[Nur, ternyata biang kerok hancurnya warungku memang mama mertuaku sama perempuan itu. Entah apa yang mereka inginkan. Bisa-bisanya melakukan hal konyol seperti itu. Aku tahu semuanya karena ada yang kirim foto-foto pelaku sama mereka saat makan siang. Masalahnya, aku juga nggak tahu siapa yang mengirimkan bukti-bukti ini. Aneh nggak sih, Nur? Kok jadi semakin takut ya?] Alya mengirimkan pesan panjang itu pada sahabatnya. Sembari menikmati secangkir kopi dan kue bolu, Alya ingin menghabiskan hari minggu ini untuk bermalas-malasan di rumah. Setelah enam hari berjibaku dengan peralatan dapur, Alya memang menyisakan satu hari untuk istirahat. Sesekali makan di luar, shopping atau sekadar jalan-jalan cari angin. Meski sendirian, Alya cukup menikmati hari-harinya. [Dugaanku benar kan, Al? Pasti mereka, siapa lagi? Benar-benar kurang ajar ya mereka itu. Sesekali kamu harus tegas, Al. Kasih mereka pelajaran biar jera dan nggak seenaknya. Mau sampai kapan merecoki hidupmu coba? Aku kok ikut
"Kamu?!" Alya mengernyit. Dia masih tak habis pikir kenapa laki-laki yang ditemuinya pertama kali saya reuni SMA itu muncul di depan rumah kontrakannya. "Iya. Kenapa?" balas Akza dengan senyum tipisnya. Alya mendengkus kesal melihat Azka yang seolah tak punya masalah apapun dengannya. Padahal pertemuan terakhir mereka tak baik-baik saja karena Alya begitu kesal saat Azka menyimpan video marah-marahnya. "Ngapain kamu ke sini? Ada perlu apa?" tanya Alya tanpa basa-basi. Dia nggak mau bertele-tele karena takut ada fitnah di antara mereka. "Nggak disuruh masuk dulu?" tanya laki-laki itu lagi. Dia masih di luar teras. Azka cukup tahu diri tak mungkin menyelonong masuk tanpa izin penghuni rumah."Silakan duduk dan sampaikan alasan kamu ke sini dengan singkat, padat dan jelas," balas Alya sembari menunjuk kursi di sebelahnya. Ada meja bulat kecil yang terbuat dari rotan sebagai pemisah kursi satu dengan lainnya. Mendengar balasan Alya, Azka kembali terkekeh. Dia sedikit geli mendengar k
"Gimana kabarnya, Ma?" tanya Azka saat menjemput mamanya pulang. Laras tersenyum tipis sembari membingkai wajah anak semata wayangnya. "Seperti yang kamu lihat, Ka. Mama sehat dan baik-baik saja. Mama lebih sehat dan cantik kan?" Anak dan ibu itu sama-sama tersenyum. "Akhirnya setelah sekian lama, mama bisa merasakan udara bebas juga. Kebebasan yang selalu mama tunggu sekian lama,," ujarnya dengan mata berkaca. Azka mengangguk lalu memeluk erat mamanya."Biar Azka bantu," ucap Azka lagi saat menuruni tangga menuju mobilnya. Kaki kanan Laras memang diamputasi karena kecelakaan beberapa tahun silam. Kini, dia harus memakai kruk, sesekali memakai kursi rodanya untuk beraktivitas. Kekurangan yang dimilikinya saat ini, tak membuat Laras patah semangat. Dia selalu berusaha mengikhlaskan karena sadar jika semua itu terjadi atas kesalahannya sendiri di masa lalu. Kini, Laras menjalani kehidupan yang berbeda. Tak seperti dulu yang selalu ambisius bahkan menghalalkan berbagai cara untuk men
Suasana di rumah juragan Rahmat cukup sepi. Hanya ada satpam dan asisten rumah tangga di rumah megah itu, sementara tuan rumah ternyata masih sibuk di rumah sakit. Seperti yang Azka bilang jika hari ini Kaira melahirkan anak keduanya. Anak perempuan yang begitu diidamkan orang tua dan nenek kakeknya. "Ya Allah Bu Laras. Alhamdulillah ya, Bu akhirnya bisa bertemu ibu lagi setelah sekian lama," ucap Bi Inem dengan mata berkaca saat melihat Azka dan Laras di teras rumah bosnya. "Alhamdulillah, Bi. Bibi sehat kan?" balas Laras sembari memeluk mantan asistennya itu. "Alhamdulillah sehat, Bu. Ibu sendiri bagaimana? Bibi lihat justru makin cantik dan bersinar wajahnya," balas Bi Inem saat mengurai pelukan. "Bibi bisa saja. Alhamdulillah saya sehat, Bi. Meski ya seperti ini keadaannya." Laras memperlihatkan kaki kanannya yang diamputasi. Merasa tak enak hati, Bi Inem pun mengusap lengan mantan majikannya itu perlahan. "Nggak apa-apa ya, Bu. Yang penting sehat dan panjang umur. Masa lalu
"Gimana keadaanmu, Kai?" tanya Azka singkat setelah sampai di samping ranjang Kaira bersama mamanya. "Alhamdulillah baik dan sehat, Mas," balas Kaira singkat sembari tersenyum tipis. Azka hanya mengangguk lalu mundur dan duduk di sofa tak jauh dari mamanya yang duduk di kursi roda. "Tante Laras apa kabar? Maaf selama hamil saya nggak bisa jenguk Tante. Hamil kedua ini rupanya cukup manja, Tante. Sering mual dan lemas. Dokter meminta saya untuk bedrest total. Maaf juga nggak bisa jemput Tante hari ini," ucap Kaira dengan senyum tipisnya. Laras yang dulu begitu membenci perempuan itu bahkan menolak keras hubungannya dengan Azka, kini telah berubah. Apalagi selama di dalam penjara, Kaira dan ibu mertuanya sering menjenguk Laras dan membawakan barang-barang yang dibutuhkannya. Sejak itu pula pandangan Laras tentang Kaira mulai ada perubahan. Dia tak lagi membenci perempuan itu melainkan sebaliknya. Ada rasa sayang yang tersemat di hatinya untuk Kaira bahkan berharap Azka mendapatkan i
"Nggak ada urusan lagi sama kamu ya, Mas," balas Alya singkat. Perempuan itu masih melayani pembeli terakhir lalu memberikan pesanannya. Setelah pelanggannya pulang, Alya duduk di sebuah kursi sembari menatap tiga lelaki yang masih berdiri di depan warungnya. Erik dan Azka tampak bercakap-cakap sebentar lalu Erik pergi meninggalkan bosnya sendirian. Alya masih terdiam di tempat, sesekali menatap Naufal yang masih menatapnya lekat. "Sekarang memang bukan urusanku lagi, Al. Cuma aku nggak menyangka jika kamu-- "Kamu apa? Kamu menuduhku selingkuh saat masih bersamamu? Jangan mengada-ada, Mas. Aku bukan perempuan murahan yang mengkhianati statusnya sebagai istri. Jangan samakan aku dengan kamu yang tega mengkhianati pernikahan kita," balas Alya dengan suara bergetar. Dia tak peduli lagi ada Azka di belakang Naufal. Tuduhan Naufal barusan membuatnya meradang. Alya tak tahan difitnah seperti itu oleh mantan suaminya sendiri. Dia tak menyangka jika Naufal curiga dengan kesetiaan dan ket
"Astaghfirullah, Mas! Apa-apaan sih kamu!" sentak Alya saat melihat Naufal memberikan bogem mentah di wajah Azka. Azka yang tak siap mendadak terhuyung ke belakang. Dia ingin membalas, tapi melihat Alya yang shock lalu menariknya cepat membuatnya mengurungkan niat. "Kamu lebih membela laki-laki asing itu daripada mantan suamimu sendiri, Al?!" sentak Naufal meradang. Wajahnya memerah karena cemburu dan menahan amarah yang mulai menjalar di dadanya. "Kenapa memangnya? Apa bedanya kamu sama dia? Sama-sama asing bukan? Setidaknya dia tak pernah menyakitiku seperti kamu, Mas!" balas Alya kemudian. Dia kini berada di tengah, menghalangi Naufal yang masih memburu Azka dengan kepalan tangannya. "Kamu baru kenal!" sentak Naufal lagi. "Kamu nggak tahu siapa dia kan? Memangnya kamu tahu rumahnya dimana, bagaimana pergaulannya, keluarganya dan-- "Cukup, Mas! Tahu atau nggak itu bukan urusanmu. Kamu nggak ada hak mencampuri hidupku lagi. Pergi dari sini," balas Alya cepat. Dia malas mendeng
Alya dan Azka duduk di teras rumah, sementara Bi Rusmini kembali ke warung untuk melayani pembeli. Sesekali Azka melirik Alya yang masih bergeming. Entah apa yang dipikirkannya detik ini. Hanya saja, dia tak angkat bicara sejak beberapa menit lalu. Seolah membiarkan Azka tak nyaman sampai akhirnya pamit pulang. "Maaf," ujar Alya singkat. Dia tetap menunduk. Tanpa menoleh ke arah Azka yang kini menatapnya. "Maaf buat apa?" tanya Azka dengan senyum tipisnya. "Maaf sudah melibatkan kamu ke dalam masalahku. Maaf juga sudah merepotkanmu," balas Alya. Kini dia menoleh dan sempat bersitatap dengan Azka beberapa saat. "Aku nggak merasa direpotkan dan senang jika kamu melibatkanku dalam masalahmu," balasnya santai membuat Alya tersedak seketika. Azka buru-buru mengambil air mineral di meja dan membuka tutupnya untuk Alya. Perempuan itu pun menerimanya lalu meneguknya sebagian. "Rayuanmu seperti anak ABG. Nggak mempan buat janda sepertiku," balas Alya sembari menutup botol air mineralnya.