Semua berkas untuk gugat cerai sudah aku siapkan. Mas Naufal pasti nggak sadar jika buku nikah itu tak ada di kotak penyimpanan miliknya. Dia pikir aku terlalu cinta dan sangat bergantung padanya. Dia mengira aku yang tak punya siapa-siapa ini bakal kembali merengek cinta dan bekas kasihnya. Padahal, aku hanya bersabar dan memberinya waktu untuk memilihku atau keluarganya yang toxic itu. Namun, kenyataan pahit harus kuterima di bulan ketiga pernikahanku dengannya. Bulan di mana aku harus bisa menentukan masa depanku sendiri untuk tetap sabar dan mengalah atau mundur dan berhenti mengharap perubahan sikapnya. Setiap manusia memiliki titik lelah dan mungkin saat inilah titik lelahku datang. Tiga bulan memang waktu yang singkat dan seharusnya aku masih memberinya kesempatan lagi dan lagi. Mungkin di bulan keempat, kelima, keenam dan seterusnya. Mungkin iya, aku akan seperti itu jika dia tak mendatangkan madu dalam hidupku. Kesalahan fatalnya itu akhirnya membuatku sadar. Tak perlu mem
Aku dan Nuri sudah sampai di tempat makan favoritnya. Bianglala Cafe, namanya. Cafe dua lantai yang detik ini cukup ramai pengunjung. Beberapa kali kudengar Arumi menyebut nama cafe ini membuatku penasaran seperti apa menu andalannya. "Selalu ramai, Al. Apalagi saat jam makan siang begini," ujar Nuri cukup bersemangat. Dia menarik tanganku agar segera masuk ke dalam, keburu kehabisan tempat duduk yang ternyaman, katanya. Saat melewati pintu utama, aku memang cukup takjub dengan tata ruang cafe ini. Unik, cantik dan modern. Benar kata Nuri, cocok untuk foto-foto. Nuri memilih meja paling ujung yang berdekatan dengan kolam koi. Aku lihat sekeliling, rata-rata pengunjung adalah remaja dan dewasa muda. Sepertinya seusia mereka yang memang masih doyan nongkrong, karena setelah kepala tiga akan beda urusan. Mau nongkrong sejenak sudah diribeti dengan teriakan anak. Setelah memilih tempat duduk yang menghadap ke kolam koi, Nuri memberikan buku menu padaku. Dia membebaskanku memilih menu y
"Kamu kenal Mas Azka, Al?" Aku mengernyit saat Nuri mempertanyakan laki-laki itu."Kenal di mana? Kalian kok bisa seakrab itu? Mas Azka pakai acara menyimpan videomu segala lagi," cecar Nuri dengan mimik penasaran."Akrab apanya? Kamu nggak dengar tadi dia bilang kalau kali ini pertemuan kedua kami?" tanyaku sembari menghela napas."Masa sih? Nggak yakin aku. Mana mungkin baru ketemu sudah nyimpan videomu segala." Nuri Sedikit menjauhkan kepalanya lalu menatapku lekat, curiga. "Haduh ni anak dibilangin nggak percaya. Kamu ingat saat reuni kemarin kan?" Nuri mengangguk. Baguslah. Masa iya baru kemarin dia lupa. "Saat aku pamit keluar dan kamu tetap di dalam ruangan, saat itulah aku bertemu laki-laki itu di cafe bagian ujung. Aku masih berusaha meluapkan emosiku, kebetulan saat itu Mas Naufal juga menelpon. Nah, laki-laki itu ternyata sudah ada di sana dan videoin aku yang sedang meluapkan amarah itu. Dia bilang tadinya videoin burung, tapi karena aku datang burungnya jadi terbang. Be
POV : NAUFAL "Aku selalu setia dan sangat mencintaimu, Mas. Cinta itulah yang membuatku selalu bersabar menghadapi mama dan saudara-saudaramu. Seperti yang pernah kamu bilang, sekeras apapun baru jika selalu ditetesi air pasti akan lunak juga. Aku pun berharap demikian pada mama dan kedua saudaramu. Semoga mereka segera sadar dan mau menerima kehadiranku dengan tangan terbuka." Alya sering sekali mengucapkan hal yang sama tiap kali kami akan tidur. Aku tak tahu apa yang sebenarnya membuatnya seresah dan semerana itu. Selama ini aku merasa semua baik-baik saja. Soal pekerjaan rumah memang banyak, tapi bukankah mama dan kedua saudaraku selalu membantunya? Kenapa dia seolah merasa paling capek dan menderita? Bahkan sering bilang jika dia yang mengerjakan semuanya sementara keluargaku hanya menyaksikan saja. Aku tak percaya dengan ucapannya. Kupikir dia hanya ingin menjatuhkanku dengan keluargaku sendiri. Dia ingin keluar dari rumah ini seperti impiannya saat awal menikah dulu. Ingin m
POV : NAUFAL 2"Aku mencintaimu, Mas. Makanya, aku masih tetap bertahan dan setia padamu meski selama tiga bulan di sini rasanya aku tak pernah dihargai. Aku bertahan denganmu dengan susah payah, Mas. Hanya saja, aku akan menyerah jika kamu menduakan cintaku. Aku nggak bisa berbagi hati dan rasa dan aku nggak mau memiliki madu, Mas. Jika kamu benar-benar mengkhinati kepercayaan yang kuberikan, lebih baik aku mundur." Kata-kata Alya waktu itu selalu saja menghantuiku tiap kali berdekatan dengan Erika, tapi pesona istri keduaku itu memang tiada duanya. Dia cukup agresif, tak seperti Alya yang monoton dan terlalu lembut. Bersama Erika, aku memiliki semangat lebih saat bercinta. Semakin aku menatapnya, semakin bersyukur karena perempuan sepertinya mau menikah siri dengan lelaki sepertiku. "Aku nggak akan menuntut kamu untuk menceraikan Alya, Mas. Aku mau menjadi istri keduamu karena kamu cinta pertama yang tak pernah bisa kulupakan. Aku akan menunggu, sampai di titik kamu bisa memilih a
POV : NAUFALAku masih bergeming di depan rumah Nuri. Kata-kata yang diucapkan Alya membuat kepalaku terasa sakit. Kenapa dia bisa tahu jika aku sudah menikah dengan Erika saat hajatan itu terjadi? Bahkan dia tahu jika nyaris tiap malam aku pergi ke kamar Erika untuk melepaskan has rat. Alya benar-benar pandai bersandiwara sampai aku tak menyadarinya sama sekali. "Al ... tolong buka pintunya. Kita harus bicara." Aku mengetuk pintu rumah Nuri beberapa kali, tapi tak ada jawaban apapun yang kudapat. "Please, Al. Buka dulu, kita bicara ya?" "Pulanglah, Mas. Tolong, jangan buat hidupku kembali nelangsa seperti sebelumnya karena aku sudah merasakan tenang dan bahagia di sini. Pulang. Aku sudah ikhlas melepasmu." Alya kembali memintaku pulang sekalipun aku sudah memohon padanya untuk bicara empat mata."Jangan bilang begitu, Al. Maafkan aku yang selama ini tak tahu jika kamu setersiksa itu di rumah mama. Maafkan aku karena sempat tak mempercayai ceritamu. Sekarang aku sudah tahu apa yang
[Al, kamu gugat cerai aku? Kamu benar-benar nggak ingin memperbaiki rumah tangga kita?! Kamu sudah nggak cinta lagi sama aku, Al? Apa kamu nggak percaya kalau aku akan memperbaiki semuanya?] Pesan ketiga dari Naufal masuk ke handphone Alya. Perempuan itu masih sibuk menggoreng tempe dan tahu isi untuk camilan di warungnya. Warung sederhana yang dia bangun di depan rumah Nuri, sahabat terbaiknya. Seperti rencana yang sudah dia susun beberapa hari belakangan, akhirnya warung itu pun jadi. Kursi panjang dan pendek diletakkan memutar seperti huruf U, sedangkan bagian tengah ada meja dengan etalase makanan di atasnya. Beragam masakan tersedia di sana. Mulai opor ayam, sayur sop, tumis kangkung, sayur bayam, telur balado, tumis kacang dan tempe, ayam dan ikan goreng sampai aneka gorengan. Seminggu belakangan Alya mulai sibuk dengan usaha barunya, sementara Nuri pun sibuk dengan cabang laundrynya. Meski sama-sama sibuk, Nuri tetap membantu Alya memasak dan sesekali melayani konsumen yang
Erika meringis kesakitan saat dokter membersihkan lukanya dan mengolesinya dengan obat untuk mencegah infeksi. Setelahnya ditutup dengan kasa dan perban. Perempuan itu tergolek lemah di ranjang pasien setelah Naufal mengantarnya ke klinik tak jauh dari rumah. Bagian lutut, lengan dan keningnya terluka, tapi tak terlalu parah. Hanya butuh sedikit perawatan agar lukanya tak menimbulkan infeksi. Mama tampak shock melihat keadaan menantu kesayangannya. Wanita itu berulang kali menenangkan Erika agar tak berontak dan berusaha pergi dari sana seperti sebelumnya. Naufal masih bergeming di kursi samping pembaringan Erika saat perempuan itu kembali mengancam akan benar-benar pergi jika Naufal masih bersikukuh meminta Alya kembali. "Terserah kamu ya, Mas. Mau pilih aku atau dia. Yang pasti, aku nggak suka kalau kamu terus menyebut nama perempuan itu saat bersamaku apalagi sampai mengemis cintanya. Bukan kamu yang malu, tapi aku, Mas. Secara tak langsung kamu jauh lebih mengunggulkan perempua