Tiga hari waktu yang kuberikan untuk Mas Naufal berpikir. Dia harus memutuskan untuk tetap tinggal di rumah mama bersama perempuan itu atau lebih memilih tinggal di kontrakan demi mempertahankan rumah tangganya denganku. Aku sengaja ingin melihat apakah saat ini dia bisa memutuskan sendiri atau tetap bergantung pada keputusan mamanya. Jika dia tak juga berubah, aku yang akan berubah dan mengambil sikap. Semua berkas untuk gugatan sudah kusimpan rapi tanpa dia ketahui. Mungkin Mas Naufal masih menganggapku istri yang polos, baik dan super sabar sekalipun terus disakiti. Namun, dia salah besar. Aku tak sesabar istri-istri Baginda Rasul yang rela dipoligami, pun dia tak bisa seperti Rasul yang bisa adil dalam berbagai hati. Jadi, agar tetap waras bukankah lebih baik mundur daripada selalu makan hati ketika bersamanya? "Tiga hari ini aku masih memberimu kesempatan untuk berpikir, Mas. Namun, seperti yang kukatakan kemarin jika aku hanya ingin mengurusmu saja sebagai baktiku padamu. Yan
"Dengar kamu, Al. Kamu nggak akan pernah mendapatkan Naufal seutuhnya selagi mama masih hidup!" Ancaman mama kembali terdengar untuk kedua kalinya. Aku mencoba tetap tenang lalu balik menatap mama."Kalau begitu kenapa nggak minta anak lelaki mama buat talak aku saja? Lagipula percuma punya suami yang masih berdiri di bawah ketiak mamanya. Aku bisa hidup mandiri dan bahagia tanpanya kok, Ma. Tenang saja." Aku kembali menantang mama setelah kemarin menantang anak lelakinya.Kupikir mama akan senang dengan permintaan talakku. Namun, di luar dugaan. Dia cukup shock dengan ancamanku barusan. Aneh. Bukannya tantanganku seharusnya diterima dengan senang hati, tapi kenapa mama sekaget itu? Oh, apa dia pikir aku akan menangis dan memohon-mohon agar tak diceraikan Mas Naufal? Atau dia sengaja membiarkanku di rumah ini agar bisa dijadikan pembantu gratisan seperti biasanya? Oh, tidak! Aku nggak selugu dulu. "Belagu banget kamu, Al! Apa karena sudah punya sugar daddy jadi kamu menantang Mas Na
"Alya!" Teriakan dan lambaian tangan Nuri membuatku tersenyum lebar. Aku memang sengaja menjemputnya di stasiun. Sudah lama tak bertemu dengannya membuatku pangling. Nuri terlihat lebih dewasa dibandingkan beberapa bulan lalu. Dia juga lebih cantik dan modis sekarang. "Al, sepertinya kamu banyak masalah ya?" tanyanya setelah mengurai pelukan. Kedua tangannya memegang lenganku lalu mengamati wajahku yang mungkin terlihat kusam dibandingkan saat terlahir bertemu dengannya. Tubuhku pun lebih kurus karena turun lima kilo. Bukan karena diet, melainkan kecapekan mengurus dan membersihkan rumah. Lelah yang dibalas dengan cibiran dan dipandang sebelah mata. Menyakitkan"Nanti sore kita ke salon bareng ya? Sudah lama nggak jalan berdua. Tumben kamu boleh keluar, biasanya selalu dikurung di kamar seperti calon pengantin." Aku tersenyum tipis. Mungkin terlihat hambar di mata Nuri. "Biasalah, Nur. Mas Naufal mengantar kakak, adik dan istri barunya jalan-jalan ke mall." "Lah, kamu nggak diaja
[Jangan lupa besok aku jemput jam sembilan ya, Al. Acara reuni dimulai jam sepuluh. Kamu mau ikut grup alumni di WA? Kalau mau, aku minta Abar buat masukin kamu ke grup] Pesan dari Nuri baru kubaca setelah sampai di depan rumah. [Nggak usah masuk grup, Al. Aku tunggu info dari kamu aja deh kalau ada apa-apa. Oke, besok jemput jam sembilan ya. Aku mau cuci gamisnya dulu biar besok bisa dipakai] Kububuhkan emoticon tawa di akhir kalimat. Nuri pun membalas hal yang sama. Kuhela napas panjang lalu masuk ke rumah penuh luka itu sembari membawa paper bag di kedua tangan. Satu berisi gamis, satu berisi sandal dan satunya berisi skincare. Semua Nuri yang traktir. Dia habis banyak mentraktirku hari ini. Mungkin dia hanya ingin mengurangi pedihku, makanya dia tak ambil pusing jika mengeluarkan banyak uang untuk membuatku lebih bahagia. Nuri memang sebaik dan semanis itu. "Darimana kamu? Oh, jadi sengaja nggak ikut ke mall karena kamu mau keluar rumah sendiri? Ketemu laki-laki itu?" Tanpa m
"Kamu hebat, Al." Nuri menepuk pundakku pelan dengan tersenyum lebar saat aku naik ke taksi pesanannya. Tak peduli tatapan Mas Naufal dan keluarganya, aku tetap mengikuti kata hatiku sendiri. Kupikir Mas Naufal akan mengejar, tapi nyatanya dia hanya bergeming semba moo KK kkri menatapku dari tempatnya berdiri. Sedih sih. Aku merasa benar-benar tak dihargai dan dicintai, tapi aku cukup lega dengan kondisi seperti ini. Setidaknya aku bisa membuktikan pada mereka soal harga diri dan keberanianku untuk mandiri. Kini kusadar jika cinta dan pengorbanan yang kulakukan selama ini ternyata tak berdampak apapun untuk mereka. Mas Naufal dan keluarganya tetap saja tak pernah menganggapku ada. "Jangan menangis. Ada aku yang selalu mendukungmu. Kamu berhak bahagia dan terlepas dari belenggu yang selama ini menyakiti hatimu, Al." Kutatap Alya dengan mata berkaca. Tangisku pecah di pundaknya saat kami berpelukan. Sekuat-kuatnya aku, tetap saja ada luka yang tersemat dalam dada melihat sikap Mas N
"Aku tak akan tinggal diam jika kamu kembali menghina dan meremehkanku, Anya. Aku akan membalas rasa sakit hatiku karena sikapmu selama tiga tahun di sekolah itu!" Tak terasa kalimat ancaman itu meluncur begitu saja dari bibirku. Perempuan itu membulatkan mata saking shocknya. Dia pasti tak menyangka jika Alya yang dulu selaksa domba kini bisa berubah seganas singa. "Kamu!" Anya nyaris menampar wajahku, tapi gegas kutepis tangannya dengan kasar hingga membuatnya meringis kesakitan. "Sudah kubilang jangan macam-macam. Kamu nggak tu*li bukan?!" Aku kembali menegaskan. Anya meradang, tapi dua sahabatnya itu yang masih jelas kuingat namanya, Mila dan Tiwi buru-buru menariknya menjauh. Mereka saling bisik entah akan merencanakan apalagi untuk membalas dendam. Aku yakin mereka nggak akan tinggal diam, tapi aku nggak takut. Aku harus bisa menjaga harga diriku sekarang. Benar kata Nuri, nggak ada yang berhak menghinaku terus-terusan karena aku memiliki hak yang sama seperti mereka. Hak u
Semua berkas untuk gugat cerai sudah aku siapkan. Mas Naufal pasti nggak sadar jika buku nikah itu tak ada di kotak penyimpanan miliknya. Dia pikir aku terlalu cinta dan sangat bergantung padanya. Dia mengira aku yang tak punya siapa-siapa ini bakal kembali merengek cinta dan bekas kasihnya. Padahal, aku hanya bersabar dan memberinya waktu untuk memilihku atau keluarganya yang toxic itu. Namun, kenyataan pahit harus kuterima di bulan ketiga pernikahanku dengannya. Bulan di mana aku harus bisa menentukan masa depanku sendiri untuk tetap sabar dan mengalah atau mundur dan berhenti mengharap perubahan sikapnya. Setiap manusia memiliki titik lelah dan mungkin saat inilah titik lelahku datang. Tiga bulan memang waktu yang singkat dan seharusnya aku masih memberinya kesempatan lagi dan lagi. Mungkin di bulan keempat, kelima, keenam dan seterusnya. Mungkin iya, aku akan seperti itu jika dia tak mendatangkan madu dalam hidupku. Kesalahan fatalnya itu akhirnya membuatku sadar. Tak perlu mem
Aku dan Nuri sudah sampai di tempat makan favoritnya. Bianglala Cafe, namanya. Cafe dua lantai yang detik ini cukup ramai pengunjung. Beberapa kali kudengar Arumi menyebut nama cafe ini membuatku penasaran seperti apa menu andalannya. "Selalu ramai, Al. Apalagi saat jam makan siang begini," ujar Nuri cukup bersemangat. Dia menarik tanganku agar segera masuk ke dalam, keburu kehabisan tempat duduk yang ternyaman, katanya. Saat melewati pintu utama, aku memang cukup takjub dengan tata ruang cafe ini. Unik, cantik dan modern. Benar kata Nuri, cocok untuk foto-foto. Nuri memilih meja paling ujung yang berdekatan dengan kolam koi. Aku lihat sekeliling, rata-rata pengunjung adalah remaja dan dewasa muda. Sepertinya seusia mereka yang memang masih doyan nongkrong, karena setelah kepala tiga akan beda urusan. Mau nongkrong sejenak sudah diribeti dengan teriakan anak. Setelah memilih tempat duduk yang menghadap ke kolam koi, Nuri memberikan buku menu padaku. Dia membebaskanku memilih menu y