"Gimana keadaanmu, Kai?" tanya Azka singkat setelah sampai di samping ranjang Kaira bersama mamanya. "Alhamdulillah baik dan sehat, Mas," balas Kaira singkat sembari tersenyum tipis. Azka hanya mengangguk lalu mundur dan duduk di sofa tak jauh dari mamanya yang duduk di kursi roda. "Tante Laras apa kabar? Maaf selama hamil saya nggak bisa jenguk Tante. Hamil kedua ini rupanya cukup manja, Tante. Sering mual dan lemas. Dokter meminta saya untuk bedrest total. Maaf juga nggak bisa jemput Tante hari ini," ucap Kaira dengan senyum tipisnya. Laras yang dulu begitu membenci perempuan itu bahkan menolak keras hubungannya dengan Azka, kini telah berubah. Apalagi selama di dalam penjara, Kaira dan ibu mertuanya sering menjenguk Laras dan membawakan barang-barang yang dibutuhkannya. Sejak itu pula pandangan Laras tentang Kaira mulai ada perubahan. Dia tak lagi membenci perempuan itu melainkan sebaliknya. Ada rasa sayang yang tersemat di hatinya untuk Kaira bahkan berharap Azka mendapatkan i
"Nggak ada urusan lagi sama kamu ya, Mas," balas Alya singkat. Perempuan itu masih melayani pembeli terakhir lalu memberikan pesanannya. Setelah pelanggannya pulang, Alya duduk di sebuah kursi sembari menatap tiga lelaki yang masih berdiri di depan warungnya. Erik dan Azka tampak bercakap-cakap sebentar lalu Erik pergi meninggalkan bosnya sendirian. Alya masih terdiam di tempat, sesekali menatap Naufal yang masih menatapnya lekat. "Sekarang memang bukan urusanku lagi, Al. Cuma aku nggak menyangka jika kamu-- "Kamu apa? Kamu menuduhku selingkuh saat masih bersamamu? Jangan mengada-ada, Mas. Aku bukan perempuan murahan yang mengkhianati statusnya sebagai istri. Jangan samakan aku dengan kamu yang tega mengkhianati pernikahan kita," balas Alya dengan suara bergetar. Dia tak peduli lagi ada Azka di belakang Naufal. Tuduhan Naufal barusan membuatnya meradang. Alya tak tahan difitnah seperti itu oleh mantan suaminya sendiri. Dia tak menyangka jika Naufal curiga dengan kesetiaan dan ket
"Astaghfirullah, Mas! Apa-apaan sih kamu!" sentak Alya saat melihat Naufal memberikan bogem mentah di wajah Azka. Azka yang tak siap mendadak terhuyung ke belakang. Dia ingin membalas, tapi melihat Alya yang shock lalu menariknya cepat membuatnya mengurungkan niat. "Kamu lebih membela laki-laki asing itu daripada mantan suamimu sendiri, Al?!" sentak Naufal meradang. Wajahnya memerah karena cemburu dan menahan amarah yang mulai menjalar di dadanya. "Kenapa memangnya? Apa bedanya kamu sama dia? Sama-sama asing bukan? Setidaknya dia tak pernah menyakitiku seperti kamu, Mas!" balas Alya kemudian. Dia kini berada di tengah, menghalangi Naufal yang masih memburu Azka dengan kepalan tangannya. "Kamu baru kenal!" sentak Naufal lagi. "Kamu nggak tahu siapa dia kan? Memangnya kamu tahu rumahnya dimana, bagaimana pergaulannya, keluarganya dan-- "Cukup, Mas! Tahu atau nggak itu bukan urusanmu. Kamu nggak ada hak mencampuri hidupku lagi. Pergi dari sini," balas Alya cepat. Dia malas mendeng
Alya dan Azka duduk di teras rumah, sementara Bi Rusmini kembali ke warung untuk melayani pembeli. Sesekali Azka melirik Alya yang masih bergeming. Entah apa yang dipikirkannya detik ini. Hanya saja, dia tak angkat bicara sejak beberapa menit lalu. Seolah membiarkan Azka tak nyaman sampai akhirnya pamit pulang. "Maaf," ujar Alya singkat. Dia tetap menunduk. Tanpa menoleh ke arah Azka yang kini menatapnya. "Maaf buat apa?" tanya Azka dengan senyum tipisnya. "Maaf sudah melibatkan kamu ke dalam masalahku. Maaf juga sudah merepotkanmu," balas Alya. Kini dia menoleh dan sempat bersitatap dengan Azka beberapa saat. "Aku nggak merasa direpotkan dan senang jika kamu melibatkanku dalam masalahmu," balasnya santai membuat Alya tersedak seketika. Azka buru-buru mengambil air mineral di meja dan membuka tutupnya untuk Alya. Perempuan itu pun menerimanya lalu meneguknya sebagian. "Rayuanmu seperti anak ABG. Nggak mempan buat janda sepertiku," balas Alya sembari menutup botol air mineralnya.
[Lagi ngapain, Al?] [Hari ini di rumah?] [Boleh berkunjung ke rumah nggak?] Tiga pesan Azka masuk ke aplikasi hijau Alya. Tiada hari tanpa pesan dari laki-laki itu. Sebenarnya Alya risih, tapi dia merasa berhutang budi pada Azka karena sudah membantunya menghentikan teror dari mantan suaminya. Setidaknya sudah tiga mingguan ini dia tak lagi datang ke rumah. Itu membuat Alya benar-benar lega.[Sore aku ke rumah ya? Boleh kan?] Pesan terbaru muncul kembali. Alya menghela napas panjang lalu membalas pesannya. Kalau tidak, Azka pasti akan terus mengirimkan pesan sampai akhirnya Alya lelah dan memberikan balasan. [Aku sama Nuri pergi. Kalau kamu mau datang, silakan saja. Nanti ngobrol sama teras rumah]Alya tersenyum tipis saat membaca kembali pesan yang dia kirimkan. Dia membayangkan wajah masam Azka saat membaca balasannya. [Hemm ... Masih ingat kita ngobrol di teras rumah ya? Saat kamu bersihin mukaku pakai air dingin? Terngiang-ngiang sampai sekarang, Al?] Balasan dari Azka mema
"Kamu nggak apa-apa Alya?" tanya Laras sembari mengusap lengan Alya. Perempuan itu menggeleng pelan. "Kalian ini kenapa? Kalau ada masalah diselesaikan baik-baik tanpa kekerasan. Malu dilihat banyak orang. Sudah dewasa, tapi kelakuan seperti anak-anak," ucap Laras sembari menatap Erika dan Naufal bergantian. Dia juga melirik sinis Ratna yang tadi sempat menarik lengan Nuri sampai terbentur tembok."Tante nggak usah ikut campur. Ini urusan kami, bukan urusan Tante. Jadi, kami punya pilihan sendiri untuk menyelesaikannya dengan cara bagaimana," ujar Ratna kemudian. "Ratna! Diam kamu!" sentak Naufal lalu menarik lengan adik perempuannya itu. "Kita pulang sekarang," pinta Naufal pada Ratna dan Erika, tapi kedua perempuan itu tak menggubris. Mereka tak mengikuti Naufal yang sudah meninggalkannya beberapa langkah. "Ingat, Al-- Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Azka sudah memotong ucapan Erika. "Nggak perlu mengancam. Kalau kamu terus mengintimidasi Alya, aku yang akan turun tanga
"Selamat datang di rumah sederhana kami, Tante. Halaman rumah sudah kaya taman mini ya, Tante. Semua berkat anak lelaki Tante itu. Setelah buket bunganya selalu ditolak, akhirnya dia bawakan tanaman dan bunga hidup setiap hari. Lumayanlah, rumah kami jadi indah dan penuh warna," ucap Nuri setelah mobil berhenti di tepi jalan depan rumahnya. "Wah, sejuk ya, Al, Nur," balas Laras sembari tersenyum tipis. "Iya, Tante. Alhamdulillah Alya selalu rajin menyiraminya tiap pagi dan sore," balas Nuri lagi sembari menaik turunkan kedua alis saat Alya menatapnya. Mendengar cerita Nuri, Azka tersenyum tipis. Dia kembali melirik Alya dari spionnya. "Turun dulu, Tante. Mampir ke rumah. Tenang saja, Mas. Kali ini nggak bakal diusir Alya, soalnya saya yang ajak. Bukan Mas Azka yang sengaja bertamu," ucap Nuri lagi. Dia sengaja menggoda Alya dan Azka yang sedari tadi tampak saling lirik dan salah tingkah. "Oke. Ayo turun, Ma," pinta Azka kemudian. Dia gegas membuka sabuk pengamannya lalu buru-buru
"Ya Allah, pusing." Nuri menggumam. Diamembuka kedua matanya perlahan. Kepalanya masih terasa pusing. Dia kembali mengerjapkan mata lalu mengingat-ingat apa yang sebelumnya terjadi. Mendadak tercekat saat ingat Alya nggak ada di sampingnya. Nuri beranjak dari ruang tamu sembari memanggil Alya. Sepi. Tak ada siapapun di rumah itu selain dirinya. Nuri benar-benar kalut saat ini. Dia khawatir dan takut terjadi sesuatu pada sahabatnya itu. Dengan tergesa, Nuri kembali ke ruang tamu. Tas kecil Alya tertinggal di sana. Isinya masih lengkap, tak ada yang berkurang satupun. Bahkan handphone Alya juga masih di sana. Tak hanya barang-barang milik Alya, tapi tasnya pun masih utuh. Nuri luruh di lantai. Dia kembali berpikir apa alasan dua lelaki itu mencelakainya dan Alya. Jelas bukan perampokan karena tak ada satu pun barang yang hilang. Nuri kembali beranjak dari ruang tamu sembari membawa tas Alya. Dia melangkah tergesa ke pintu belakang. Benar dugaannya jika dua lelaki bertopeng itu masuk
Kebaya berwarna putih gading dengan hiasan swarovski membuat penampilan Alya terlihat cantik dan elegan. Dilengkapi dengan polesan make up flawless dan senyum tipisnya, membuatnya semakin mempesona. Beberapa kali Azka menatapnya kagum lalu tersenyum saat tak sengaja bersirobok dengannya. Tak ingin semakin salah tingkah, Azka pamit untuk menemui tamu setelah selesai dimake up.Keluarga besar Azka dari Jogja datang semua ke Jakarta untuk menghadiri hari spesialnya. Mulai dari keluarga papa angkatnya, kakak tirinya dan keluarga ayah kandungnya pun ikut datang. Kebahagian Azka semakin bertambah saat melihat keluarga besarnya akur dan kumpul hari ini.Melihat keluarga besar Azka, Alya pun merasa bersyukur. Dia yang selama ini tak memiliki keluarga akhirnya mendapatkan keluarga baru yang begitu hangat dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Berulang kali Alya mengucapkan Hamdallah atas semua karunia-Nya. Dia yang selama ini mendapatkan banyak ujian, akhirnya kini mendapatkan kenikmatan berl
"Alya, maukah kamu menikah denganku?" Pertanyaan Azka saat makan malam itu masih teringat jelas di benak Alya. Sesekali dia tersenyum saat membayangkan kembali momen mendebarkan itu. Dengan sedikit jongkok, Azka membuka kotak cincin itu lalu mengangsurkannya ke arah Alya yang berdiri di depannya. Laras tersenyum tipis melihat keromantisan yang sudah direncanakan anak lelakinya untuk menyambut Alya. Ruangan tak terlalu lebar yang dihiasi beberapa bunga mawar putih dan balon berbentuk hati itu semakin membuat nuansa romantis di dalamnya. Lilin-lilin kecil di tepi dinding seolah menjadi sakti ungkapan cinta lelaki tampan itu. "Aku akan berusaha membuatmu bahagia. Akan kuletakkan bahagiamu di atas bahagiaku, Alya. Percayalah, karena bahagiamu adalah bahagiaku jua." Azka tersenyum tipis menatap Alya yang masih mematung. Dia terharu dengan semua perjuangan Azka selama ini. Berkali-kali ditolak dan diabaikan, berkali-kali pula dia bangkit dan membuktikan cinta tulusnya. Alya yang sebelum
Kasus Erika mulai masuk ke meja hijau. Alya didampingi Nuri, Laras dan Azka beserta pengacaranya sudah duduk di kursi yang disediakan. Para pelaku pun mengikuti sidang ini dan duduk tak jauh dari tempat Alya berada. Alya tampak begitu cemas setelah memberikan penjelasan tentang kejadian itu. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang saat Laras dan Nuri kembali meyakinkannya jika semua akan baik-baik saja. Tak banyak kata, Azka berusaha meyakinkan Alya dengan caranya. Senyum tipis dan tatapan lekatnya membuat Alya sedikit lebih tenang. Dia merasa banyak orang yang begitu menyayangi dan mendukungnya saat ini. Pengacara yang disewa Azka pun bukan pengacara sembarangan. Dia cukup kompeten di bidangnya bahkan termasuk pengacara terkenal yang berhasil memenangkan beragam kasus rumit. Azka ingin melakukan yang terbaik untuk Alya karena dia tahu orang tua Erika pasti juga akan melakukan beragam cara untuk membantu anak semata wayangnya. Sidang berjalan cukup sengit karena orang tua Erika dan
Erika meraung. Dia seperti kesurupan saat dua polisi itu membawanya pergi. Rengekan, permohonan dan linang air matanya seolah tak berarti. Dia memang pantas mendapatkan balasan setimpal atas semua yang pernah dilakukannya bukan? Melihat Erika histeris seperti itu, bukannya iba, Naufal justru semakin benci. Rasa bencinya semakin bertambah setelah dia tahu siapa yang diculik oleh istrinya itu. Benci, amarah dan muak seolah tercampur menjadi satu. Mamanya yang mendadak sakit pun semakin shock saat melihat menantu kesayangannya digelandang polisi bahkan mungkin akan segera dijebloskannya ke penjara. Sakit jantung yang sebelumnya hanya sandiwara, kini justru menjadi nyata. Allah telah mengabulkan ucapan wanita paruh baya itu. Bukankah ucapan bagian dari doa? Begitu pula Sumiwi yang sebelumnya berpura-pura sakit, kini dia benar-benar terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang pasien karena sakit jantungnya. Wanita itu hanya membisu saat anggota keluarga dan kerabatnya menjenguk. Mungkin
"Telepon siapa sampai shock begitu?" Pertanyaan Naufal yang tiba-tiba membuat Erika semakin kaget. Dia tercekat lalu membalikkan badan. Keringat dingin mulai membasahi kening. Kali ini dia benar-benar ketakutan dengan gertakan Azka. Tak sekadar gertakan, Erika yakin ada sesuatu yang menimpa anak buahnya. Sejak semalam mereka memang nggak memberi kabar apapun pada Erika. Mereka takut kecerobohan Erika hanya akan membuat mereka tertangkap basah. Mereka, terutama Edward cukup tahu bagaimana sikap Erika yang sering gegabah dan tak bisa berpikir panjang saat melakukan sesuatu. "Siapa?" tanya Naufal lagi. Tanpa menunggu balasan Erika, Naufal menarik kasar benda pipih di tangan perempuan itu. Erika berusaha mempertahankan handphonenya, tapi Naufal berhasil mendapatkan bende mungil kesayangan Erika itu. Naufal menatap layar lalu mencari menu panggilan terakhir di handphone itu."Alya?!" ucap Naufal dengan mata membulat. Dia menoleh pada Erika yang kini mendadak diam. "Ngapain kamu telep
Naufal pergi dengan ekspresi kesal. Raut wajahnya memerah karena emosi. Alya tak lagi peduli. Baginya, laki-laki itu hanya bagian dari masa lalu yang harus dia lupakan. Alya tak ingin mengingatnya lagi karena semakin diingat, rasa sakit itu justru semakin terasa. "Benar mau menikah denganku?" tanya Azka lirih setelah Naufal keluar rumah. Alya tercekat. Alya tak menyangka jika Azka masih sadar karena dia pikir laki-laki itu sudah pingsan. Wajahnya memerah seketika saat menoleh pada Azka yang membenarkan letak duduknya. Salah tingkah. Alya benar-benar kikuk dan tak tahu harus membalas apa. "Benar mau menikah denganku, hmmm?" ulang Azka dengan senyum tipis membuat Alya sedikit kesal. "Pura-pura pingsan?" tanya Alya kemudian. "Ngapain pura-pura. Aku hanya diam saja menahan sakit. Nggak menyangka diamku ada gunanya juga," sambung laki-laki itu."Dasar!" rutuk Alya pendek lalu bangkit dari lantai, sementara Azka mengikuti Alya dengan berdiri perlahan dan duduk kembali ke sofa. "Sudahl
Nuri memijit keningnya beberapa kali. Nyaris semalaman dia tak bisa tidur karena memikirkan sahabatnya, Alya. Setelah subuh, dia memilih ke dapur untuk membuat bubur dan teh hangat untuk sarapan. Perutnya terasa melilit karena lapar. Tak lupa membalas beberapa pesan yang masuk ke messengernya. Pesan dari Naufal yang menanyakan soal Alya karena semalam Nuri memang memberikan kabar pada laki-laki itu soal penculikan Alya. Nuri tahu jika saat ini Naufal tak ada hubungan dengan Alya lagi setelah perpisahan itu terjadi, hanya saja Nuri kehilangan akal dan dia tak tahu harus minta pertolongan siapa lagi selain mantan suami sahabatnya itu. Azka memang sudah gerak cepat, tapi sampai saat ini belum juga memberikan kabar untuknya. Nuri benar-benar tak tenang dan hanya menginginkan yang terbaik untuk Alya karena menurutnya semakin banyak yang mencari keberadaan Alya maka akan semakin cepat menemukannya. Lagi dan lagi Nuri hanya ingin Alya segera ditemukan dengan keadaan baik tanpa kekurangan s
"Sudah bangun, Sayang?" tanya laki-laki bernama Edward itu singkat dengan senyum tipisnya. Alya menatap tajam laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit bersih itu. Dia berusaha menghindar saat tangan kekar laki-laki itu berusaha menyentuhnya. Hanya saja, dia tak bisa bergerak banyak karena tangan dan kakinya diikat, sementara mulutnya dilakban. Keringat dingin mulai menetes di keningnya. Alya benar-benar ketakutan melihat ada orang asing satu kamar dengannya. "Maaf harus mengikatmu seperti ini. Terpaksa karena aku nggak mau kamu pergi. Tunggu sampai pagi, setelah itu kita akan pergi," ucap laki-laki itu lagi. Alya kembali ketakutan. Dia tak ingin diajak pergi oleh laki-laki tak dikenalnya itu. Alya masih berusaha memberontak, tapi tangan kekar itu berhasil menyentuh kepalanya. "Jangan jual mahal, Sayang," lirih laki-laki itu sembari mengusap wajah cantik Alya. Hijab yang dipakainya sudah terlepas. Rambut hitam panjangnya pun berantakan karena tarikan kasar laki-laki itu. "Kamu lebi
[Dia anak buah Mas Bemo, Bos. Mas Bemo masih di sel karena kasus shabu lima bulan lalu. Saya sama Erik sudah ketemu basecampnya, tapi nggak tahu apakah mereka di dalam atau keluar. Suasana di rumah itu cukup sepi dan temaram] Pesan dari Molen, salah satu anak buah Azka muncul di layar. Dia teman dekat Erik yang tak lain tangan kanannya. Erik dan Mollen dulu sama-sama preman di kawasan taman Arjuna. Mereka nyaris merampok Azka saat pulang dari cafe Bianglalanya. Namun, berkat sering latihan beladiri di Jogja, Azka berhasil membekuk dua laki-laki itu. Alih-alih memenjarakan keduanya, Azka justru memberikan tawaran yang lebih menguntungkan mereka. Dua lelaki itu dijadikan karyawan oleh Azka agar memiliki penghasilan bulanan dan tak merampok lagi. Erik menjadi asisten pribadinya sementara Molen menjadi satpam di cafe bianglala. Sejak saat itu, perangai keduanya mulai berubah membaik sampai akhirnya menjadi tangan kanan Azka. [Awasi rumah itu. Kalau ada hal-hal yang mencurigakan segera