"Nggak ada urusan lagi sama kamu ya, Mas," balas Alya singkat. Perempuan itu masih melayani pembeli terakhir lalu memberikan pesanannya. Setelah pelanggannya pulang, Alya duduk di sebuah kursi sembari menatap tiga lelaki yang masih berdiri di depan warungnya. Erik dan Azka tampak bercakap-cakap sebentar lalu Erik pergi meninggalkan bosnya sendirian. Alya masih terdiam di tempat, sesekali menatap Naufal yang masih menatapnya lekat. "Sekarang memang bukan urusanku lagi, Al. Cuma aku nggak menyangka jika kamu-- "Kamu apa? Kamu menuduhku selingkuh saat masih bersamamu? Jangan mengada-ada, Mas. Aku bukan perempuan murahan yang mengkhianati statusnya sebagai istri. Jangan samakan aku dengan kamu yang tega mengkhianati pernikahan kita," balas Alya dengan suara bergetar. Dia tak peduli lagi ada Azka di belakang Naufal. Tuduhan Naufal barusan membuatnya meradang. Alya tak tahan difitnah seperti itu oleh mantan suaminya sendiri. Dia tak menyangka jika Naufal curiga dengan kesetiaan dan ket
"Astaghfirullah, Mas! Apa-apaan sih kamu!" sentak Alya saat melihat Naufal memberikan bogem mentah di wajah Azka. Azka yang tak siap mendadak terhuyung ke belakang. Dia ingin membalas, tapi melihat Alya yang shock lalu menariknya cepat membuatnya mengurungkan niat. "Kamu lebih membela laki-laki asing itu daripada mantan suamimu sendiri, Al?!" sentak Naufal meradang. Wajahnya memerah karena cemburu dan menahan amarah yang mulai menjalar di dadanya. "Kenapa memangnya? Apa bedanya kamu sama dia? Sama-sama asing bukan? Setidaknya dia tak pernah menyakitiku seperti kamu, Mas!" balas Alya kemudian. Dia kini berada di tengah, menghalangi Naufal yang masih memburu Azka dengan kepalan tangannya. "Kamu baru kenal!" sentak Naufal lagi. "Kamu nggak tahu siapa dia kan? Memangnya kamu tahu rumahnya dimana, bagaimana pergaulannya, keluarganya dan-- "Cukup, Mas! Tahu atau nggak itu bukan urusanmu. Kamu nggak ada hak mencampuri hidupku lagi. Pergi dari sini," balas Alya cepat. Dia malas mendeng
Alya dan Azka duduk di teras rumah, sementara Bi Rusmini kembali ke warung untuk melayani pembeli. Sesekali Azka melirik Alya yang masih bergeming. Entah apa yang dipikirkannya detik ini. Hanya saja, dia tak angkat bicara sejak beberapa menit lalu. Seolah membiarkan Azka tak nyaman sampai akhirnya pamit pulang. "Maaf," ujar Alya singkat. Dia tetap menunduk. Tanpa menoleh ke arah Azka yang kini menatapnya. "Maaf buat apa?" tanya Azka dengan senyum tipisnya. "Maaf sudah melibatkan kamu ke dalam masalahku. Maaf juga sudah merepotkanmu," balas Alya. Kini dia menoleh dan sempat bersitatap dengan Azka beberapa saat. "Aku nggak merasa direpotkan dan senang jika kamu melibatkanku dalam masalahmu," balasnya santai membuat Alya tersedak seketika. Azka buru-buru mengambil air mineral di meja dan membuka tutupnya untuk Alya. Perempuan itu pun menerimanya lalu meneguknya sebagian. "Rayuanmu seperti anak ABG. Nggak mempan buat janda sepertiku," balas Alya sembari menutup botol air mineralnya.
[Lagi ngapain, Al?] [Hari ini di rumah?] [Boleh berkunjung ke rumah nggak?] Tiga pesan Azka masuk ke aplikasi hijau Alya. Tiada hari tanpa pesan dari laki-laki itu. Sebenarnya Alya risih, tapi dia merasa berhutang budi pada Azka karena sudah membantunya menghentikan teror dari mantan suaminya. Setidaknya sudah tiga mingguan ini dia tak lagi datang ke rumah. Itu membuat Alya benar-benar lega.[Sore aku ke rumah ya? Boleh kan?] Pesan terbaru muncul kembali. Alya menghela napas panjang lalu membalas pesannya. Kalau tidak, Azka pasti akan terus mengirimkan pesan sampai akhirnya Alya lelah dan memberikan balasan. [Aku sama Nuri pergi. Kalau kamu mau datang, silakan saja. Nanti ngobrol sama teras rumah]Alya tersenyum tipis saat membaca kembali pesan yang dia kirimkan. Dia membayangkan wajah masam Azka saat membaca balasannya. [Hemm ... Masih ingat kita ngobrol di teras rumah ya? Saat kamu bersihin mukaku pakai air dingin? Terngiang-ngiang sampai sekarang, Al?] Balasan dari Azka mema
"Kamu nggak apa-apa Alya?" tanya Laras sembari mengusap lengan Alya. Perempuan itu menggeleng pelan. "Kalian ini kenapa? Kalau ada masalah diselesaikan baik-baik tanpa kekerasan. Malu dilihat banyak orang. Sudah dewasa, tapi kelakuan seperti anak-anak," ucap Laras sembari menatap Erika dan Naufal bergantian. Dia juga melirik sinis Ratna yang tadi sempat menarik lengan Nuri sampai terbentur tembok."Tante nggak usah ikut campur. Ini urusan kami, bukan urusan Tante. Jadi, kami punya pilihan sendiri untuk menyelesaikannya dengan cara bagaimana," ujar Ratna kemudian. "Ratna! Diam kamu!" sentak Naufal lalu menarik lengan adik perempuannya itu. "Kita pulang sekarang," pinta Naufal pada Ratna dan Erika, tapi kedua perempuan itu tak menggubris. Mereka tak mengikuti Naufal yang sudah meninggalkannya beberapa langkah. "Ingat, Al-- Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Azka sudah memotong ucapan Erika. "Nggak perlu mengancam. Kalau kamu terus mengintimidasi Alya, aku yang akan turun tanga
"Selamat datang di rumah sederhana kami, Tante. Halaman rumah sudah kaya taman mini ya, Tante. Semua berkat anak lelaki Tante itu. Setelah buket bunganya selalu ditolak, akhirnya dia bawakan tanaman dan bunga hidup setiap hari. Lumayanlah, rumah kami jadi indah dan penuh warna," ucap Nuri setelah mobil berhenti di tepi jalan depan rumahnya. "Wah, sejuk ya, Al, Nur," balas Laras sembari tersenyum tipis. "Iya, Tante. Alhamdulillah Alya selalu rajin menyiraminya tiap pagi dan sore," balas Nuri lagi sembari menaik turunkan kedua alis saat Alya menatapnya. Mendengar cerita Nuri, Azka tersenyum tipis. Dia kembali melirik Alya dari spionnya. "Turun dulu, Tante. Mampir ke rumah. Tenang saja, Mas. Kali ini nggak bakal diusir Alya, soalnya saya yang ajak. Bukan Mas Azka yang sengaja bertamu," ucap Nuri lagi. Dia sengaja menggoda Alya dan Azka yang sedari tadi tampak saling lirik dan salah tingkah. "Oke. Ayo turun, Ma," pinta Azka kemudian. Dia gegas membuka sabuk pengamannya lalu buru-buru
"Ya Allah, pusing." Nuri menggumam. Diamembuka kedua matanya perlahan. Kepalanya masih terasa pusing. Dia kembali mengerjapkan mata lalu mengingat-ingat apa yang sebelumnya terjadi. Mendadak tercekat saat ingat Alya nggak ada di sampingnya. Nuri beranjak dari ruang tamu sembari memanggil Alya. Sepi. Tak ada siapapun di rumah itu selain dirinya. Nuri benar-benar kalut saat ini. Dia khawatir dan takut terjadi sesuatu pada sahabatnya itu. Dengan tergesa, Nuri kembali ke ruang tamu. Tas kecil Alya tertinggal di sana. Isinya masih lengkap, tak ada yang berkurang satupun. Bahkan handphone Alya juga masih di sana. Tak hanya barang-barang milik Alya, tapi tasnya pun masih utuh. Nuri luruh di lantai. Dia kembali berpikir apa alasan dua lelaki itu mencelakainya dan Alya. Jelas bukan perampokan karena tak ada satu pun barang yang hilang. Nuri kembali beranjak dari ruang tamu sembari membawa tas Alya. Dia melangkah tergesa ke pintu belakang. Benar dugaannya jika dua lelaki bertopeng itu masuk
[Dia anak buah Mas Bemo, Bos. Mas Bemo masih di sel karena kasus shabu lima bulan lalu. Saya sama Erik sudah ketemu basecampnya, tapi nggak tahu apakah mereka di dalam atau keluar. Suasana di rumah itu cukup sepi dan temaram] Pesan dari Molen, salah satu anak buah Azka muncul di layar. Dia teman dekat Erik yang tak lain tangan kanannya. Erik dan Mollen dulu sama-sama preman di kawasan taman Arjuna. Mereka nyaris merampok Azka saat pulang dari cafe Bianglalanya. Namun, berkat sering latihan beladiri di Jogja, Azka berhasil membekuk dua laki-laki itu. Alih-alih memenjarakan keduanya, Azka justru memberikan tawaran yang lebih menguntungkan mereka. Dua lelaki itu dijadikan karyawan oleh Azka agar memiliki penghasilan bulanan dan tak merampok lagi. Erik menjadi asisten pribadinya sementara Molen menjadi satpam di cafe bianglala. Sejak saat itu, perangai keduanya mulai berubah membaik sampai akhirnya menjadi tangan kanan Azka. [Awasi rumah itu. Kalau ada hal-hal yang mencurigakan segera