[Jangan lupa besok aku jemput jam sembilan ya, Al. Acara reuni dimulai jam sepuluh. Kamu mau ikut grup alumni di WA? Kalau mau, aku minta Abar buat masukin kamu ke grup] Pesan dari Nuri baru kubaca setelah sampai di depan rumah. [Nggak usah masuk grup, Al. Aku tunggu info dari kamu aja deh kalau ada apa-apa. Oke, besok jemput jam sembilan ya. Aku mau cuci gamisnya dulu biar besok bisa dipakai] Kububuhkan emoticon tawa di akhir kalimat. Nuri pun membalas hal yang sama. Kuhela napas panjang lalu masuk ke rumah penuh luka itu sembari membawa paper bag di kedua tangan. Satu berisi gamis, satu berisi sandal dan satunya berisi skincare. Semua Nuri yang traktir. Dia habis banyak mentraktirku hari ini. Mungkin dia hanya ingin mengurangi pedihku, makanya dia tak ambil pusing jika mengeluarkan banyak uang untuk membuatku lebih bahagia. Nuri memang sebaik dan semanis itu. "Darimana kamu? Oh, jadi sengaja nggak ikut ke mall karena kamu mau keluar rumah sendiri? Ketemu laki-laki itu?" Tanpa m
"Kamu hebat, Al." Nuri menepuk pundakku pelan dengan tersenyum lebar saat aku naik ke taksi pesanannya. Tak peduli tatapan Mas Naufal dan keluarganya, aku tetap mengikuti kata hatiku sendiri. Kupikir Mas Naufal akan mengejar, tapi nyatanya dia hanya bergeming semba moo KK kkri menatapku dari tempatnya berdiri. Sedih sih. Aku merasa benar-benar tak dihargai dan dicintai, tapi aku cukup lega dengan kondisi seperti ini. Setidaknya aku bisa membuktikan pada mereka soal harga diri dan keberanianku untuk mandiri. Kini kusadar jika cinta dan pengorbanan yang kulakukan selama ini ternyata tak berdampak apapun untuk mereka. Mas Naufal dan keluarganya tetap saja tak pernah menganggapku ada. "Jangan menangis. Ada aku yang selalu mendukungmu. Kamu berhak bahagia dan terlepas dari belenggu yang selama ini menyakiti hatimu, Al." Kutatap Alya dengan mata berkaca. Tangisku pecah di pundaknya saat kami berpelukan. Sekuat-kuatnya aku, tetap saja ada luka yang tersemat dalam dada melihat sikap Mas N
"Aku tak akan tinggal diam jika kamu kembali menghina dan meremehkanku, Anya. Aku akan membalas rasa sakit hatiku karena sikapmu selama tiga tahun di sekolah itu!" Tak terasa kalimat ancaman itu meluncur begitu saja dari bibirku. Perempuan itu membulatkan mata saking shocknya. Dia pasti tak menyangka jika Alya yang dulu selaksa domba kini bisa berubah seganas singa. "Kamu!" Anya nyaris menampar wajahku, tapi gegas kutepis tangannya dengan kasar hingga membuatnya meringis kesakitan. "Sudah kubilang jangan macam-macam. Kamu nggak tu*li bukan?!" Aku kembali menegaskan. Anya meradang, tapi dua sahabatnya itu yang masih jelas kuingat namanya, Mila dan Tiwi buru-buru menariknya menjauh. Mereka saling bisik entah akan merencanakan apalagi untuk membalas dendam. Aku yakin mereka nggak akan tinggal diam, tapi aku nggak takut. Aku harus bisa menjaga harga diriku sekarang. Benar kata Nuri, nggak ada yang berhak menghinaku terus-terusan karena aku memiliki hak yang sama seperti mereka. Hak u
Semua berkas untuk gugat cerai sudah aku siapkan. Mas Naufal pasti nggak sadar jika buku nikah itu tak ada di kotak penyimpanan miliknya. Dia pikir aku terlalu cinta dan sangat bergantung padanya. Dia mengira aku yang tak punya siapa-siapa ini bakal kembali merengek cinta dan bekas kasihnya. Padahal, aku hanya bersabar dan memberinya waktu untuk memilihku atau keluarganya yang toxic itu. Namun, kenyataan pahit harus kuterima di bulan ketiga pernikahanku dengannya. Bulan di mana aku harus bisa menentukan masa depanku sendiri untuk tetap sabar dan mengalah atau mundur dan berhenti mengharap perubahan sikapnya. Setiap manusia memiliki titik lelah dan mungkin saat inilah titik lelahku datang. Tiga bulan memang waktu yang singkat dan seharusnya aku masih memberinya kesempatan lagi dan lagi. Mungkin di bulan keempat, kelima, keenam dan seterusnya. Mungkin iya, aku akan seperti itu jika dia tak mendatangkan madu dalam hidupku. Kesalahan fatalnya itu akhirnya membuatku sadar. Tak perlu mem
Aku dan Nuri sudah sampai di tempat makan favoritnya. Bianglala Cafe, namanya. Cafe dua lantai yang detik ini cukup ramai pengunjung. Beberapa kali kudengar Arumi menyebut nama cafe ini membuatku penasaran seperti apa menu andalannya. "Selalu ramai, Al. Apalagi saat jam makan siang begini," ujar Nuri cukup bersemangat. Dia menarik tanganku agar segera masuk ke dalam, keburu kehabisan tempat duduk yang ternyaman, katanya. Saat melewati pintu utama, aku memang cukup takjub dengan tata ruang cafe ini. Unik, cantik dan modern. Benar kata Nuri, cocok untuk foto-foto. Nuri memilih meja paling ujung yang berdekatan dengan kolam koi. Aku lihat sekeliling, rata-rata pengunjung adalah remaja dan dewasa muda. Sepertinya seusia mereka yang memang masih doyan nongkrong, karena setelah kepala tiga akan beda urusan. Mau nongkrong sejenak sudah diribeti dengan teriakan anak. Setelah memilih tempat duduk yang menghadap ke kolam koi, Nuri memberikan buku menu padaku. Dia membebaskanku memilih menu y
"Kamu kenal Mas Azka, Al?" Aku mengernyit saat Nuri mempertanyakan laki-laki itu."Kenal di mana? Kalian kok bisa seakrab itu? Mas Azka pakai acara menyimpan videomu segala lagi," cecar Nuri dengan mimik penasaran."Akrab apanya? Kamu nggak dengar tadi dia bilang kalau kali ini pertemuan kedua kami?" tanyaku sembari menghela napas."Masa sih? Nggak yakin aku. Mana mungkin baru ketemu sudah nyimpan videomu segala." Nuri Sedikit menjauhkan kepalanya lalu menatapku lekat, curiga. "Haduh ni anak dibilangin nggak percaya. Kamu ingat saat reuni kemarin kan?" Nuri mengangguk. Baguslah. Masa iya baru kemarin dia lupa. "Saat aku pamit keluar dan kamu tetap di dalam ruangan, saat itulah aku bertemu laki-laki itu di cafe bagian ujung. Aku masih berusaha meluapkan emosiku, kebetulan saat itu Mas Naufal juga menelpon. Nah, laki-laki itu ternyata sudah ada di sana dan videoin aku yang sedang meluapkan amarah itu. Dia bilang tadinya videoin burung, tapi karena aku datang burungnya jadi terbang. Be
POV : NAUFAL "Aku selalu setia dan sangat mencintaimu, Mas. Cinta itulah yang membuatku selalu bersabar menghadapi mama dan saudara-saudaramu. Seperti yang pernah kamu bilang, sekeras apapun baru jika selalu ditetesi air pasti akan lunak juga. Aku pun berharap demikian pada mama dan kedua saudaramu. Semoga mereka segera sadar dan mau menerima kehadiranku dengan tangan terbuka." Alya sering sekali mengucapkan hal yang sama tiap kali kami akan tidur. Aku tak tahu apa yang sebenarnya membuatnya seresah dan semerana itu. Selama ini aku merasa semua baik-baik saja. Soal pekerjaan rumah memang banyak, tapi bukankah mama dan kedua saudaraku selalu membantunya? Kenapa dia seolah merasa paling capek dan menderita? Bahkan sering bilang jika dia yang mengerjakan semuanya sementara keluargaku hanya menyaksikan saja. Aku tak percaya dengan ucapannya. Kupikir dia hanya ingin menjatuhkanku dengan keluargaku sendiri. Dia ingin keluar dari rumah ini seperti impiannya saat awal menikah dulu. Ingin m
POV : NAUFAL 2"Aku mencintaimu, Mas. Makanya, aku masih tetap bertahan dan setia padamu meski selama tiga bulan di sini rasanya aku tak pernah dihargai. Aku bertahan denganmu dengan susah payah, Mas. Hanya saja, aku akan menyerah jika kamu menduakan cintaku. Aku nggak bisa berbagi hati dan rasa dan aku nggak mau memiliki madu, Mas. Jika kamu benar-benar mengkhinati kepercayaan yang kuberikan, lebih baik aku mundur." Kata-kata Alya waktu itu selalu saja menghantuiku tiap kali berdekatan dengan Erika, tapi pesona istri keduaku itu memang tiada duanya. Dia cukup agresif, tak seperti Alya yang monoton dan terlalu lembut. Bersama Erika, aku memiliki semangat lebih saat bercinta. Semakin aku menatapnya, semakin bersyukur karena perempuan sepertinya mau menikah siri dengan lelaki sepertiku. "Aku nggak akan menuntut kamu untuk menceraikan Alya, Mas. Aku mau menjadi istri keduamu karena kamu cinta pertama yang tak pernah bisa kulupakan. Aku akan menunggu, sampai di titik kamu bisa memilih a
Kebaya berwarna putih gading dengan hiasan swarovski membuat penampilan Alya terlihat cantik dan elegan. Dilengkapi dengan polesan make up flawless dan senyum tipisnya, membuatnya semakin mempesona. Beberapa kali Azka menatapnya kagum lalu tersenyum saat tak sengaja bersirobok dengannya. Tak ingin semakin salah tingkah, Azka pamit untuk menemui tamu setelah selesai dimake up.Keluarga besar Azka dari Jogja datang semua ke Jakarta untuk menghadiri hari spesialnya. Mulai dari keluarga papa angkatnya, kakak tirinya dan keluarga ayah kandungnya pun ikut datang. Kebahagian Azka semakin bertambah saat melihat keluarga besarnya akur dan kumpul hari ini.Melihat keluarga besar Azka, Alya pun merasa bersyukur. Dia yang selama ini tak memiliki keluarga akhirnya mendapatkan keluarga baru yang begitu hangat dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Berulang kali Alya mengucapkan Hamdallah atas semua karunia-Nya. Dia yang selama ini mendapatkan banyak ujian, akhirnya kini mendapatkan kenikmatan berl
"Alya, maukah kamu menikah denganku?" Pertanyaan Azka saat makan malam itu masih teringat jelas di benak Alya. Sesekali dia tersenyum saat membayangkan kembali momen mendebarkan itu. Dengan sedikit jongkok, Azka membuka kotak cincin itu lalu mengangsurkannya ke arah Alya yang berdiri di depannya. Laras tersenyum tipis melihat keromantisan yang sudah direncanakan anak lelakinya untuk menyambut Alya. Ruangan tak terlalu lebar yang dihiasi beberapa bunga mawar putih dan balon berbentuk hati itu semakin membuat nuansa romantis di dalamnya. Lilin-lilin kecil di tepi dinding seolah menjadi sakti ungkapan cinta lelaki tampan itu. "Aku akan berusaha membuatmu bahagia. Akan kuletakkan bahagiamu di atas bahagiaku, Alya. Percayalah, karena bahagiamu adalah bahagiaku jua." Azka tersenyum tipis menatap Alya yang masih mematung. Dia terharu dengan semua perjuangan Azka selama ini. Berkali-kali ditolak dan diabaikan, berkali-kali pula dia bangkit dan membuktikan cinta tulusnya. Alya yang sebelum
Kasus Erika mulai masuk ke meja hijau. Alya didampingi Nuri, Laras dan Azka beserta pengacaranya sudah duduk di kursi yang disediakan. Para pelaku pun mengikuti sidang ini dan duduk tak jauh dari tempat Alya berada. Alya tampak begitu cemas setelah memberikan penjelasan tentang kejadian itu. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang saat Laras dan Nuri kembali meyakinkannya jika semua akan baik-baik saja. Tak banyak kata, Azka berusaha meyakinkan Alya dengan caranya. Senyum tipis dan tatapan lekatnya membuat Alya sedikit lebih tenang. Dia merasa banyak orang yang begitu menyayangi dan mendukungnya saat ini. Pengacara yang disewa Azka pun bukan pengacara sembarangan. Dia cukup kompeten di bidangnya bahkan termasuk pengacara terkenal yang berhasil memenangkan beragam kasus rumit. Azka ingin melakukan yang terbaik untuk Alya karena dia tahu orang tua Erika pasti juga akan melakukan beragam cara untuk membantu anak semata wayangnya. Sidang berjalan cukup sengit karena orang tua Erika dan
Erika meraung. Dia seperti kesurupan saat dua polisi itu membawanya pergi. Rengekan, permohonan dan linang air matanya seolah tak berarti. Dia memang pantas mendapatkan balasan setimpal atas semua yang pernah dilakukannya bukan? Melihat Erika histeris seperti itu, bukannya iba, Naufal justru semakin benci. Rasa bencinya semakin bertambah setelah dia tahu siapa yang diculik oleh istrinya itu. Benci, amarah dan muak seolah tercampur menjadi satu. Mamanya yang mendadak sakit pun semakin shock saat melihat menantu kesayangannya digelandang polisi bahkan mungkin akan segera dijebloskannya ke penjara. Sakit jantung yang sebelumnya hanya sandiwara, kini justru menjadi nyata. Allah telah mengabulkan ucapan wanita paruh baya itu. Bukankah ucapan bagian dari doa? Begitu pula Sumiwi yang sebelumnya berpura-pura sakit, kini dia benar-benar terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang pasien karena sakit jantungnya. Wanita itu hanya membisu saat anggota keluarga dan kerabatnya menjenguk. Mungkin
"Telepon siapa sampai shock begitu?" Pertanyaan Naufal yang tiba-tiba membuat Erika semakin kaget. Dia tercekat lalu membalikkan badan. Keringat dingin mulai membasahi kening. Kali ini dia benar-benar ketakutan dengan gertakan Azka. Tak sekadar gertakan, Erika yakin ada sesuatu yang menimpa anak buahnya. Sejak semalam mereka memang nggak memberi kabar apapun pada Erika. Mereka takut kecerobohan Erika hanya akan membuat mereka tertangkap basah. Mereka, terutama Edward cukup tahu bagaimana sikap Erika yang sering gegabah dan tak bisa berpikir panjang saat melakukan sesuatu. "Siapa?" tanya Naufal lagi. Tanpa menunggu balasan Erika, Naufal menarik kasar benda pipih di tangan perempuan itu. Erika berusaha mempertahankan handphonenya, tapi Naufal berhasil mendapatkan bende mungil kesayangan Erika itu. Naufal menatap layar lalu mencari menu panggilan terakhir di handphone itu."Alya?!" ucap Naufal dengan mata membulat. Dia menoleh pada Erika yang kini mendadak diam. "Ngapain kamu telep
Naufal pergi dengan ekspresi kesal. Raut wajahnya memerah karena emosi. Alya tak lagi peduli. Baginya, laki-laki itu hanya bagian dari masa lalu yang harus dia lupakan. Alya tak ingin mengingatnya lagi karena semakin diingat, rasa sakit itu justru semakin terasa. "Benar mau menikah denganku?" tanya Azka lirih setelah Naufal keluar rumah. Alya tercekat. Alya tak menyangka jika Azka masih sadar karena dia pikir laki-laki itu sudah pingsan. Wajahnya memerah seketika saat menoleh pada Azka yang membenarkan letak duduknya. Salah tingkah. Alya benar-benar kikuk dan tak tahu harus membalas apa. "Benar mau menikah denganku, hmmm?" ulang Azka dengan senyum tipis membuat Alya sedikit kesal. "Pura-pura pingsan?" tanya Alya kemudian. "Ngapain pura-pura. Aku hanya diam saja menahan sakit. Nggak menyangka diamku ada gunanya juga," sambung laki-laki itu."Dasar!" rutuk Alya pendek lalu bangkit dari lantai, sementara Azka mengikuti Alya dengan berdiri perlahan dan duduk kembali ke sofa. "Sudahl
Nuri memijit keningnya beberapa kali. Nyaris semalaman dia tak bisa tidur karena memikirkan sahabatnya, Alya. Setelah subuh, dia memilih ke dapur untuk membuat bubur dan teh hangat untuk sarapan. Perutnya terasa melilit karena lapar. Tak lupa membalas beberapa pesan yang masuk ke messengernya. Pesan dari Naufal yang menanyakan soal Alya karena semalam Nuri memang memberikan kabar pada laki-laki itu soal penculikan Alya. Nuri tahu jika saat ini Naufal tak ada hubungan dengan Alya lagi setelah perpisahan itu terjadi, hanya saja Nuri kehilangan akal dan dia tak tahu harus minta pertolongan siapa lagi selain mantan suami sahabatnya itu. Azka memang sudah gerak cepat, tapi sampai saat ini belum juga memberikan kabar untuknya. Nuri benar-benar tak tenang dan hanya menginginkan yang terbaik untuk Alya karena menurutnya semakin banyak yang mencari keberadaan Alya maka akan semakin cepat menemukannya. Lagi dan lagi Nuri hanya ingin Alya segera ditemukan dengan keadaan baik tanpa kekurangan s
"Sudah bangun, Sayang?" tanya laki-laki bernama Edward itu singkat dengan senyum tipisnya. Alya menatap tajam laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit bersih itu. Dia berusaha menghindar saat tangan kekar laki-laki itu berusaha menyentuhnya. Hanya saja, dia tak bisa bergerak banyak karena tangan dan kakinya diikat, sementara mulutnya dilakban. Keringat dingin mulai menetes di keningnya. Alya benar-benar ketakutan melihat ada orang asing satu kamar dengannya. "Maaf harus mengikatmu seperti ini. Terpaksa karena aku nggak mau kamu pergi. Tunggu sampai pagi, setelah itu kita akan pergi," ucap laki-laki itu lagi. Alya kembali ketakutan. Dia tak ingin diajak pergi oleh laki-laki tak dikenalnya itu. Alya masih berusaha memberontak, tapi tangan kekar itu berhasil menyentuh kepalanya. "Jangan jual mahal, Sayang," lirih laki-laki itu sembari mengusap wajah cantik Alya. Hijab yang dipakainya sudah terlepas. Rambut hitam panjangnya pun berantakan karena tarikan kasar laki-laki itu. "Kamu lebi
[Dia anak buah Mas Bemo, Bos. Mas Bemo masih di sel karena kasus shabu lima bulan lalu. Saya sama Erik sudah ketemu basecampnya, tapi nggak tahu apakah mereka di dalam atau keluar. Suasana di rumah itu cukup sepi dan temaram] Pesan dari Molen, salah satu anak buah Azka muncul di layar. Dia teman dekat Erik yang tak lain tangan kanannya. Erik dan Mollen dulu sama-sama preman di kawasan taman Arjuna. Mereka nyaris merampok Azka saat pulang dari cafe Bianglalanya. Namun, berkat sering latihan beladiri di Jogja, Azka berhasil membekuk dua laki-laki itu. Alih-alih memenjarakan keduanya, Azka justru memberikan tawaran yang lebih menguntungkan mereka. Dua lelaki itu dijadikan karyawan oleh Azka agar memiliki penghasilan bulanan dan tak merampok lagi. Erik menjadi asisten pribadinya sementara Molen menjadi satpam di cafe bianglala. Sejak saat itu, perangai keduanya mulai berubah membaik sampai akhirnya menjadi tangan kanan Azka. [Awasi rumah itu. Kalau ada hal-hal yang mencurigakan segera