POV : NAUFALAku masih bergeming di depan rumah Nuri. Kata-kata yang diucapkan Alya membuat kepalaku terasa sakit. Kenapa dia bisa tahu jika aku sudah menikah dengan Erika saat hajatan itu terjadi? Bahkan dia tahu jika nyaris tiap malam aku pergi ke kamar Erika untuk melepaskan has rat. Alya benar-benar pandai bersandiwara sampai aku tak menyadarinya sama sekali. "Al ... tolong buka pintunya. Kita harus bicara." Aku mengetuk pintu rumah Nuri beberapa kali, tapi tak ada jawaban apapun yang kudapat. "Please, Al. Buka dulu, kita bicara ya?" "Pulanglah, Mas. Tolong, jangan buat hidupku kembali nelangsa seperti sebelumnya karena aku sudah merasakan tenang dan bahagia di sini. Pulang. Aku sudah ikhlas melepasmu." Alya kembali memintaku pulang sekalipun aku sudah memohon padanya untuk bicara empat mata."Jangan bilang begitu, Al. Maafkan aku yang selama ini tak tahu jika kamu setersiksa itu di rumah mama. Maafkan aku karena sempat tak mempercayai ceritamu. Sekarang aku sudah tahu apa yang
[Al, kamu gugat cerai aku? Kamu benar-benar nggak ingin memperbaiki rumah tangga kita?! Kamu sudah nggak cinta lagi sama aku, Al? Apa kamu nggak percaya kalau aku akan memperbaiki semuanya?] Pesan ketiga dari Naufal masuk ke handphone Alya. Perempuan itu masih sibuk menggoreng tempe dan tahu isi untuk camilan di warungnya. Warung sederhana yang dia bangun di depan rumah Nuri, sahabat terbaiknya. Seperti rencana yang sudah dia susun beberapa hari belakangan, akhirnya warung itu pun jadi. Kursi panjang dan pendek diletakkan memutar seperti huruf U, sedangkan bagian tengah ada meja dengan etalase makanan di atasnya. Beragam masakan tersedia di sana. Mulai opor ayam, sayur sop, tumis kangkung, sayur bayam, telur balado, tumis kacang dan tempe, ayam dan ikan goreng sampai aneka gorengan. Seminggu belakangan Alya mulai sibuk dengan usaha barunya, sementara Nuri pun sibuk dengan cabang laundrynya. Meski sama-sama sibuk, Nuri tetap membantu Alya memasak dan sesekali melayani konsumen yang
Erika meringis kesakitan saat dokter membersihkan lukanya dan mengolesinya dengan obat untuk mencegah infeksi. Setelahnya ditutup dengan kasa dan perban. Perempuan itu tergolek lemah di ranjang pasien setelah Naufal mengantarnya ke klinik tak jauh dari rumah. Bagian lutut, lengan dan keningnya terluka, tapi tak terlalu parah. Hanya butuh sedikit perawatan agar lukanya tak menimbulkan infeksi. Mama tampak shock melihat keadaan menantu kesayangannya. Wanita itu berulang kali menenangkan Erika agar tak berontak dan berusaha pergi dari sana seperti sebelumnya. Naufal masih bergeming di kursi samping pembaringan Erika saat perempuan itu kembali mengancam akan benar-benar pergi jika Naufal masih bersikukuh meminta Alya kembali. "Terserah kamu ya, Mas. Mau pilih aku atau dia. Yang pasti, aku nggak suka kalau kamu terus menyebut nama perempuan itu saat bersamaku apalagi sampai mengemis cintanya. Bukan kamu yang malu, tapi aku, Mas. Secara tak langsung kamu jauh lebih mengunggulkan perempua
[Mas, aku hamil. Aku ingin anak ini memiliki status yang sah. Kamu harus menikahiku secara resmi dan nggak hanya nikah siri. Kamu nggak mau jika kelak anak ini dibully teman-temannya karena pernikahan siri kita kan? Jadi, aku harap kamu bisa menikahiku sah agama dan negara. Sekarang kamu harus memutuskan, pilih aku dan anak ini atau pilih Alya!] Pesan dan foto dari Erika membuat Naufal shock. Dia tak menyangka jika Erika akan secepat itu hamil. Namun, kenyataan berkata lain. Justru Erika yang hamil sedangkan Alya menggugat cerai. Naufal sempat kecewa, tapi tak tahu harus kecewa pada siapa. Tak mungkin juga dia kecewa dan marah dengan takdirNya. Meski pedih terasa, tapi Naufal juga tahu jika dia tak mungkin "Aku sudah KB mandiri, kenapa Erika bisa hamil secepat ini? Apa dia sedang berdusta? Tapi tespek itu jelas bergaris dua yang artinya memang positif hamil. Apa yang harus kulakukan sekarang? Andai yang hamil adalah Alya, aku tentu tak segusar ini." Naufal menggumam lalu mengacak r
Nuri akan balik ke Bandung setelah misinya membangun laundry tak jauh dari rumah peninggalan kedua orang tuanya di Jakarta selesai. Nuri mempercayakan cabang laundry-nya itu pada Alya, sementara dia fokus dengan usahanya di kampung halaman sang nenek, Bandung. "Kalau sudah sah bercerai kabari aku ya, Al. Mau aku ajak jalan-jalan. Kalau statusmu belum sah, ribet sama suamimu. Dia kan agak rese ya." Nuri berpamitan sembari memeluk Alya. Kedua sahabat itu tersenyum bersamaan. "Aku carikan calon suami baru." Nuri kembali berucap lirih, sementara Alya hanya mendengkus kesal."Ngapain cariin aku suami baru, kalau kamu sendiri masih jomblo. Inget, Nur. Jomblo," ledek Alya dengan cibiran kecil. "Aku belum ada niat kawin. Makanya belum laku." Nuri membalas cepat."Sudah niat, tapi belum laku atau emang nggak laku-laku?" tanya Alya lagi membuat Nuri mengernyit."Sama aja dong judulnya nggak laku-laku," tukas Nuri sembari mencubit lengan Alya. Keduanya kembali tertawa. Persahabatan Nuri dan
Pagi menjelang. Deru kendaraan mulai terdengar bisingnya. Anak-anak sekolah, pekerja kantoran dan beberapa mahasiswa mulai lalu lalang di depan rumah Nuri. Rumah sederhana yang kini menjadi tempat tinggal Alya. Perempuan itu masih sibuk menyiapkan dagangannya di warung tendanya saat sosok laki-laki datang mengucapkan salam. "Wa'alaikumsalam," balas Alya tanpa menoleh. Dia buru-buru memasukkan ayam ungkepnya di penggorengan. Saat membalikkan badan, Alya terkejut melihat Naufal sudah berdiri di sana dengan jaket hitamnya. Laki-laki itu memasukkan kedua tangannya di saku jaket sembari menatap Alya. Nyaris sebulan tak bertemu dengan Naufal pasca sidang ketiga perceraian mereka, entah mengapa kini sikap Naufal sedikit berbeda. Dia menatap Alya beberapa saat lalu menghela napas panjang. Setelah itu duduk di bangku yang sudah disediakan. "Ada apa ya, Mas?" tanya Alya sembari membersihkan etalase dan menyimpan beberapa masakan matang di sana. "Aku kangen kamu, Al," ucap Naufal singkat tan
[Al, tolong hentikan. Aku nggak sanggup] Pesan dari Naufal dengan nomor barunya muncul di layar. Alya baru membacanya karena sibuk dengan urusan sidang. Akhirnya sidang akhir perpisahannya dengan Naufal sudah usai dengan keputusan verstek karena Naufal benar-benar tak datang. Alya tak tahu alasan apa yang membuat laki-laki itu mangkir dari panggilan sidang. Hanya saja, kini Alya merasa sangat lega karena akhirnya sidang perceraian yang cukup menguras waktu dan pikiran itu telah diputuskan. Mungkin banyak orang yang merasa malu dan takut berstatus janda, tapi Alya berbeda. Dia justru merasa lebih bahagia setelah mendengar putusan itu karena merasa terlepas dari beban berat yang membelenggunya selama ini. [Kita sudah sah bercerai, Mas. Jadi, tolong jangan ganggu aku lagi. Urus saja istri dan keluargamu dan biarkan aku sendiri. Asal kamu tahu, aku lebih bahagia seperti ini dibandingkan hidup denganmu yang selalu menyakitkan hati] Alya keluar dari ruang sidang sembari membalas pesan
"Kira-kira siapa yang bikin rusuh di sini ya, Al?" tanya Nuri sembari membersihkan warung tenda milik Alya. Nuri kembali mendesah kesal menatap warung yang begitu berantakan. "Kurang kerjaan banget jadi orang. Sebenarnya siapa sih biang keroknya?!" ujarnya lagi.Alya hanya menggeleng pelan. Dia berusaha tetap tenang meski gemuruh amarah menghantam dada. Alya tak mengerti kenapa ujian itu datang lagi di saat dia sudah berusaha membenahi diri dan mandiri. Baru saja lega dan bahagia terlepas dari keluarga toxic mantan suaminya, kini Alya kembali diuji dengan hancurnya warung tendanya. Dia benar-benar tak menyangka jika ada orang tak dikenal yang berusaha menghancurkan usahanya. Jika ditanya siapa, jelas Alya tak tahu. Selama ini dia berusaha berbuat baik dengan siapapun, bahkan saat keluarga Naufal dzalim padanya, Alya masih berusaha mengalah dan berbakti. Namun, akhirnya Alya menyerah saat bakti dan cintanya pada suami dikhianati begitu saja. Bagi Alya, itu sudah di luar batas kemamp