihat dia mulai bimbang. "Kalau kamu curiga aku bermain api di rumah ini saat kamu kerja atau ke luar kota, silakan cek cctv di rumah Pak Rudi, Mas. Apa benar aku mengajak laki-laki lain ke sini saat kalian tak ada di rumah. Cek saja, aku nggak masalah kok. Aku juga nggak takut, sebab aku merasa nggak pernah melakukan apapun yang dituduhkan." Mas Naufal menghela napas kasar lalu menarik lenganku pelan. "Kita cek sekarang biar semuanya jelas." Kulirik Ratna dan Mbak Rani saling tatap lalu tersenyum sinis. Apakah mereka sengaja merencanakan sesuatu yang buruk untukku? Jika sampai itu terjadi, aku benar-benar tak akan tinggal diam. Akan kubalas perlakukan mereka dengan cara yang tak pernah mereka duga. Lihat saja!💕💕💕Rumah Pak Rudi tepat berada di depan rumah mama. Dari sana jelas terlihat jika ada tamu yang datang dan memarkirkan motornya di depan rumah. Pak Rudi mendengarkan penjelasan Mas Naufal soal keinginannya memeriksa cctv di depan rumah mama dua hari terakhir. Sepertinya laki-laki paruh baya itu paham apa yang sebenarnya dicurigai Mas Naufal. Dia pun memperbolehkan Mas Naufal untuk memeriksa cctv nya. Sebenarnya aku malu jika masalah ini diketahui orang lain, hanya saja aku tak bisa berbuat banyak. Semakin aku mengelak atau menolak, Mas Naufal akan semakin curiga dan percaya apa yang diucapkan keluarga besarnya. Jadi, jalan satu-satunya memang sama-sama melihat cctv itu supaya semua lega. "Lihat itu, Mas. Jam lima lebih ada yang datang bawa kado!" tunjuk Ratna saat terlihat seorang lelaki membawa sebuah kado lalu mengetuk gerbang rumah mama. Aku ingat betul kejadian sore kemarin. Lelaki itu memang datang, tapi aku benar-benar tak mengenalinya. Dia hanya menanyakan alamat paket yang di
"Apa kamu punya hubungan khusus dengan Erika selain sekadar teman di masa kecil, Mas? Apa hajatan kemarin berhubungan dengan kalian berdua?" Cecarku lagi membuat Mas Naufal mendadak pucat pasi. Aku semakin yakin jika ada sesuatu di antara mereka. Mas Naufal tak pandai berbohong. Tiap kali dia bicara dusta, pasti terlihat jelas dari mimik wajahnya. Aku sudah cukup hafal dengan sikapnya itu. "Ng-- nggak ada, Dek. Biasa saja, nggak ada yang istimewa. Kenapa memangnya?" Dia balik bertanya untuk menutupi kegugupannya. Aku kembali menatapnya, lekat. Namun, laki-laki itu berusaha mengalihkan pandangannya. "Firasatku nggak enak ditambah sikapmu agak aneh makanya aku bertanya begitu, Mas. Aku yakin sekali ada sesuatu saat hajatan kemarin." "Hanya perasaanmu saja, Dek. Nggak da sesuatu yang spesial kok. Jangan berpikir aneh-aneh ya?" Mas Naufal mengusap puncak kepalaku. Seperti biasa, dia sangat manis tiap kali berdua, tapi jika di depan keluarganya, semua terasa hambar. Seolah tak ada cin
[Sayang, masak yang enak ada tamu dari jauh yang akan datang. Kita harus menyambutnya dengan baik supaya betah] Pesan dari Mas Naufal baru saja kubaca. Aku tak tahu siapa tamu yang dia maksud, tapi entah mengapa ada rasa aneh dalam hati saat dia menyebut kata tamu dari jauh. Meski begitu, aku tetap mematuhi perintahnya. Hari ini aku masak bermacam jenis masakan, mulai dari soto, telur balado, nila goreng, opor dan tempe goreng. Sesuai permintaan mama dan Mas Naufal, aku harus menyiapkan hidangan yang menggugah selera. Seperti biasa, tak ada seorang pun yang membantuku berkutat di dapur. Sejak pagi sampai setengah harian ini mama masih sibuk ke pasar membeli camilan untuk tamunya. Sebenarnya aku tahu jika itu hanyalah alasannya saja. Yang benar, mama sibuk foya-foya dengan jatah bulanan yang diberikan Mas Naufal padanya. Maklumlah, saat ini tanggal muda. Jadi, uang bulanan mama masih cukup banyak untuk belanja. Mbak Rani dan Ratna pun sibuk ke mall mau beli keperluan bulanan, katany
Alya. Dia istri shalihahku. Selalu berusaha menjalankan apa yang kukatakan, jarang sekali membantah jika memang perintahku masih dalam batas kewajaran. Tak hanya padaku, pada mama dan saudaraku yang lain pun dia patuh. Alya adalah perempuan idaman yang kuyakin banyak diincar para lelaki. Dia cantik dan lembut. Meski penampilannya sederhana, tapi hatinya begitu istimewa. Bukan salahnya tak bisa merawat wajah hingga terkesan kusam dan berjerawat. Hanya saja, aku yang tak memberinya dana lebih untuk membeli skincare. Gajiku memang cukup banyak sebagai manager keuangan, tapi kebutuhan harian pun tak kalah banyak. Mama selalu meminta jatah lebih tiap bulan, meski uang dapur sudah diurus oleh Alya. Gajiku sebelas juta perbulan. Dua juta rupiah kuberikan pada mama tiap bulannya, sama persis dengan jatah Alya. Hanya saja, uang mama fokus untuk kebutuhannya sendiri sementara uang yang kuberikan pada Alya untuk kebutuhan keluarga, mulai dari perdapuran, listrik, WiFi, air, dan iuran lain. Ua
Malam tiba. Aku sengaja pura-pura memejamkan mata dan terlelap lebih dulu sebelum Mas Naufal masuk kamar. Di ruang keluarga masih terdengar suara mama dan Erika juga Mas Naufal yang bercengkerama membahas masa lalu mereka. Merasa tak dibutuhkan dan selalu diabaikan, bukankah lebih baik aku di dalam kamar saja? Pura-pura terlelap lebih dulu jauh lebih baik dibandingkan harus ikut duduk di tengah mereka, tapi tak pernah dianggap ada. Hanya sebagai manekin yang membisu, mendengarkan apapun yang mereka bicarakan. Jam sebelas lewat, belum terdengar langkah kaki Mas Naufal menuju kamar. Biasanya dia tak suka begadang. Dia selalu tidur teratur apalagi jika bukan weekend atau hari libur yang lain. Nyaris tak pernah melewati jam sebelas malam, kecuali benar-benar ada masalah atau kegiatan penting. Namun, kali ini dia betah mengobrol di luar. Detik ini aku mulai merasa tak ingin pura-pura tidur, tapi benar-benar ingin bisa tidur. Denting jarum jam di dinding seolah mengejekku yang tidur send
"Al, kok belum ada sarapan?" Suara mama mulai terdengar saat aku baru selesai mencuci pakaian Mas Naufal. Walau bagaimanapun Mas Naufal masih sah suamiku dan aku wajib menjalankan tugasku sebagai istri dengan baik. Biar kelak dia mengingat semua baktiku dan menyesal sudah menduakanku seperti ini. Cukup pakaianku dan Mas Naufal saja yang kucuci. Pakaian mereka, biar saja dicuci sendiri. Nggak ada lagi menantu rasa pembantu. Hari ini aku akan cari kontrakan dan akan mengubah duniaku sendiri. "Aku habis nyuci, Ma. Capek. Lagipula kemarin aku sudah bilang nggak akan dipusingkan dengan urusan beberes rumah dan perdapuran lagi. Apa mama lupa? Lagipula di rumah ini banyak kepala, kenapa nggak minta mereka untuk saling membantu mengerjakan semuanya?" balasku sekenanya. Kedua mata mama membulat lebar. Tentu shock karena tak biasanya aku seperti ini. Aku terbiasa patuh dan tunduk pada apapun yang mereka perintahkan, tapi itu dulu sebab mulai detik ini akan jelas berbeda. Siap-siap saja shock
Tiga hari waktu yang kuberikan untuk Mas Naufal berpikir. Dia harus memutuskan untuk tetap tinggal di rumah mama bersama perempuan itu atau lebih memilih tinggal di kontrakan demi mempertahankan rumah tangganya denganku. Aku sengaja ingin melihat apakah saat ini dia bisa memutuskan sendiri atau tetap bergantung pada keputusan mamanya. Jika dia tak juga berubah, aku yang akan berubah dan mengambil sikap. Semua berkas untuk gugatan sudah kusimpan rapi tanpa dia ketahui. Mungkin Mas Naufal masih menganggapku istri yang polos, baik dan super sabar sekalipun terus disakiti. Namun, dia salah besar. Aku tak sesabar istri-istri Baginda Rasul yang rela dipoligami, pun dia tak bisa seperti Rasul yang bisa adil dalam berbagai hati. Jadi, agar tetap waras bukankah lebih baik mundur daripada selalu makan hati ketika bersamanya? "Tiga hari ini aku masih memberimu kesempatan untuk berpikir, Mas. Namun, seperti yang kukatakan kemarin jika aku hanya ingin mengurusmu saja sebagai baktiku padamu. Yan
"Dengar kamu, Al. Kamu nggak akan pernah mendapatkan Naufal seutuhnya selagi mama masih hidup!" Ancaman mama kembali terdengar untuk kedua kalinya. Aku mencoba tetap tenang lalu balik menatap mama."Kalau begitu kenapa nggak minta anak lelaki mama buat talak aku saja? Lagipula percuma punya suami yang masih berdiri di bawah ketiak mamanya. Aku bisa hidup mandiri dan bahagia tanpanya kok, Ma. Tenang saja." Aku kembali menantang mama setelah kemarin menantang anak lelakinya.Kupikir mama akan senang dengan permintaan talakku. Namun, di luar dugaan. Dia cukup shock dengan ancamanku barusan. Aneh. Bukannya tantanganku seharusnya diterima dengan senang hati, tapi kenapa mama sekaget itu? Oh, apa dia pikir aku akan menangis dan memohon-mohon agar tak diceraikan Mas Naufal? Atau dia sengaja membiarkanku di rumah ini agar bisa dijadikan pembantu gratisan seperti biasanya? Oh, tidak! Aku nggak selugu dulu. "Belagu banget kamu, Al! Apa karena sudah punya sugar daddy jadi kamu menantang Mas Na