Pagi menjelang. Deru kendaraan mulai terdengar bisingnya. Anak-anak sekolah, pekerja kantoran dan beberapa mahasiswa mulai lalu lalang di depan rumah Nuri. Rumah sederhana yang kini menjadi tempat tinggal Alya. Perempuan itu masih sibuk menyiapkan dagangannya di warung tendanya saat sosok laki-laki datang mengucapkan salam. "Wa'alaikumsalam," balas Alya tanpa menoleh. Dia buru-buru memasukkan ayam ungkepnya di penggorengan. Saat membalikkan badan, Alya terkejut melihat Naufal sudah berdiri di sana dengan jaket hitamnya. Laki-laki itu memasukkan kedua tangannya di saku jaket sembari menatap Alya. Nyaris sebulan tak bertemu dengan Naufal pasca sidang ketiga perceraian mereka, entah mengapa kini sikap Naufal sedikit berbeda. Dia menatap Alya beberapa saat lalu menghela napas panjang. Setelah itu duduk di bangku yang sudah disediakan. "Ada apa ya, Mas?" tanya Alya sembari membersihkan etalase dan menyimpan beberapa masakan matang di sana. "Aku kangen kamu, Al," ucap Naufal singkat tan
[Al, tolong hentikan. Aku nggak sanggup] Pesan dari Naufal dengan nomor barunya muncul di layar. Alya baru membacanya karena sibuk dengan urusan sidang. Akhirnya sidang akhir perpisahannya dengan Naufal sudah usai dengan keputusan verstek karena Naufal benar-benar tak datang. Alya tak tahu alasan apa yang membuat laki-laki itu mangkir dari panggilan sidang. Hanya saja, kini Alya merasa sangat lega karena akhirnya sidang perceraian yang cukup menguras waktu dan pikiran itu telah diputuskan. Mungkin banyak orang yang merasa malu dan takut berstatus janda, tapi Alya berbeda. Dia justru merasa lebih bahagia setelah mendengar putusan itu karena merasa terlepas dari beban berat yang membelenggunya selama ini. [Kita sudah sah bercerai, Mas. Jadi, tolong jangan ganggu aku lagi. Urus saja istri dan keluargamu dan biarkan aku sendiri. Asal kamu tahu, aku lebih bahagia seperti ini dibandingkan hidup denganmu yang selalu menyakitkan hati] Alya keluar dari ruang sidang sembari membalas pesan
"Kira-kira siapa yang bikin rusuh di sini ya, Al?" tanya Nuri sembari membersihkan warung tenda milik Alya. Nuri kembali mendesah kesal menatap warung yang begitu berantakan. "Kurang kerjaan banget jadi orang. Sebenarnya siapa sih biang keroknya?!" ujarnya lagi.Alya hanya menggeleng pelan. Dia berusaha tetap tenang meski gemuruh amarah menghantam dada. Alya tak mengerti kenapa ujian itu datang lagi di saat dia sudah berusaha membenahi diri dan mandiri. Baru saja lega dan bahagia terlepas dari keluarga toxic mantan suaminya, kini Alya kembali diuji dengan hancurnya warung tendanya. Dia benar-benar tak menyangka jika ada orang tak dikenal yang berusaha menghancurkan usahanya. Jika ditanya siapa, jelas Alya tak tahu. Selama ini dia berusaha berbuat baik dengan siapapun, bahkan saat keluarga Naufal dzalim padanya, Alya masih berusaha mengalah dan berbakti. Namun, akhirnya Alya menyerah saat bakti dan cintanya pada suami dikhianati begitu saja. Bagi Alya, itu sudah di luar batas kemamp
Alya dan Nuri melangkah tergesa ke rumah mereka. Keduanya masih saling diam saat melihat dua lelaki berdiri di depan teras rumah. Alya tak mengenali sosok itu. Begitu pula dengan Nuri. Namun, melihat dari gerak-gerik mereka cukup membuat dua sahabat itu curiga. "Jangan-jangan mereka yang menghancurkan warungku?" lirih Alya seperti bergumam pada diri sendiri. Nuri yang tak sengaja mendengarnya pun mengiyakan. Dia setuju dengan dugaan Alya. Oleh karena itulah saat ini dia ikut waspada jika terjadi sesuatu saat berhadapan dengan dua lelaki itu. "Ayo samperin, Al," ajak Nuri sembari menarik pelan lengan sahabatnya. Alya mengangguk lalu buru-buru mendekati dua lelaki yang masih duduk di teras rumah Nuri. "Maaf, Pak. Ada perlu apa datang ke rumah saya?" tanya Nuri sopan sembari sedikit membungkukkan badan. Dua lelaki itu menoleh lalu menatap Nuri dan Alya bergantian. "Alya?" tanya salah seorang tamu sembari menunjuk Nuri. Perempuan itu menggeleng lalu Alya tunjuk jari. "Saya Alya. Ad
Sumiwi dan Rani meradang. Mereka begitu geram melihat keangkuhan Alya dan ketidaksopanannya. Rani bahkan nyaris melempar botol air mineral ke arah Alya jika tak ditepis kasar oleh salah seorang tetangga. "Jangan kasar, Mbak!" sentak ibu itu sembari menepis tangan kanan Rani. Perempuan itu meringis kesakitan. "Silakan pergi dan jangan pernah membuat onar di sini kalau nggak mau kulaporkan ke polisi!" sentak Nuri ikut andil bicara. Beberapa tetangga mengangguk bersamaan. Kedua tamu tak diundang itu semakin meradang. Mereka mencak-mencak tak karuan. Saat berjalan tiga langkah menjauhi tenda, panggilan Alya membuat langkah keduanya terhenti. Dua perempuan itu sama-sama membalikkan badan dan menatap lekat Alya. "Jangan-jangan kalian dalang semua ini," ucap Alya sembari menunjuk beberapa barang yang hancur di sudut halaman."Apa maksudmu? Dalang apa?!" sentak Rani kemudian."Jangan asal tuduh kalau nggak ada bukti!" sambung Sumiwi dengan sinisnya."Kalau sampai aku menemukan bukti jika
"Kenapa Erika murung begitu, Fal? Kamu apain dia?!" sentak Sumiwi, mertua Erika. "Mama bersekongkol sama dia kan?" tuduh Naufal begitu geram. Laki-laki itu menatap mama dan Erika bergantian. Saat perjalanan pulang tadi, Naufal sudah mencecar Erika soal kehamilannya. Dia yakin betul jika tespek yang ditunjukkannya waktu itu palsu. Entah milik siapa tespek itu, yang jelas Naufal yakin kalau sebenarnya Erika tak berbadan dua. Gerak-gerik, kegugupan bahkan ketakutan Erika saat dipaksa turun ke klinik membuat Naual semakin yakin kalau dia memang sudah merencanakan itu semua. Naufal yakin alasan terkuat Erika melakukan kebohongan itu agar dia memilih Erika yang sedang hamil daripada Alya. Ternyata, prediksi Erika benar adanya. Sekalipun Naufal masih mencintai Alya, tapi dia tak bisa meninggalkan Erika begitu saja di tengah kehamilannya. Kehamilan yang saat ini Naufal tahu hanya sebuah sandiwara belaka. Erika memang terlalu cerdik dan licik. Dia bisa merencanakan sesuatu yang mungkin ta
[Nur, ternyata biang kerok hancurnya warungku memang mama mertuaku sama perempuan itu. Entah apa yang mereka inginkan. Bisa-bisanya melakukan hal konyol seperti itu. Aku tahu semuanya karena ada yang kirim foto-foto pelaku sama mereka saat makan siang. Masalahnya, aku juga nggak tahu siapa yang mengirimkan bukti-bukti ini. Aneh nggak sih, Nur? Kok jadi semakin takut ya?] Alya mengirimkan pesan panjang itu pada sahabatnya. Sembari menikmati secangkir kopi dan kue bolu, Alya ingin menghabiskan hari minggu ini untuk bermalas-malasan di rumah. Setelah enam hari berjibaku dengan peralatan dapur, Alya memang menyisakan satu hari untuk istirahat. Sesekali makan di luar, shopping atau sekadar jalan-jalan cari angin. Meski sendirian, Alya cukup menikmati hari-harinya. [Dugaanku benar kan, Al? Pasti mereka, siapa lagi? Benar-benar kurang ajar ya mereka itu. Sesekali kamu harus tegas, Al. Kasih mereka pelajaran biar jera dan nggak seenaknya. Mau sampai kapan merecoki hidupmu coba? Aku kok ikut
"Kamu?!" Alya mengernyit. Dia masih tak habis pikir kenapa laki-laki yang ditemuinya pertama kali saya reuni SMA itu muncul di depan rumah kontrakannya. "Iya. Kenapa?" balas Akza dengan senyum tipisnya. Alya mendengkus kesal melihat Azka yang seolah tak punya masalah apapun dengannya. Padahal pertemuan terakhir mereka tak baik-baik saja karena Alya begitu kesal saat Azka menyimpan video marah-marahnya. "Ngapain kamu ke sini? Ada perlu apa?" tanya Alya tanpa basa-basi. Dia nggak mau bertele-tele karena takut ada fitnah di antara mereka. "Nggak disuruh masuk dulu?" tanya laki-laki itu lagi. Dia masih di luar teras. Azka cukup tahu diri tak mungkin menyelonong masuk tanpa izin penghuni rumah."Silakan duduk dan sampaikan alasan kamu ke sini dengan singkat, padat dan jelas," balas Alya sembari menunjuk kursi di sebelahnya. Ada meja bulat kecil yang terbuat dari rotan sebagai pemisah kursi satu dengan lainnya. Mendengar balasan Alya, Azka kembali terkekeh. Dia sedikit geli mendengar k
Kebaya berwarna putih gading dengan hiasan swarovski membuat penampilan Alya terlihat cantik dan elegan. Dilengkapi dengan polesan make up flawless dan senyum tipisnya, membuatnya semakin mempesona. Beberapa kali Azka menatapnya kagum lalu tersenyum saat tak sengaja bersirobok dengannya. Tak ingin semakin salah tingkah, Azka pamit untuk menemui tamu setelah selesai dimake up.Keluarga besar Azka dari Jogja datang semua ke Jakarta untuk menghadiri hari spesialnya. Mulai dari keluarga papa angkatnya, kakak tirinya dan keluarga ayah kandungnya pun ikut datang. Kebahagian Azka semakin bertambah saat melihat keluarga besarnya akur dan kumpul hari ini.Melihat keluarga besar Azka, Alya pun merasa bersyukur. Dia yang selama ini tak memiliki keluarga akhirnya mendapatkan keluarga baru yang begitu hangat dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Berulang kali Alya mengucapkan Hamdallah atas semua karunia-Nya. Dia yang selama ini mendapatkan banyak ujian, akhirnya kini mendapatkan kenikmatan berl
"Alya, maukah kamu menikah denganku?" Pertanyaan Azka saat makan malam itu masih teringat jelas di benak Alya. Sesekali dia tersenyum saat membayangkan kembali momen mendebarkan itu. Dengan sedikit jongkok, Azka membuka kotak cincin itu lalu mengangsurkannya ke arah Alya yang berdiri di depannya. Laras tersenyum tipis melihat keromantisan yang sudah direncanakan anak lelakinya untuk menyambut Alya. Ruangan tak terlalu lebar yang dihiasi beberapa bunga mawar putih dan balon berbentuk hati itu semakin membuat nuansa romantis di dalamnya. Lilin-lilin kecil di tepi dinding seolah menjadi sakti ungkapan cinta lelaki tampan itu. "Aku akan berusaha membuatmu bahagia. Akan kuletakkan bahagiamu di atas bahagiaku, Alya. Percayalah, karena bahagiamu adalah bahagiaku jua." Azka tersenyum tipis menatap Alya yang masih mematung. Dia terharu dengan semua perjuangan Azka selama ini. Berkali-kali ditolak dan diabaikan, berkali-kali pula dia bangkit dan membuktikan cinta tulusnya. Alya yang sebelum
Kasus Erika mulai masuk ke meja hijau. Alya didampingi Nuri, Laras dan Azka beserta pengacaranya sudah duduk di kursi yang disediakan. Para pelaku pun mengikuti sidang ini dan duduk tak jauh dari tempat Alya berada. Alya tampak begitu cemas setelah memberikan penjelasan tentang kejadian itu. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang saat Laras dan Nuri kembali meyakinkannya jika semua akan baik-baik saja. Tak banyak kata, Azka berusaha meyakinkan Alya dengan caranya. Senyum tipis dan tatapan lekatnya membuat Alya sedikit lebih tenang. Dia merasa banyak orang yang begitu menyayangi dan mendukungnya saat ini. Pengacara yang disewa Azka pun bukan pengacara sembarangan. Dia cukup kompeten di bidangnya bahkan termasuk pengacara terkenal yang berhasil memenangkan beragam kasus rumit. Azka ingin melakukan yang terbaik untuk Alya karena dia tahu orang tua Erika pasti juga akan melakukan beragam cara untuk membantu anak semata wayangnya. Sidang berjalan cukup sengit karena orang tua Erika dan
Erika meraung. Dia seperti kesurupan saat dua polisi itu membawanya pergi. Rengekan, permohonan dan linang air matanya seolah tak berarti. Dia memang pantas mendapatkan balasan setimpal atas semua yang pernah dilakukannya bukan? Melihat Erika histeris seperti itu, bukannya iba, Naufal justru semakin benci. Rasa bencinya semakin bertambah setelah dia tahu siapa yang diculik oleh istrinya itu. Benci, amarah dan muak seolah tercampur menjadi satu. Mamanya yang mendadak sakit pun semakin shock saat melihat menantu kesayangannya digelandang polisi bahkan mungkin akan segera dijebloskannya ke penjara. Sakit jantung yang sebelumnya hanya sandiwara, kini justru menjadi nyata. Allah telah mengabulkan ucapan wanita paruh baya itu. Bukankah ucapan bagian dari doa? Begitu pula Sumiwi yang sebelumnya berpura-pura sakit, kini dia benar-benar terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang pasien karena sakit jantungnya. Wanita itu hanya membisu saat anggota keluarga dan kerabatnya menjenguk. Mungkin
"Telepon siapa sampai shock begitu?" Pertanyaan Naufal yang tiba-tiba membuat Erika semakin kaget. Dia tercekat lalu membalikkan badan. Keringat dingin mulai membasahi kening. Kali ini dia benar-benar ketakutan dengan gertakan Azka. Tak sekadar gertakan, Erika yakin ada sesuatu yang menimpa anak buahnya. Sejak semalam mereka memang nggak memberi kabar apapun pada Erika. Mereka takut kecerobohan Erika hanya akan membuat mereka tertangkap basah. Mereka, terutama Edward cukup tahu bagaimana sikap Erika yang sering gegabah dan tak bisa berpikir panjang saat melakukan sesuatu. "Siapa?" tanya Naufal lagi. Tanpa menunggu balasan Erika, Naufal menarik kasar benda pipih di tangan perempuan itu. Erika berusaha mempertahankan handphonenya, tapi Naufal berhasil mendapatkan bende mungil kesayangan Erika itu. Naufal menatap layar lalu mencari menu panggilan terakhir di handphone itu."Alya?!" ucap Naufal dengan mata membulat. Dia menoleh pada Erika yang kini mendadak diam. "Ngapain kamu telep
Naufal pergi dengan ekspresi kesal. Raut wajahnya memerah karena emosi. Alya tak lagi peduli. Baginya, laki-laki itu hanya bagian dari masa lalu yang harus dia lupakan. Alya tak ingin mengingatnya lagi karena semakin diingat, rasa sakit itu justru semakin terasa. "Benar mau menikah denganku?" tanya Azka lirih setelah Naufal keluar rumah. Alya tercekat. Alya tak menyangka jika Azka masih sadar karena dia pikir laki-laki itu sudah pingsan. Wajahnya memerah seketika saat menoleh pada Azka yang membenarkan letak duduknya. Salah tingkah. Alya benar-benar kikuk dan tak tahu harus membalas apa. "Benar mau menikah denganku, hmmm?" ulang Azka dengan senyum tipis membuat Alya sedikit kesal. "Pura-pura pingsan?" tanya Alya kemudian. "Ngapain pura-pura. Aku hanya diam saja menahan sakit. Nggak menyangka diamku ada gunanya juga," sambung laki-laki itu."Dasar!" rutuk Alya pendek lalu bangkit dari lantai, sementara Azka mengikuti Alya dengan berdiri perlahan dan duduk kembali ke sofa. "Sudahl
Nuri memijit keningnya beberapa kali. Nyaris semalaman dia tak bisa tidur karena memikirkan sahabatnya, Alya. Setelah subuh, dia memilih ke dapur untuk membuat bubur dan teh hangat untuk sarapan. Perutnya terasa melilit karena lapar. Tak lupa membalas beberapa pesan yang masuk ke messengernya. Pesan dari Naufal yang menanyakan soal Alya karena semalam Nuri memang memberikan kabar pada laki-laki itu soal penculikan Alya. Nuri tahu jika saat ini Naufal tak ada hubungan dengan Alya lagi setelah perpisahan itu terjadi, hanya saja Nuri kehilangan akal dan dia tak tahu harus minta pertolongan siapa lagi selain mantan suami sahabatnya itu. Azka memang sudah gerak cepat, tapi sampai saat ini belum juga memberikan kabar untuknya. Nuri benar-benar tak tenang dan hanya menginginkan yang terbaik untuk Alya karena menurutnya semakin banyak yang mencari keberadaan Alya maka akan semakin cepat menemukannya. Lagi dan lagi Nuri hanya ingin Alya segera ditemukan dengan keadaan baik tanpa kekurangan s
"Sudah bangun, Sayang?" tanya laki-laki bernama Edward itu singkat dengan senyum tipisnya. Alya menatap tajam laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit bersih itu. Dia berusaha menghindar saat tangan kekar laki-laki itu berusaha menyentuhnya. Hanya saja, dia tak bisa bergerak banyak karena tangan dan kakinya diikat, sementara mulutnya dilakban. Keringat dingin mulai menetes di keningnya. Alya benar-benar ketakutan melihat ada orang asing satu kamar dengannya. "Maaf harus mengikatmu seperti ini. Terpaksa karena aku nggak mau kamu pergi. Tunggu sampai pagi, setelah itu kita akan pergi," ucap laki-laki itu lagi. Alya kembali ketakutan. Dia tak ingin diajak pergi oleh laki-laki tak dikenalnya itu. Alya masih berusaha memberontak, tapi tangan kekar itu berhasil menyentuh kepalanya. "Jangan jual mahal, Sayang," lirih laki-laki itu sembari mengusap wajah cantik Alya. Hijab yang dipakainya sudah terlepas. Rambut hitam panjangnya pun berantakan karena tarikan kasar laki-laki itu. "Kamu lebi
[Dia anak buah Mas Bemo, Bos. Mas Bemo masih di sel karena kasus shabu lima bulan lalu. Saya sama Erik sudah ketemu basecampnya, tapi nggak tahu apakah mereka di dalam atau keluar. Suasana di rumah itu cukup sepi dan temaram] Pesan dari Molen, salah satu anak buah Azka muncul di layar. Dia teman dekat Erik yang tak lain tangan kanannya. Erik dan Mollen dulu sama-sama preman di kawasan taman Arjuna. Mereka nyaris merampok Azka saat pulang dari cafe Bianglalanya. Namun, berkat sering latihan beladiri di Jogja, Azka berhasil membekuk dua laki-laki itu. Alih-alih memenjarakan keduanya, Azka justru memberikan tawaran yang lebih menguntungkan mereka. Dua lelaki itu dijadikan karyawan oleh Azka agar memiliki penghasilan bulanan dan tak merampok lagi. Erik menjadi asisten pribadinya sementara Molen menjadi satpam di cafe bianglala. Sejak saat itu, perangai keduanya mulai berubah membaik sampai akhirnya menjadi tangan kanan Azka. [Awasi rumah itu. Kalau ada hal-hal yang mencurigakan segera