Alya dan Azka duduk di teras rumah, sementara Bi Rusmini kembali ke warung untuk melayani pembeli. Sesekali Azka melirik Alya yang masih bergeming. Entah apa yang dipikirkannya detik ini. Hanya saja, dia tak angkat bicara sejak beberapa menit lalu. Seolah membiarkan Azka tak nyaman sampai akhirnya pamit pulang. "Maaf," ujar Alya singkat. Dia tetap menunduk. Tanpa menoleh ke arah Azka yang kini menatapnya. "Maaf buat apa?" tanya Azka dengan senyum tipisnya. "Maaf sudah melibatkan kamu ke dalam masalahku. Maaf juga sudah merepotkanmu," balas Alya. Kini dia menoleh dan sempat bersitatap dengan Azka beberapa saat. "Aku nggak merasa direpotkan dan senang jika kamu melibatkanku dalam masalahmu," balasnya santai membuat Alya tersedak seketika. Azka buru-buru mengambil air mineral di meja dan membuka tutupnya untuk Alya. Perempuan itu pun menerimanya lalu meneguknya sebagian. "Rayuanmu seperti anak ABG. Nggak mempan buat janda sepertiku," balas Alya sembari menutup botol air mineralnya.
[Lagi ngapain, Al?] [Hari ini di rumah?] [Boleh berkunjung ke rumah nggak?] Tiga pesan Azka masuk ke aplikasi hijau Alya. Tiada hari tanpa pesan dari laki-laki itu. Sebenarnya Alya risih, tapi dia merasa berhutang budi pada Azka karena sudah membantunya menghentikan teror dari mantan suaminya. Setidaknya sudah tiga mingguan ini dia tak lagi datang ke rumah. Itu membuat Alya benar-benar lega.[Sore aku ke rumah ya? Boleh kan?] Pesan terbaru muncul kembali. Alya menghela napas panjang lalu membalas pesannya. Kalau tidak, Azka pasti akan terus mengirimkan pesan sampai akhirnya Alya lelah dan memberikan balasan. [Aku sama Nuri pergi. Kalau kamu mau datang, silakan saja. Nanti ngobrol sama teras rumah]Alya tersenyum tipis saat membaca kembali pesan yang dia kirimkan. Dia membayangkan wajah masam Azka saat membaca balasannya. [Hemm ... Masih ingat kita ngobrol di teras rumah ya? Saat kamu bersihin mukaku pakai air dingin? Terngiang-ngiang sampai sekarang, Al?] Balasan dari Azka mema
"Kamu nggak apa-apa Alya?" tanya Laras sembari mengusap lengan Alya. Perempuan itu menggeleng pelan. "Kalian ini kenapa? Kalau ada masalah diselesaikan baik-baik tanpa kekerasan. Malu dilihat banyak orang. Sudah dewasa, tapi kelakuan seperti anak-anak," ucap Laras sembari menatap Erika dan Naufal bergantian. Dia juga melirik sinis Ratna yang tadi sempat menarik lengan Nuri sampai terbentur tembok."Tante nggak usah ikut campur. Ini urusan kami, bukan urusan Tante. Jadi, kami punya pilihan sendiri untuk menyelesaikannya dengan cara bagaimana," ujar Ratna kemudian. "Ratna! Diam kamu!" sentak Naufal lalu menarik lengan adik perempuannya itu. "Kita pulang sekarang," pinta Naufal pada Ratna dan Erika, tapi kedua perempuan itu tak menggubris. Mereka tak mengikuti Naufal yang sudah meninggalkannya beberapa langkah. "Ingat, Al-- Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Azka sudah memotong ucapan Erika. "Nggak perlu mengancam. Kalau kamu terus mengintimidasi Alya, aku yang akan turun tanga
"Selamat datang di rumah sederhana kami, Tante. Halaman rumah sudah kaya taman mini ya, Tante. Semua berkat anak lelaki Tante itu. Setelah buket bunganya selalu ditolak, akhirnya dia bawakan tanaman dan bunga hidup setiap hari. Lumayanlah, rumah kami jadi indah dan penuh warna," ucap Nuri setelah mobil berhenti di tepi jalan depan rumahnya. "Wah, sejuk ya, Al, Nur," balas Laras sembari tersenyum tipis. "Iya, Tante. Alhamdulillah Alya selalu rajin menyiraminya tiap pagi dan sore," balas Nuri lagi sembari menaik turunkan kedua alis saat Alya menatapnya. Mendengar cerita Nuri, Azka tersenyum tipis. Dia kembali melirik Alya dari spionnya. "Turun dulu, Tante. Mampir ke rumah. Tenang saja, Mas. Kali ini nggak bakal diusir Alya, soalnya saya yang ajak. Bukan Mas Azka yang sengaja bertamu," ucap Nuri lagi. Dia sengaja menggoda Alya dan Azka yang sedari tadi tampak saling lirik dan salah tingkah. "Oke. Ayo turun, Ma," pinta Azka kemudian. Dia gegas membuka sabuk pengamannya lalu buru-buru
"Ya Allah, pusing." Nuri menggumam. Diamembuka kedua matanya perlahan. Kepalanya masih terasa pusing. Dia kembali mengerjapkan mata lalu mengingat-ingat apa yang sebelumnya terjadi. Mendadak tercekat saat ingat Alya nggak ada di sampingnya. Nuri beranjak dari ruang tamu sembari memanggil Alya. Sepi. Tak ada siapapun di rumah itu selain dirinya. Nuri benar-benar kalut saat ini. Dia khawatir dan takut terjadi sesuatu pada sahabatnya itu. Dengan tergesa, Nuri kembali ke ruang tamu. Tas kecil Alya tertinggal di sana. Isinya masih lengkap, tak ada yang berkurang satupun. Bahkan handphone Alya juga masih di sana. Tak hanya barang-barang milik Alya, tapi tasnya pun masih utuh. Nuri luruh di lantai. Dia kembali berpikir apa alasan dua lelaki itu mencelakainya dan Alya. Jelas bukan perampokan karena tak ada satu pun barang yang hilang. Nuri kembali beranjak dari ruang tamu sembari membawa tas Alya. Dia melangkah tergesa ke pintu belakang. Benar dugaannya jika dua lelaki bertopeng itu masuk
[Dia anak buah Mas Bemo, Bos. Mas Bemo masih di sel karena kasus shabu lima bulan lalu. Saya sama Erik sudah ketemu basecampnya, tapi nggak tahu apakah mereka di dalam atau keluar. Suasana di rumah itu cukup sepi dan temaram] Pesan dari Molen, salah satu anak buah Azka muncul di layar. Dia teman dekat Erik yang tak lain tangan kanannya. Erik dan Mollen dulu sama-sama preman di kawasan taman Arjuna. Mereka nyaris merampok Azka saat pulang dari cafe Bianglalanya. Namun, berkat sering latihan beladiri di Jogja, Azka berhasil membekuk dua laki-laki itu. Alih-alih memenjarakan keduanya, Azka justru memberikan tawaran yang lebih menguntungkan mereka. Dua lelaki itu dijadikan karyawan oleh Azka agar memiliki penghasilan bulanan dan tak merampok lagi. Erik menjadi asisten pribadinya sementara Molen menjadi satpam di cafe bianglala. Sejak saat itu, perangai keduanya mulai berubah membaik sampai akhirnya menjadi tangan kanan Azka. [Awasi rumah itu. Kalau ada hal-hal yang mencurigakan segera
"Sudah bangun, Sayang?" tanya laki-laki bernama Edward itu singkat dengan senyum tipisnya. Alya menatap tajam laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit bersih itu. Dia berusaha menghindar saat tangan kekar laki-laki itu berusaha menyentuhnya. Hanya saja, dia tak bisa bergerak banyak karena tangan dan kakinya diikat, sementara mulutnya dilakban. Keringat dingin mulai menetes di keningnya. Alya benar-benar ketakutan melihat ada orang asing satu kamar dengannya. "Maaf harus mengikatmu seperti ini. Terpaksa karena aku nggak mau kamu pergi. Tunggu sampai pagi, setelah itu kita akan pergi," ucap laki-laki itu lagi. Alya kembali ketakutan. Dia tak ingin diajak pergi oleh laki-laki tak dikenalnya itu. Alya masih berusaha memberontak, tapi tangan kekar itu berhasil menyentuh kepalanya. "Jangan jual mahal, Sayang," lirih laki-laki itu sembari mengusap wajah cantik Alya. Hijab yang dipakainya sudah terlepas. Rambut hitam panjangnya pun berantakan karena tarikan kasar laki-laki itu. "Kamu lebi
Nuri memijit keningnya beberapa kali. Nyaris semalaman dia tak bisa tidur karena memikirkan sahabatnya, Alya. Setelah subuh, dia memilih ke dapur untuk membuat bubur dan teh hangat untuk sarapan. Perutnya terasa melilit karena lapar. Tak lupa membalas beberapa pesan yang masuk ke messengernya. Pesan dari Naufal yang menanyakan soal Alya karena semalam Nuri memang memberikan kabar pada laki-laki itu soal penculikan Alya. Nuri tahu jika saat ini Naufal tak ada hubungan dengan Alya lagi setelah perpisahan itu terjadi, hanya saja Nuri kehilangan akal dan dia tak tahu harus minta pertolongan siapa lagi selain mantan suami sahabatnya itu. Azka memang sudah gerak cepat, tapi sampai saat ini belum juga memberikan kabar untuknya. Nuri benar-benar tak tenang dan hanya menginginkan yang terbaik untuk Alya karena menurutnya semakin banyak yang mencari keberadaan Alya maka akan semakin cepat menemukannya. Lagi dan lagi Nuri hanya ingin Alya segera ditemukan dengan keadaan baik tanpa kekurangan s